lundi 15 octobre 2012

Istiqlal-Cathedral, Bukti Budaya Damai Masyarakat Indonesia

Ada pemandangan menarik yang mengundang penasaran jika Anda berjalan di Sawah Besar, di dekat Lapangan Merdeka. Di sana berdiri dua bangunan gagah yang membuat saya tercenung dan berpikir. Di ruas kanan jalan berdiri sebuah gereja megah nan cantik bergaya neo-gotik. Berwarna abu-abu, dan atapnya meruncing ke langit, seolah berniat menusuk awan. Di ruas kiri jalan, bangunan yang tak kalah keren, masjid Istiqlal, dibangun. Berwarna putih dengan banyak pilar, membuat saya bertanya-tanya, seindah inikah Taj Mahal di India? Sedangkan Katedral Jakarta sendiri mengingatkan saya akan Sagrada Familia karya Anthoni Gaudi, dengan warna yang mirip.

Siang itu, saya sedang merayakan ulang tahun saya yang ke-15 dengan keluarga dan beberapa orang teman. Maksud hati ingin ke toko Es Krim Ragusa, adzan zuhur berkumandang di tengah kemacetan. Jadilah kami banting setir dalam arti yang sebenar-benarnya. Kami berbalik arah ke Istiqlal, lalu shalat di sana.

Masjid Istiqlal, yang sudah melegenda dengan kemegahannya, rupanya mendatangkan banyak pengunjung juga. Setelah shalat zuhur, saya sempat berbincang-bincang dengan beberapa orang pengunjung, dan ternyata mereka jauh-jauh datang dari Indramayu hanya untuk ke Istiqlal! Jujur, saya tak habis pikir. Tapi buru-buru saya mengingatkan diri, mereka pada Istiqlal tak ubahnya kita pada Bali. Orang setempat menganggapnya biasa, tapi kita menganggapnya tidak biasa.

Masjid Istiqlal sendiri, yang dibangun pada 1978, sedang direnovasi habis-habisan. Cat-cat dan tangga bertebaran di mana-mana. Saya berusaha memaklumi, tapi pemandangan orang-orang yang tidur seenaknya membuat saya miris. Alih-alih tidur di pinggir, mereka malah ngorok seenaknya di tengah jalan! "Simfoni kandang babi," demikian seorang teman berbisik pada saya. Saya terkikik dan membenarkan dalam hati.

Selain pengunjung yang kurang disiplin, konter-konter penyewaan mukena dan sajadah juga belum meluas secara rata. Bayangkan, untuk masjid yang sebegitu luas, saya menghitung hanya ada tiga konter, dan itu pun kecil! Selain itu, banyak pengemis bertebaran di luar masjid. Saya bukannya sinis, tapi menurut saya, ada baiknya mereka ditertibkan.

Namun begitu saya keluar dari masjid, pemandangan indah berupa gereja. Saya kemudian menyandingkannya dengan atap masjid yang memayungi saya. Sungguh indah. Apalagi saya juga dengar, begitu banyak kegiatan amal yang dilakukan dua pihak, masjid dan gereja. Sungguh sebuah bukti budaya damai masyarakat Indonesia masih melekat pada diri kita.

Es Krim Ragusa, Satu Berdua pun Kebanyakan!
Setelah "wisata" ke masjid, waktunya mengisi perut! Kami pun bergerak menuju tujuan kami semula: kedai es krim Ragusa. Letaknya sedikit terpencil, tapi pengunjung berdesakkan, keluar-masuk, mengisi meja-meja. Saya langsung mengantre di depan kasir. Kira-kira 30 menit sebelum pesanan saya jadi. Es krim yang saya pesan, spaghetti ice cream, yang merupakan menu favorit, sangat enak dan banyak. Bahkan walau saya sudah memakannya berdua dengan seorang teman, tetap saja kebanyakan!

Bukannya promosi, sih, saya hanya memberi review dari sudut pandang saya. Mungkin saja nggak objektif. Satu-satunya yang minus dari kedai es krim itu, mungkin ibu kasirnya yang jutek dan kasirnya yang mukanya datar tar tar tar kayak baru disetrika! Well, at least keinginan saya untuk makan es krim Ragusa setelah tahunan nggak nyicip lagi terpenuhi.

Thanks God it's Sunday.
14/10/12.
Esa Khairina.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire