jeudi 20 décembre 2012

8 Signs That You Were Meant To Be A Writer

Do you ever wonder if you were truly meant to be a writer?

Deep down you sense that it might just be so.

But then doubt creeps in, and you just aren’t sure.

You look at your writing. You realize that you aren’t where you want to be. Maybe you just aren’t good enough?

A great writer would be further along by now, right?

Wrong.

If you’re reading this, chances are you were meant to be a writer. You were meant to help change the world and impact people’s lives through your words.

Here are 8 signs that you were meant to be a word
wizard.

1. Secret Dreams
You secretly dream about writing. And if you already write, you dream about doing something bigger, like writing a novel, or scoring that big
freelancing client. You dream about more, bigger, better. Deep inside you know you can do it, but that pesky little voice stops you.

2. Doubt
Yes, doubt is a sign that you were meant to be a writer. If you didn’t have anything to say, you wouldn’t even think about writing, but you do have something to say, and you know it.

But doubt stops you.

However, doubt is just a thought popping up. It doesn’t feel great, but you can say hi, and keep taking tiny steps forward.

Why keep moving forward?

Because you were meant to be a writer.

3. Excuses
Your excuse for not hanging out with your friends is, “I have to write”. You aren’t interested in what non-writers are interested in. They live a different life. They sometimes seem like a different species.

Embrace this.

Don’t give into peer pressure.

If you’re a new writer, you won’t be sure what to do with yourself, but trust your inner calling. Trust your heart.

It knows what you need.

If you have to write, you have to write .

4. Inspiration
Inspiration only comes to those who can use it. If you’re a writer, you get inspired, but you also have to take advantage of that inspiration.
If you are inspired to write a novel, then start today.

Don’t wait for perfection.

Let it be messy.

Let it be chaotic.

Let your thoughts go crazy and your body shiver with fear.

But start. Right now.

5. Perfection.
When you truly care about something, you want it to be perfect.

I care about my writing. I want to help people. I want to help you when you read these very words.

And for that reason, I want it to be perfect, because in my head, I believe perfection equals value to you, but that isn’t always true.

Good enough can have a huge impact on someone’s life.

Perfection is just an idea in my head. It has nothing to do with reality.

Wanting your writing to be perfect is a sign that you care, and that’s good, because it means you will put out exceptional work, even when you feel like it’s crap.

But you have to get your writing out there.

6. Admiration
You secretly admire great writers. You want to talk about the elegant ways they craft their prose, but you often don’t have anyone to talk to,
because your friends or family may not care about writing as much as you do. This alone shows you how much attention you pay to
words.

It shows you that you were meant to be a writer.

All you have to do is muster the courage to write and step up your game.

You are ready, even if you don’t feel it.

Step up to it and enjoy.

7. Lacking
When you don’t write, you feel like something is missing. You need to write. You need to express yourself through prose.

You know you can make a difference, but you’re not sure. We all have doubts. They’re normal, but they don’t have to stop you.

Just keep moving forward. Keep putting words out there and let the universe take care of the rest. The fruits of your labor are none of your business. All you can do is your best, so start putting your stuff out
there, even if it freaks you out.

8. Yearning
Deep down, you feel this yearning to write. It’s like someone is pulling a string that’s attached to your heart. The string is pulling you toward greatness, but you are resisting. You’re afraid. You’re worried. You’re not sure what people will think.

Let that yearning take you to where you need to go.

Forget about what everyone else is doing and follow your calling. Embrace your uniqueness, your quirkiness and your style.

Results may not come instantly, but all is well when you follow your heart.

Listen to that yearning.

Let the string take you on the adventure of your life.

If You’ve Read This Far …
You were meant to be a writer.

I’ve been writing ever since I can remember.

I’ve scribbled down crazy stories about animals when I was 6. But lately, I’ve found myself writing articles like these.

Somehow this is what comes out of me. I just keep following my excitement. I write about what makes my heart sing.

And you should do the same, because what excites you is your internal GPS telling you that you need to pay attention to that.

I have doubts, fears and worries, like everyone else. But I know I was meant to do this, because doing anything else is torture.

So if you’ve read this far, you were meant to be a writer.

All you have to do is embrace it, because deep down you know you want to.

By Henri Junttila.

samedi 1 décembre 2012

Serupa Tapi Tak Sama

Jadi, pas gue nulis nih blog, gue baru aja kelar "malmingan" sama stranger-nya Omegle. Kali ini dia cowok asal USA dan untuk pertama kalinya, gue nggak di-disconnect gitu aja. Yeay!

Jadi nama nih cowok Kyle, 18yo, dari California. Beda dari kebanyakan cowok, dia ini mature banget. Dia bilang kalo para cewek itu hard to understand tapi dia juga pengin ngertiin mereka. Gue pun cerita tentang perasaan gue ke para cowok yang sering nggak peka dan nggak menghargai kami, para cewek.

*brb remes bantal dengan unyu*

Gue tadinya udah seneng banget, apalagi dia bilang gue itu cool and nice. Oke, gue ciumin tablet gue dulu, ya.

TAPI in the end, gue bilang, "You don't look like guys trying to flirt whenever they want to." Eeeeh dia bilang, "I do like it. Flirting is fun!"

Gue speechless.

Setelah gue turn off, gue nonton AFF dan ingatan gue melayang ke masa-masa SMP. Gue inget banget, seolah kejadiannya baru dua tahun lalu, pas jelas 8 gue pernah main futsal. Berhubung gue lumayan suka nonton bola, ya gue semangat banget. On fire lah pokoknya. Tapi pas tim lawan unggul, gue jadi gemes. Ujung-ujungnya, pas si bola melambung tinggi, gue pikir pasti cool kalo menggabungkan jurus voli dengan futsal. Alih-alih tuh bola gue sundul, dengan pedenya gue smash. Tangan gue sakit, tim lawan pun dapet penalti.

Gue sakit hati....

Pelajaran moral yang bisa gue dapet dari tragedi itu, bahwa voli dan futsal emang sama-sama olahraga, tapi peraturannya pasti beda.

Di babak kedua gue berusaha tampil prima. Gue bermain sebaik mungkin. Begitu ada kesempatan, gue langsung ngegiring bola dengan serakahnya. Temen-temen gue teriak, dan gue pikir mereka pasti nyemangatin gue. Sekeren Messi, gue pun ngegolin bola.

Gue langsung masang gaya Irfan Bachdim dan ketawa-ketiwi dengan puas. Tapi....

Krik krik.

Yang lain hening.

Belakangan gue tau, kalo ternyata gue ngegolin ke gawang tim gue sendiri.

Sejak itu gue nggak lagi gaya-gayaan main futsal. Gue sadar diri kok, gue main bekel aja kalah, apalagi futsal!

Di kejadian lain, gue lagi mejeng di Nusa Penida. Gue pikir, karena gue sering snorkeling, gue juga pasti keren di bawah air, a.k.a. diving. Gue juga asal angguk pas instruktur diving-nya ngasih wejangan. Setelah make pakaian selam sama tabung oksigen, gue pun nyemplung.

Ternyata apa yang di bawah beda sama apa yang ada di atas. Visibility air jelek dan gue megap-megap. Seorang engkong-engkong Norway pun membantu gue naik ke permukaan. Nyokap langsung over dan nyelimutin gue pake handuk warna-warni. Masalahnya, tabung gue masih nempel, begitu juga kacamata dan sebagainya. Gue tambah bingung ketika seorang bule ber-tanktop minta foto bareng gue. Pas dia ngasih liat hasil fotonya, gue paham kenapa dia minta foto bareng. Jelas, karena gue udah gaada bedanya sama kura-kura ninja.

Di kejadian terakhir, gue lagi di Lombok dan nyasar. Tadinya gue cuma mau keliling hotel, tapi bablas sampe tiga kilo jauhnya. Akhirnya gue janjian sama bokap di sebuah warung. Nah, sambil nunggu, gue pun mesen mi instan rasa soto, yang warnanya ijo itu lho! Nah si Mbok penjual nanya dengan ayunya, "Pedas atau nggak, Nak?" Gue stay cool dan sambil benerin headset, gue bilang, "Yang pedes ya Mbok."

Pas pesenan gue ditaro di atas meja, gue bingung karena cuma ada semangkuk air coklat kental. Ternyata pedesnya bukan dikasih saos, tapi cabe!!! Karena duit gue pas-pasan, gue cobain.

Sesendok, nggak kerasa apa-apa.
Dua sendok, gue gelagapan nyari air.
Tiga sendok, gue nangis.

Parahnya, duit gue nggak cukup buat beli minum karena harga semangkuk Indomie *akhirnya kesebut juga mereknya* dibanderol gila-gilaan, 11 ribu!!! Karena pedesnya ekstrem dan gaada cara lain, dengan kreatifnya air kobokan gue minum. Untung bokap gue dateng di TKP persis pas gue nyaris semaput. Akumulasi efek dari makan mi instan terkutuk dan minum air kobokan, gue mencret tiga hari. Pas di Soetta pun gue ninggalin koper di bagasi gara-gara blingsatan nyari toilet.

Pelajaran moral: lidah kita boleh aja bicara bahasa yang sama dengan maksud yang tak beda, namun sesungguhnya, "pedas" adalah satuan yang tak bisa dihitung.

Anyway nulis ini juga bikin gue inget sama mantan gue yang dari F itu. Mari andaikan namanya itu Fuyengcekalih. Nah dulu kan gue bertemu dia di suatu tempat bimbel berinisial P, dan kami sebelahan, trus pacaran, trus putus. Nah sementara sekarang dia di Aussie, gue di Indo ikutan bimbel lagi, kali ini inisialnya G. Di sini, ada juga yang namanya persis Fuyengcekalih dan kami duduk deketan beberapa kali. Tapi Fuyeng yang ini ga akrab sama gue, malah termasuk cold. Dari sini gue belajar, nama boleh sama, tapi kalo hati sudah menetapkan pilihan, lo ga bisa berbuat apapun. Ibarat lirik lagu, "You can't get rid of it cause you remember it all too well."

lundi 12 novembre 2012

Manis Asem Asin Jadi Orang Indonesia

Jadi, beberapa jam sebelum gue nulis post ini, gue terlibat "konflik". Nggak bisa dibilang konflik juga sih, tapi lumayan bikin sewot.

Errr, jadi gue baru kenalan sama cowok via Omegle. Tau kannn Omegle itu apaaa? Kalo nggak tau, errr, berarti Anda masih di bawah umur dan sering nonton Dora. Oke, balik ke cerita. Si cowok Omegle ini, asalnya dari Edinburgh, umur tujuh belas, namanya Marlin *ini nggak disamarkan lho namanya* dan entah kenapa mengingatkan gue pada bokapnya Nemo.

Kira-kira dua puluh menit kita ngechat. Gue cerita banyaaak ke dia. Mulai tentang Si Bocah Aussie yang recently getting closer ke gue, tentang guru Bahasa Inggris yang ngatain gue sesat, sampe tentang temen gue yang naksir Pak Tunggul, guru Fisika terkece di 70 (pas gue cerita ini, si Marlin bilang, "I can't see why you laughed at her. It's ordinary, standard. Here in my town, we don't feel awkward to talk bout lovey dovey things with our teachers.")

Nahhh setelah beberapa lama, dia ngajakin gue VideoChat. Gue merasa oke aja karena gue lagi home-alone. Lagian kan, sapa tau dia ternyata Robert Pattinson yang menyamar *ketauan jomblonya~*

Lalu gue klik "Turn to video chat".

Jengjreng........

"Hi, pal!" sapa gue sok asik begitu mukanya Marlin nongol di pojok kanan bawah. Padahal hati gue lagi jleb parah. Marlin ternyata nggak pale-skinned atau punya bibir seksi, rambut rapi, dan mata tajem kayak Edward Cullen, tapi rambutnya rada jebrak, pokoknya ngingetin gue sama Simon si mantannya Adele itu deh. Tapi mukanya baik dan matanya hijau. Ini pertama kalinya gue ngeliat bule bermata hijau langsung!!!

*hapus kalimat lebai terakhir*

Oke. Begitu gue ngeliat dia dan dia ngeliat gue, dia ngetik, "Wowww, you don't look like Asian at all!"

Gue: "So what do I look like, you think?"
Marlin: "I have no idea at all. When you mentioned 'Indonesia', I know it's a huge part of Asia and when I thought about Asia, Japan was on mind."
Gue: *diem* "Well, Japan and Indonesia are pretty far, though."
Marlin: "I know it, babe." *gue langsung loncat dan nge-capture yang barusan* "Hey, how old r u anyway?"
Gue: "Me? I've turned 15 last October:))"
Marlin: "Are you lying? You look alike my cousin! She's just 11!"
Gue: *diem*

Gue nggak tau dan bimbang. Mau marah lha mbok sepele banget, mau tersipu kok kesannya gampang digombalin. Kan kalo gue yang 15 ini keliatan kayak 11 tahun, pasti deh, pas gue kepala enam, orang-orang bule itu ngira gue tiga puluhan.

Well, soal perbedaan ini, gue bisa jelaskan. Mungkin karena anak-anak Europe sana badannya gede dan udah kenal make up sejak kecil, pas gede mereka keliatan lebih dewasa. Sebagai orang Asia, gue bersyukur karena gue nggak boros muka:))

Tapi asemnya jadi orang Indonesia, pernah beberapa kali bule-bule *notabene European* yang ngotot gue ini orang Jepang, Korea, China, atau Vietnam. Gue lebih ngotot lagi gue orang Indonesia. Begitu mereka baca kata "Indonesia", rata-rata mereka nanya, "Umm, sorry? Where's it?"

Bahasa Inggris gue emang nggak parah, tapi nilai Geografi gue yang bermasalah. Kalo mau ngomong di antara benua Asia-Australia kok nggak spesifik, kalo dibilang deket Jepang jatohnya fitnah, kalo gue tulis letak astronomisnya... ntar dikira gue sok scientific. Ujung-ujungnya gue tulis, "Near Malaysia," atau, "Near Singapore." Parahnya, mereka tau Malaysia itu di mana! Gue langsung gerah dan biasanya langsung gue end conversation. Rasanya tuh... marah. Malaysia cuma sepersekian dari Pulau Kalimantan, tapi kenapa lebih dikenal?

Tapi itu masih mending. Para American beneran bikin tangan gue gatel pengin nyekek. Udah gatau, sok tau pula. Kayak pernah misalnya ada yang nanya, "How's Indonesia diplomatic relation with USA?" Yee, kepo banget? Dikira gue anaknya duta besar kali ya-_-.

But the worst of all, ada seorang bocah 14 tahun dari Montana yang nanya, "Eh, emang bener ye, orang Indonesia masih suka makan manusia? Seburuk itukah kemiskinan di sana?" Gue bales aja, "Yes, and you look nice for my dinner."

Itu belom seberapa. Ada orang yang begitu tau gue orang Indonesia, dia langsung nanya, "Are you Muslim?" dan begitu gue bales, "Yes," dia langsung end conversation. Gitu aja! Gue terpuruk dan langsung nyadar gue baru aja jadi korban rasisme!!!

*brb benerin dasi*

Hmm, tapi nggak semua orang Western itu pelit penghargaan gitu, lho. Gue punya beberapa temen dan kami masih berhubungan akrab sampe sekarang. Ada Sterling si Londonese tulen, Brooklyn dari Florida, Lili dari Wina, sama Rajavik dari India. Nah, yang terakhir tuh baiiikkk banget.

Entah kenapa, soal keramahan, orang Asia memang selalu selangkah di depan. Walau rata-rata negara berkembang, tapi penduduknya nggak miskin senyum. Apa mungkin, andai suatu saat Indonesia jadi negara maju, gue bakal gantian nanya, "Sorry, where's your country located?"

lundi 15 octobre 2012

Istiqlal-Cathedral, Bukti Budaya Damai Masyarakat Indonesia

Ada pemandangan menarik yang mengundang penasaran jika Anda berjalan di Sawah Besar, di dekat Lapangan Merdeka. Di sana berdiri dua bangunan gagah yang membuat saya tercenung dan berpikir. Di ruas kanan jalan berdiri sebuah gereja megah nan cantik bergaya neo-gotik. Berwarna abu-abu, dan atapnya meruncing ke langit, seolah berniat menusuk awan. Di ruas kiri jalan, bangunan yang tak kalah keren, masjid Istiqlal, dibangun. Berwarna putih dengan banyak pilar, membuat saya bertanya-tanya, seindah inikah Taj Mahal di India? Sedangkan Katedral Jakarta sendiri mengingatkan saya akan Sagrada Familia karya Anthoni Gaudi, dengan warna yang mirip.

Siang itu, saya sedang merayakan ulang tahun saya yang ke-15 dengan keluarga dan beberapa orang teman. Maksud hati ingin ke toko Es Krim Ragusa, adzan zuhur berkumandang di tengah kemacetan. Jadilah kami banting setir dalam arti yang sebenar-benarnya. Kami berbalik arah ke Istiqlal, lalu shalat di sana.

Masjid Istiqlal, yang sudah melegenda dengan kemegahannya, rupanya mendatangkan banyak pengunjung juga. Setelah shalat zuhur, saya sempat berbincang-bincang dengan beberapa orang pengunjung, dan ternyata mereka jauh-jauh datang dari Indramayu hanya untuk ke Istiqlal! Jujur, saya tak habis pikir. Tapi buru-buru saya mengingatkan diri, mereka pada Istiqlal tak ubahnya kita pada Bali. Orang setempat menganggapnya biasa, tapi kita menganggapnya tidak biasa.

Masjid Istiqlal sendiri, yang dibangun pada 1978, sedang direnovasi habis-habisan. Cat-cat dan tangga bertebaran di mana-mana. Saya berusaha memaklumi, tapi pemandangan orang-orang yang tidur seenaknya membuat saya miris. Alih-alih tidur di pinggir, mereka malah ngorok seenaknya di tengah jalan! "Simfoni kandang babi," demikian seorang teman berbisik pada saya. Saya terkikik dan membenarkan dalam hati.

Selain pengunjung yang kurang disiplin, konter-konter penyewaan mukena dan sajadah juga belum meluas secara rata. Bayangkan, untuk masjid yang sebegitu luas, saya menghitung hanya ada tiga konter, dan itu pun kecil! Selain itu, banyak pengemis bertebaran di luar masjid. Saya bukannya sinis, tapi menurut saya, ada baiknya mereka ditertibkan.

Namun begitu saya keluar dari masjid, pemandangan indah berupa gereja. Saya kemudian menyandingkannya dengan atap masjid yang memayungi saya. Sungguh indah. Apalagi saya juga dengar, begitu banyak kegiatan amal yang dilakukan dua pihak, masjid dan gereja. Sungguh sebuah bukti budaya damai masyarakat Indonesia masih melekat pada diri kita.

Es Krim Ragusa, Satu Berdua pun Kebanyakan!
Setelah "wisata" ke masjid, waktunya mengisi perut! Kami pun bergerak menuju tujuan kami semula: kedai es krim Ragusa. Letaknya sedikit terpencil, tapi pengunjung berdesakkan, keluar-masuk, mengisi meja-meja. Saya langsung mengantre di depan kasir. Kira-kira 30 menit sebelum pesanan saya jadi. Es krim yang saya pesan, spaghetti ice cream, yang merupakan menu favorit, sangat enak dan banyak. Bahkan walau saya sudah memakannya berdua dengan seorang teman, tetap saja kebanyakan!

Bukannya promosi, sih, saya hanya memberi review dari sudut pandang saya. Mungkin saja nggak objektif. Satu-satunya yang minus dari kedai es krim itu, mungkin ibu kasirnya yang jutek dan kasirnya yang mukanya datar tar tar tar kayak baru disetrika! Well, at least keinginan saya untuk makan es krim Ragusa setelah tahunan nggak nyicip lagi terpenuhi.

Thanks God it's Sunday.
14/10/12.
Esa Khairina.

Goodbye Fourteen!

Hai. Inget nggak ya sekarang tanggal berapa? Oh, tanggal 15 Oktober ya? Kalo sekarang tanggal 15, berarti tiga hari yang lalu tanggal berapa, dong? 12. Ada apa di tanggal 12 Oktober?

Jengjengjengjeng....
*drumrolls*

Okeh. Jadi guys, 12 Oktober itu hari lahir gue. 12 Oktober 1997 tepatnya. Jadi...., automatically sekarang saya sudah resmi berumur 15! Pertengahan sepuluh tahun! YEAAAAY!

*brb ngitungin kado*

Entah kenapa gue sukaaaaaaa banget sama angka 12. Selain tanggal lahir, mungkin sebabnya 12 itu nomor absen gue di kelas, nomor registrasi gue waktu ikut CYCLE Conference'12, dan nama SMP gue dulu. Sedangkan Oktober..... Honestly, I hate October. Nggak tau kenapa. Gue sih bukan pakar feng shui atau pakar telematika kayak Roy Suryo *dan apa hubungannya feng shui dan telematika dengan segala hal ini?* Semuanya bermula sejak tiga tahun lalu. Setiap Oktober, gue siaaaal mulu. Semoga aja "kutukan" itu berakhir tahun 2012 ini, amiin.

Oh iya. 12 Oktober itu juga wedding anniversary Nyokap-Bokap gue, loh. Jadi tuh ceritanya, gue lahir di anniv setahun ortu gue nikah! Whooop, makanya bokap sering banget bilang kalo gue ini "kado" buat doi. Muahahaha.

14, oh 14. Banyaaak banget hal yang terjadi selama gue berumur 14 tahun. Setahun yang kayak Nano-Nano; manis asem asin, rame rasanya~ 12 Oktober tahun lalu, gue diteriakin "happy birthday!" sama anak-anak 12, dan itu pas gue lagi UTS. So many things changed! Tahun ini gue bukan murid putih biru lagi, tapi putih abu-abu. Sekolah gue bukan SMPN 12 lagi, tapi SMAN 70. Gue juga ngerayain ultah dengan teman-teman yang berbeda, walau teman-teman SMP yang sekolah di SMA lain juga ngasih ucapan langsung karena kita training  ESQ bareng.

Mungkin 13 dan 14 adalah usia yang paling produktif untuk gue. Di umur 13 tahun gue nulis beberapa judul buku dan di umur 14, dua dari beberapa itu, terbit. Sebagai penulis, alhamdulillah gue merasa lebih, uhm, dikenal masyarakat, dan gue beberapa kali diundang roadshow sama penerbit. Selain itu... gue juga mengeksplorasi beberapa hobi baru. Nggak lama setelah SMA, gue ikut pementasan teater Telur Emas, di GSRJ Bulungan, 22 September lalu. Yah, walau ada beberapa hal yang nyakitin dan nguras air mata, sih, tapi air mata itu juga bagian dari kebahagiaan, bukan? And I can't be more grateful for those things. Thanks, God....

But life goes on, ppl, and time flies faster than you think. Gue udah bikin resolusi buat umur gue yang sekarang 15 ini. Yap, gue emang nggak kayak kebanyakan orang yang bikin resolusi di awal tahun. Gue bikin resolusi pas gue ulang tahun! Dan berhubung resolusi gue untuk umur 14 banyak yang terkabul, gue harap resolusi gue tahun ini bisa terkabul juga. Amiin.

Once again, HAPPY 15TH BIRTHDAY, ME!

15/10/12
Cheers,
Esa Khairina.

jeudi 20 septembre 2012

AJAL&AGIL: Muka Heavy Metal, Hati Heavy Rotation

Oke, ehem, berhubung ini blog baru gue (yang gue bikin antara rela dan nggak rela, berhubung Multiply mau ditutup), too many tales I wanna write! Sejak gue masuk SMA, hampir udah nggak ada waktu buat ngeblog. Jangankan ngeblog deh yaa, punya waktu buat istirahat aja udah jadi kemewahan tersendiri. Guru-guru gue sangat… sangat… dan terlalu baik untuk memberi kami waktu untuk break. Tiap hari dikasih PR melulu….

Apalagi gue ikut ekskul teater, yang rehearsal-nya bikin gue megap-megap. Tiap hari latihan intensif, jadi yuk menghitung, berapa waktu yang gue gunakan di luar rumah? Gue bangun jam setengah enam dan berangkat sekolah jam setengah tujuh. Pulang jam 2.45 siang, trus latihan sampe jam enam. Hari Senin-Rabu-Jumat, gue kursus Bahasa Inggris. Weekend pun abis buat latihan. Waktu istirahat dipake buat ngerjain tugas. Buntutnya? Tiga minggu lalu gue tifus. Hurray.
Tapi entah kenapa, gue lebih milih capek otak sama badan daripada capek hati. Di rumah cuma diomelin, sama sekali nggak bisa nyante. Dan semakin sibuk gue, semakin besar kemungkinan gue ngelupain hal-hal yang memang seharusnya nggak perlu diingat-ingat lagi. And because I always get tired at night, gue langsung blek tidur begitu nyentuh kasur, gaperlu pake flesbek sama sweet memories in the past, galo, dan ujung-ujungnya spamming di Twitter.
(UDAHAN YUK GALAUNYA.)
Daaaannnn seenggaknya capek badan itu cuma sementara, nggak selamanya, dan gue baru ngerasa capek setibanya di rumah. Di sekolah sih gue hepi-hepi aja dan bahkan cenderung nggak ngerasain capek sama sekali. Mungkin karena gue dikelilingi orang-orang yang miringnya udah 90 derajat.
Temen-temen teater gue itu……. %$^&*() banget, sob. Gila, crazy, insane, terserah Anda mau menyebutnya apa. Bayangin ajaaa, pernah pas yang lain lagi pada latihan, gue sama mereka malah main bentengan dan meng-alay ria di lapangan. Pernah juga yang lebih gila, pas gue lagi banyak-banyaknya tugas, gue dateng ke sekolah lebih awal buat main remi sama Nolilen *NB, bokapnya ini polwan, loh*. Pernah juga gue sama Fianu sama Wedew manjat-manjat air mancur buat ngealay. Random parah, dan sebelumnya di SMP gue nggak pernah merasa segila ini, seliar ini, se-untamed ini….



Dan saking gila dan “keanakjalanannya” mereka (dan gue…), gue punya panggilan khusus. AJAL DAN AGIL. Sadap. Berdarah-darah gitu kesannya. Padahal AJAL itu singkatan buat Anak Jalanan, dan AGIL itu singkatan buat Anak Gila. Dan gue juga punya sentence khusus untuk mendeskrepsikan mereka: Muka Heavy Metal, Hati Heavy Rotation. Wuih.







Muka mereka emang boleh garang, coy, dan kalo ketawa seringnya nyablak, terutama Erma si angub jadi-jadian. Tapi justru karena kecuekannya itu gue jadi merasa lueppassss (PS., gue cuek dan lepas bukan berarti gue make legging bolong ye… *lirik Cherie* Bukan berarti pula gue gegulingan sama tiarap di rumput kayak latihan militernya Be A Man, iya kan, Ce, Dhe?).





Karena mereka juga gue jadi ngerasa free dan hidup sehidup-hidupnya. Seenggaknya masa-masa SMA nggak sesuram itu, lah….


Thank you Ajal-Agil :”)

vendredi 14 septembre 2012

Semut Oh Semut

Oke....

Ketika gue nulis nih blog, yang menjadi objek kajian *sakau sosiologi* gue adalah para semut. Bokap udah sering banget komplain sama sepasukan serangga yang satu itu. Ke mana-mana selalu bawa kawanan. Kayaknya nyaris nggak pernah sendiri. Baru muncul satu, terus muncul lagi dua, tiga, sampe satu komunitas yang membutuhkan kalkulator untuk menghitungnya dengan cermat.

Di rumah gue, entah kenapa, kayaknya semut sama nyamuk betah banget bersarang. Adek gue sampe bela-belain beli raket nyamuk, tapi teteup aje, pada nggak kapok. Doi pun frustasi dan menggunakan raketnya buat main badminton. Begitu kena shuttle cock, bulunya angus semua. Adek gue galau....

Kalo diperhatiin, semut itu nyaris nggak pernah sendiri dan selalu sibuk. Selalu dalam unstopped movement. Selalu berkawan dan berkonsolidasi. Kerjaannya ngumpulin makanan mulu, kayak nggak pernah kenyang *brb ngecek perut*. Saking sibuknya dia, gue sampe nggak bisa ngebedain mana temen mana keluarganya *trus mau lo?*. Saking sibuknya, sampe-sampe suatu detik mereka say hi, dan di detik selanjutnya mereka mengucapkan goodbye. Selalu begitu.

Dan rasanya... gue sedikit agak sama dengan para semut. Orang bilang gue selalu dikelilingi keramaian. Bahkan ada tiga orang yang bilang, "You always get friends that surround you like a shield..."

Sama juga seperti para semut, sejak SMA, gue bener-bener sibuk. SIBUK, dengan S, I, B, U, dan K, semuanya di-caps. Gue selalu berada dalam rutinitas yang membuat gue sering banget mengucapkan "Heeei," dan, "Dadah." Teman gue banyak dan seperti semut, gue juga selalu bareng mereka. We're on our unstopped movement.

And those school task could poison me instead. Guru jaman sekarang mah ngasih tugas seolah-olah minta izin buat kentut. Disukain dan "direstuin" atau nggak, mereka tetap melakukannya. Tugas-tugas jaman sekarang pun udah kayak air aja, ngalirrrr terus nggak brenti-brenti. Bahkan walau gue udah ngusahain buat ngelarin PR di hari pertama PR itu dikasih, gue tetep ngos-ngosan.

Eh, tapi gue dan temen-temen gue sesama grup "poisoned by homework" juga nggak sendiri, kok. Liat aja itu semut-semut.... Emang lo kira mereka ikhlas mikul-mikul remahan roti? Nggak juga sih. Mungkin aja mereka males, tapi di mana-mana prinsip "mau nggak mau harus mau" itu selalu ada, coy. Analogi paling gampangnya gini: kalo orang bisa kaya tanpa kerja, ngapain mereka bercapek-capek berangkat pagi pulang dinihari? Plus bonus macet-macetan di jalan, pula.

Gue mau nggak mau ngerjain tugas karena gue pengin dapet yang terbaik *asekk*. Apalagi di 70, penjurusan nggak dimulai pas lo kelas dua, tapi pas awal semester genap kelas satu. Dan belom apa-apa, gue udah migrain sendiri ngeliat daily schedule gue yang supersesak. Apalagi gue ikut ekskul teater dan tanggal 22 September nanti kita bakalan pentas untuk Lomba SLTA JaBoDeTaBek. Tiap hari latihan efektif, belom lagi tugas-tugasnya. RASANYA TUH..... bener-bener.

Balik ke semut. Sekarang perhatiin deh, apa para semut pernah keliatan galau dan do something useless? Nggak. Bersama semut-semut lain, dia selalu kelihatan sigap ngambil makanan. Tapi di sarangnya... who knows?

And it happens to me, too. People say, "Cha, kayaknya stok senyum lo itu kebanyakan, deh," bahkan banyak yang dengan kurjarnya bilang, "Lo brenti ketawa kek. Belom sikat gigi seharian aja belagu." But they don't know what I feel inside, deep down. Bokap-nyokap gue bukan tipe ortu yang menjadikan globalisasi sebagai pengoyak nilai-nilai yang mereka anut, dan it kinda kills me slowly. Dan adek gue....... walaupun dia punya kuping, tapi seringnya jadi pajangan doang. Sering banget nge-bully gue. Dan gue nggak punya siapa-siapa sebagai tempat berkeluh-kesah. Semuanya udah sibuk sama urusan sendiri-sendiri.

Gue yakin, semut-semut pasti sering galo. Berapa ratus anggota mereka yang mati keinjek per harinya? Mungkin setiap senti sudut rumah adalah kuburan massal buat mereka. Siapa yang tau tiap hari mereka ngadain tahlilan berapa kali? Hayo?

Tapi mereka berusaha menyembunyikan kegaloan mereka dengan terus kerja. Sesibuk mungkin. Segiat mungkin. Secapek mungkin. Harapan mereka, dengan terus begitu, mereka bisa ngalihin pikiran dari hal-hal yang bikin mereka sedih, dan pas mereka tidur, mereka nggak perlu mikirin hal-hal itu lagi.

I feel it, too, and I don't really succeed. Sesibuk apapun gue, setepar apapun, tapi ketika semua kesibukan itu udah abis dan gue tinggal "menggelepar" di atas kasur, pikiran-pikiran itu datang. Flashback ke kejadian indah yang lo tau nggak akan terulang dan bikin lo makin sesak. Berusaha mengejar sesuatu yang lo tau nggak akan tergapai. It's like... try to hold the wind.

Yah, tapi at least, gue sama bahagianya dengan para semut. Seberduka apapun mereka, mereka selalu tau kalo life goes on. Yang mereka pikirin adalah cara untuk survive, dan andai itulah satu-satunya cara untuk bikin gue bisa ngelupain seseorang, cara itulah yang akan gue pake. Gue akan mencoba, dan berusaha, buat ngerti. Ini semua nggak sesimpel yang lo pikir, tapi suatu saat lo akan paham yang gue maksud.

Just like a quote said, "You are the reason why I became stronger. But still, you are my weakness."

mercredi 22 août 2012

Bitter Honey part 1

Wajah Nata berapi-api. Dengan langkah cepat dibukanya gerbang rumah kosnya, lalu ia menghambur pada Rega yang sudah duduk manis di beranda dengan tangan mengepit gitar.

"Reg, Reg! Guess what, gue diajak jalan loh sama Rei! Berdua aja, pula!"

Rega menatap cewek itu, campuran geli dan frustasi. Padahal dia sudah menunggu nyaris dua jam di depan rumah gara-gara pintu Nata dikunci DAN setelah cewek itu nyampe rumah, tanpa basa-basi atau minimal nawarin minum, hujan deras kata-kata meluncur dari mulut Nata.

Dan satu... dua... tiga...

"Rei itu ternyata orangnya lucu, loh, Reg, childish gitu juga kayak lo. Gue nggak nyangka, ternyata di balik otot-ototnya yang square-square itu, dia masih suka nonton Phineas and Ferb! Trus dia bilang dia juga hobi gambar karikatur gitu. Lo mau liat nggak?" tanpa mendengar jawaban Rega, Nata mengaduk-aduk isi ranselnya yang berantakan dan mengeluarkan kertas sketchbook yang dirobek. "Ini diaaa gambarnya! Dia tau loh gue suka Harry Potter, makanya dia bikin karikatur Harry lagi nangkep Snitch! Liat deh Reg! Ada tanda tangannya pula. Ih, tuh cowok lucu banget sih...."

"Ta...." panggil Rega pelan, bosan, karena kalau nggak di-stop, mulut bawel Nata bisa mengoceh empat jam tanpa henti. "Woi, gue laper nih!"

"Laper?" kelopak mata Nata yang besar seperti kelopak bunga matahari membulat. Detik berikutnya, Nata menabok jidatnya yang mendapat gelar kehormatan "jidat lapangan bola" oleh orang-orang. "Oh iya! Lo udah nunggu dari tadi kan ya? Aduh maap maap gue lama. Lo belom lumutan, kan?" Nata langsung bangkit dan merogoh kunci rumah dari saku celana, lalu membuka pintu.

Rega bangkit dan mengekor Nata. "Paling bentar lagi karatan," angguknya kalem. Nata menatapnya hopeless, nyaris ketawa.

"Lo tunggu di sini bentar yaa, perasaan gue masih nyimpen daging hot dog, deh," Nata menggumam nggak jelas sambil menuding sofa, lalu melempar ranselnya ke furnitur itu dan menendang Converse-nya asal-asalan. Tanpa malu-malu dilepasnya jeans, menampilkan celana kodorai biru tiga per empat. Berikutnya Nata menanggalkan pullover abu-abunya, menyisakan kaus chic putih.

Rega cuma menonton semua itu sambil geleng-geleng kepala dan iseng-iseng memetik gitar. Kalo orang, terutama cowok, ngeliat kegiatan Nata di dalam rumah kayak gimana, dia berani jamin mereka pasti langsung ilfeel. Tapi Rega sudah berteman dengan Nata nyaris dua tahun lamanya. Di kelas sembilan, Rega yang anak baru sebangku dengan Nata.

Segala hal yang bisa ia pikirkan kalau ditanya opini tentang Nata bisa dirangkum menjadi satu kata singkat, "Ekstrovert!" Padat, singkat, jelas, kayak ngisi soal ulangan. Cewek itu mungkin cewek paling blak-blakan yang pernah ditemuinya. Bayangin aja, di hari pertama Rega kenalan sama Nata, cewek itu menawarinya pancake, dan setelah Rega menerimanya, Nata langsung mencerocos, "Lo tau nggak, sopir gue lebih jago masak daripada si Mbak, loh! Sopir gue tuh bisa bikin steak sama roti cane, eh tapi dulu pernah dikasih uang buat bikin, masa dia malah nraktir temen-temennya yang tukang bajaj! Kurang asem apa coba? Terus blablablabla..." Rega cuma bisa bengong dengan rahang nyaris jatuh.

Dulu sih, Rega pikir Nata cuma cewek genit yang tiap lima menit sekali ngelirik kaca buat ngebenerin rambut, tapi ternyata dia seratus persen salah. Nata beda banget sama cewek-cewek di lingkungannya. Selain selalu menjadi favorit para cowok buat dikerjain abis-abisan dengan trademark "Jipang" alias Jidat Lapang, Nata juga selalu jadi tempat curhat anak-anak cewek. Dia hampir nggak pernah ngegosipin orang, kecuali ya, itu tadi, tentang sopirnya yang lebih punya talent dibanding kokinya.

Cewek itu sendiri juga superaktif, kata singkat yang merujuk pada supersibuk. Mungkin saking kebanyakan talenta. Nata lihai dalam berdebat, gampang dalam menghafal, jago Matematika, dan punya segudang ide kreatif yang membuatnya jadi kecintaan teman-teman sekelas dadakan pas ulangan Kesenian. Satu hal lain yang bikin Rega makin kagum padanya adalah fakta kalau Nata udah bisa nyari uang sendiri dengan semua talenta itu.

Mungkin karena keekstrovertannya itulah, Nata gampang akrab sama semua orang, tapi Rega tahu dari semua teman-temannya, dirinyalah yang paling Nata percaya. Kalo bukan dia, mana mungkin Nata sampe bela-belain ke rumahnya cuma buat minta tolong menyimpulkan dasi SMP-nya? Mana mungkin Nata selalu minta sepuluh menit setiap hari untuk bisa catch up dan curhat sepuas-puasnya pada dirinya? Mana mungkin Nata selalu menggandengnya jadi partner kalau ada tugas kelompok? Mana mungkin....

"Hoi! Bengong lagi, ntar kesambet lho!"

Lamunan Rega buyar dan ia mendongak ke Nata yang sudah duduk manis di sampingnya. Lagi-lagi. Rambut cewek itu tetap membandel keluar kunciran, tapi Rega tahu itu adalah ciri khas Nata. Menguncir rambut asal-asalan dan menjepit poni ke samping kanan, fanatik dengan merk Converse, selalu memakai jeans, kaus chic, dan pullover beragam. Selalu begitu. Tapi jangan salah sih, Rega tahu jeans Nata berwarna-warni, dan untung kaus, ia tahu betul warna netral adalah warna favorit cewek itu. Sedangkan pullover, Rega sampai hafal urutan warna yang dipakai Nata setiap pulang sekolah. Biru untuk hari Senin. Abu-abu untuk Selasa, merah marun untuk Rabu, turkois untuk Kamis, hijau lumut untuk Jumat.

"Yeee, nih anak, tadi bilangnya laper, sekarang malah planga-plongo kayak sapi ompong gitu. Regaaa, nanti keburu dingin tuuuh!"

Buru-buru Rega mengambil hot dog-nya dari piring, lalu memakannya. Nata sama sekali nggak bisa masak dan itu mungkin kelemahan terbesarnya yang paling nyata, di samping cewek itu juga bego olahraga, tapi Nata selalu jago me-mix and match bahan-bahan beku yang ada di kulkas untuk dijadikan pengganjal perut.

"Eh, gue ada PR Bahasa Prancis nih, susah banget. Reg, nanti bantuin gue yaaa," Nata berujar ringan, sok manis. Ciri khas yang juga Rega hafal luar kepala kalau Nata ada maunya.

"Kalo gue nggak mau, gimana?" Rega membalas datar, menikmati ekspresi ceming Nata. Cewek itu memang paling gampang dikerjain. Gampang percaya sama orang.

Satu, dua, tiga.... Dan meledaklah tawa Rega. "Aduh, duh, duh, jelas gue bantuin lah, Nata, lo itu gampang banget sih dipelonco!"

"Reg, nggak lucu tau nggak!" Nata merengek nggak suka. "Gue udah lupa sama apa yang waktu itu pernah kita pelajarin, sumpah. Gurunya bikin gue salah fokus total. Sok seksi banget sih, bikin gue enek. Padahal lo tau kan, gue ini..."

"Ya, ya, ya..." Rega melanjutkan mengunyah hot dog-nya. Melihat pipi Nata yang menggembung sok ngambek, Rega tak tahan untuk tidak menjawil rambutnya, menarik kepalanya untuk menyender di bahunya. Rega udah biasa banget sama gerakan ini, dan baik dia maupun Nata sama sekali nggak risih.

"Lo baru digituin aja udah percaya. Pantesan aja lo dibooing mantan-mantan lo mulu."

"Ih, nyumpahin ya?" Nata menarik badannya dari Rega, lalu kembali bersedekap, gimik yang sudah Rega kenal kalau-kalau Nata mulai bete.

"Bukannya nyumpahin sih, ngingetin doang," Rega menyanggah santai. "Lo itu terlalu polos dan terlalu ramah, makanya orang-orang pada suka salah paham. Mereka pada ngira lo naksir mereka. Dan giliran lo bener-bener naksir mereka, yang lo taksir itu udah tau titik lemah lo, trus lo dimainin, deh...."

"Sadis lo! Masa iya gue sebego itu, sih," Nata 

dimanche 22 juillet 2012

AYAS HUJUT HULUP! :D

Hai, hai, haaaai, balik lagi dengan saya, Esa Khairina Husein, di WAGSUHM (ini akronim kok nggak enak banget ya...). Anyway, kalo kamu bertanya-tanya, nggak kok, aku nggak bisa Bahasa Latin. Aku pun nggak mahir bahasa planet. Kalo kalian satu sekolah sama gue, pasti udah nggak asing sama tiga kata "ajaib" itu.

Apa? Sekolah gue di mana? Omaigattt, kalian belom pada tau?!?!

Well, ehm, ehm, setelah perjuangan yang bikin ngos-ngosan, belum dihitung dengan melototin buku pelajaran sampe mata congean, hidung belekan, dan kuping ingusan, akhirnya alhamdulillah gue diterima masuk di RSBI SMAN 70 Jakarta. Aih aih aih iya, seneeeeeng banget rasanya xD Soalnya tuh dari dulu udah penginnn masuk sekolah RSBI muehehehe. Bagi kalian yang mau masuk 70, siap-siap pening yaa, soal seleksinya susah-susah banget soalnya :"D Dan bagi kalian yang udah ngerencanain masuk 70 dengan bekal bocoran UN, siap-siap fail. Di sekolah gue yang diutamain itu nilai tes soalnya:)

Setelah dua menjelang tiga bulan liburan (yap, libur anak kelas 9 di Indonesia kurang-lebih mirip summer break-nya para bule), tanggal 14 Juli kemarin gue mulai masuk ke SMAN 70 buat pra-MOS. Saking pewenya gue sama jadwal liburan, mata masih lengkeeet banget buat dibuka jam lima pagi-_- Dan coz it was Saturday, sopir gue jadi nggak masuk (cieeeehhhh udeh kayak anak sekolahan ajayak Pak:"D). Jadilah gue naik motor sama bokap, mana nggak pake jaket pula-____- Tapi alhamdulillah gue masih bernyawa saat turun di depan 70. Bernyawa dalam arti sebenar-benarnya loh yaa.

Abis itu, kebetulan di jalan gue ngeliat cewek pake kerudung yang kayaknya masuk 70 juga, yaudah gue JB-JB dan dengan sokkenalsokdeketnya, gue iseng aja nanya, "Mmm, kamu masuk 70 ya?" Ya, guys, alibi gue memang sangat tidak branded. Nenek-nenek salto juga harusnya tau dia ini Utas di 70.

(P.S. Gue itu orangnya mah emang polite... kalo sama orang yang baru kenal HUEHEHEHE).

Si cewek berkerudung itupun ngangguk dan cteng-jeduar-gukgukguk-meong, kami pun kenalan. Namanya dia Zikra, dari SMPN 75 kalo gasalah (iya kan Zik?). Abis itu kita langsung masuk dan duduk. Setelah itu datanglah Miskah, jengjeng, siapa lagi diaaa? Dia adalah Utas baru juga *plakk, dari SMP Nurul Fikri (NB, gue tau kalian pasti lagi ngernyitin dahi dan mikir, "NF bukannya cuma bimbel doang ya?). Ternyata NF itu bukan cuma bimbel doang loh. Ada juga sekolahnya, tapi BS a.k.a boarding school! Jeguarrrr.

Kita pun mulai bercapak-capak, eh, bercakep-cakep, eh terserah kalian deh maunya apa. Yang jelas kita mulai ngobrol gitu. Mulai dari pertanyaan standar kayak, "Dari sekolah lo berapa orang yang masuk?" sampe pertanyaan yang sangat menohok seperti, "Kalian punya pacar nggak?" Kalo dulu gue dengan riangnya, gembiranya, sampe nari TorTor dan berlarian kayak Dora, sekarang dengan pathetic-nya gue nunduk dan menggeleng. Aih, ironisnya....

Usut punya usut, setelah sekian lama gue inget, "Kok kita belom diumumin ya kelasnya di mana..."

Zikra, "Iya, ya..."

Dan Miskah pun menjerit, "Hah? Kalian berdua belom liat kelas? Itu tuh, ditempel di mading!"

JDUAR.

Mendadak gue merasa bloon sekali. Langsung aja tanpa ba-bi-bu gue sama mereka rushed into the wall magazines. Uft, ramenyooo. Paradoks kedua hari itu adalah, gue nggak sekelas sama satupun dari mereka. HUAAAA.

Miskah di X-7, gue di X-8, dan Zikra di X-10 (FYI, jumlah kelas X di 70 itu ada 11 kelas). Yaudah deh langsung sedih gimanaa gidu hiks hikhs T^T. Tapi abis itu kita ketemu sama temennya Zikra dan temennya lagi--yang, gue lupa nama mereka itu siapa:/ Pokoknya salah satu dari mereka itu di X-7 dan satunya lagi di X-3.

Yaudahlahya, gue langsung gabung sama temen-temen gue di X-8. Kesan pertama: AWKWARD. Mungkin karena gue duduk belakang dan temen gue yang dari 12 yang sekelas sama gue, Ridhwan, beloman nyampe, jadilah gue duduk sendiri. Yang lain tuh dari 11 sama 19 dan mereka membentuk gerombolan hingga saya merasa tak sampai hati untuk JB-_-v Tapi untunglah, ke-awkward-an itu segera teratasi dengan hadir-hadirnya kakak-kakak OSIS yang langsung ngasih tugas dan blabla tentang MOS.

Tema MOS gue: Go Green, yang kalau diartikan lebih lanjut, Tarzan masuk kota.

Gue langsung jleb dan bingung. Bayangin aja, kita disuruh bikin nametag dari kardus yang dibentuk semanggi berhelai empat, dikasih warna hijau. Dikasih foto lagi bercocok tanam dan nama, juga 10 alasan masuk 70.

Tugas kedua: bikin ikat kepala dari rangkaian daun buat para cowok dan dari rangkaian daun+bunga buat para cewek (foto menyusul).

Tugas ketiga: bikin notebook SENDIRI, dari kertas bekas yang dibentuk POHON, 31 lembar (bayangin betapa besar kapalan di tangan gue setelah menggambar dan menggunting 31 lembar kertas dibentuk pohon), cover-nya dikasih warna coklat+hijau, dilaminating, dan dijilid sendiri pake pita hijau.

Tugas keempat: bikin esay kesan pertama masuk 70 dua halaman, apa yang sudah dan akan dilakukan untuk lingkungan tiga halaman, dan curhatan tentang MOS lima halaman. Berapa jumlahnya, anak-anak? Ya, pintar, 10 halaman. Modar modar dah tuh tangan.

Tugas kelima: bikin bekal rimba. Jadi gini: tempatnya itu stoples kue lebaran yang bening itu, dialasi daun pisang. Nasi diletakkan di atas daun, dengan brokoli ditancep sebagai pohon, kangkung dibentuk semak-semak, dan ayam suwir dan telur yang ditabur rata. 

Pas pulang, gue langsung kelimpungan nyari bahan. Apalagi waktu yang dikasih cuma satu setengah hari. Tapi alhamdulillah, gue mendapat bantuan dari keluarga. Ayah yang ngebikinin gue iket kepala itu, adek ngerjain notebook gue, dan nyokap sebagai penyalur camilan muahahaha. Sedangkan untuk nametag itu gue sendiri yang bikin. Ya, kawan, hidup itu memang sulit....

Langsung kita skip yaa ke hari Senin. Gue udah kayak orgil karena nenteng-nenteng segala macem itu pake plastik. Tapi ternyata 317 Utas baru pun bernasib sama dengan gue. Gue langsung ketemu Zikra sama Miskah, yang udah dapetin temen-temen baru. Ada Tyas dari X-2 dan Taqiya dari X-10. Lama-lama gerombolan kami pun bertambah. Ada Whiska (iya, pas pertama kali denger namanya, yang gue inget adalah makanan kucing gue) dari X-7, Shahna dari X-2, dan Kishy dari X-10. GUEDOANGLOHYANGDARIX8 MUAHAHAHAHA. Aduh rasanya langsung jadi unique gimanaa gitu :s (padahal diem-diem panik).

Dari mikrofon, kita disuruh ngumpul di lapangan buat apel pagi (FYI, lapangan di 70 itu ada TIGA HAHAHA). Gue duduk paling depan sama Tania dari SMP... lupa. Pokoknya gue duduk sama dia paling depan. Di belakang gue ada Caca sama Intan.

Terus yaaa selanjutnya blablabla, kalian pasti tau lah gimana itu upacara. Gue rasanya rada gimanaa gitu pas ngeliat anak lain disuruh maju buat jadi Paskibra gitu. Harusnya anak 12 kek yang maju, soalnya Paskib adalah trademark SMP kami selain cheers dan MD-nya yang nggak kalah maju.

Lanjut. Kelar apel, anak-anak X-7 sampe X-Inter (Inter itu maksudnya Internasional. X-11 itu maksud gue X-Inter) diangon *lu kate kambing* ke ruang multimedia. Fuih, legaa, soalnya X-1 sampe X-6 itu di ruang audio visual di lantai dua (atau lantai tiga? Entahlah). Ruang multimedia itu nggak segede aula-nya 12, malah cenderung sempit X.x Akhirnya gue dapet tempat duduk di deket Miskah sama Whiska (ya, entah kenapa gue selalu kedapetan tempat duduk deket ni anak dua). Pas istirahat makan, gue pun muter badan buat makan bareng temen-temen gue. Di situ gue dapet beberapa orang tambahan temen, Almira dan Ira dari X-7 (I told you, nama anak X-7 itu sungguhlah bikin keder). Ada juga anak X-7 cuma gue lupa namanya HAHA.

Skip ke hari kedua. Di hari kedua itu, gue sama temen-temen diajak tur keliling 70 sama PJK kami, Kak Dara. Gue duduk sama orang yang berbeda (lagi), namanya Firda, dari SMP 11. Entah kenapa gue selalu dapet duduk paling depan gitu ya :/ Tapi pas di ruang multimedia, gue sama Firda kepisah karena gue memilih nyempil di belakang bersama gerombolan anak X-7 (waktu itu gue dan X-8 masih berjarak, azrek).

Abis itu kita ngeliat Demo Ekskul. KEREN-KEREN SEMUA SUBHANALLAH! :"D Rasanya tuh kayak mau nangis (#lebaitapinyata) ngeliat demonya, sumpah keren-keren, nggak ada yang nggak keren apalagi jelek! Tapi yang paling kocak dan seru itu Teater70. Jadi mereka bikin parodi serial Glee yang "diobrak-abrik" abis-abisan dengan memasukkan HarryPotter, Hulk, sama Si Pitung. Pokoknya kereeen! Yang bikin Utas excited sih pasti karena tiap ada performance, selalu dibagiin selembaran yang dikasih permen gitu muehehe #plak.

Selain Teater70, yang bikin mata gue melotot tot tot itu Pusdok a.k.a Pustaka Dokumentasi, basisnya di fotografi gitudeh. Mereka kan ngadain kuis gitu, guess what the present! HP SAMA DIGICAM WOIII! Gue udah langsung speechless. Gue kira kan kardusnya doang HP sama kamera, eh nggak taunya bener-bener isinya barang elektronik itu!

Vocal group juga keren, walau gue cukup tau diri untuk nggak ikut ekskul ini karena suara gue yang... yah begitulah. Ada kakak kelas yang cantiiiik banget dari vocal group, dia nyanyinya enjoy banget gitu dan keliatan ramah.

Di hari ketiga, gue yang tadinya nggak semangat jadi bener-bener semangat 45 karena ini hari terakhir. Di hari itu, pas apel gue tadinya duduk sama cewek koplak dari 11, namanya Fianisa Tiara, biasa dipanggil Fiani, Fia, atau Fianu (yang terakhir itu gue yang ngasih muehehe). Awalnya tuh gue kira dia anaknya serius karena mukanya tipikal-tipikal Albert Einstein gitu, belom diitung dengan kerajinannya mencatat dan gemar memakai kacamata #asrek. Tapi ternyata anaknya koplak dan sering ngatain gue gila padahal sendirinya lebiiih :"D Dia juga yang "meracuni" gue untuk ngasih surat cinta ke Kak Nugi (yap, gue juga dikasih tugas nulis surat cinta buat kakak OSIS). Ada juga Hardina, Ucca, sama Ayu, para alumni 19. Abis apel pagi, para kakak-kakak OSIS kembali "mengangon" kita ke ruang multmed, trus abis ada materi dan blabla yang gapenting *pisss, Bu, Pak-_-v* kita kembali nonton demo ekskul! Yeay!

Bedanya sama kemarin, hari itu kita di lapangan tanpa rumput *bahasa macam apa ini..* Gue bingung harus ngejelasin gimana karena kalo diitung-itung, lapangan di 70 itu ada empat atau lima. I don't know how to show it. Pokoknya di salah satu lapangan, deh!

Demonya kembali berlangsung dan nggak kalah seruuu dari yang kemarin walo duduknya mpit-mpitan kayak sarden dalam kaleng. Kalau yang kemarin itu lebih ke art, yang sekarang ini lebih ke science dan olahraga. PKC-nya kereeen, begitu pula Trads-nya. Tapi mungkin yang paling bikin gue antusias sih SKIR kali yaaa..., soalnya kakak-kakaknya kece-kece keliatan pinter muehehehehe *jomblo detected*. Ada lho salah satu kakak-kakak yang miriip sama Jerawati, cuma tinggi dan... amboiiii manisnyaaa hehe, umm.... *rapiin rambut*

Lagi semangat-semangatnya, antusias-antusiasnya, dan berbagai nya-nya yang lain, eeeh tiba-tiba aja mendung trus gerimis T^T Gue dan yang lain, yang mirip korban tsunami Aceh 2004 (plusss topi tarzan dan nametag berlilit daun ini...) ngungsi ke musro. FYI, musro itu akronim untuk music room haha. Iye, tau kok akronimnya itu emang kurang enak didengar gimanaa gitu.

Entah berapa kali kita bolak-balik musro-multmed-lapangan, tapi yang pasti, akhirnya Trads, tari tradisional 70, cuma separo yang tampil, dan gue rada prihatin sama kakak-kakak PKC a.k.a. Persada Karya Cipta, ekskul yang bergerak di bidang cheers sama MD *modern dance*. Udah jejingkrakan sana-sini, mati-matian latihan tiap hari, eh gajadi tampil. Padahal gue yakin cowok-cowok pasti paling menantikan yang satu itu... #digampar.

Akhirnya terpaksa demo ekskulnya berhenti sampe di situ dan kita dipulangkan, hiks hiks T^T Mungkin ini tuh demo ekskul paling tak terlupakan seumur hidup, soalnya heboh, excited, dan hal-hal seru lainnya. Pokoknya bangga banget deh jadi anak 70!

Hal yang bikin gue rada guilty mungkin karena 70 itu bikin flashback banget sama sekolah lama gue, SMPN 12. Bangunannya yang eco office, catnya yang hijau, pohon-pohonnya, lapangannya yang luas..., pokoknya semuanya! Malah anak-anaknya juga bikin flashback:") Miskah itu rada mirip sama anak 12, Ocang, trus Kishy miriiiip sama Dwita, classmate gue di kelas 9. Shahna, dari muka sampe selera humornya, bikin gue kangen Afifah yang ndut, trus Taqiya juga mirip-mirip sama Zahra. Dan yang terlegendarissss, Fiakoplak bener-bener ngingetin gue ama Dyna, temen seberang bangku di 12, sekarang dia di 6. I can't calculate how much I miss 'em, my schoolmates:"(

But life goes on and on, and everyone will be moving on. Kita kan ga bisa stuck di satu tempat. Hidup bakal terus berlanjut dan kita akan terus bergerak. Masih banyak loh orang-orang baru yang ada dalam list takdir untuk diperkenalkan ke kita, dan mungkin juga... jodoh gue ada di dalem list itu *aheeem*, walau gue masih berharap jodoh gue si anak Aussie itu sih....

Stop stop galaunya! Kita lanjut...

Nah waktu gerimis-gerimisannya itu, masih sempet-sempetnya Kak Candrika, ketua OSIS, teriak, "JAYA TUJUH PULUH?"

And we answered, "AYAS HUJUT HULUP!"


dimanche 15 juillet 2012

Oh, Hazel Part 1

Halooo, semuaaa, apa kabar?! Berjumpa kembali dengan saya Esa Khairina hihi. Nggak tau kenapa saya jadi kepingin nulis cerpen yang lebih "dark" dan lebih mellow *efek galau berminggu-minggu*. Enjoy this story muahahahahaha *ketawa jahat*. Short story with rare dialogue.

WARNING! THIS IS FOR 13+! Jauhi anak Anda yang masih kecil!

*****************************************************

Sebelum membaca kisah ini, kuperingatkan kau, mungkin kau akan terdiam dan tercenung, lalu berpikir, "Bagaimana mungkin hikayat seperti ini baru diberitahukan pada dunia berabad-abad setelahnya?" Ada alasan yang bagus mengenai hal itu, dan hal itu adalah: perang.

Perang merampas segalanya. Perang yang meluluhlantakkan Bumi dan lautan menjadi keping rekahan. Perang yang mengobarkan jerit dan makian, juga air mata mereka yang ditinggal mati orang-orang yang dicintainya. Dan, karena perang pula, aku memutuskan untuk menyebarkan kisah ini bertahun-tahun silam.

Kisah ini bermula di suatu tempat nun jauh di Inggris, di kota terpencil di Derbyshire, pada 1821. Yeah, kautahu mengapa aku baru mengenalkanmu pada cerita ini sekarang, bukan? Di masa itu, Charles Dickens baru saja menulis kerangka Oliver Twist dan Prancis sedang bersedih atas kematian Bonaparte. Dan aku tak mau menambahkan kesedihan mereka yang traumatis akibat melihat orangtuanya diculik atau mendengar letup senjata. Saat-saat di mana kedamaian adalah hal yang langka, sekaligus sangat didambakan.

Tapi berbeda dari keluarga lain yang hidup dalam kesusahan, keluarga Tristan Clayworth tak pernah kekurangan makanan. Mereka hidup nyaman di sebuah rumah bergaya Victoria di Derbyshire. Sebagai seorang dokter, Tristan dibutuhkan orang banyak dan bangga bisa menolong orang. Hidupnya bahagia, jauh lebih mencecap kebahagiaan daripada pria-pria malang yang menjadi militer di masa itu. Apalagi, ia memiliki seorang istri paling jelita sedaratan Inggris.

Nama wanita jelita dan beruntung itu adalah Elizabeth Clayworth, walau Tristan kerap memanggilnya "Eliza" di saat-saat berdua mereka. Dengan kulit putih dan mata hijau dan bibir merekah merah dan rambut kemerahan yang bergelombang hingga siku, jelas tak perlu ditanyakan kenapa Tristan begitu mencintai wanita ini. Tristan, sementara itu, juga mampu mengimbangi kecantikan istrinya. Tristan sangat gagah di usia 21 tahunnya, dengan rambut pirang dan mata biru yang tajam. Tubuhnya tinggi dan kekar, dan itulah poin utama yang menyebabkan Inggris menjadi begitu basah oleh air mata para gadis begitu tahu Tristan menikahi Elizabeth.

Hidup Tristan dan Elizabeth sudah sangat lengkap, dan Tuhan melengkapi kelengkapan itu dengan menghadirkan seorang bayi laki-laki tampan yang mewarisi rambut ayahnya dan mata ibunya. Andrew namanya. Selain berlimpah kasih sayang orangtua dan harta, ada satu lagi teman Andrew.

Hazel namanya. Seorang gadis sembilan belas tahun yang amat kikuk yang diselamatkan Tristan dari badai salju saat ia melakukan ekspedisi ke suatu tempat yang sekarang kita kenal dengan Atlanta. Berbeda dari keluarga Clayworth, rambut Hazel berwarna madu sesiku dengan poni pendek di dahi. Ketika sadar setelah koma enam minggu, tak ada yang diingat Hazel tentang dirinya. Yang ia tahu adalah, ia ditolong seorang malaikat tampan Tristan Clayworth.

Dan karena bola matanya yang indah sewarna hazel, maka Tristan menamainya dengan nama buah itu. Dan tanpa nama belakang, karena Tristan tak tahu dari mana asalnya. Setiap hari Tristan merawatnya, dan selalu hadir saat Hazel membuka mata, yang, membuatnya berharap saat ia membuka mata, Tristan sedang tidur di sampingnya.

Oh, ya, tentu saja. Tebakanmu benar, kawan. Tentu saja seperti cerita-cerita lainnya, Hazel pun jatuh cinta pada Tristan.

Ia jatuh cinta pada cara Tristan bicara. Ia jatuh cinta pada cara Tristan memandangnya.

The way you walk, way you talk, way you say my name; it's beautiful, wonderful, don't you ever change.

Tapi tentu saja Tristan berubah. Segalanya berubah pada hari itu, hari ketika Tristan memberitahunya bahwa ia jatuh cinta pada Elizabeth Leatherby, putri seorang dokter senior itu. Tentu saja Hazel tahu, dan cukup tahu diri, bahwa sebagai pembantu, ia bukan apa-apa dibanding Elizabeth. Tak peduli seberapa banyak orang yang mengatakan bahwa ia begitu mirip dengan Elizabeth. Tidak, ia sama sekali tak bisa mengimbangi kesempurnaan Tristan Clayworth.

Maka alih-alih menangis di pojokan atau ber-shower guna menghilangkan kegalauan(?), Hazel berdiri tegak sebagai bridesmaid untuk Elizabeth, dan sebisa mungkin menahan diri untuk membayangkan dirinya-lah yang dicium dan digenggam tangannya oleh Tristan di depan altar. 

Hati Hazel remuk, tentu saja, tapi sekuat apapun ia berusaha, retakan di hatinya tak cukup kuat untuk membuatnya membenci Tristan Clayworth, atau bahkan Elizabeth Leat- maksudku Clayworth. Hazel tahu bahwa ia menyukai siapapun yang bisa membuat Tristan bahagia. Walau ia menghabiskan malam-malam dengan susah payah menahan tangis melihat Elizabeth dan Tristan berciuman atau berpelukan, ia selalu suka melihat senyum yang tercetak di wajah Tristan. Yah, walau ia lebih suka melihat Tristan bahagia jika bersamanya.

Yah, jadi begitulah hari-hari yang dihabiskan keluarga Clayworth. Aman, damai, nyaris tanpa huru-hara. Hingga suatu Jumat kelabu di bulan Desember yang dingin, saat itu tiba.

Elizabeth yang sedang bermain dengan Andrew mendadak mendengar suara letup senjata di luar, dan ia langsung mengintip lewat jendela. Jantungnya langsung berdebum keras saat melihat pasukan sekutu berdiri di ambang jendela dan langsung menembaki rumah mereka. Elizabeth segera berlari, membawa Andrew, namun sayangnya, nasib tak berpihak padanya.

"ANDREW! MENANGISLAH, ANDREW! TRISTAAAAAAAN!"

Kemudian jerit itu bertambah panjang saat Elizabeth yang malang diseret ke luar untuk menaiki mobil sandera. Para tentara sekutu menembaki seluruh rumah hingga habis, dan akhirnya menemukan Tristan yang sedang bekerja di kamarnya yang kedap suara.

"Di sini kau rupanya..."

Tristan tersentak, namun terlalu terlambat untuk menyadari pengepungan rumahnya. Segera ia meneriakkan nama Elizabeth, agar wanita itu melarikan diri, namun terbahaklah tawa kemenangan orang-orang itu.

"Tristan, kau ini benar-benar naif. Cerdas, namun naif. Sudah terlambat untuk memanggil istrimu yang cantik itu. Dia mungkin sedang dalam perjalanan ke alam baka...."

"ELIZABETH!"

Namun percuma saja sebenarnya. Tak ada lagi Elizabeth di rumah itu. Lutut Tristan melemah, dan sebelum melakukan perlawanan apapun, para tentara langsung menembaknya, di kaki dan di dada.

Tristan ambruk ke tanah, kepalanya membentur lantai hingga darah mengalir keluar. Para tentara sekutu mendengus dan keluar dari kamar itu, lalu mulai menembakkan pelurunya membabi buta untuk memastikan tak ada lagi kehidupan yang tersisa.

Kemudian mereka keluar dari rumah, tanpa menyadari bahwa masih ada satu orang yang mampu bangkit dari semua kekacauan itu.

*****

Tristan... Andrew...

Pikiran itu berkecamuk dalam kepala Hazel. Ia melangkah dengan hati-hati di antara reruntuhan, berharap agar langkahnya tak sampai didengar oleh makhluk hidup mana pun. Beruntung, saat penyerangan itu berlangsung, ia sedang memasak di dapur, tempat terdekat dengan ruangan bawah tanah yang memang berfungsi menjadi tempat perlindungan saat perang.

"Tristan..." Hazel terengah-engah dan langsung berlutut di samping majikannya begitu melihat Tristan dalam keadaan tak berdaya. Ia langsung menempelkan kepalanya di atas dada Tristan.

Ia... jantungnya masih berdetak!

Tak tahu harus bagaimana, Hazel mengobrak-abrik laci penyimpanan Tristan, lalu mengambil semua obat yang ia dapatkan. Dengan berbekal sumpit aneh dari besi, Hazel mengeluarkan peluru dari kaki dan dada Tristan, lalu menyeret kereta dorong yang sering ia lihat membawa pasien di atasnya. Dengan susah payah diangkatnya tubuh Tristan ke atas kereta, kemudian didorongnya kereta itu ke ruang bawah tanah.

Tak tahu lagi apa yang bisa ia lakukan, dilepaskannya apron yang ia pakai sebagai selimut, lalu ia keluar untuk mencari Andrew. Mata Hazel terbelalak begitu menemukan anak malang itu tergeletak tak bergerak di bawah reruntuhan.

"Andrew..." bisiknya pedih. "Oh, Andrew.... Jangan mati, kumohon. Oh, Tuhan...."

Diperiksanya detak jantung Andrew, sama seperti ia memeriksa detak jantung Tristan, namun dada kecil yang rapuh itu tak bergerak, tak berdetak. Tangan mungil Andrew terasa dingin dan kaku, dan wajahnya mulai membiru.

"Tidak, Andrew..."

Maka menangislah Hazel yang malang, menyadari bahwa seluruh hidupnya telah direnggut oleh perang. Tertatih-tatih dalam cuaca menggigil, ia mengambil cangkul di gudang perkakas, lalu mulai menggali segunduk tanah di belakang halaman. Dengan penuh cinta dan air mata (sumpah ye, gue lebai sangat), dikuburkannya Andrew, dengan ranting kayu kering sebagai nisan yang rapuh.

Dibiarkannya dirinya menangis, untuk yang terakhir kali, sebelum akhirnya Hazel bangkit dan melempar cangkul itu dengan asal.

Hazel menghapus air mata dengan punggung tangannya. Sekeras dan semenakutkan apapun hidup, ia punya satu keyakinan. Ia yakin bahwa ini hanyalah awal.

*****

Sementara Tristan terus tak sadarkan diri di ruangan bawah tanah, Hazel mulai merambah Desember kelabu yang bersalju untuk mendapatkan pertolongan. Untuk menolong Tristan, tentu saja. Walau ia nyaris mati sendiri jadinya.

Lututnya menggoyah dan perutnya keroncongan, tapi di setiap helaan nafas yang berembun, hanya nama Tristan yang Hazel sebut. Ia harus tetap jalan. Ia harus mendapatkan pertolongan untuk Tristan. Namun itu sangat sulit. Inggris membara di luar sana, membalas pesawat tempur yang menjatuhkan bom dengan senapan angin. Akibatnya? Lebih banyak korban dari yang seharusnya. Inilah yang disebut perang. Nyaris tak ada yang disebut akhir yang sesungguhnya.

Dan akhirnya, pada Christmas Eve-lah pertolongan itu didapatkannya. Hazel yang nyaris seperti gelandangan, terjatuh di depan sebuah rumah sosial. Sang pemilik rumah sosial yang melihatnya langsung membawanya masuk ke rumah, memberinya makan dan selimut.

"Ini semua bukan yang kubutuhkan!" tandas Hazel, walau merasa kepalanya berkunang-kunang. "Orang yang kusayangi sedang sekarat di rumah, dan dia bisa mati! Aku harus menolongnya, kumohon bantu aku...."

Dan si pemilik rumah sosial yang baik hati pun mengabulkannya. Bersama seorang dokter, diikutinya Hazel hingga ke reruntuhan rumah mereka di Derbyshire, lalu diangkutnya Tristan yang nafasnya mulai pendek kembali ke rumah sosial. Hazel bernafas lega, tapi tak bisa selega itu.

"Mr Claysworth menderita infeksi. Akibat peluru itu. Dan kedua kakinya lumpuh total mulai sekarang."

Menangislah Hazel yang malang akan nasib yang harus diterima tuannya. Ia menangis di sebelah ranjang Tristan hingga tertidur, lalu mulai mengurusi keperluannya begitu bangun, dan pergi membantu si pemilik panti sosial. Begitu seterusnya. Hingga pada pertengahan Februari, Tristan akhirnya tersadar.

"Tristan! Oh, astaga..." Hazel berbisik penuh sukacita, lalu mulai menciumi tangan Tristan yang masih lemah. Begitu bersyukur hingga ia menangis.

"Eli... Elizabeth...."

Keriaan sementara itu terhenti, dan Hazel hanya bisa menatap kosong Tristan yang tersenyum begitu lembut, senyum yang begitu berbeda dengan yang selama ini ia berikan pada Hazel. Kemudian Tristan mengangkat tangannya yang bergetar, mengelus pipi Hazel, dan menyeka air matanya.

"Jangan menangis, Eliza-ku."


-Part 1 END-
15/7/2012, 12:17 pm.
Dedicated for Fadel Andrea Lazuardi.
Sukses dan longlast terus yaa sama Jenna!
\^^/