(Demi perlindungan informan, semua identitas disamarkan.)
Sewaktu saya mencium tangan mama sebelum berangkat ke salah satu desa Baduy Luar, pesan beliau masih sama dengan default sebelumnya: "Jangan macam-macam, ikuti kata ketua suku, kalo jalan jangan lupa ikat tali sepatu." Saya membalas sekadarnya, "Doain aja."
Perjalanan ke desa tersebut membuat saya yakin mama memang mendoakan saya. Trekking di jalanan berbatu pada pukul satu dinihari dengan perut kosong membuat saya memperlambat gerak kelompok. Hampir jatuh, hampir menyerah. Keadaan yang gelap tanpa lampu dan kesadaran bahwa di kiri-kanan saya jurang tidak banyak membantu. Begitu saya sampai di rumah Kang Rosyid di Dusun Cicakal, tempat Baduy Luar bermukim di Desa Kanekes, saya langsung tepar. Ambyar.
Saya berplesir ke Dusun Cicakal dalam rangka mengambil gambar untuk film dokumenter. Buat ukuran saya sih, itu tergolong nekat, karena saya pergi ke tempat tanpa sinyal saat pekan UTS. (Sebenernya pengin menjelaskan betapa susahnya kuliah di jurusan saya... tapi ... ah sudahlah.) Proses pengambilan gambar saya lakukan bersama seorang kolega, Intan.
|
Dusun Cicakal dan perempuan jagoan yang membangunnya. |
Syuting di tempat yang tidak saya mengerti bahasanya dan tidak saya kenal medannya adalah tantangan sendiri. Saya dan Intan baru memulai kegiatan kami pukul sembilan, sementara tim yang lain pergi ke dusun Baduy Dalam yang berjarak lima jam perjalanan. (Yep, nope I'm good thankyou.) Karena saya berusaha mempertahankan idealisme akan consent subjek bidikan saya, maka saya tidak menyembunyikan kamera.
Looking at it now, I wonder if I had made the right decision.
Susah banget, men. Mencari informan untuk diwawancarai. Target saya waktu itu adalah perempuan penenun, anak-anak, dan bapak-bapak yang meladang. Singkat cerita, para Baduy Luar begitu pemalu. Setiap kali mendekat, pandangan mereka langsung terpusat ke kamera saya dan menghindar. Jadi nggak enak sendiri, kan, sewaktu saya baru mau say hi tapi perempuan yang sedang mencari nafkah dengan menenun langsung masuk ke rumah tanpa melanjutkan pekerjaannya. Belum lagi kami sempat berpapasan dengan senior yang mewanti-wanti, "Tadi gue deketin penenun yang hampir nimpuk gue kalo gue nggak buru-buru pergi!" Hadeuh, jadi makin sungkan.
Mereka yang lebih ramah dan terbuka, menurut saya, justru nenek-nenek. Saya sempat duduk di dipan rumah sepasang nenek dan kakek yang mempunyai warung. Si nenek begitu ekspresif dan bergairah menjelaskan aktivitasnya... dalam bahasa Sunda! Atas nama kesopanan, saya dan Intan cuma bisa manggut-manggut. Nggak apa ya, Nek?
Beberapa orang lain yang juga terbuka berusaha lebih keras untuk berkomunikasi dengan kami. Seorang penenun muda (sebut saja Mawar) contohnya. Menurut perkiraan saya, umurnya kurang dari 15 tahun. Tapi waktu saya tanya, dia jawab, "Dua puluh." Lah, lebih tua dari saya dong?
Saat itu saya mencoba maklum. Orang Baduy memang begitu awet muda. Saya pun lanjut bertanya berapa lama biasanya dia menuntaskan kain tenunannya. Apa jawabannya? "Dua puluh."
Dua puluh hari? saya menegaskan. Dia menganggukan konfirmasi.
Obrolan kami mulai lancar setelahnya. Sampai saya bertanya lagi, "Kalau dijual di kota, harganya berapa?" Si Mawar menjawab, "Dua puluh."
Intan, yang nggak selemot saya, langsung berbisik, "Cha, anu... kayaknya dia cuma tahu angka 20. Mending kita jangan tanyain hal-hal numerik."
Tratakdungcess.
Saya menghargai usaha Mawar. Dia adalah informan paling kooperatif yang saya temui. Sedangkan informan paling asyik tentu saja Ronald dan Messi, dua anak yang berhasil memancing saya sampai ke seberang sungai. Mereka juga yang mempertemukan saya dengan orang yang "mengutuk" saya.
Gara-gara hari sudah sore dan saya belum juga mendapatkan stok video yang memadai, saya berniat mewawancarai Kang Amir. Pekerjaan beliau, menurut saya, begitu menarik. Tapi, belum saya membuka mulut, Kang Amir berkata, "Saya nggak mau direkam."
Saya pun berusaha melobi beliau. Tapi beliau tetap bersikeras. "Kalau nanti direkam diam-diam, hati-hati saja kameranya rusak!"
Dan, jegerrr! Kutukan dijatuhkan! Saya seharusnya ingat kata mama, tapi rasa letih membuat saya diam-diam memfoto beliau. Saya kembali ke Jakarta dengan perasaan waswas. Untungnya, kamera saya maupun memorinya baik-baik saja.
Tapi entah sengaja atau tidak... barang elektronik saya memang rusak setelah pulang dari Cicakal! Pertama adalah ponsel saya yang jatuh ke kloset (it's a long story) empat hari setelah kembali ke Jakarta. Untuk mereparasinya, saya harus mengorek 1,3 juta dan kehilangan data di memori internal.
Karena saya harus pergi ke luar kota lagi untuk membuat output perjalanan lainnya, jadilah saya menggunakan ponsel lama saya. Tak dinyana, ponsel saya itu juga hilang di perjalanan. Tapi rasa lelah lagi-lagi membuat saya tidak peduli. Yang lebih bikin gemas justru ini: di hari pertama, cuma satu dari tiga kamera yang bisa dioperasikan! Lho, kenapa? Karena satu kamera ketinggalan SD card-nya, dan satu lagi ketinggalan baterai cadangannya. Saya cuma bisa pasrah. Satu hari jelas waktu yang berharga.
Rupanya rentetan kesialan itu belum selesai. Sampai di Jakarta, beberapa hari setelah perjalanan tersebut, kamera saya tidak bisa dibuka penutup lensanya! Saya sempat panik, but luckily my cousin came to the rescue. Saya pun membawa kamera itu ke tempat jalan-jalan saya berikutnya. Sampai saya ingat... saya tidak bawa baterai!
Minggu depannya, saya sudah memastikan membeli empat pak baterai ABC (yes, my camera is THAT old) untuk keperluan memotret lain. Di mobil, saya menyetel kamera. Saat itulah saya baru sadar bahwa screen kamera saya retak! Walau EVF-nya alhamdulillah berfungsi dengan baik sehingga masih bisa memotret, tapi saya nggak bisa me-review hasilnya. Sial!
Sambil menangis pun saya menceritakan hal ini pada seorang teman. Katanya, "Cha, kayaknya ini lo dikutuk!"
Saya cuma bisa sesenggukan. Teman saya terdiam dan berpikir. "Nggak apa, Cha. Gue waktu ke Baduy dan naik gunung pernah kutuan. Lebih parah dari kutukan kan?"
Tentu saja, semua kesialan yang terjadi memiliki penjelasan logis: memang saya saja yang ceroboh menjurus goblok. Tapi saya jadi berandai-andai sendiri, kalau saja waktu itu saya tidak memfoto bapak itu, apakah kamera dan dua ponsel saya masih utuh?
Pesan moral:
1. Ingat kata pepatah: di mana Bumi berpijak, di situ langit dijunjung!
2. Selalu minta bantuan gatekeeper selama mencari bahan output perjalanan.
3. Jangan ceroboh.
4. Ingat selalu kata Mama.