dimanche 15 juillet 2012

Oh, Hazel Part 1

Halooo, semuaaa, apa kabar?! Berjumpa kembali dengan saya Esa Khairina hihi. Nggak tau kenapa saya jadi kepingin nulis cerpen yang lebih "dark" dan lebih mellow *efek galau berminggu-minggu*. Enjoy this story muahahahahaha *ketawa jahat*. Short story with rare dialogue.

WARNING! THIS IS FOR 13+! Jauhi anak Anda yang masih kecil!

*****************************************************

Sebelum membaca kisah ini, kuperingatkan kau, mungkin kau akan terdiam dan tercenung, lalu berpikir, "Bagaimana mungkin hikayat seperti ini baru diberitahukan pada dunia berabad-abad setelahnya?" Ada alasan yang bagus mengenai hal itu, dan hal itu adalah: perang.

Perang merampas segalanya. Perang yang meluluhlantakkan Bumi dan lautan menjadi keping rekahan. Perang yang mengobarkan jerit dan makian, juga air mata mereka yang ditinggal mati orang-orang yang dicintainya. Dan, karena perang pula, aku memutuskan untuk menyebarkan kisah ini bertahun-tahun silam.

Kisah ini bermula di suatu tempat nun jauh di Inggris, di kota terpencil di Derbyshire, pada 1821. Yeah, kautahu mengapa aku baru mengenalkanmu pada cerita ini sekarang, bukan? Di masa itu, Charles Dickens baru saja menulis kerangka Oliver Twist dan Prancis sedang bersedih atas kematian Bonaparte. Dan aku tak mau menambahkan kesedihan mereka yang traumatis akibat melihat orangtuanya diculik atau mendengar letup senjata. Saat-saat di mana kedamaian adalah hal yang langka, sekaligus sangat didambakan.

Tapi berbeda dari keluarga lain yang hidup dalam kesusahan, keluarga Tristan Clayworth tak pernah kekurangan makanan. Mereka hidup nyaman di sebuah rumah bergaya Victoria di Derbyshire. Sebagai seorang dokter, Tristan dibutuhkan orang banyak dan bangga bisa menolong orang. Hidupnya bahagia, jauh lebih mencecap kebahagiaan daripada pria-pria malang yang menjadi militer di masa itu. Apalagi, ia memiliki seorang istri paling jelita sedaratan Inggris.

Nama wanita jelita dan beruntung itu adalah Elizabeth Clayworth, walau Tristan kerap memanggilnya "Eliza" di saat-saat berdua mereka. Dengan kulit putih dan mata hijau dan bibir merekah merah dan rambut kemerahan yang bergelombang hingga siku, jelas tak perlu ditanyakan kenapa Tristan begitu mencintai wanita ini. Tristan, sementara itu, juga mampu mengimbangi kecantikan istrinya. Tristan sangat gagah di usia 21 tahunnya, dengan rambut pirang dan mata biru yang tajam. Tubuhnya tinggi dan kekar, dan itulah poin utama yang menyebabkan Inggris menjadi begitu basah oleh air mata para gadis begitu tahu Tristan menikahi Elizabeth.

Hidup Tristan dan Elizabeth sudah sangat lengkap, dan Tuhan melengkapi kelengkapan itu dengan menghadirkan seorang bayi laki-laki tampan yang mewarisi rambut ayahnya dan mata ibunya. Andrew namanya. Selain berlimpah kasih sayang orangtua dan harta, ada satu lagi teman Andrew.

Hazel namanya. Seorang gadis sembilan belas tahun yang amat kikuk yang diselamatkan Tristan dari badai salju saat ia melakukan ekspedisi ke suatu tempat yang sekarang kita kenal dengan Atlanta. Berbeda dari keluarga Clayworth, rambut Hazel berwarna madu sesiku dengan poni pendek di dahi. Ketika sadar setelah koma enam minggu, tak ada yang diingat Hazel tentang dirinya. Yang ia tahu adalah, ia ditolong seorang malaikat tampan Tristan Clayworth.

Dan karena bola matanya yang indah sewarna hazel, maka Tristan menamainya dengan nama buah itu. Dan tanpa nama belakang, karena Tristan tak tahu dari mana asalnya. Setiap hari Tristan merawatnya, dan selalu hadir saat Hazel membuka mata, yang, membuatnya berharap saat ia membuka mata, Tristan sedang tidur di sampingnya.

Oh, ya, tentu saja. Tebakanmu benar, kawan. Tentu saja seperti cerita-cerita lainnya, Hazel pun jatuh cinta pada Tristan.

Ia jatuh cinta pada cara Tristan bicara. Ia jatuh cinta pada cara Tristan memandangnya.

The way you walk, way you talk, way you say my name; it's beautiful, wonderful, don't you ever change.

Tapi tentu saja Tristan berubah. Segalanya berubah pada hari itu, hari ketika Tristan memberitahunya bahwa ia jatuh cinta pada Elizabeth Leatherby, putri seorang dokter senior itu. Tentu saja Hazel tahu, dan cukup tahu diri, bahwa sebagai pembantu, ia bukan apa-apa dibanding Elizabeth. Tak peduli seberapa banyak orang yang mengatakan bahwa ia begitu mirip dengan Elizabeth. Tidak, ia sama sekali tak bisa mengimbangi kesempurnaan Tristan Clayworth.

Maka alih-alih menangis di pojokan atau ber-shower guna menghilangkan kegalauan(?), Hazel berdiri tegak sebagai bridesmaid untuk Elizabeth, dan sebisa mungkin menahan diri untuk membayangkan dirinya-lah yang dicium dan digenggam tangannya oleh Tristan di depan altar. 

Hati Hazel remuk, tentu saja, tapi sekuat apapun ia berusaha, retakan di hatinya tak cukup kuat untuk membuatnya membenci Tristan Clayworth, atau bahkan Elizabeth Leat- maksudku Clayworth. Hazel tahu bahwa ia menyukai siapapun yang bisa membuat Tristan bahagia. Walau ia menghabiskan malam-malam dengan susah payah menahan tangis melihat Elizabeth dan Tristan berciuman atau berpelukan, ia selalu suka melihat senyum yang tercetak di wajah Tristan. Yah, walau ia lebih suka melihat Tristan bahagia jika bersamanya.

Yah, jadi begitulah hari-hari yang dihabiskan keluarga Clayworth. Aman, damai, nyaris tanpa huru-hara. Hingga suatu Jumat kelabu di bulan Desember yang dingin, saat itu tiba.

Elizabeth yang sedang bermain dengan Andrew mendadak mendengar suara letup senjata di luar, dan ia langsung mengintip lewat jendela. Jantungnya langsung berdebum keras saat melihat pasukan sekutu berdiri di ambang jendela dan langsung menembaki rumah mereka. Elizabeth segera berlari, membawa Andrew, namun sayangnya, nasib tak berpihak padanya.

"ANDREW! MENANGISLAH, ANDREW! TRISTAAAAAAAN!"

Kemudian jerit itu bertambah panjang saat Elizabeth yang malang diseret ke luar untuk menaiki mobil sandera. Para tentara sekutu menembaki seluruh rumah hingga habis, dan akhirnya menemukan Tristan yang sedang bekerja di kamarnya yang kedap suara.

"Di sini kau rupanya..."

Tristan tersentak, namun terlalu terlambat untuk menyadari pengepungan rumahnya. Segera ia meneriakkan nama Elizabeth, agar wanita itu melarikan diri, namun terbahaklah tawa kemenangan orang-orang itu.

"Tristan, kau ini benar-benar naif. Cerdas, namun naif. Sudah terlambat untuk memanggil istrimu yang cantik itu. Dia mungkin sedang dalam perjalanan ke alam baka...."

"ELIZABETH!"

Namun percuma saja sebenarnya. Tak ada lagi Elizabeth di rumah itu. Lutut Tristan melemah, dan sebelum melakukan perlawanan apapun, para tentara langsung menembaknya, di kaki dan di dada.

Tristan ambruk ke tanah, kepalanya membentur lantai hingga darah mengalir keluar. Para tentara sekutu mendengus dan keluar dari kamar itu, lalu mulai menembakkan pelurunya membabi buta untuk memastikan tak ada lagi kehidupan yang tersisa.

Kemudian mereka keluar dari rumah, tanpa menyadari bahwa masih ada satu orang yang mampu bangkit dari semua kekacauan itu.

*****

Tristan... Andrew...

Pikiran itu berkecamuk dalam kepala Hazel. Ia melangkah dengan hati-hati di antara reruntuhan, berharap agar langkahnya tak sampai didengar oleh makhluk hidup mana pun. Beruntung, saat penyerangan itu berlangsung, ia sedang memasak di dapur, tempat terdekat dengan ruangan bawah tanah yang memang berfungsi menjadi tempat perlindungan saat perang.

"Tristan..." Hazel terengah-engah dan langsung berlutut di samping majikannya begitu melihat Tristan dalam keadaan tak berdaya. Ia langsung menempelkan kepalanya di atas dada Tristan.

Ia... jantungnya masih berdetak!

Tak tahu harus bagaimana, Hazel mengobrak-abrik laci penyimpanan Tristan, lalu mengambil semua obat yang ia dapatkan. Dengan berbekal sumpit aneh dari besi, Hazel mengeluarkan peluru dari kaki dan dada Tristan, lalu menyeret kereta dorong yang sering ia lihat membawa pasien di atasnya. Dengan susah payah diangkatnya tubuh Tristan ke atas kereta, kemudian didorongnya kereta itu ke ruang bawah tanah.

Tak tahu lagi apa yang bisa ia lakukan, dilepaskannya apron yang ia pakai sebagai selimut, lalu ia keluar untuk mencari Andrew. Mata Hazel terbelalak begitu menemukan anak malang itu tergeletak tak bergerak di bawah reruntuhan.

"Andrew..." bisiknya pedih. "Oh, Andrew.... Jangan mati, kumohon. Oh, Tuhan...."

Diperiksanya detak jantung Andrew, sama seperti ia memeriksa detak jantung Tristan, namun dada kecil yang rapuh itu tak bergerak, tak berdetak. Tangan mungil Andrew terasa dingin dan kaku, dan wajahnya mulai membiru.

"Tidak, Andrew..."

Maka menangislah Hazel yang malang, menyadari bahwa seluruh hidupnya telah direnggut oleh perang. Tertatih-tatih dalam cuaca menggigil, ia mengambil cangkul di gudang perkakas, lalu mulai menggali segunduk tanah di belakang halaman. Dengan penuh cinta dan air mata (sumpah ye, gue lebai sangat), dikuburkannya Andrew, dengan ranting kayu kering sebagai nisan yang rapuh.

Dibiarkannya dirinya menangis, untuk yang terakhir kali, sebelum akhirnya Hazel bangkit dan melempar cangkul itu dengan asal.

Hazel menghapus air mata dengan punggung tangannya. Sekeras dan semenakutkan apapun hidup, ia punya satu keyakinan. Ia yakin bahwa ini hanyalah awal.

*****

Sementara Tristan terus tak sadarkan diri di ruangan bawah tanah, Hazel mulai merambah Desember kelabu yang bersalju untuk mendapatkan pertolongan. Untuk menolong Tristan, tentu saja. Walau ia nyaris mati sendiri jadinya.

Lututnya menggoyah dan perutnya keroncongan, tapi di setiap helaan nafas yang berembun, hanya nama Tristan yang Hazel sebut. Ia harus tetap jalan. Ia harus mendapatkan pertolongan untuk Tristan. Namun itu sangat sulit. Inggris membara di luar sana, membalas pesawat tempur yang menjatuhkan bom dengan senapan angin. Akibatnya? Lebih banyak korban dari yang seharusnya. Inilah yang disebut perang. Nyaris tak ada yang disebut akhir yang sesungguhnya.

Dan akhirnya, pada Christmas Eve-lah pertolongan itu didapatkannya. Hazel yang nyaris seperti gelandangan, terjatuh di depan sebuah rumah sosial. Sang pemilik rumah sosial yang melihatnya langsung membawanya masuk ke rumah, memberinya makan dan selimut.

"Ini semua bukan yang kubutuhkan!" tandas Hazel, walau merasa kepalanya berkunang-kunang. "Orang yang kusayangi sedang sekarat di rumah, dan dia bisa mati! Aku harus menolongnya, kumohon bantu aku...."

Dan si pemilik rumah sosial yang baik hati pun mengabulkannya. Bersama seorang dokter, diikutinya Hazel hingga ke reruntuhan rumah mereka di Derbyshire, lalu diangkutnya Tristan yang nafasnya mulai pendek kembali ke rumah sosial. Hazel bernafas lega, tapi tak bisa selega itu.

"Mr Claysworth menderita infeksi. Akibat peluru itu. Dan kedua kakinya lumpuh total mulai sekarang."

Menangislah Hazel yang malang akan nasib yang harus diterima tuannya. Ia menangis di sebelah ranjang Tristan hingga tertidur, lalu mulai mengurusi keperluannya begitu bangun, dan pergi membantu si pemilik panti sosial. Begitu seterusnya. Hingga pada pertengahan Februari, Tristan akhirnya tersadar.

"Tristan! Oh, astaga..." Hazel berbisik penuh sukacita, lalu mulai menciumi tangan Tristan yang masih lemah. Begitu bersyukur hingga ia menangis.

"Eli... Elizabeth...."

Keriaan sementara itu terhenti, dan Hazel hanya bisa menatap kosong Tristan yang tersenyum begitu lembut, senyum yang begitu berbeda dengan yang selama ini ia berikan pada Hazel. Kemudian Tristan mengangkat tangannya yang bergetar, mengelus pipi Hazel, dan menyeka air matanya.

"Jangan menangis, Eliza-ku."


-Part 1 END-
15/7/2012, 12:17 pm.
Dedicated for Fadel Andrea Lazuardi.
Sukses dan longlast terus yaa sama Jenna!
\^^/

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire