vendredi 29 mars 2013

Pardon My French part 1

Pelajaran kesenian dengan Mr Waters, seperti biasa, adalah subjek favorit kami. Tumpahan cat mengotori lantai, tanah liat berceceran, dan petikan gitar yang sumbangnya minta ampun justru merupakan bentuk kebebasan tersendiri. Mr Waters sendiri duduk di sudut kelas, bernyanyi dengan lagak seolah-olah beliau Frank Sinatra padahal suaranya parah, kedua telinganya disumpal headphone. Di hadapannya, Iris Bloom meronce kalung manik-maniknya dengan penuh perasaan, tiga bulu angsa bergelantungan di ujungnya. Dream catcher, jimat penolak bala kesayangannya.

"Akan kubuatkan kau dan Fortuna satu," kudengar ia berkata sungguh-sungguh pada Venus tempo hari. Aku dan Venus bertukar pandang dan mati-matian menahan tawa sampai akhirnya Iris keluar.

Dan di sinilah kami, di tengah hari pada penghujung musim panas, mengeluhkan hawa musim gugur yang mulai berhembus. Kepalaku tenggelam dalam lipatan tangan, menguap dan tak tahan ingin mengakhiri hari ini. Venus duduk di sampingku, tampak serius menekuni potongan-potongan puzzle-nya, ikal-ikal rambut hitam berjatuhan di sepanjang garis rahangnya. Sesekali bibirnya yang penuh mendendangkan irama lagu Michael Buble, yang semua karyanya tersimpan di walkman kami bersama, berusaha mengabaikan kebisingan cowok-cowok bangku belakang yang tak hentinya menggoda Venus.

Yah, harus kuakui sih, berkawan dengan Beauty Queen seperti Venus itu ada nggak enaknya juga. Contohnya, kami nggak bisa datang ke tempat umum tanpa menarik perhatian orang. Dan kedua, semua cowok idamanku yang nyaris menjadi pacarku langsung berpaling begitu aku jalan bersama Venus. Mana ada cowok yang bakal memilih Upik Abu kalau ada Putri Salju?

Sahabatku, Venus Andrews, cewek separo Asia separo Canada yang nyaris mendekati sempurna. Posturnya memang nggak setinggi orang-orang Quebec lainnya, tapi justru itu, dia yang selalu menjadi posisi tengah dalam barisan mayoret sekolah. Kulitnya putih eksotik seperti layaknya orang Asia, bibirnya penuh, hidungnya mancung namun tidak panjang, dan rambutnya hitam ikal, dipotong pendek sebahu. Akumulasi itu membuat ia tampak seperti campuran Audrey Hepburn dan Barbie Hsu.

"Hei, Ve, kenapa pakai syal di musim panas begini?"

Kepalaku mendongak begitu mendengar suara itu. Louise Pequinot sekarang berdiri di hadapan meja kami, jari-jarinya sesekali menjelajah rambutnya yang pirang terang. Louise, cowok yang baru kukencani kurang dari seminggu yang lalu! Kalau dulu senyum modelnya selalu meluluhkanku, sekarang senjatanya itu justru membuat jari-jariku gatal, ingin mencekiknya.

"Oh, hai, Fortuna," sapanya canggung, terlihat enggan, seolah baru menyadari keberadaanku di samping Venus. Sialan, sepertinya ia belum lupa ketika aku memecahkan cangkir cokelat panas di kafe termahal di Quebec saat ia menciumku.

Venus melirikku sekilas, lalu bertopang dagu dan berdeham manis, "Oh, halo, Lou. Ada apa?"

"Aku hanya bertanya-tanya..." Louise kini memilin-milin jarinya, "apa kau lowong Sabtu besok? Maksudku, Taylor Swift akan datang dan ayahku bisa membelikanmu tiket gratisan."

Hm, yeah, Louise yang biasanya paling dungu dalam pelajaran sejarah dan bahasa Inggris mendadak bisa hafal dan melafalkan nama penyanyi favorit Venus dengan benar. Dan ia memanfaatkan orangtuanya yang promotor musik itu untuk merayu sahabat mantan gebetannya. Usaha yang bagus, Casanova.

"Oh!" Venus menggeleng, prihatin. "Oh, tidak. Maafkan aku, Lou, tapi kakakku sudah membeli tiketnya. Jadi aku tak bisa pergi bersamamu. Aku sangat, sangat, menyesal, Lou."

Sikap pongah Louise luntur, namun Venus sedang mengeluarkan ajian keramatnya, mengedip-ngedipkan matanya yang seperti mata kucing. Louise meleleh dalam kecepatan cahaya.

"Oh, yeah, te-tenang saja, Venus. Kabari aku kalau kau sudah punya waktu, oke?"

Venus mengangguk, tampak lega, dan memperhatikan sampai punggung Louise tak terlihat lagi. Ia menatapku khawatir, dan sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, bel pulang sekolah berbunyi.

"For, For!" Venus mengejarku yang berjalan dengan langkah lebar-lebar, mendongkol setengah mati. Aku ingin membenci gadis ini. Aku ingin menjambak rambutnya yang sempurna, melunturkan pulasan lip gloss-nya, atau menyembunyikan kuteks Chanel kesayangannya. Tapi nyatanya aku nggak bisa, karena jurus-kedip-mata Venus juga bereaksi terhadap cewek.

Aku berhenti melangkah dan membuang muka, menatap aliran sungai St. Lawrence yang tenang di belakang bukit tempat sekolah kami berdiri, riak-riaknya membiaskan cahaya matahari. Ini tempat favoritku, dan melihat sungai St. Lawrence saja sudah membuatku sangat tenang.

"Well, kau tahu itu bukan salahku kalau, euh, teman kencanmu itu mengajakku ke kencan yang lain, bukan?" Venus merangkai kata-katanya dengan susah payah. Ia mengidap lethologic, fenomena yang terjadi kalau kau seringkali kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan apa yang kaurasakan. Venus mencengkeram pergelangan tanganku, bergelantungan di situ.

"Soal konser Taylor Swift itu, apa benar kau akan menonton dengan Stefan?" tanyaku tanpa memandangnya.

"Well, ya, itu benar."

"Andai Stefan tidak mengajakmu, apa kau akan menerima ajakan Louise?" Kali ini aku berpaling padanya, menatapnya lekat-lekat. Venus balas menatapku dan tertawa terbahak-bahak.

"Aduh, aduh, kau ini apa-apaan sih? Sejak kapan kau jadi posesif begini? Apa karena ciuman Louise lebih hebat dari teman-teman kencanmu yang sebelumnya?" Ia meledekku.

"Diam," gerutuku jengkel, walau pipiku terasa panas.

"Hm, mari kita pikirkan. Tidak, tentu saja tidak. Aku nggak akan menerima ajakan cowok-cowok yang pernah menyakiti hati sahabatku," Venus mengklarifikasi dengan lugas. "Aku sudah pernah berjanji, kan? Sama seperti kau yang pernah berjanji nggak akan meninggalkanku kalau-kalau mendapat teman baru yang lebih menyenangkan, asyik, dan blablabla...." Ia meneruskan dengan berapi-api, kemudian berhenti mendapatiku yang cuma mematung, angin musim panas mendirikan sejumput rambut pirangku yang dipotong spiky. "Kita saling percaya, bukan?"

Kami saling memandang selama beberapa saat, lalu dengan sengaja aku melompat ke kubangan lumpur di tanah berumput bukit, mencipratkan air cokelatnya ke rok tartan Venus yang baru dibeli.

"Hei!" pekiknya.

Aku tertawa dan mulai berlari. "Kau benar, aku mempercayaimu. Bagaimana kalau kita lomba lari sampai ke St. Lawrence? Yang kalah harus traktir cokelat panas di Madame Gireau's!"

Sambil mengucapkannya, aku tertawa dan berlari menuruni bukit, disusul oleh Venus yang cuma menyumpah-nyumpah.

***
Hari Selasa ini hujan, membuat setiap orang mengidamkan meringkuk di kasur dengan setumpuk pancake panas dengan guyuran saus maple dan secangkir cokelat panas. Awal musim gugur di Quebec selalu ditandai dengan deraan hujan dan terpaan angin, yang selain menumbangkan pohon-pohon, juga menumbangkan kesehatan orang-orang kurus sepertiku.

Tapi coba tebak, di mana aku sekarang? Di sebuah bus yang melaju di atas jalanan yang nggak rata, tubuhku terhempas tiap bus mengerem mendadak. Mungkin cuma aku satu-satunya penumpang yang tidak terjaga. Aku tenggelam dalam syal yang membungkus leherku sambil menggosok-gosokkan telapak tangan, berusaha  mendapatkan kehangatan terbaik.

Bus lagi-lagi mengerem mendadak, dan aku terjungkal ke kursi depan, nyengir minta maaf pada seorang wanita tua miskin senyum yang cuma melengos tak peduli. Terseok-seok, aku turun dari bus, berlari menembus rinai hujan, lalu menepi ke trotoar lebar di Petit Champlain District yang disesaki banyak orang. Kanopi dari berbagai kafe dan restoran menghalau tetesan air hujan, dan salesman mereka keluar dari kandang sambil membagi-bagikan brosur. Kebanyakan penduduk Quebec lebih memilih membeli secangkir kopi yang harganya mahal agar bisa berteduh daripada basah kuyup. Aku tak tahu apa yang orang pikirkan tentang hujan, tapi aku pribadi membencinya.

Kalau bukan karena taruhanku dengan Venus, aku nggak akan berada di jalanan sempit seperti ini, mengucapkan, "Pardonne-moi," dan dipelototi turis-turis yang mukanya kurang ramah. Sayangnya, aku yang cuek sekalipun nggak akan mau dikalahkan Venus dalam pertaruhan yang menyangkut harga diri ini. Siapa dari kami yang mendapat pacar duluan, dialah yang menang, sedangkan yang kalah harus menggantungkan papan bertuliskan "I'M SINGLE. KISS ME!" di bagian punggung sambil berjalan mundur di sepanjang garis sungai St. Lawrence.

Mereka yang mengenal Venus mungkin akan menganggapku gila karena mau saja menerima taruhannya. Cewek SMA biasa mana bisa menang melawan Olivia Culpo? Tapi satu hal yang harus kauketahui, Venus itu alergi cowok. Dia belum pernah mengencani cowok mana pun dan belum pernah berciuman. Tiap  ada cowok yang berusaha mendekatinya, Venus akan langsung lari seperti kelinci yang tahu akan diburu. Terkadang, aku benci sekaligus bersyukur dengan sikap apatisnya.

Maka aku mengikuti permainannya dengan sukarela, dan nggak sampai dua hari, aku berkenalan dengan seorang cowok bernama Michael. Dia traveler dan suka berselancar. Apa yang kurang, coba? Hmm, yah, mungkin dia nggak setajir Louise yang menyewa kafe termahal di Quebec, karena Michael cuma mentraktirku di restoran China terpencil di Petit Champlain, distrik Quebec yang dipenuhi jejeran kafe dan restoran.

Keningku berkerut begitu menatap tempat ini. Sedikit kumuh. Lampion-lampion merah di depan restoran ditempeli debu dan menjadi habitat laba-laba membangun sarang. Sekali lagi kucocokkan plang di atap dengan alamat yang di-SMS Michael tadi pagi. Sama.

Kubuka pintu tua reyot di depan restoran, yang mengeluarkan bunyi berdecit yang asing. Hampir semua tempat di area ini menggunakan french window. Seorang pria tua dengan keriput di wajahnya tersenyum ramah padaku, tubuhnya gempal seperti Boboho. Aku cuma tersenyum sopan dan mengedarkan pandang.

Tempat ini sepi, hanya ada seorang pria berambut kelabu berjas hitam yang mabuk dan tak henti-hentinya meneguk baijiu, alkohol lokal China yang pernah diceritakan Venus padaku. Si pria terus-terusan meneriakkan seruan menggoda yang vulgar pada wanita seksi yang duduk di sampingnya. Aku membuang muka.

Di sudut lain, seorang pemuda juga sedang duduk, tapi aku menolak gagasan bahwa ia adalah Michael. Michael-ku nggak mungkin kurus kering dengan baju kotak-kotak merah ngejreng, celana bahan kusam warna hijau yang kayaknya kebesaran tiga nomor, dengan gesper berkepala naga, sandal jepit, kepala tanpa rambut, dan mata dibingkai kacamata bulat begitu. Si pemuda menatap ponselnya sebentar sebelum mengangkatnya dan mengetik. Kemudian, ia meletakkan kembali benda itu.

Bersamaan dengan gerakannya, HP-ku bergetar, dengan ringtone nyaring yang menandakan itu dari Michael. Aku membukanya, menerima balasan atas pertanyaan, "Bagaimana ciri-cirimu?"

Baju kotak-kotak merah dan celana hijau. Kau tidak tersesat kan, baby?

Baby. Kalau dulu aku selalu berjingkrak-jingkrak dan memamerkan panggilan itu pada Venus, sekarang aku berharap bumi membelah dan menelanku saat ini juga.

Perlahan aku berbalik ke kiri, namun sebelum aku berlalu, si pemuda sudah berdiri, melambai ke arahku. Aku membatu, dan diam di tempat. Si pemuda kini berlari ke arahku, menabrak dua kursi hingga hancur dalam perjalanannya.

"Ha-halo, Fortuna," sapanya, gugup.

Ia bahkan sekepala lebih pendek daripada aku, dan saat ia mengucapkan namaku, ia berulang kali mengusap ingus yang berjatuhan dari hidungnya.

Sambil mengucapkan "Halo," diam-diam aku mencatat dalam hati akan mencekik Venus sekembalinya aku dari kencan buta ini.

***

11:23
29/03/2013
Dedicated for LP and FETS
Keep rockin' my life! :)

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire