lundi 10 mars 2014

Afternoon Like This

We're never done with killing time
Can I kill it with you? Till the sky runs red and blue
We come around here all the time
Got a lot to not do, can I kill it with you?
400 Lux - Lorde

Semua kepala menoleh padanya saat Ale memasuki kafe, berusaha memasang senyum terbaik dan wajah paling netral. Ia duduk di pojokan, di tempat yang ia dan Fabi selalu tempati. Namun ketika sepuluh menit terlewat dan meditasinya justru membuatnya kembali teringat akan Rayi, Ale bergegas ke kamar mandi, menatap lekat-lekat bayangan di cermin.

Ia tak mengenali bayangan itu sama sekali. Hidungnya merah, matanya sembab, dan rambutnya belum disisir. Persis peran utama Beranak dalam Kubur 2.

"Rayi sialan," desisnya menyumpah, mencengkeram ubin meja wastafel hingga ujung-ujung kukunya memutih.
Di hari-hari biasa saja, Ale paling ogah bawa bedak, apalagi dalam situasi kalang kabut kayak tadi. 

Terpaksa Ale menunggu sampai rona di hidungnya hilang secara natural, yang agak susah karena dia putih.
Begitu yakin dirinya lebih rapi sedikit, Ale berbalik, dan tepat saat itu ia tersungkur ke dalam dekapan lengan-lengan sigap itu. Ale diam, tak berusaha menengadah karena aroma parfum si cowok menariknya seperti magnet.

"Lo kenapa nangis?"

Fabi. Blunt dan straightforward. Tanpa menunggu jawaban Ale, cowok itu memandunya ke meja di pojok, setengah memeluknya guna menghindari cewek itu dari tatapan heran orang-orang.

"Kok, lo tau gue nangis?" tanya Ale begitu duduk, menggosok-gosok hidungnya, begitu malu sampai ia hanya berani memandang sepatu.

Alis Fabi menaik, seakan berkata serius lo? Tapi melihat keadaan Ale, dia tahu cewek itu sedang dalam tidak mood ngeguyon.

"Suara lo di telepon," akhirnya Fabi menjawab.

Ale menaikkan dagunya, menghentikan kegiatannya mengampelas hidung. Suaranya murni kaget. "Suara gue?"

"Itu suara habis nangis," jelas Fabi sok diplomatis. "Semua cewek suaranya kayak gitu kalo mewek. Nggak jelas artikulasi, nggak mengindahkan intonasi."

Jawaban yang lebih jujur dan lebih sederhana: Fabi terlalu mengenal gadis ini.

"Jadi, siapa yang bikin lo nangis? Perlu gue tendang nggak pantatnya?" Fabi mengetuk-ngetuk punggung tangan Ale.

Cerita Ale langsung tumpah ruah tanpa bisa dibendung. Mulai dari cerita Nuna dan pertanyaan cabe-cabeannya di situs ask.fm, Zara yang mengajak Nuna ke girl's day out yang diniatkan Ale hanya untuk dirinya dan Zara, piala dan kado yang dibuang ibunya, sampai yang terkini, Rayi the heartbreaker. Seperti biasa, Fabi mendengarkan, dan kalau ia protes, ia hanya menunjukkannya dari gurat wajah atau kedikan alis, dan Ale langsung memperjelas ceritanya tanpa diminta.

"Jadi..." Ale menjeda kesimpulannya dengan batuk, "gitu."

"Kasian banget lo," kata Fabi tercenung, "such a bad day for you."

"Yeah."

"Tapi gue seneng sih, lo punya masalah yang nggak bisa diselesain Rayi."

Ale berhenti menyeruput hot chocolate-nya. "Um, kenapa?"

"Soalnya lo akhirnya nyari gue," sahut Fabi ringan. "Gimana? Udah lebih lega sekarang? Kalo belom, tumpahin aja lagi. Otak itu kayak ember, Le, ada limit volumenya. Kalo kebanyakan, mending ditumpahin daripada bocor."

"Lega," aku Ale. "Rayi brengsek banget."

Fabi menaikkan bahu. "Gitu deeeh, cewek, kalo lagi sakit hati semua makhluk disalahin."

"Emang dia salah, kan?"

"Yang lebih banyak fight selama kalian berhubungan, siapa? Lo atau dia?" tembak Fabi langsung. "Gue nggak nyalahin elo sih, Le. Ya lo udah bilang sendiri, kan, kalo lo cuma mau jadi temen. Dia ngarepnya lebih. Dan lo terima-terima aja diperlakuin kayak pacar sama dia. Gue tau," Fabi buru-buru melambaikan tangan, ketika Ale menendang kakinya tak suka, "lo nggak minta itu semua. Tapi lo juga nggak nolak, kan?"

"Gue nggak ngerti..." desah Ale nelangsa, "kenapa dia bisa minta break sama gue. Okelah, katakan itu emang buat kebaikan gue sendiri, lalala yeyeye. Masalahnya, gue sama dia udah terlanjur... dalam. Batas-antara gue dan dia udah terlalu tipis."

Aturan pertama ngobrol dengan Elmira Alesa adalah: siap-siap berpikir keras, karena apa yang cewek itu maksudkan biasanya bisa tiga sampai empat kali lipat lebih bermakna ketimbang apa yang diucapkan. Pada akhirnya, Fabi cuma bisa ber-"Oh" sambil mengangguk sok paham, seperti yang dilakukannya 3/4 waktu.

"Lo udah pernah... errr, tidur sama dia?"

Wajah Ale mengkeruh dan ia mengangguk. "Tapi bukan tidur yang gimana-gimana. Tidur yang... cuma tidur. Nggak telanjang," cewek itu lantas menggeleng.

Lagi, Fabi cuma berkomentar, "Oh." Disesapnya semua teh tariks dalam satu tarikan napas, dan ketika dilihatnya Ale masih termenung mengamati minuman kemasannya dengan wajah murung, tak tercegah Fabi menghela napas.

"Oke, get up. Ayo ikut gue."

Susah payah Ale mengangkat dagunya, dan terpaksa melakukannya karena Fabi sudah terlanjur menarik pergelangan tangannya.

"Mau ke mana?" bisiknya serak.

"Ikut aja," timpal Fabi kalem tanpa membalas pandang bertanyanya. Mau tak mau Ale manut, memaksa kakinya mengikuti seretan Fabi yang agaknya kurang berperasaan. Tadinya Ale nggak protes mau dibawa ke mana ia oleh Fabi, namun keningnya berkerut saat Fabi menggeser papan pagar penghalang jalan ke gedung toko buah yang sedang dibangun ulang, yang letaknya persis di seberang kafe.

"Bi, kita mau ngapain...?"

"Masuk," komando Fabi, yang tak menuntaskan rasa penasaran Ale. Tak punya pilihan lain, Ale celingukan dan merundukkan kepalanya, nyaris merangkak masuk ke dalam, seperti kucing kebelet kencing. Fabi menyusul di belakangnya, dan langsung bangkit dan menarik tangannya lagi begitu sampai di seberang pagar.

Barulah Ale benar-benar mengamati keadaan sekitarnya. Gedung suram yang belum jadi, dindingnya masih berupa tripleks dan belum beratap. Tiang-tiang memancang, memberi calon gedung itu kerangka. Di sekelilingnya, rumput dan ilalang liar yang belum dipangkas, bercampur lumpur dan tanah yang distok untuk keperluan membangun. Rasa waswas bergemuruh dalam kepala Ale, terutama begitu Fabi mengingatkan, "Liat-liat ke bawah, ya, Le. Banyak paku soalnya."

Fabi memberi hormat dan meneriakkan, "Hoooiii! Numpang bawa temen, yaaa...!" pada kuli-kuli pengangkut yang sibuk bekerja, dan anehnya, mereka membalas Fabi dengan acungan jempol setuju, mengkonfirmasi kecurigaan Ale kalau ini bukan kali pertama Fabi "piknik" di area yang tertutup untuk umum ini.

Mereka masuk ke dalam gedung, dan Fabi membantu Ale memanjat tangga yang masih berupa kerangka, belum disemen dan masih goyang-goyang ketika kaki mereka menapakinya. Tangga yang memutar itu seakan tak ada ujungnya, dan Fabi baru berhenti berjalan begitu mereka sampai di lantai tertinggi gedung.

"Now, take a deep breath and sit down, please."

Mata Ale menyapu pemandangan di sekelilingnya, dan seketika ia tercekat. Dari ketinggian lantai tujuh, ia dapat membidik semua angle ruas jalan di daerah itu. Setiap lampu merah yang berubah kuning. Setiap petak-petak gedung yang berjajar seperti papan monopoli. Setiap mobil yang berhenti tepat di bawah rambu dilarang parkir. Setiap kesibukan dan pejalan kaki yang tak mengindahkan laju kendaraan di kanan-kiri.

Fabi bisa merasakan keterpakuan yang membekukan gadis itu, karenanya ia berinisiatif mendudukkan Ale di pinggir pembatas atap gedung. Pembatas itu cukup tinggi sehingga cukup menyamarkan mereka berdua. Untunglah begitu, karena kaus oranye manyala yang dikenakan Ale terlalu mencolok untuk diabaikan.

"Lo-lo tau dari mana tempat ini, Bi?"

"You're welcome," Fabi terkekeh, dan menyisir rambutnya yang tadi diacak-acak angin lewat, "lo kayak nggak tau gue aja, deh. Gue kan punya network yang luas." Ia memiringkan kepala ke kiri, menyipitkan mata, seakan Ale adalah bayangan kabur yang sukar ditangkap. "Gue tau lo suka berada di ketinggian. Waktu itu lo bilang, rasanya kayak terbang. Bebas. Lo selalu kepingin punya sayap, biar lo bisa mencermati tiap lapis langit. Biar lo tau komposisi bintang. Biar lo tau apa jejak kaki Neil Armstrong bener-bener masih tercetak di bulan. Biar lo tau di mana persisnya utara tempat burung-burung singgah tiap musim dingin."

"Gue nggak bilang itu...." Mata Ale memejam dan membelalak. "Itu kan Sajak Sayap Patah gue."

Fabi mengangguk, menaikkan bahu. "Waktu itu lo dateng ke gue, nangis-nangis. Lo baru diputusin Fahran. Tapi waktu itu durasi lo singkat, karena lo ngeliat burung nemplok di kabel listrik, dan lo mendadak ngerampas pulpen gue dan nulis di struk belanjaan. Jadi, deh, Sajak Sayap Patah. Titik komanya gue masih hafal, lho."

Ganti Ale yang memiringkan kepalanya ke kanan, mempelajari Fabi.

"Yah, kan gue pembaca pertamanya. Proofreader-nya." Fabi mengumpulkan oksigen banyak-banyak sebelum melepaskannya kembali. Dipungutnya sebatang pensil superpendek yang entah bagaimana, secara kebetulan, ada di dekat kakinya. Selanjutnya ia mengeluarkan dompet dan mengeluarkan struk belanjaan lain, yang selalu ia kumpulkan karena inspirasi tak terbendung bisa datang kapan saja. Disodorkannya dua benda itu pada Ale, khidmat, seakan pensil butut dan struk kusut itu adalah harta dinasti Syailendra yang baru ditemukan.

"Now, write." Fabi tersenyum. "Nulis apa aja, tentang siapa aja. Gue kenal lo, Elmira Alesa Ambrosio. If someone does horrible thing to you, you're gonna put it in your writing. That's how you operate. Literature is your weapon."

Selama sesaat, Ale speechless. Ia tak pernah meminta seseorang mendeskripsikannya, tapi semua untaian kalimat tentangnya yang keluar dari mulut Fabi terasa benar. Fabi mengenalnya, dan prospek itu membuat ulu hatinya yang tadi membeku, sedikit menghangat.

Tak menemukan hal lain untuk dilontarkan, akhirnya Ale berkomentar, "Alesa Ambrosio? Lo katarak atau rabun dekat?" guraunya, tertawa sendiri. "Gue nggak segitu semlohai, kali."

"Dari segi badan, sih, jauh. Sedotan Aqua mana bisa dibandingin sama gitar Spanyol? Tapi muka, boleh, lah. 11/13."

"Jangan sebut 13 di depan gue," kata Ale singkat tanpa mengurangi ketajaman.

"Oh, soalnya itu tanggal anniv lo dan Rayi?" Fabi tersenyum, girang.

"Yep, dan 11 itu tanggal anniv kita," tambah Ale, entah kenapa mengingat info itu.

"Wah, bener," Fabi sontak terbahak. "Happy failed anniversary, Alesa Ambrosio, badan sedotan Aqua."

Ale tak menjawab, hanya memutar mata dan mulai menggesekkan pensil ke struk belanjaan. Dibiarkannya Fabi bersiul samar, beradu dengan merdu nyanyian burung pipit yang hinggap di pohon belakang mereka. Ketika ia selesai, ia mengempaskan dirinya ke dinding pembatas, menatap Fabi.

"Coba, gue lihat kerjaan lo."

Ale tak bergerak. "Sebutin quotes yang lo suka."

"Fine," Fabi tak terlihat jengkel sama sekali. Ia menggaruk dagunya, berpikir. "Hm. This Universe is made of stories, not of atoms. Muriel Rukyard." Ia tersenyum, merenungi kata-katanya sendiri. Disenggolnya Ale yang juga berusaha mencerna dan mengingat kutipan itu. "Lo?"

"Dan Bumi hanyalah setitik debu di bawah telapak kaki kita."

"W. B. Yeast," gumam Fabi tertarik. "Terjemahannya?"

Ale mengangguk. "Lo baca Perahu Kertas juga?"

"Oh, dari novel, toh. Nggak. Gue baca di Goodreads. Everything exists, everything is true, and the earth is only a dust under our feet. Memorable. Indah."

Ale tak benar-benar mendengarkan. Persetan soal terjemahan kutipan, ia lebih menyukai bahasa Indonesia-nya. Setelah sibuk mengumpulkan keberanian, ia menggeser duduknya mendekati Fabi, dan bertanya, "Lo tau kenapa gue nulis?"

Fabi hanya menggeleng, dan balas menatapnya.

Ludah ditelan, dan Ale menjelaskan, "Untuk bersyukur. Untuk memiliki apa yang selama ini nggak gue punya. Untuk mencecap keabadian." Ia menghela napas panjang-panjang sebagai jeda, dan melanjutkan, "Literatur itu pelarian. Literatur itu penolakan. Literatur itu kejujuran di balik kebohongan, dan cuma orang-orang yang kepada siapa karya itu ditujukan yang akan mengerti."

Duh, kalimat ribet lagi, Fabi menggerundel dalam hati, tapi tetap menyimak.

"Gue pernah denger kutipan gini, 'Tugas utama seorang penulis itu bikin susah hidup karakternya.' Dan itu bener. Kalo gue lagi susah, gue bakal bikin karakter gue lebih susah dari gue. Kejam, ya?"

"Nggak juga," bantah Fabi, "itu arty. Pembalasan dendam paling berseni."

Ale tak menggubrisnya, hanya terus mencerocos. "Gue tahu cara main semesta. Semesta itu bukan pabrik pengabul permohonan. Bukan cuma doa kita yang ngantre buat dikabulkan Tuhan." Ia menggeleng kalut, tapi senyum muncul di wajahnya. "So I write. To make my dreams come true, bahkan walau tanpa berdoa."

Senyum itu tak lepas dari wajah Ale, terus melekat tanpa ia tahu siapa yang disenyuminya. Mungkin burung-burung yang terus berkicau rewel di belakangnya. Mungkin udara yang menjaganya tetap merasa bebas. Mungkin langit hari Sabtu yang mulai merona jingga. Mungkin juga Rayi, yang tak sabar ia lihat reaksinya begitu ia mem-publish tulisan di struk belanjaan itu di blognya.

"Mau balik ke kafe?" tanya Fabi lunak, membuyarkan lamunan Ale. "No offense, kayaknya lo butuh lebih banyak struk. Atau buku tulis, sekalian."

"No problemo," balas Ale, merasa lebih kuat dan utuh dari sebelumnya. "Lo nggak ada acara kan, malam ini?"

Fabi menyusulnya bangkit, menggeleng. "Nggak, kenapa?"

"Gue mau nulis, sepanjang malam ini, dan gue nggak mau sendirian." Ia cekikikan sendiri. "Tapi kalo lo mau pulang, nggak pa-pa. Yang gue butuhin saat ini cuma hot chocolate dan hama buat ganggu, kalau sewaktu-waktu gue keinget Rayi. Atau nyokap. Atau Nuna dan Zara."

"Hama. Lumayan. Terakhir kali gue nemenin lo, lo sebut gue laler. Lumayan, kasta gue naik. I feel honored." Fabi tak lagi menahan cengiran. "Yuk, balik."

Diserahkannya tangan kepada Ale, yang menyambut uluran itu sukarela. Dibiarkannya Fabi menuntunnya ke bawah, memandunya, menyeberangkannya. Masih banyak siang-siang yang akan mereka lewatkan. Masih banyak jam-jam yang akan mereka isi, dan kalau mereka sempat, mungkin mereka akan bicara soal perasaan.

***

10/3/2014, 2:39 pm.

For FN, my coach, my leader, my dream partner.

Karena satu hari bersama kamu adalah mimpi yang tak ada usainya.
Karena satu hari bersama kamu membuatku mencecap keabadian.
Karena satu hari bersama kamu, dan Bumi hanyalah setitik debu di bawah telapak kaki kita.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire