mardi 19 juillet 2011

Tokyo Behind the Snow part 1 :D

     Gadis itu berdiri di depan gerbang dengan pashmina melilit lehernya. Ia menenteng tas jinjing putih dengan pita dan berulang kali ia menggosok-gosokkan telapak tangannya yang tidak berlapiskan sarung tangan. Rambutnya hitam bergelombang, sejengkal melewati bahu. Alisnya tebal, hidungnya mancung, dan bibirnya penuh.
     Satu hal yang menarik dari gadis itu adalah matanya. Nggak seperti kebanyakan orang Jepang yang bermata sipit, mata gadis itu lebar, persis kelopak bunga matahari yang mekar di musim semi. Berulang kali kuperhatikan, ia terus melirik arlojinya dengan cemas. Mungkin, menunggu seseorang?
     Ah, tapi toh itu bukan urusanku. Sambil menggeleng, aku masuk ke dalam gerbang dari sisi yang berjauhan dengan si mata besar supaya dia tidak menyadari kalau sedari tadi aku tak bisa melepaskan mataku darinya. Aku merapatkan jaket dan menghembuskan nafas, yang langsung menjelma menjadi uap di dinginnya suhu musim dingin di Tokyo. Sialan, kenapa aku sampai lupa bawa pashmina ekstra?
     "Hei, Kenichi!" teriak seseorang sambil menepuk bahuku.
     Aku mengedikkan kepala dengan jengkel. Ishikawa Riku, sang ketua OSIS. Ia berdiri di belakangku dengan tangan kanan dimasukkan ke saku jaket dan tangan kiri memegang bola basket.
     "Pagi-pagi sudah melamun! Tangkap ini, sobat!" seru Riku rese, melemparkan bola basket ke tanganku. Dengan gesit aku menangkapnya, kemudian sambil memutar mata, aku melepaskannya lagi.
     "Hei, hei, ada apa dengan sang kapten?" sambar Riku, mengejarku yang mulai masuk ke koridor kelas.
     "Tidak ada apa-apa, Riku, aku hanya capek. PR Matematikamu mana? Ada yang belum selesai kukerjakan," tukasku enggan.
     "Aaah, aku tahu..." Riku mengabaikan taktik pengalihan perhatian yang barusan, kemudian berjalan sejajar denganku, "pasti karena dia, kan? Suzuki?"
     Aku mendecakkan lidah dengan jengkel. "Tidak ada hubungannya dengan Marika. Lagi pula, kenapa sih kau ini, tiap kali ada kesempatan untuk menyebut nama Marika, kau melakukannya. Jangan-jangan kau menyukainya?"
     "Jangan marah, sobat. Cewekmu itu memang cantik, tapi dia bukan tipeku," Riku menggeleng serius, kemudian merangkulku, "lagi pula, bukankah sudah bisa dipastikan kau yang akan mengencaninya?"
     "Entahlah," aku menggaruk rambut, "maksudku, dia tidak terlalu suka sejak aku mulai sibuk dengan latihan. Dasar manja."
     Riku terkekeh. "Bukankah memang begitu sifat dasar cewek? Manja, maunya apa-apa yang mereka inginkan segera terpenuhi, maksudku.... Hai, Harada."
     Aku tak bisa menahan diri untuk mendengus. Riku bodoh. Dia kadang berargumen soal cinta panjang-kali-lebar-sama-dengan-tinggi, tapi dia sendiri paling mudah dijatuhkan oleh wanita. Tapi kalau Harada Sakura sih, yah, aku bisa maklum.
     "Ngomong-ngomong, sobat," Riku men-drible bola beberapa kali, "tak tahukah kau, akan ada murid baru di kelas kita?"
     Nah, topik yang ini juga sama sekali tak membangkitkan gairahku. Maka dengan malas aku hanya bertanya, "Ya?"
     "Well, aku nggak tahu dia seperti apa, tapi Bu Ishida bilang dia cewek," Riku menyikutku. "Dan dia murid pindahan dari Indonesia, blasteran Jepang-Jerman. Ha!"
     Tunggu dulu, Indonesia? Entah kenapa bayangan gadis bermata lebar di depan gerbang tadi langsung muncul di benakku begitu kata itu tercetus dari mulut Riku. Bukankah rata-rata mata orang Indonesia lebar-lebar semua?
     "Dia dari Indonesia?" tanyaku tak yakin.
     "Ya, sama dengan ayahku," sahut Riku biasa.
     Kedua alisku sontak menaik. Jadi, cewek yang kulihat di depan gerbang tadi anak baru dan dia pindahan dari Indonesia? Menarik. Mungkin?
     Aku baru akan masuk ke kelas ketika tiba-tiba Riku menyikutku dengan wajah sarat ledekan. Lamunanku kontan buyar dan aku menoleh.
     Suzuki Marika melenggang di koridor dengan langkah kaki santai. Ia memakai seragam, dilapisi sweter pink rose. Rambutnya yang hitam ikal berkibaran dan ia melingkarinya dengan bandana pink tua yang sewarna dengan sweternya. Bola matanya yang hitam berkedip-kedip perih terkena udara menusuk. Pipinya memerah karena dingin.
     "Hai, Suzu," sapa Riku sopan.
     Marika menoleh dan tersenyum lebar. "Hai, Riku," kemudian ia menatapku yang terpaku dan kembali tersenyum, "dan halo, Ken."
     Aku tersenyum dengan syaraf yang seolah-olah meleleh. Tiap kali aku bertatapan dengannya, aku merasa seolah tulang-tulangku terbuat dari agar-agar. Dan tak butuh sedetik bagiku untuk membalas senyumnya.
     "Marika," panggilku, buru-buru menyusulnya, "mau ke mana kau?"
     Marika tersenyum geli. "Hanya ke ruang loker. Aku harus menyimpan tasku dulu."
     "Oh," gumamku kecewa, mengetuk-ngetukkan ujung sepatuku ke lantai.
     "Jadi... sampai jumpa, Ken."
     Si kembang SMP Nakagashi memamerkan senyumnya yang paling mempesona, dan aku merasa tak pantas untuk membalasnya. Jadi yang bisa kulakukan hanyalah menatap langkah kakinya yang berjalan menjauh dengan segumpal perasaan ganjil.
     Aku memang menyukai Marika, sejak kelas satu. Jadi, apa yang salah?

-to be continued:)

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire