lundi 24 mars 2014

Happy Ending itu Nyata

Topik bahasan kita malam ini dimulai dari percakapan kamar gue dan adek, yang kira-kira jalannya kayak gini:

Gue: Ja, tau nggak, kenapa dulu gue ikut segala macem les?
Reza: Hmm? *gigit roti*
Gue: Tau nggak?
Reza: Nggnyaakkk *sambil ngunyah*
Gue: Soalnya gue kepingin move on.
Reza: Ketebak banget. *ngunyah sebentar* Orang mager kayak lo mana mau ngeles kalo nggak terpaksa.
Gue: ....

And our conversation was overheard by my dad. Dan yah, lo tahu lah apa yang selanjutnya terjadi. Gue diinterogasi. Pasalnya, dulu gue bilang gue mau stop ILP. Mau fokus ke pelajaran. And lately I changed my mind. Udah mau tiga tahun gue kursus di ILP. Ogah amat gue DO tanpa ijazah. Lagian "tinggal" lima level kok. "Tinggal" sepuluh bulan.

Long we talked, akhirnya bokap pun berujung pada satu kesimpulan. (Yang mungkin memang benar, mengingat Baginda kadang lebih kenal gue ketimbang gue kenal diri gue sendiri). Gue mau lanjut ILP soalnya baru putus. Salah, diputusin. By a guy who claimed that his future was me.

*brb nyedot ingus*

I loved him, he loved me. Tapi mungkin emang not meant to be. Yah, mau dibilang apa. Di sini gue ceweknya. Gue cuma bisa bilang "okay" atau "no" kan? Hanya bisa konfirmasi. Semua keputusan dia yang buat. Call me passive, tapi gue suka didominasi cowok. Gue suka merasa bisa rely on them. Aneh, nggak?

Yah, pokoknya gitu. Abis gue cerita panjang-lebar, bokap melihat gue, lama, with the kind of stare yang bikin gue merasa ditelanjangi. Di hadapan dia, gue nude. Genuine. Nggak ada kepura-puraan. Gue nangis.

And he patted me on my shoulder and said, "Kamu tuh kayak ayah. Justru semangat waktu lagi jatuh sejatuh-jatuhnya. Giliran seneng jadi males. Lupa diri."

...

Bener, kan? Dia lebih kenal gue.

Bokap nyetujuin gue lanjut ILP karena dia yang paling support segala kegiatan perkursusan gue dan paling ngamuk kalo gue bolos. Hm, ya sudahlah. Intinya hari Rabu I'll back to October. Salah. Back to ILP.

Beberapa hari yang lalu, ada yang nge-ask gue di ask.fm, gue jenis orang yang takut memulai hal baru atau nggak? And I said, no. Gue nggak takut memulai hal baru karena ketakutan gue terletak di mengakhiri hal-hal yang sudah gue mulai itu.

Seriously. I'm always afraid to put an end to something I've started and taken years to develop. Gue takut ada yang hilang. Takut ngerasa dikoyak oleh keputusan gue sendiri, kayak bumerang. Mungkin prospek ini yang ngejelasin kenapa gue selalu takut mutusin orang, muahahaha. Duh. Maaf baper.

Pikiran gue, there's no thing such as happy ending. Logikanya deh, if it makes you happy, why should it end? Yah, tapi pemikiran itu terpental waktu gue nonton film Now You See Me. Ada suatu line yang gue hafal. Bukan quotes, tapi cukup membuka mata.

"Just like every good things that must come to an end..."

Cuma itu yang gue tangkap. See the remark? Every good things must come to an end. Dan ending itu nggak mengubah title mereka jadi bad things, kan? Sama aja kayak mantra favorit gue. You can't be happy unless you let yourself unhappy sometimes.

Sadar atau nggak sadar, segala hal pasti ada akhirnya. Yang buruk atau indah. Terpaksa atau sukarela. Just because it ends, doesn't mean it's not beautiful. Sometimes things end karena... yah, sudah waktu mereka buat expired dan digantikan sama hal yang lebih baru dan lebih bikin lo bahagia. Mungkin lo nggak tau. Tapi di sini yang pegang naskahnya Tuhan, kan? Lo cuma perlu nyiapin diri dan maju saat Dia bilang, "Action!"

Ada banyak quotes tentang hal ini. Life is like ice cream, enjoy it before it melts. You only live once. Sekarang gue mikir... titik berat dari kata-kata mutiara barusan nggak terletak di kata "hidup".

Gue baru sadar, sedikit terlambat, kalau kebahagiaan itu bisa kadaluwarsa.

Gue baru sadar, kalau Disney got it right. Happy ending itu nyata.

...

back to All Too Well

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire