vendredi 22 juillet 2011

Tokyo Behind the Snow part 2 :D

     Aku menggigit bibir dan memilin tangan dengan resah. Oke, Naomi, tenangkan dirimu! Kau kan, sudah jutaan kali berpengalaman menjadi murid baru, masa yang seperti ini saja kau canggung?
     Aku akhirnya melangkah masuk setelah lima menit penuh kebimbangan menatap papan kelas VIII-C di depan sebuah kelas dengan penghangat ruangan. Suasana di sini ramai. Banyak yang sedang bergerombol, sedang bergosip, atau sekadar menghangatkan diri di lembutnya kursi.
     Dengan tubuh mulai rileks, aku berjalan menuju sebuah kursi di ujung, dan melemparkan tasku ke sana. Aku menyender ke tembok dan mulai membaca buku. Jujur, aku bukan tipikal orang yang pintar bergaul pada hari pertama perkenalan. Jadi, maklum saja kalau aku agak kaku dan canggung saat orang-orang yang tak kukenal melempar senyum padaku.
     Aku menggigit bibir dengan tidak nyaman. Di sini, mayoritas murid memiliki rambut hitam dengan mata sipit, tidak seperti denganku. Rambutku coklat gelap dengan mata besar. Mata yang kuanggap spesial. Kelopaknya kuwarisi dari ayah, sedangkan bola matanya yang coklat hazel kuperoleh dari mendiang ibuku. Well, aku mulai melantur.
     Aku menegakkan diri lagi saat seorang wanita yang kuprediksi baru kepala empat, masuk ke kelas dengan setumpuk buku, disusul dua orang cowok yang... lumayan. Sebelumnya aku tak pernah menganggap orang Jepang menarik, tapi salah satu dari mereka menarik perhatianku.
     Lamunanku buyar saat sang wali kelas baru melantunkan salam dalam bahasa Jepang dan dengan tergagap-gagap aku mengikuti intonasi lancar teman-temanku. Huh, kadang aku tak mengerti kata ejaan semudah "konichiwa" bisa berubah menjadi kata sulit penuh tekanan tinggi seperti itu.
     "Nah, bagaimana kalau sekarang, kita terapkan sistem belajar baru? Mulai sekarang, tempat duduknya akan diatur sesuai absen. Dan, kita bisa mulai denganmu, Asami Kazuto."
     Diatur tempat duduk? Dan kemungkinan akan sebangku dengan cewek ganjen menyebalkan yang akan berhenti di depan sebuah mobil untuk bercermin pada kacanya?
     Oh lord.
     "Ya, dan kita sampai pada.... Miura. Miura Naomi," kacamata Bu Nishimura nyaris merosot di hidungnya yang... pesek. Aku tak bisa menemukan kata lain selain itu.
     Bu Nishimura tersenyum dan aku membalas senyumnya dengan aliran listrik seribu watt. Bu Nishimura mengernyit kemudian bertanya, "Kau anak baru, Nona Miura?"
     Aku berusaha melincahkan lidahku.
     "Errr, ya, begitulah."
     "Pindahan dari Jerman?" tanya Bu Nishimura lagi, setelah membaca buku absennya.
     "Kira-kira seperti itu," aku memiringkan kepala.
     Bu Nishimura tersenyum. "Kau murid baru dan cantik, dan sungguh beruntung. Angkat tasmu dan beri salam pada Nakagawa Kenichi."
     Aku hanya mengerjapkan mata. Ke... Kenichi? Itu nama cowok, kan?
     Oke, satu hal yang harus kalian tahu tentangku adalah, aku adalah orang yang moody dan tidak suka diganggu. Bagaimana mungkin aku bisa akrab dengan makhluk sejenis "cowok" bila mereka tak pernah melewatkan sedetik pun waktu tanpa mengganggu kami, para cewek?
     Tapi itu urusan lain. Sekarang seseorang menggeser meja kemudian duduk di sampingku. Aku hanya menyenderkan kepala ke tembok seperti orang salah bantal, sampai akhirnya sebuah tangan menjulur kepadaku.
     "Kau dari luar Jepang?"
     Aku menoleh dan sikuku nyaris tergelincir melihat "target menarik" yang tadi masuk ke kelas di belakang Bu Nishimura duduk di sampingku. Ia tinggi dan berambut cepak, kulitnya putih kekuningan, dan lesung pipi di pipi kanannya membuat tanganku gatal untuk mencubitnya sekali saja. Oke Naomi, kendalikan dirimu.
     "Ya," jawabku, berusaha tersenyum. Bisa gawat kalau belum apa-apa aku bertingkah layaknya orang bodoh di hadapan cowok yang baru sekali menyapaku.
     Ia tertawa. "Pantas saja aksenmu lain."
     Aku melotot dan penilaianku terhadapnya berkurang satu poin.
     "Setidaknya aku sudah berusaha," tukasku tersinggung.
     "Bukan begitu maksudku. Maksudku, kautahu sendiri, lah. Lidah orang Eropa beda dengan lidah orang Asia."
     Aku menyipitkan mata.
     "Dan mata orang Eropa juga beda dengan mata orang Jepang," tandas Kenichi, menyelesaikannya diiringi senyuman.
     "Tentu saja," aku menanggapinya dengan ketus, "ibuku orang Jerman dan ayahku Jepang-Indonesia, jadi maklumi saja kalau hanya ada sedikit darah Jepang yang mengalir dalam tubuhku. Kautahu, semua orang berkata aku hebat karena mampu menguasai bahasa Jepang dalam tiga minggu pertama awal semesterku di sekolah."
     Kenichi mengerjap. "Jadi, menurutmu kau lebih mahir dengan bahasa lain, begitu?"
     "Bukannya bermaksud sombong," aku menggerakkan kakiku dengan tak nyaman, "tapi jujur saja, ya. Kau harus tahu bahwa Bahasa Inggris, Jerman, dan Indonesia-ku amat lancar tanpa cela. Aku bahkan selalu mendapat nilai A+ dalam pelajaran budaya karenanya."
     Kriiing! Ceritaku tersela oleh bel yang berdentang. Kenichi tersenyum menatapku, kemudian mengulurkan tangan.
     "Senang mengenalmu, Miura Naomi," ia menundukkan bahu sedikit, "sepertinya kau gadis yang cerdas dan menarik, dan kau harus tahu kadang otakku bebal. Jadi, mohon bantuannya untuk semester ini."
     Kenichi berdiri, menepuk bahuku, kemudian melangkah keluar kelas. Aku hanya memandanginya dengan tatapan tidak percaya.

-to be continued:)

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire