dimanche 8 juillet 2012

If Tomorrow Never Comes Part 1

You're just the one that I've been waiting for
I'll give you all I have to give and more
But don't let me fall
Lenka - Don't Let Me Fall


"Kau ini gimana, sih?! Katanya leader, masa bangun jam tujuh saja nggak bisa!"

"Lalu apa maumu? Kita semua sudah telat! Kalau mau ngomel, mengomel saja ke bekerku yang rusak!"

"Sumpah, Nathan, itu alasan terusang yang pernah kudengar."

"Kau tahu bagaimana cara memperbaiki semua ini?"

"Apa?"

"Belikan aku beker baru!"

*****

Aku menguap, lalu meraba-raba sekeliling untuk mendapatkan selimutku kembali. Kucoba menghalau keberisikan itu dengan menyusupkan kepala ke balik bantal, tapi percuma saja. Aku paling tidak bisa tidur lagi kalau sudah terbangun.

Maka aku menegakkan diri, lalu meraih gelas dan meneguk air putih, dan memandang sekeliling. Segera saja aku mengetahui siapa yang teriak-teriak tadi. Blue dan Nathan, seperti biasa.

Nathan masih memakai piama dengan rambut acak-acakan dan bibir kering; tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya yang sejenak terlihat tenang. Di hadapannya, sungguh berlawanan dengan kondisinya, Blue sudah rapi dengan sweter putih bergaris-garis kuning gading dan jeans coklat, rambutnya yang terikat disampirkan ke kanan.

"Hai, ada apa ini?" tanyaku, bangkit dari tempat tidur. Di sebelahku, Reckie mendesah aneh dan kembali bergelung di balik selimut.

"Kita terlambat untuk latihan!" Blue menggonggong gusar. "Dan ini semua karena Nathan."

Kutatap mereka berdua, lalu menggelengkan kepala. Dua orang ini benar-benar...

"Hei, kurasa kita bisa sama-sama sepakat bahwa beradu teriak tidak akan menyelesaikan masalah, bukan?" Aku mencebikkan bibir dan meraih ponselku di atas meja, lalu menekan nomor Greg, manager resmi Bluish.

"Kau, bicarakan ini dengan Greg. Ampun deh, masalah kayak gini aja dibesar-besarkan," aku mendecak.

Nathan mendengus, tapi tak mengatakan apapun. Ditempelkannya telepon genggamku di telinganya. Blue mengangkat tangan dan mendelik jengkel, kemudian mendudukkan dirinya dengan kasar di tempat tidurku.

"Ya, Greg, ini aku, Nathan.... Kurasa kami akan agak terlambat latihan, bisa kaukatakan itu pada Jenkins? Oh, ya, baik. Penari latar sudah sampai?" Nathan memijat kening. "Hmm, ya, baik.... Tidak juga, tidak, tenang saja. Oh, Greg, jangan mendramatisir, deh, Aldwych ke Victoria tidak terlalu jauh, kok.... Baik, ya. Oke, lima belas menit lagi...."

Percakapan itu terhenti dan Nathan mematikan iPhone-ku, lalu melemparkannya. Dengan sigap aku menangkapnya.

"Lima belas menit dan kita harus sudah sampai," celetuk Nathan tajam, lalu sambil menatap Blue sengit, ia masuk ke kamar mandi.

Aku menatap Blue yang nyaris meledak.

"Sudahlah, kau kan tahu betul siapa dia."

Alih-alih menjawab, Blue bangkit dan keluar kamar hotelku. Aku hanya mengedikkan bahu. Kalau boleh jujur, aku juga nggak menyalahkan Nathan, sih. Sebagai leader, ia memiliki begitu banyak beban yang harus ditanggungnya sendirian. Belum lagi ia adalah dedengkot pencipta lagu kami. Bluish tanpa Nathan sama saja seperti Krusty Krab tanpa Spongebob.

Setelah segala tetek bengek ini selesai, dengan murah hati kusopiri mereka ke Victoria, salah satu distrik di Westminster. Nathan duduk di seat depan Limousine bersamaku, sedangkan Geneva, Blue, dan Reckie duduk di belakang. Kami nyaris sampai tepat waktu. Nyaris.

"Yang tadi itu 16 menit dan 47 detik! KALIAN TERLAMBAT!" Greg mendengking, langsung menghakimi kami saat itu juga. 

"Oh, sudahlah, Greg, aku sudah capek diteriaki terus," Nathan mengeluh, langsung duduk di sampingku.

"Memang itu yang pantas kaudapatkan, Mr Mountain," Blue dan Greg berujar bersamaan. Blue mengernyit, namun Greg menatapnya penuh hormat.

Greg langsung mengeluarkan map dari dalam tasnya, lalu memberikan kami selembar schedule. Nathan cuma manggut-manggut dengan wajah letih lalu membubuhkan tanda tangannya di kontrak sebagai final touch. Dengan begini, resmi sudah Blue Sky Europe Tour kami dimulai.

"Jadi, kalau begini, kami bisa langsung latihan?" celetuk Geneva.

"Ya, ya, tentu saja. Ruang latihannya ada di sebelah..."

"Kiri," aku mengangguk, "aku sudah hafal betul gedung ini."

"Oke, oke, ayo kita pergi," Blue mendorong punggungku yang berdiri di depannya. Aku cuma nyengir mengikuti kemauannya.

Kautahu, sejak aku menceritakan segala hal yang berkaitan dengan Samantha Ross, segalanya jauh membaik. Tidak ada lagi orang yang memaksaku untuk berfoto dan ikut sesi handsigning atau apa. Yah, walau Blue dan yang lain terus mendesakku untuk move on, aku tak pernah menjanjikannya. Misi lainku untuk sekarang ini adalah mencintai Rose hingga nafasku yang paling terakhir.

Oh, ya, dan entah kenapa, Blue dan aku jadi agak dekat akhir-akhir ini. Dan karena kedekatan itulah, aku juga tahu kalau sebenarnya ia sudah lama menyimpan perasaan terhadap Nathan. Aku tak bisa menerawang apa yang ada dalam pikiran Nathan, tapi... kurasa ia juga merasakan hal yang sama.

Reckie membuka pintu dan satu per satu, kami masuk. Ruangan itu sungguh sangat cerah, dengan sinar matahari menembus jendela yang terbuka, membuat angin menerbangkan gorden linen dengan gerakan indah. Bukan hanya kami yang akan latihan di ruangan ini.

Kira-kira sepuluh orang gadis-gadis berwajah cantik dengan tubuh "wow" sedang melakukan gerakan tari yang mirip balet, tapi mereka lincah seperti cheers. Aku tak tahu tari apa itu, tapi yang pasti, kurasakan mataku tak berkedip melihatnya, begitu juga Reckie dan Nathan.

"Hei, hei, kalian!" Blue menghentakkan kakinya dengan jengkel.

Mendengar teriakan Blue, gadis-gadis itu berhenti menari, dan membalikkan tubuhnya, menatap kami. Warna rambut dan warna mata mereka berbeda, begitu juga tinggi tubuh mereka. Tapi yang jelas, aura mereka begitu menguar.

"Bro, yang berambut hitam itu sepertinya menjerit melihatmu," Reckie menyikutku.

Aku menyipitkan mata, lalu diam-diam mengutuk diri sendiri karena lupa memakai contact lens. Salah seorang penari berambut hitam lurus datang menghampiriku. Mendadak, aku seolah mencium aroma musim gugur di udara.

"David! Astaga, kita bertemu lagi!"

Duniaku terguncang ketika melihat Autumn Bennett tersenyum dan memelukku. Singkat, namun hangat.

Aku mencoba mengucapkan sesuatu, tapi lidahku terasa kaku untuk digerakkan.

"Halo, Autumn. Apa kabar?" tanyaku, tersenyum.

"Baik, tentu saja baik. Tapi kurasa aku bisa kena serangan jantung saking kagetnya. Maksudku, ini pertama kali aku diajak bergabung dalam sebuah konser, tapi aku tak pernah diberitahu Mr Jenkins kalau band yang akan konser itu adalah Bluish!" ia mencerocos, dengan suara sengau namun merdu. Aksen Prancis-nya memang tak pernah berubah, tapi itu kian membuatnya seksi.

"Well, aku juga senang, gadis-gadis secantik kalian berkorespondensi dalam konser kami. Ini akan sangat... menyenangkan," celetuk Nathan.

Autumn langsung sadar bahwa aku bukan satu-satunya dari Bluish yang ada di ruangan ini. Ia langsung berbalik menatap yang lain.

"Oh, dan kalian! Ya ampun..." wajahnya memerah sedikit, lalu dengan cepat ia kembali mendapatkan confidence-nya. "Halo, semua. Namaku Autumn Bennett."

"Oh!" pekik Geneva. "Oh!" Aku langsung menginjak kakinya, berharap ia tutup mulut.

"Je m'appelle Geneva Colbert. Enchantee," ujarnya dengan percaya diri, mengulurkan tangan pada Autumn.

"Enchantee," balas Autumn sopan. "Vous parlez francais? Je suis Francaise!"

Aku menghela nafas, lega.

"Oh, ya, tentu saja. Aku mengambil kelas Bahasa Prancis di sekolah," tukas Geneva, lalu melirik Blue.

"Halo, aku Blue Gill dan aku tak bisa Bahasa Prancis," Blue mengulurkan tangan pada Autumn, dan Autumn tetap tersenyum, seperti biasa. Ia memiliki banyak stok senyum.

"American tongue! Aku bisa mendeteksinya," ia mengangguk superrior. French-mode-on sekali.

"Hai, aku Reckie Reek. Kalau kau tidak tahu aku, aku ini..."

"Bassis?" sambutnya. "Aku sudah tahu. Oh Tuhan, aku fans-mu! Dan kau pastilah Jonathan Mountain."

Nathan, yang tersenyum seolah-olah pertengkarannya dengan Blue tadi tak pernah ada, langsung menjabat tangan Autumn dan memamerkan senyum khasnya. Prince Charming's smile style-nya.

"Errr, begini, mungkin akan sangat menyenangkan kalau kita bisa mengobrol, tapi sungguh, kami harus latihan. Dan kurasa kau juga sibuk. Jadi..." aku memulai.

Autumn menggeleng dan mundur, memohon diri.

"Oh, tidak, tidak. Tentu saja kalian harus latihan, dan kurasa aku juga. Senang bertemu dengan kalian. Life is full of surprise, isn't it?" senyuman mengembang di wajahnya yang putih pucat, dan kemudian ia mendekat untuk mencium pipiku. "Enchantee, David. Kuharap kita bisa mengobrol kapan-kapan."

"Masih banyak waktu untuk itu," aku berkata kalem, memasukkan tanganku di saku. Autumn hanya mengangguk sesaat, walau terlihat agak kecewa, sebelum akhirnya kembali bergabung dengan kelompoknya.

*****

"Aku tak mengerti dengan jalan pikiranmu, sumpah. Cewek tadi jelas-jelas hot dan ia jelas-jelas tertarik padamu, dan kau jelas-jelas menolaknya tanpa sebab yang jelas."

Aku memutar mata, berusaha mengabaikan terjangan dari Reckie. Kalau aku mendebatnya, ia bisa mengoceh selama dua jam tanpa berhenti. Okelah, Reckie memang bukan ahli Matematika, tapi Alexa pernah berargumen kalau Reckie "born as flirtatious". Dan soal gini sih, dia memang jagonya.

"Man, cewek Prancis itu terkenal akan keblak-blakannya. Buat mereka, nothing to loose. Nggak semua cewek seperti itu, dan sisi mereka yang paling menyebalkan adalah tingkah mereka yang lebih rumit dari partikel Tuhan."

"Hei!" Blue dan Geneva menyalak serempak. "Kami tidak begitu!"

Aku hanya mengedikkan bahu, lalu menyerahkan kunci mobil ke Nathan.

"Dengar, aku tahu kalian excited karena gadis kecil yang baru-baru ini kuceritakan pada kalian benar-benar bertemu kalian dan ia telah tumbuh menjadi wanita muda yang... kalian tahu apa. Tapi ini semua salah. Kalian terus menyerukan agar aku tidak terus hidup di masa lalu, tapi bagaimana bisa aku melepaskan diri darinya bila kalian terus membicarakan seseorang yang berkaitan erat dengan masa laluku?"

Ini pertama kalinya aku mengeluarkan suara seriusku di depan mereka. Okelah, mungkin ini bukan pertama kali, tapi rasanya sudah lama sekali aku tak mengkomplain dengan segusar ini.

"Dan kita di sini untuk menyelesaikan pekerjaan, bukan begitu?" aku melunak. "Kalau kalian memutar arah tujuan kita, lebih baik jangan aku yang nyetir, deh. Aku kembali ke hotel saja."

Aku sudah berbalik dengan penat, tapi sebelum itu, kurasakan tangan dingin Blue menempel di bahuku.

"Hei, maafkan kami," ia langsung mengedikkan bahu. "Aku tahu aku salah. David benar. Kita ada di sini untuk pekerjaan."

*****

Hari ini rasanya berat sekali, dan ini semua gara-gara Nathan. Aku paling benci saat-saat berdebat dengannya. Aku tahu sebagai cewek, mungkin aku berlebihan atau sensitif atau pemarah, tapi harusnya Nathan lebih mengerti kek, gitu.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire