lundi 27 juillet 2015

Pada Tanah Retak

Kemarau yang mengerontang
menggugurkan daun mahoni
kutatap jejak berdebumu
di tanah retak
tidakkah mereka berjanji akan kembali?

Berayunlah aku
pada kerangka besi
yang berkarat dan mengerat-erat
mecegahku mengejarmu
maka aku duduk dan membaca
sepucuk surat, selantun sajak
tentang mimpi-mimpi masa muda
tetap aku akan menunggu
kepulanganmu di musim salju

Taman Villa Sawo,
27/6/15, 11:33 a.m.

samedi 27 juin 2015

Parsel Pra-Lebaran



Hey, young folks! How’s life? Me, I’ve been stuck in my house for the last two months, doing nothing really—jadi kalo ada yang ngajak bukber there’s 80% chance I’ll approve your “proposal”—until I came up with the idea to do a giveaway!

Yaaay!

Tunggu dulu! Giveaway apa, Kak Echa?

Giveaway buku-bukuku! Ada lima judul yang bakal kubagikan ke beberapa (I haven’t decided the precise number) teman yang beruntung! Gimana caranya? Coba buka akun Facebook teman-teman, lalu cari kolom Search, dan ketik: Esa Khairina. Klik opsi “Add as friend” kalau teman-teman belum berkawan dengan saya, lalu buka profile Esa Khairina. Sudah? Nah, kalau sudah, seharusnya post giveaway ada di bagian teratas profile page.

Tapi, layaknya semua giveaway, pasti ada struggle yang harus teman-teman hadapi demi mendapat apa yang di-giveaway-kan (did I just invent the word wow Echa wow). Peraturan dan caranya bisa kalian simak sendiri di post tersebut :3

Terus, gunanya post di blog ini apa, dong?

Gunanya adalaaaah… memberi kalian sinopsis dari buku-buku yang bisa kalian pilih! Ada lima judul, dan berikut rinciannya:


Bluish 3:
Entah apa yang merasuki pikiran Mum. Beliau berambisi mengubah Blue yang tomboi jadi cewek girly. Wah, apa kata dunia? Ledekan mengalir dari teman-temannya. Blue dibilang kerasukan arwah feminin, lah, labu Halloween, lah, boneka voodoo, lah, bahkan drakula! Ih, serem amat! Dan yang bikin kesal, Mr. Fernando tidak menghargai kejutan dari Blue. Masa kejutannya dibilang sampah? Blue juga pusig memikirkan cara menyelamatka Ginny dan Geneva. Konser Bluish jadi terganggu, sehingga menimbulkan perpecahan di antara para personel Bluish. Adakah cara menyatukan mereka kembali?

The Journal of Parisien Girl:
Perjalanan. Buku harian. Teman baru. Tempat baru. Emma tiba-tiba terlibat dalam perjalanan yang tak pernah dia bayangkan. Saat menikmati es krim di sebuah kafe kecil, dia menerima sebuah jurnal misterius. Emma harus mengikuti petunjuk dan teka-teki dalam jurnal itu. Emma mengganti namanya. Dia mendapat dua tema baru dalam perjalanannya. Mereka membanu memecahkan teka-teki dan petunjuk dalam jurnal. Namun, seiring kaki melangkah, Emma penasaran… ke mana jurnal ini akan membawanya? Dia munking menikmati setiap petualangan yang tercipta dari semua teka-teki yang dipecahkan. Namun, bagaimana jika garis finish tak pernah ada di ujung jalan?

Fearfacer 1:
Niat Kei dan Lazu berlibur sebulan di London tak berjalan sesuai harapan. Tidak ada London Eye, Westminster Abbey, atau Buckingham Palace. Tinggal bersama keluarga aneh yang mereka juluki “The Franks” terasa begitu datar, sampai Kei memutuskan bertualang sendiri. Penjelajahan tanpa arah mempertemukannya dengan Adrian, yang mengaku sebagai cucu Sherlock Holmes. Tertular virus Adrian, Kei menyisir daerah-daerah tak biasa sehingga dia menemukan jurnal terakhir Holmes.

Di tempat lain, Lazu menemukan petualangannya sendiri. Direkrut menjadi anggota kehormatan organisasi sekelas CIA menjadi mimpi buruknya, dan sayangnya justru menjadi nyata. Keputusasaan, rasa lelah, dan memar di sekujur tubuh menjadi makanannya sehari-hari.

Bagaimana bila di akhir, segalanya menjadi lebih pelik daripada perkiraan mereka? bagaimana jika hanya karena jurnal tua, persahabatan, kepercayaan, dan loyalitas tak lagi ada harganya?

Fearfacer 2:
Pulang ke Jakarta, kota yang ribuan kilometer jauhnya dari London, tidak menjamin keselamatan Lazu dan Kei. Orang-orang yang mereka sayangi terancam. Terbukti, tidak berapa lama setelah kepulangan mereka, Cleo diserang orang asing. Dan ketika surat wasiat ayahnya menyatakan Kei dan Lazu harus kembali ke London di bawah naungan Charles Frank, keduanya tahu tidak ada gunanya menolak takdir.

Di London, Kei dan Lazu diresmikan menjadi anggota keluarga Frank dan menempuh pendidikan di Frank Academy. Romeo Frank sang pengkhianat ditugasi menjadi tutor Kei dalam latihan fisik, dan itu membuat Wendy Prescott yang menyukai Romeo memusuhi Kei. Dari situ, Kei tahu, masih banyak misteri yang harus dia pecahkan, masih banyak pertanyaan yang belum terjaab, dan masih banyak risiko kehilangan yang ditanggungnya kelak.

Ghost Dormitory in Vienna:
Eureka Bernstein tidak dinamai seperti itu kalau Tuhan tidak memaksudkannya untuk mengalami sesuatu. Kemiripan namanya dengan Ethel Bernstein, salah satu putri Vienna, bukan hanya kebetulan semata. Bahkan, semua semesta yang dialami Ethel juga dialami Eureka. Ketika Eureka benar-benar datang ke bekas kastil Ethel, secara misterius ditempatkan di kamar telarang di ujung lorong, dan entah bagaimana caranya bertemu biola tua itu… sejarah akhirnya terulang.

Semua balas dendam, semua rasa sedih, semua perasaan cemburu, membuat arwah Ethel yakin bahwa Eureka perlu tahu bagaimana masa lalunya yang kelam. Sekaligus memberi tahu pada seluruh dunia, Ethel tidak pernah pergi meninggalkan semesta ini.

Apa yang harus Eureka lakukan sekarang, ketika semua teman terdekatnya berada di bawah ancaman dan nadi kehidupannya sendiri setipis kabut? Kematian memang tinggal sejengkal lagi jaraknya dari Eureka. Namun dia tetap bisa memilih, akankah dia menyerah, atau justru berjuang?


Gimana, gimana? Cukup menggiurkan? Hehehe, lumayan kan, sembari menunggu adzan maghrib waktu berbuka, bisa putar otak dan peras kreativitas untuk meluluhkan hati Echa (ciaaat) (emang masih punya Cha?) (uhuk).


So, what are you waiting for, guys? Join the fun and may the odds be ever in your favor! :D

lundi 18 mai 2015

614

Pesan moral yang bakal gue kasih ke lo-lo pada bahkan sebelum sesi curhat dimulai: bus yang langka dan penuh lebih banyak memberi pelajaran hidup daripada bus yang pasaran dan sepi.

Menurut gue it makes sense sih, since there goes the famous quote: you never really get to know someone until you see them at their worst. Semakin buruk situasi yang lo hadapi, semakin melorot topeng yang lo pakai dan perlihatkan ke orang-orang. Di scenes seperti itulah kita bener-bener mempelajari watak seseorang.

"Oh, si A kalo udah emosi orangnya abusif, padahal kelihatannya kalem."

"Oh, si Z kalo laper jadi self-centered banget ya, semua mesti nurutin kemauannya."

Etc.-etc.

Di bus nomor 614, jurusan Tanah Abang-Pasar Minggu, gue mengenal berbagai wajah original (bukan paha atas aja yang original) berkerumun. Former status gue sebagai pengangguran menjelang kuliah yang menyibukkan diri dengan intensif SBMPTN di BTA bikin gue rutin naik bus itu, pergi dan pulang. Earlier this year, gue pernah nge-post tentang lansia yang mengingatkan gue akan kakek gue dan nahan gue biar nggak jatuh, juga malaikat yang ngasih gue kantong kresek pas hujan deras. Well, di waktu-waktu lain, ada kalanya gue kurang beruntung dan malah ketemu wajah-wajah yang malah kurang menyenangkan.

Pernah, gue yang udah duduk manis di bus penuh sesak, berdiri dengan maksud ngasih tempat duduk ke ibu-ibu yang bawa tas banyak banget. Eh, malah diserobot mas teng nggak tau diri. Gue udah nahan keki banget, si ibu juga kelihatan prihatin. Tapi nggak ada yang negur, dan nggak ada yang bisa gue lakukan selain menghela napas panjang. Panjaaaaang sekali.

Bukan sekali-dua kali gue ketemu laki-laki dewasa berbadan kekar yang nggak mau give up their seats untuk orang yang lebih membutuhkan, i.e. wanita hamil, lansia, penderita disabilitas, kids in kindergarten/elementary school uniform. It's sickening, really, to see just a little humanity left on them. They just look around with those boring eyes, seakan-akan udah sering ngelihat panorama macam itu, yang berarti, udah sering juga feed their ego dan tutup mata tutup telinga. Gue ngerti, gue sangat sangat sangat paham kalo dia capek/ngantuk/just had a rough day, tapi bukankah semua orang dalam bus juga begitu?

Kali lainnya, gue terdesak ke perut bus, lokasi yang amat tidak strategis kalo lo mau turun. Tiba-tiba ada ibu-ibu yang naik, mukanya datar tanpa senyum. Baru lima detik di atas bus, dia udah komplain, "Geseran dong, Bu." Lima belas detik, dia nyolek bahu ibu-ibu lain yang badannya gempal di tempat duduk dan bilang, "Bu saya pusing. Mau duduk, dong."

Wtf.

No magic words. No "please" and "thanks." Dia langsung mengangsurkan diri gitu aja ke atas bangku. Setiap bus ngerem mendadak dan ada yang nyenggol, dia ber-ckckck kesal. Mana suka garuk-garuk lagi. Gue tahu ini nggak adil dan nggak ada korelasinya, tapi rambutnya bau bawang, ketombean dan banyak kulit kepala yang mencuat, dan setiap dia kegatelan dan mengoprek rambutnya, ketombenya dan kulit kepalanya berguguran. Dan itu makin bikin gue bete aja. Sampe-sampe waktu ada yang bergumam, "Cibang," gue ngangguk-ngangguk dalam hati. Belakangan gue sadar generalisasi itu rasis dan diskriminatif, tapi tu orang emang b@ngs4t, sih.

Tapi yah, kadang diskriminasi bisa jadi bumerang yang menghasilkan, sih. Pernah ada bangku kosong di samping gue, dan bapak-bapak kantoran yang udah diri lebih lama dari gue mempersilakan gue duduk dengan alasan, "Adek badannya kecil gitu." Gue nggak protes saat itu. Di kondisi normal mungkin gue bakal nyinyir, "Saya nggak pendek, situ aja yang tinggi." HAHAHAHAHA. #shortpeopleproblem

Penumpang jenis lain, yang pelit dan nggak mau rugi duit, juga ada. Gue samar-samar nguping bapak-bapak yang bilang ke temennya, "Kasih aja sopirnya seribu. Kita nggak duduk ini." Gue menahan diri buat nggak komen kalo they're being unfair. Mau lo duduk atau berdiri, sopir dan kernet itu udah mengantar lo ke tempat tujuan dengan selamat, and that's the whole damn point. Tapi waktu gue diskusi sama my partner in muse, Fadli, dia menimpali gue, "Ya menurut lo kalo orang nonton konser, lebih mahal yang duduk atau yang diri? Toh mereka ngeliat penyanyi yang sama." Gue ngotot, "Ih itu kan beda." Intinya gue kalah sih.

Ya udahlah kita skip. Bukan, bukannya gue mau menggambarkan betapa payah dan lemahnya argumentasi gue, but paraphrasing Fadli and I arguing will take lots of time.

*brb minum* *oke lanjut*

Nggak selamanya sih, gue ketemu sama orang-orang ngeselin. Di hari-hari gue udah males naik 614 because I decided it was stuffed by rude people, dan sudah antipati dan pasang muka badak, justru gue dikejutkan sama keramahan mereka. Ada yang nawarin gue payungan bareng waktu hujan dan bus 614-nya ada di tengah jalan. Ada yang kelihatan genuinely curious about my stories and the opposite, those who made me curious about their stories and they shared them with me wholeheartedly. Yang paling bikin gue terharu sekaligus menyesal, ada nenek-nenek yang memberi gue kursi. Gue tetep diri dan bilang, "Saya deket kok Bu," to which she responded all smile, "Saya juga deket." Akhirnya gue duduk di tempatnya, sementara dia diri di dekat pintu depan. Guess what? Gue turun sebelum dia.

Malamnya gue laporan lagi ke Komjen Fadli dan dia bilang, "Makanya jangan menggeneralisasi. Lo terus-terusan ketemu orang jahat karena lo belom sempet naik bus yang isinya orang-orang baik." Gue langsung tertegun sih.

Maybe that's all that matters. It is countless; the frequency of me complaining and bitching about other people's lives, although I do it in silence. Orang Indonesia egois. Orang Indonesia jorok. Orang Indonesia norak. Itu semata-mata karena gue belum ketemu orang Indonesia yang selfless, yang resik, yang keep it classy. Don't say this world is bad until you travel every pieces of it. Say there's part of this world which is bad for you; itu yang correct.

Saat-saat gue menunggu bus 614 juga memberi pelajaran tersendiri. Di spot yang dilewati 614 tempat gue biasa nunggu, gue sering nyender ke sudut terpencil pagar rumah orang, soalnya lumayan adem dan strategis. Selama gue nunggu gue pura-pura budek tiap ada penunggu (bukan hantu) terminal yang ngajak gue ngobrol. Lama-lama gue nyerah dan mulai ngerespon. Suatu hari dia ngasih unjuk tempat buat gue duduk dan bilang, "Lain kali jangan nyender di situ. Itu kan tempat kencing sopir."

Gue langsung kaget. "KOK BAPAK NGGAK NGASIH TAU??? SAYA UDAH SERING BANGET NYENDER DI SITU."

"Lah kamu nggak nanya."

*brb nari Tor-Tor*

Yha, guys. Next time lo nemuin tempat adem dan strategis yang nggak dikerumunin calon penumpang, lo wajib curiga.

(Anyway, sampe rumah gue langsung misahin baju-baju yang pernah gue pake ke BTA dan gue cuci ulang semuanya.)

Gue juga belajar soal fate and coincidence dari bus 614. Biasanya gue nungguin 15-45 menit sampe satu bus itu lewat. Suatu hari gue beli otak-otak dan es podeng, trus ngaso di bawah pohon di depan Pasar Mayestik. (Nikmat, sumpah. Lo semua kudu nyoba). Baru tiga suap, kira-kita tujuh menit, ada bus 614 lewat.

Crap.

Untung es podengnya gue bungkus, jadi gue bisa ngacir ngejar bus itu. Sampe rumah tetep mencair, sih. But that's so not the point.

Gue pernah juga denger orang yang kecopetan naik suatu bus (non-614) dan jadi kapok naik bus itu, dengan dalih bus itu banyak copetnya. Dari fakta sosial ini gue mengembangkan dua teori:
1) dia cuma kebetulan aja naik bus yang ditaiki juga oleh si pencopet, dan,
2) yang namanya sial, siapa yang tahu.

Selebihnya, gue berusaha mengingat peristiwa-peristiwa manis dan sederhana aja. Kayak cogan yang ngasih gue kursi dan ngingetin uang gue yang nyembul dari saku, atau Pak Sopir yang nyahut, "Sama-sama Dek," waktu gue bilang makasih. Pengalaman hidup gue jadi bertambah sejak gue naik bus ini, dan gue harap pelajaran hidup lo bertambah sejak baca post ini. *nyengir*

Anyway, mulai bulan Agustus gue bakal berubah haluan naik bus 614 ke arah Pasar Minggu buat pergi dan ke arah Tanah Abang pas pulang.

Oke. Gue nyiapin ikat kepala dulu, ya. Sekian dulu Echa Teguh Platinum Ways-nya. Dadaaaah.

dimanche 26 avril 2015

Begin Again

Setelah sekian lama ke-pending, akhirnya barusan gue nonton Begin Again juga. Tahulah, filmnya Keira Knightley dan Mark Ruffalo. It started slow for me, but it did move. In fact, it's moving and poignant in its own way.

Kontradiktif dengan judulnya, gue justru merasa Begin Again adalah film tentang... suatu akhir. It made me wonder then, judul "Begin Again" terlahir karena "beginning" dan "ending" itu sudah satu paket. Just like birth and mort. Day and night. Yin and yang. They're different, but they complete the package. They are the package.

I came to a thought that maybe, semua hal di dunia ini memang punya pasangannya sendiri-sendiri. Black for every white and vice versa. Bisa bayangkan betapa chaotic dunia ini seandainya semua orang baik atau sebaliknya, semua orang berprofesi sebagai penjahat. White is bright. Black is gloomy. Grey is the most boring shade, but that's what happens when you mix black and white. Everyone has this shade. I suppose so.

Ada bagian yang membuat gue tercenung cukup lama, waktu Gretta pergi sebelum Dave menyelesaikan lagunya. That's when I knew it ended. Blackout. Fini. Benang merah itu putus.

Terkadang suatu akhir terjadi tanpa salam perpisahan. Seringnya, malah, "goodbye" dan "see you again" hanyalah pengesahan, bukti keabsahan berakhirnya suatu hubungan. Seperti "THE END" di kebanyakan film Disney.

You know it ends when someone who used to mean the world to you becomes a stranger. Ketika kalian mengenal cuma sebatas "hai" dan "apa kabar". Ketika lo melihat mereka punya kode mata yang nggak lo pahami dan bicara dengan diksi yang bikin lo mengernyit.

Perlahan lo merasakan keterasingan. Perlahan lo merasa sepi walau nggak sendiri. Perlahan lo menjauh tanpa diminta. Because you're feeling like a misfit.

That's when things end.

Things change. So does time. So do people. Itu kodrat. Itu aturannya. Itu ketetapan semesta. Dan kita nggak bisa mengubah perubahan itu. Atau melarikan diri.

Gue ingat, di suatu masa, di dalam sebuah bait, gue menulis kalau it is death, when you whisper someone's name for the last time. Tapi ada beberapa hal yang lebih kekal dari kematian dan ada hal lain yang lebih fana dari kehidupan.

Memories belong to the first group. They might pack their suitcase and leave. They might as well change their number and find another home. Tapi lo tetap bisa mendengar suara mereka di antara lagu-lagu jadul yang diputar di Prambors karena mereka sering mendendangkannya. Lo tetap bisa melihat tawa mereka sewaktu lo melontarkan guyonan jayus yang sama. Lo bisa mengendus aroma hot macchiato atau asap rokok atau parfum cemara dan merasakan eksistensi mereka. These things live forever and become a part of you.

And that's when things begin again.

Ketika lo menerima segala sesuatunya dengan ikhlas. Ketika lo udah nggak sok tegar-tegarin diri dan berhenti hidup dalam denial. Ketika lo membiarkan diri lo menangis sepuasnya dan tertawa selepasnya. Ketika lo akhirnya... melepaskan.

It's contrary  again, huh? Segala sesuatu justru benar-benar dimulai ketika lo benar-benar melepaskan. Beginilah cara main semesta.

Oke, gue mulai menye-menye. Tapi yah memang perasaan itu yang ditinggalkan film Begin Again. I've had enough with running away from my feelings. I'm trying my best to feel. I'm trying my best to let go.

I find the pattern now. How the cycle goes.

Hidup... memang dimulai dengan suatu akhir dan ditamati oleh awal yang lain.

samedi 17 janvier 2015

2015 and Self-Actualization

I do my self actualization through wander and wonder.

I get and form some random questions as I hit the road. Where rainbows end? Why "verb" is a noun? How many dusts I gather under my shoes? What happened to this old lady I just passed my seat to? Does sky really have seven layers?

Sometimes I try to verbalize those thoughts, discuss them to whoever sober enough at 2 a.m. to listen to my blurry words. Other times I just bury them into the darkest valley of my head, because there's no way words can be clicked, and they remain screaming in demand to be answered.

The funny thing is, the more I let some of them go, the more empty I feel. It leads to this one conclusion: I find my peace of mind at organized chaos. Where things are the most chaotic, I gain my security. So you know, whenever I stare dead at droplets of raindrops scattered on windowpane, looking lonely, is the busiest I've ever been. Perhaps you can't see the crowds, but the noise is there; buzzing through my ears, knocking every inches of my mind.

People say that self-actualization is when you can see the world in a total new light. I used to picture those who succeed their attempts as calm wiseass who smile gracefully and nod humbly. They respond every questions without wrinkling their forehead. They walk lightly on earth, like the Buddha. Or maybe my brain dictates that self-actualization relates the most to Buddha and monks. Okay, forget my naïvety. In fact, I find a contradiction in myself. The more I do my self-actualization, the more calmness locates itself just as an exterior.

You know what they say about this. Quiet people have the loudest mind. Heaven knows I'm not going to make up a balderdash about how quiet I am. No, I ain't fool you. I'm loud as hell, as loud as silence. Those cycinals who surround me and declare themselves as my friends squeak the same thing; often their jabbers turn into sharp critiques. They repeat and amend the same mediocre comments, pointing out my flaws as if I don't already see them. Little do they know, I only show half of myself. I'm so good at masquerading. I've let some chicks unbutton this cloak of pretense and see me naked, though. They peeked through the shameful vulnerability and got me talking at the lowest degree of consciousness. They discovered my dreams and what I fear the most. In the end it made me feel fragile. These people became my Achilles' heel. And when they left, I wrenched. So it was decided, I'd only display the completely real me to some people after I learn real shits about them first.

Perhaps that was the time I started to actualize myself by intending to do so. Because feelings are temporary, nothing's guaranteed. You can shout your love to this person and wake up the next day not feeling a thing anymore. And guess what? People come and people go. They say goodbye as easily as they say hello. Dang, that rhymes! By the way, you're the one who's responsible for your own heartbreaks, you're the one who will carry the blame. You know how the cycle goes now. Some people kiss just for fun. Some people only want love if it's torture. Don't say I didn't warn ya.

See? Heart is the frailest organ our body can have. Forget those bitches who command you to follow your heart. My friends, when it breaks to million pieces, which piece you will follow?

That's why I overthink. Rational explanations do me more favor than emotional ones. Speaking over feelings will get you nowhere, but logic gives us real boundaries. Contrary to my sympathetic exterior, I can be detached to whoever close to me. Besides, we all have rights to protect ourselves from getting hurt, and I build my walls with my rational views. I have no difficulty listening to others' feelings, but I can't quite put mine into phrases. See? Words like "feeling" and "emotion" and even "mood" are foreign to me. Believe me, you tend to do the wrong things if you feel too much. You're more in tune with yourself than you are with your surroundings. You see everything from your perspective, never put yourself in other people's shoes; "I feel that..." I have met dozens or hundreds of people who are overly emotional. Not the fairest people I know. They get messy and unstable once their extreme mood swings take over. You know what? Go fuck yourself.

Yet, then again, I breathe with this firm principle: medicine, law, business, and engineering are noble pursuits and necessary to sustain life. But beauty, love, romance, and poetry... these are what we stay alive for. The first four variables are important for you to survive life; but the rest are important for us to live life.

Of course, the "love" I mention the last isn't the kind that gets you crying on your pillows at night and ruining your mascara. My perspective on love isn't that shallow. Hell, if you look up for that word on my dictionary, you'll read definitions below:

Love is when your brother yang supermager mau jalan buat beliin lo K*i*r*a*n*t*i* (ini guna ga sih sensornya?). Love is when your friends help you to blow those damn magic candles on your birthday cake. Love is when you can steal your cousin's favourite cheesecake from their freeze. Love is the serene look on your dad's face when he sips his first cup of tea in the morning. Love is when your mom tells you a secret about her first love. Love is when you dare to pull your tooth, no matter how scared you are, because your significant others start losing their teeth too.

Confused? Me too.

Most people stand on gray area, but there are too many antonyms collide inside of me. I'm tough but shaky. I find that silence is loud. I feel my comfort by getting frantic. My Oxford entry for "self-actualization" isn't quite right either. People create juxtapositions about me, half of them are unquestionably untrue. However, oh well, my life guide teaches me the Philosophy 101: there's no truth, only perspective. It probably is the reason why I question everything, except things that relate to my faith in God. Anyway, we need black as much as we need white, for they create equilibrium the Universe craves.

And now, all I want to do is set my goals in 2015. To be more spiritual as well as intellectual, so that I can fix the system of my self-actualization. To be more grateful and sensitive with small happiness. To accept what's passed and embrace what's going to happen next. To give myself the love it deserves.

Thank you for your blessings and your lessons, 2014. I'm who I am today because of those 365 days I spent in you. Thank you, God, the Creator, the Merciful, the Absolute Truth.

2015, here I come.