jeudi 11 juillet 2013

Maura vs. Lampu Disko


Hi guise! Berhubung lagi puasa, stop dulu ya cerbung-cerbung romance yang mengundang syahwat(?) atau air mata. Jadi, di bawah ini ada cerpen yang gue ikutin dalam lomba "Aku dan Guruku"-nya majalah kaWanku, kalo nggak salah sekitar sebulan yang lalu. Idenya sih gue dapet pas kelas 8 di SMP, dengan kumpulan kejadian yang gue rekatkan dalam paragraf padu biar "boom" kesannya. So scroll your page and enjoy this breakfast! :D

***

"Maura! Senia! Kalian nggak dengar bel dari tadi, ya?!"


Aku menciut di balik punggung tegap Maura, dan dengan berani, sahabatku itu nyelonong masuk ke kelas, langkahnya yang panjang membuat belahan roknya jelas terlihat. Di hadapan kami, pupil mata Pak Idris membesar, dan sekilas beliau tampak seperti paus pembunuh.

"Sori Pak, tadi kita abis dari toilet, hehehe." Maura mengibaskan rambutnya yang kemarin baru dicat cokelat gelap.

"Oooh, bapak baru tau tukang siomay sekarang mangkal di toilet," sindir Pak Idris, mengerling sebungkus siomay yang terselip dalam saku kemeja Maura. "Kalian berdua bisa keluar sekarang, dan jangan ikuti pelajaran saya, kecuali dengan surat orang tua dan wali kelas. Mengerti?"

Tubuhku seketika lunglai, dan aku masih maju untuk berkompromi dengan Pak Idris ketika Maura menarikku langsung ke luar kelas. Gaya Maura begitu santai, sama sekali tak menunjukkan gestur menyesal. Tentu Maura sama sekali nggak merasa bersalah karena ini sudah kali keempat ia dikeluarkan dari kelas, kedua kalinya oleh Pak Idris sang guru PLKJ. Sedangkan aku? Jujur, ini kali pertamaku.

"Pak Idris kayak nggak pernah muda aja deh, strict banget sama peraturan," gerutu Maura jijik.

"Kita yang salah, Ra," gumamku pelan.

"Kok kita, sih? Salahin ibu kantinnya dong, lama banget ngelayaninnya! Uh, tapi tetep aja Pak Idris yang paling salah! Kolot banget sih jadi guru," Maura meneruskan omelannya, "ah, bodo amatlah tapi. Yuk, mending kita ke kantin lagi!"

Bicara soal Maura dan Pak Idris memang nggak ada habis-habisnya. Gosip mereka tersebar di sekolah, pertikaian antara "calon menantu" dan "calon mertua". Yah, siapa sih yang nggak tahu, Maura yang 11/12 sama Miranda Kerr itu naksir Fahmi, anak Pak Idris yang seangkatan dengan kami, yang mukanya nggak kalah ganteng dengan Sebastian Vettel? Dalam setiap kesempatan, Maura dan Pak Idris seringkali beradu tatapan maut di kelas, dan seakan itu belum cukup, Maura juga menciptakan nama baru bagi guruku, yaitu Pak Lampu Disko. Katanya sih, karena kepala Pak Idris yang botak bling-bling kayak lampu disko.

Masalahku dan Pak Idris selesai keesokan harinya, dengan surat yang ditandatangani ibu dan Bu Veni, wali kelasku. Mereka sempat nyinyir meyindirku, mengatakan bahwa, "Maura bawa pengaruh buruk buat kamu, Senia." Aku cuma menjawabnya dengan kedikan bahu.

"Sen, kamu udah bikin surat permohonan maaf buat Pak Idris?" tanya Maura begitu aku masuk kelas.

"Udah, lah, plus bonus semprotan yang pahit banget. Kamu, Ra?"

"Belom, nih, nyokap masih di Spore. Bokap? Gila, bisa-bisa gue dilelepin ke sumur kalo doi tau!"

"Lho, berarti hari ini, kamu nggak bisa masuk kelas, dong?"

"Nggak, dan emang nggak niat juga. Diawali PLKJ, diakhiri Matematika, kurang bikin enek apa coba. Udah ya, aku cabut dulu, mau ke kelas Fahmi nih." Maura mengedipkan sebelah matanya padaku, meraih tas Louis Vuitton-nya yang senada dengan kuteks pink manyala yang ia pakai hari itu.

"Pantes, hari ini hebring banget penampilannya," aku mengulum senyum, agak geli juga dengan kebulatan tekad Maura.

"Hari ini dia emang ngajak aku jalan, sih. Dan, coba tebak, aku udah bawa brownies buat dia!" Maura terkekeh. "Daah, Senia! Have fun sama Pak Lampu Disko!"

Menggelengkan kepala, kuputuskan untuk menghadap Pak Idris sendirian.

"Maura mana?" Begitu pertanyaan Pak Idris saat aku menyerahkan suratku.

"Oh, eum, belom dateng, Pak," ringisku. Pak Idris cuma menghela napas panjang sebelum menyuruhku duduk.

Namun Maura juga nggak masuk keesokan harinya, dan dua hari berikutnya. Ini membuatku agak khawatir. Tiap Bu Veni bertanya, selalu kujawab dengan gelengan kepala. Sudah berkali-kali Bu Veni menelpon orang tua Maura, tapi tak pernah diangkat.

Hari Senin, barulah batang hidung Maura terlihat, dan ia kelihatan sedih. Kantung bergelantungan di bawah matanya, dan rambutnya tampak kusam, seakan belum disisir.

"Hei, Ra! Gila, tiga hari sob, tiada kesan tanpa kehadiranmu!" Aku tersenyum riang.

Maura melirikku sejenak, lantas berdiri dan tertawa sinis. "Kamu pasti seneng, ya? Kamu pasti ngerasa menang, kan?"

"Lho, maksudnya?"

Pertanyaan itu diabaikannya, dan ia melengos, mengangkat tas, dan pindah ke deretan kursi paling belakang, habitat cowok-cowok menyebalkan. Aku duduk sendiri, berusaha memahami apa yang salah. Kenapa Maura marah padaku?

Selama satu minggu, aku sama sekali tak bicara dengan Maura. Dia sekarang lebih sering nongkrong dengan gerombolan cowok di baris belakang, lebih acuh pada pelajaran, dan nilainya pun lebih anjlok dari biasanya. Meski merasa nelangsa, sebaliknya, nilaiku membaik dan guru-guru kembali memujiku.

Kelakuan Maura kian menjadi-jadi. Seminggu sebelum Ulangan Akhir Semester, bisa-bisanya dia membolos! Dia tidak pulang ke rumah, dan ini membuatku agak geram.

"Senia, kamu tahu ke mana Maura?"

Aku mendongak, dan mendapati Pak Idris berdiri di ambang kelas. Ini hari Jumat, dan Senin, kami akan menghadapi UAS. Aku agak kaget melihat beliau yang notabene kerap menyindir Maura sebagai contoh kenakalan remaja mengerikan tiba-tiba peduli.

"Umm, saya juga nggak tau, Pak. Orang kartu peserta UAS-nya aja dititipin ke saya," aku mengakui, melambaikan kertas kartu UAS Maura.

"Oooh, begitu. Tolong hubungi dia ya, Senia, kamu kan sahabatnya." Pak Idris tersenyum kecewa sebelum berlalu.

"Uh, dasar Pak Idris. Giliran ada diomelin, nggak ada dicari-cari," rutukku seraya kembali membenahi properti. Dalam ruang kelas ini, tinggal aku yang belum pulang.

"Hayo, ngapain ngomongin bokap gue?"

"HUAAAA!" Seketika aku memekik. Kepala Fahmi menyembul dari balik pintu, tertawa melihat kekagetanku.

"Fahmi, nggak lucu tau!"

"Lucu banget, sih. Bukan tentang bokap gue, tapi muka lo." Fahmi kembali tertawa. "Eh, lo udah siap, belom?"

"Siap?" ulangku heran. "Siap ngapain?"

Ekspresi Fahmi mengeras. "Maura nggak ngasih tiketnya ke lo?"

"Tiket apa sih, Mi? Gue nggak ngerti."

"Dua minggu lalu, gue nitipin tiket ke Maura. Tiket nonton konser. Maksud gue kan..." wajah Fahmi memerah sedikit saat ia melanjutkan agak gagap. "Maksud gue, refreshing gitu lho, biar UAS kita lancar."

Aku agak kaget, dan pemahaman asing terbit di otakku. Tentu saja selama ini Maura kelihatan marah padaku.

"Maaf ya, Sen. Harusnya tiket itu gue kasih langsung ke lo. Gue terlalu takut sih abisnya." Ia terkekeh lagi.

"Oh, kenapa minta maaf?" sahutku ringan. "Memangnya, refreshing harus dilakukan dengan nonton konser? Nggak, kan?"

Fahmi mendongakkan kepalanya, dan tersenyum, aku menghampirinya, dan kami jalan-jalan keluar sekolah bersama. Cuma kegiatan kecil sih, makan es krim di kedai seberang SMP. Namun rasanya, spesial kalau dilakukan dengan Fahmi.

"Kenapa lo takut ngasih tiketnya langsung ke gue?" celetukku di tengah obrolan tanpa sekat kami.

Wajah Fahmi mengkeruh. "Soalnya lo nggak terlalu kenal gue, dan bahkan malah dibilang cuek. Lo nggak pernah nyapa gue duluan, nggak pernah notice kehadiran gue. Yang kayak gitu malah Maura."

"Maura naksir sama lo," ujarku datar, "dia sampe musuhan sama bokap lo gara-gara hal itu."

"Gue tau, kok. Maklumin aja deh, bokap gue emang kayak gitu. Kelewat protektif, cenderung maksain kehendak. Makanya kakak cewek gue kabur dari rumah, gara-gara sikap bokap yang berlebihan. Gue lebih ngerasa kayak merpati yang dikandangi alih-alih anak," kisah Fahmi. "Lo sendiri, gimana? Ortu lo ngeselin, nggak?"

"Nggak terlalu. Gue get along sama mereka. Tegas, tapi ngasih gue kebebasan untuk memilih. Yang penting gue konsisten dengan komitmen, konsisten dengan pilihan gue."

Fahmi cuma mengangguk, dan kami melanjutkan kegiatan makan es krim tanpa obrolan lebih panjang. Setelahnya, Fahmi membayari es krimku, dan kami kembali berjalan ke sekolah.

"Fahmi! Dari mana aja kamu?" Tiba-tiba muncul Pak Idris, menjinjing tasnya, wajahnya memerah. Jelas-jelas beliau sudah menunggu Fahmi sejak tadi.

"Makan es krim," jawab Fahmi jujur.

Pak Idris menatapku sekilas, wajahnya memucat.

"Ayo pulang, Fahmi! Cepet, masuk mobil!"

Tanpa daya, Fahmi menuruti titah ayahnya, masuk ke Sedan biru itu. Pak Idris juga naik, mengendarai mobilnya dengan ngebut sementara aku cuma berdiri mematung, memikirkan masalah yang kira-kira akan terjadi.

Masalah itu datang pada hari Kamis, sehari sebelum pekan UAS berakhir. Kelasku kebetulan diawas oleh Pak Idris, dan seperti biasa, aku yang selesai paling akhir. Saat aku menyerahkan kertasku, Pak Idris mencekal tanganku.

"Jumat lalu, kamu ngapain saja dengan anak saya?"

Agak gagap, aku menceritakan yang sebenarnya.

"Saya nggak tahu apa rencana kamu, tapi tolong jangan dekati anak saya, oke? Kamu anak pintar, dan baik, Senia, saya tahu itu. Saya sayang kamu dan Fahmi, dan saya nggak ingin nilai kalian anjlok gara-gara..."

"Saya sama Fahmi cuma berteman, Pak, nggak lebih," ujarku tertahan, dan gatal untuk bertanya, "Lagi pula, apa hak bapak mencampuri segala urusan Fahmi? Maksud saya, dia udah kelas 10, dia berhak punya privasi. Saya tahu sih bapak ini orang tuanya, tapi kasihan Fahmi, Pak."

"Kamu baru 15 tahun, Senia, nggak tahu apa-apa soal mendidik anak." Pak Idris mengibaskan tangan. "Sudah, mendingan kamu pulang, sana."

Terlalu marah untuk berbasa-basi, apalagi mengucapkan salam, aku keluar dari kelas, membanting pintu tepat di depan muka Pak Idris. Masa bodoh, dasar Lampu Disko nyebelin...!

Kekesalanku dengan Pak Lampu Disko membuat masalah Maura yang masih hilang jadi agak terabaikan, dan aku baru mengingatnya lagi saat Fahmi tergopoh-gopoh datang ke kelasku keesokan harinya.

"Senia! Ya Tuhan, gue nyariin lo ke mana-mana!"

"Kenapa, sih?" tanyaku, agak ketus.

"Maura. Kemarin gue ngeliat Maura lagi nongkrong gitu. Gue pikir lo nyari dia."

"Gue emang nyari dia," tandasku, "lo tau tempatnya di mana? Mau nganterin gue nggak?"

Fahmi mengangguk, dan berdua, kami naik taksi ke jalan yang agak terpencil, dan di ujungnya, ada sebuah kafe kusam. Kafe itu kosong, namun tawa cekakak memenuhi udara, dan itu adalah tawa Maura. Dan benar dugaanku, Maura ada di pojok kafe, bersama gerombolan cewek dan cowok yang rambutnya sama-sama dicat sepertinya. Beberapa cowok nangkring di atas motor, asyik merokok.

"Maura!" seruku.

Yang dipanggil menoleh, dan ia berdiri.

"Eeeeh, Senia, pasti baru jadian sama Fahmi, ya?"

Aku mengabaikan yang barusan. "Maura, yuk, kita pulang. Balik ke sekolah kalau nggak. Kamu mesti ngurus surat buat UAS susulan."

"Males, ah, mending gue di sini aja," Maura mencebik.

"Guru-guru pada sibuk nyariin kamu, Maura. Bahkan Pak Idris juga," ujarku kalem.

"Dan bisa-bisa lo nggak naik kelas kalo nggak ikut susulan," Fahmi nimbrung.

"Masih peduli soal nilai? Mending foya-foya! Ayo, Sen, Mi, rokok itu ternyata enak, lho."

"Kami antirokok, sori," tolak Fahmi tegas, dan rupanya ia salah langkah karena beberapa teman Maura berdiri, banyak yang membawa gir dan senjata tajam.

"Sok suci banget sih temen lo, Ra," celetuk salah seorang di antara mereka.

Baik aku dan Fahmi mundur, alarm otakku meraungkan tanda waspada. Orang-orang itu, yang memakai seragam dari SMA beragam, maju dan memamerkan senjata mereka. Aku dan Fahmi lari, bahkan Maura juga ikutan lari, raut wajahnya tak tertebak.

"Hei, kalian!"

Fahmi menoleh dan langsung menarikku. Aku menarik Maura, dan kami berlari tunggang langgang ke mobil Pak Idris, masuk ke dalamnya. Pak Idris langsung melepas rem dan menjalankan mobilnya, mencoba tidak menabrak siapapun yang sudah meretakkan kacanya dan mematahkan spionnya. Kalau boleh kuakui, sekilas dia tampak sekeren pengendara F1 di lintasan balap.

Kurang dari lima menit, kami sudah sampai dalam lingkup sekolah, dengan mobil polisi terparkir di halamannya.

"Alhamdulillah," gumam Pak Idris, "kita selamat. Kalian nggak apa-apa kan?"

"Nggak pa-pa kok, Yah," tukas Fahmi, sama kagumnya denganku.

"Baguslah. Ayo, kalian ke UKS dulu, minta bikinin teh, ya. Habis itu, kita ke kantor kepsek, dengan catatan kalian sebagai saksi."

Kami mengangguk, dan aku sampai harus menarik Maura yang kelihatan seperti boneka kain, memaksanya minum untuk menenangkan diri, dan ke kantor kepsek sesuai permintaan Pak Idris. Aku dan Fahmi saja cuma bisa menunduk, apalagi Maura. Ia sama sekali nggak berani menatap para guru yang mengelilingi kami seperti hakim, siap menjatuhkan tuntutan.

"Fahmi dan Senia, kalian bisa pulang sekarang, tapi kamu, Maura, kamu masih harus tinggal di sini," demikian kata Pak Kepsek. Mengangguk patuh, aku dan Fahmi berjalan beriringan ke luar kantor.

"Persidangan" Maura memakan waktu nyaris satu jam, dan begitu Maura keluar pada akhirnya, ia memelukku dan menangis di bahuku.

"Kenapa, Ra?" tanyaku lembut, menepuk-nepuk punggungnya.

"Gue... hampir dikeluarin dari sekolah, Sen. Hampir. Terus... Pak Lampu Disko nyuruh gue ngomong, nyuruh gue cerita, dan doi ngebela gue," isaknya, "gue jadi ngerasa bersalah banget, Sen. Dan maaf ya, kemarinan gue ngejauhin lo. Gue cuma stres, soalnya ortu gue mau cerai, dan gue nggak punya siapapun buat cerita."

"Lo punya gue buat jadi tempat penampungan unek-unek, Ra, jangan khawatir. Besok lo minta maaf ya, sama Pak Idris, bilang makasih juga. Beliau kan, udah ngebantuin kita."

Maura mengangguk lirih dan cuma melanjutkan tangisnya. Aku mendongak dan menatap Fahmi, dan tanpa menyuarakannya, kami sama-sama membuat pakta dalam hati, untuk membuat kejutan bagi Pak Idris.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire