jeudi 11 juillet 2013

Writing Timeline

Waktu gue buka-buka ulang autobiografi gue dan ngitungin berapa banyak hal yang miss, adek gue nanya, "Kak, kok lo nggak nulis proses lo nulis dari kecil sampe sekarang?" Gue rada jleb. Kayak kesetrum. Iya yak, kenapa gue nggak nulis writing timeline gue? Kenapaaaa? Kenapa gue keburu dikejar deadline? Kenapaaa?

Jujur, gue bukan tipikal manusia perfeksionis, cenderung reckless malah hahaha. Anyway, ada yang nanya di email, "Emangnya orang tua kakak penulis juga yak?" Jawabannya, yes and no.

Bokap gue dulu suka nulis, doi demen majang puisi di mading sekolahnya. Dia paling suka sama Enyd Blyton, mostly Lima Sekawan sama St. Clare (seri St. Clare-nya menurun ke gue, loh!). Kata bokap, sekali baca dia nggak bisa berenti, yang berujung pada penyakit hipermetropi. Kenapa bokap gue nggak nulis dan ngirim ke penerbit? Satu hal. Komputer. Doi nggak punya komputer waktu itu, which is sad, karena dia bilang dia udah nulis lumayan banyak pake pensil 2B. Nulisnya kecil-kecil, biar kertasnya nggak gampang abis karena harga buku mahal.

Cerita-cerita itu ketumpuk dan akhirnya kejual ke tukang barang bekas. Oke gue nggak tau lagi harus ngomong apa pas bokap cerita, because if I were him, I would be driven crazy and mad and maybe refused to talk with my parents. Forever.

Yah, tapi yang udah terjadi, terjadilah. Bokap juga cerita, pas gue lahir, ari-ari gue dikubur sama seri pertama buku St. Clare, dan nyokap naro pensilnya lima alih-alih tiga. Gue nggak tau belief macam ini diperoleh dari mana, tapi menurut kepercayaan keluarga gue, ari-ari mesti dikubur sama pensil dan kertas biar si anak bisa nulis dan baca, dikasih bumbu dapur biar pinter masak (untung ari-ari gue nggak dimakan garong), dikasih DUIT biar bisa mengatur keuangan (which is failed on me), dikasih lampu biar selalu hangat, biar nggak galau ketika hujan nggak ada yang meluk, dan entah apa lagi.

Mungkin karena ari-ari gue kebanyakan pensil(?) itulah, gue lebih dulu bisa nulis daripada baca. Gue bisa nulis alfabet A-Z umur tiga setengah tahun, dan bisa baca di umur empat tahun. Di masa-masa itu, kalo malam gue bakal duduk di teras sama bokap dan adek, ngobrolin masa SMA bokap yang sangat freak dan mengerikan (I mean, kencing di kelas dan sopir bus pup di celana? Mengerikan nggak sih?), atau tentang persohiban beliau dengan dua kawannya, Dayat dan Budi. Sejak saat itu I imagined bigger than my friends my age.

Buku pertama gue... yang masih gue simpan rapat-rapat di laci meja, judulnya Kiki sang Pemimpin, fabel tentang kura-kura yang jadi leader kawan-kawannya, nggak peduli seberapa sering dia dicemooh. Gue inget, gue beli itu di kios buku kecil di underground mal Blok M. TK B, gue punya buku diari sendiri, yang awalnya gue cuma tulis pas gue gondok, namun di akhir jadi kawan gue yang paling setia. Yang awalnya ceritanya rasional dan nyata, lama-lama berubah jadi, "Hari ini, ibu peri telat ngirimin aku bekal." I was such a dreamer, have always been a dreamer.

Kecintaan gue sama buku juga bikin bonyok lebih sering beli susu Dancow yang kemasan sedang, karena hadiahnya buku, sedangkan yang kemasannya raksasa isinya CD. Gue suka baca cerita itu, tapi lama-lama nggak puas sama ending-nya yang gitu-gitu doang. Kelas satu SD, gue nulis cerpen pertama gue, yang cuma sepanjang setengah halaman buku Sidu kecil. Judulnya Sapu Tangan buat Ita, cerita remake dari salah satu buku Dancow yang gue benci ending-nya. 

Jadi sih ceritanya ada seorang pangeran yang baru lahir, dan dia dikasih sapu tangan sutera sama nyokapnya. Dia tumbuh sama sapu tangan itu, sampai suatu hari dia udah nggak peduli dan ngebuang tuh sapu tangan. Sapu tangannya pun berpindah tangan. Pada suatu hari, nyokapnya sakit parah dan amanat terakhirnya adalah ngejagain sapu tangan itu. Pergila sang pangeran mencari sapu tangan, which line guides him to a gadis desa cantik bernama Ita. Mereka jatuh cinta, nikah.

Ya, gitu deh. Sejak saat itu gue nulis puisi, nulis lagu juga. Nggak tau belajar dari mana, I just did. Puncaknya sih pas kelas 3 SD, kita disuruh nulis cerita berdasarkan pengalaman pribadi. Yang gue tulis judulnya justru Peri Mawar Merah. Nilai gue nol dan peringkat gue merosot, dari dua ke enam. Cuma gara-gara satu kesalahan kayak gitu.

But until now, I still take it as the most beautiful mistake.

Masa kelas 3 SD gue dipenuhi pensil yang gampang abis dan buku yang cepat menipis. Gue nulis banyak cerpen, dan bahkan bikin "restoran cerpen". Gue bikin serangkaian judul di halaman pertama buku tulis, dan saudara dan tetanga gue bisa milih judulnya. Gue akan nulis dan ngasih itu ke mereka, dan gue dapet dua sampe lima ribu sebagai imbalannya, huahahaha. Beberapa judul yang paling laku itu Cincin Tanda Kasih SayangKasih Sayang Kucing KecilSeperti Awan dan Pelangi, juga Balonku Ada Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima!

Kelas empat, waktu nonton Laptop si Unyil di Trans7, ada liputan tentang Nabila Nurkhalishah Harris, yang satu tahun lebih muda dari gue tapi udah menghasilkan buku. Hari Minggu-nya, meluncurlah gue sekeluarga ke Gramedia, dan gue beli Beautiful Days. Kelar ngerampungin tuh novel, I was so inspired and enlightened and so urged to write my first novel, which titled I Love New Friend. Ceritanya tentang Mutia, bocah SD yang terbiasa dengan sistem homeschooling, sampe suatu hari Om-nya mendaftarkannya ke sekolah biasa. Mutia tadinya nggak mau dan ngamuk, euh pokoknya apatis banget deh. Tapi dia ketemu temen-temennya, Zahra, Andien, Raisha, Kesha, Rana pas daftar, dan bertemanlah mereka. Secara garis besar sih I Love New Friend is about a shy yet adventurous girl yang mendapat banyak teman baru dalam satu hari (yang, di lain hari, mengantarkan 24 Hour Stay at School pada konsep macam ini). Mutia juga ketemu adiknya yang terpisah, kepengin jadi suster, dan... I don't remember much more.

Di akhir kelas empat, gue sangat, sangat, sangat, menggilai kumpulan cerpen seri Dunia Ola (judul pertama yang gue punya adalah Teman dalam Kegelapan dan Mama Berhati Emas), dan gue pun mulai menulis kumcer juga. Gue bener-bener on fire, buku tulis gue sampe lecek dan bau amis ketumpahan segala macam makanan because I always carried it around. Buku dan coretan gue adalah teman sekaligus penghibur gue, karena gue nggak punya banyak teman waktu SD (gue jelek dan tonggos dan sering dikatain dan selalu kalah dalam permainan beregu apapun). Resolusi gue adalah, gue bisa nerbitin buku. Enough said. Gue berlama-lama di warnet dengan excuse ada tugas, numpang ngetik di rumah tetangga, apa aja asal kumcer gue bisa kelar.

Kelas lima SD, bokap gue pun menghadiahi gue laptop Acer, yang waktu itu harganya muahaaal dan gue tau bokap bekerja sangat keras untuk itu. Gue nggak menyia-nyiakan fasilitas itu; anugerah dan kado terindah yang pernah gue dapat, masih yang terindah sampai detik kalian baca postingan ini, karena gue mengasuh blog gue pun dengan komputer yang sama. Gue nulis kapan aja, di mana aja, dan ngelarin kumcer pertama gue, My Little Strawberry, waktu pertengahan kelas lima. Panjangnya 27 halaman A4, spasi satu, margin normal, isinya 9 cerpen, dan porsi satu cerpen pun adil, tiga halaman. Waktu gue bilang ke bokap gue mau ngirim cerpen, bokap langsung masang internet di rumah, make telepon, dan gue pun mengirim kumcer gue ke Penerbit Mizan lewat email. Sadly, I was being rejected. Karena gue masih kecil, malah nyokap yang sedih, sedangkan gue anteng-anteng aja makan es krim dan lanjut nulis.

Pas kelas enam dan baru kelar latihan nari, telepon rumah gue berdering dan pas gue angkat, itu... gue lupa siapa yang nelpon *sigh*. Yang jelas beliau bilang naskah gue mau diterbitin, tapi gue harus ngirim bentuk print out, CD, ucapan terima kasih dan segala macamnya itu lewat pos. Nyokap sujud syukur and burst into tears dan gue... tetep anteng makan es krim. Teteup.

Kelas enam pun berakhir dan gue diterima di SMP 12 Jakarta. Gue inget banget hari pendaftaran ulang, so many things happened that day. I got my first period and officially became a student of the most wanted JHS versi temen-temen SD di sekitar rumah and got my contract. Iya, kontrak. Gue langsung ngerasa kayak orang penting gimana giduuu.

And shortly after that, di bulan Ramadhan tahun 2009, I saw my first work in Gramedia! :D You don't know how it felt.... I cried so hard that I hiccuped two hours after. I was like, "This is my work. My work. Every single word and point and coma, I made it myself!" Gue berkoar-koar ke tetangga dan Oma gue di Kemang sampe bawa tuh buku ke pengajian huahahaha.

The next kumcer couldn't make it, and you can read one of them in two previous story. And I don't regret it, even the tiniest bite.

But that was the old era. The new era began when my cousin sent me a copy of Waiting 4 2morrow-nya Wiwien Wintarto. Novel teenlit pertama gue, yang sangat gue suka sampe sekarang. Sejak saat itu gue jadi baca novel teenlit, which built that kind of style I always wear. Penulis yang sangat, sangat, sangat mempengaruhi style menulis gue, I realised lately, adalah Esti Kinasih, yang bikin gue ngebet masuk 70 sejak gue baca Fairish, hahahaha. Nama Citra Devira Putri di Fantastic Five pun gue remake dari nama tokoh salah satu novelnya, Citra Devi. Gaya menulisnya fresh, ringan, apa adanya, dan menghanyutkan, meski nggak jarang ada adegan angst-nya. But hey, writing is about being honest in general, and for me, it's about telling your deepest secret you won't tell by your lips. Saking ngefansnya tuh sampe kepengin sungkem kalo suatu hari ketemu:'> Yah, semoga.

Anyway, inisial kami sama-sama EK dan kami sama-sama sekolah di 70. Whether it's coincidence or not, I'm so happy with these similarities. I mean, hey, she's my influence, my idol.

Kendala yang paling besar dalam menulis versi gue adalah... mood, karena bagi gue, yang susah dicari itu bukan idenya, tapi mood-nya. Kedua, kadang gue nggak sadar gue nulis dengan style penulis mana, karena buku yang gue suka banyakkk. Ada suatu naskah yang pas gue baca ulang, sepertiga halaman utama sedikit bergaya Veronica Roth, di tengah-tengah banyak humornya kayak Rick Riordan, dan di akhir-akhir puitis kayak Lauren Oliver. And I told you, ppl, it didn't work out and drove me crazy for weeks before I decided to rework some chapters.

Sejak gue SMA, bacaan gue mostly adalah YA in English, which forms sooooooo many differences on my writing (though I still write in my old style). I read a lot Stephanie Perkin's and Lauren Oliver's and Gayle Forman's and Sarah Dessen's and John Green's and Haruki Murakami's. Neil Gaiman? OMG I've been having a crush on him for so long, too, but now I start to read his works in the real language.

Cita-cita gue pun sekarang berputar di bidang literatur, kayak penerjemah (suka kesel sendiri gitu kalo ngebaca terjemahan orang nggak sesuai sama ekspetasi kita, or worse, driving out of the writer's style). And I want to write, for my whole life. In my dream, I will sit by the window, my laptop on my lap, and I type as the night turns into daylight. There'll be a cup of tea beside me when I write, and I'll build my own library someday.

I hope that dream isn't too good to be true for this ordinary Echa.

Jadi, that's all. All my adventures that form the me sitting behind this laptop. Ini ceritaku, apa ceritamu?

11/7/2013, 10:19 pm.
NB. Pesan moral dari cerita:
periksalah apapun yang Anda ketik sebelum mencetak dan menjilidnya,
terutama kalo Anda bikin autobio juga.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire