dimanche 30 juin 2013
Deja Vu
mercredi 26 juin 2013
Another Afternoon: The Confession
"Hah?" Gue nggak bisa kedip sedikit pun. "Errr, lo nggak serius, kan?"
"Kalo gue serius, kenapa?" Andai Ale berbicara dengan suara cemprengnya yang biasa, tentu gue akan menganggap dia lagi nge-flirt. The flirtatious Ale, meski cuma sama orang-orang yang sudah dikenalnya dengan baik aja. Tapi tidak. Ia bertanya dengan nada menantang. Dan, penasaran juga.
"Ya, nggak pa-pa, sih." Gue hanya menaikkan bahu kala itu, sedangkan mata Ale juga sudah menerawang menembus kaca jendela kafe. Ale memang sering begitu. Dia sering nggak notice terhadap sekeliling. Saat ia memandang dunia di luar, gue tahu otaknya sedang memperumit pertanyaan sederhana, seperti, "Kenapa udara itu transparan? Gimana cara bikin suatu materi solid jadi tembus pandang kayak kaca? Kenapa api membakar sedangkan air bikin basah?"
"Oke, jadi agenda kita hari ini adalah, confession," Ale berdeham, dan lamunan gue pun buyar seketika. Gue menegakkan posisi duduk gue, menatapnya seserius mungkin. Ini adalah versi yang lebih serius dari truth or dare kami, biasanya pas gue atau dia merasa ada sesuatu yang salah. See, hubungan gue dan Ale memperkaya alternatif, menambah kosakata, memperuwet juga kadang-kadang. Kami punya bahasa tersendiri untuk satu hal, dan biasanya, Ale yang menggagasnya duluan.
Ale adalah wallflower, kalo gue boleh jujur. Namun, pada orang-orang tertentu, dia bisa ceria dan bebas bercerita.
"Lo yang nanya duluan," tembaknya langsung.
Gue cuma tertawa kecil. "Oke, semangat banget sih, Bu, kepengin di-interview. Bentar, gue udah catet pertanyaannya somewhere. Nah, gue inget. Hm, menurut lo, dosa lo yang paling gede apa?"
"Segede apa?" tanya Ale. Tuh, kan.
"Seandainya dosa itu digaji, katakanlah lo bisa beli rumah di Pondok Indah sepuluh biji," ungkap gue sok ilmiah.
Ale berpikir sejenak sebelum menjawab dua menit kemudian, "Ah, gue tahu. Well, oke. Gue pernah jadian sama seseorang cuma buat percobaan."
"Hah?" Kali ini gue kaget lagi.
"Namanya Yudha, temennya Fahran. Gue ngecengin dia pas gue dan Fadel putus. Gue lagi buntu, nggak ada inspirasi, sedangkan gue ada lomba nulis waktu itu. Jadi yah, korban eksperimen gue adalah Yudha. Kita jadian seminggu, dan waktu nama gue keluar sebagai pemenang..." ia meraih hot chocolate-nya dan mengunyah sedotannya, "gue nraktir Yudha makan. Di perjalanan pulang, gue mutusin dia."
Gue menatap dalam-dalam mata Ale, mencoba melihat sebeapa autentik pemaparannya itu. Sayangnya, mata Ale berkabut, dilapisi atom-atom yang nggak bisa gue tembus. Ale memang nggak pernah bisa ditebak, dan ekspresinya tidak membantu sama sekali.
Gue menghela napas dalam-dalam dan bertanya, "Lo nyesel nggak abis itu?"
"Kalo nyesel soal dapet hadiah dua setengah juta dan mutusin dia biar dia bisa dapet yang lebih baik sih, enggak ya. Tapi kalo soal kelicikan gue... yah, mana mungkin gue mengkategorikannya sebagai dosa kalo gue nggak nyesel ngelakuinnya?"
Benar juga.
"Bukannya nge-judge sih, lo berubah drastis, ya," ujar gue lambat-lambat. Ale memincingkan mata, terpingkal-pingkal.
"Setiap ada aksi, pasti ada reaksi," tukasnya ringan.
Everything happens for a reason. Pain changes people, itu maksudnya.
"Dan lagian, cuma orang-orang naif kan, yang berharap segala sesuatunya nggak berubah? Maksud gue, liat aja deh. Setiap satu detik, ada berapa banyak orang yang meninggal? Ada berapa banyak bayi baru lahir? Ada berapa banyak bacotan yang di-post di twitter?" Ale menenggak minumannya lagi. "It just happens the way it is. The changing. The mobile. Natural coincidence. Like, we can't stop them, or prevent them. We can't prevent things change."
Dan sekali lagi, dia benar. Inilah suatu keajaiban Ale, dia bisa membuat seseorang mengerti tanpa muter-muter, menjelaskan panjang-lebar. Ale berpikir sederhana, tapi ribet juga. Yah, pokoknya gitu. Kayak yang gue bilang di awal, ada banyak Ale dalam satu Ale.
"Sekarang giliran gue!" Ale bertopang dagu kembali. "Apa hal paling memalukan yang terjadi pas lo di Amsterdam?"
Aha, pertanyaan lucu, dan memalukan juga.
"Gue? Hm...." Gue pikir-pikir sejenak. "Gue hampir, yah, gue sama hostsister gue...."
"Ya?"
Putus asa, gue mengait telunjuk tangan kanan gue dengan yang kiri. Mata Ale membulat, dan gue tahu dia kepengin ketawa.
"Terus? Kok nggak jadi?"
"Kok lo tau akhirnya kita nggak jadi?" Gue mengernyit.
"Tadi lo ngomong 'hampir', halo," Ale mendengus, "dan satu lagi. Untuk menyebutkan lo dan adik angkat lo itu, lo pake istilah 'kami'. Kalo kita, itu artinya lo sama gue."
"Oke, oke, expert-nya bahasa Indonesia," gue menggerundel, "ya gitu. Dia lagi mabuk, cuma itu. Dan lagian, gue nggak suka dia. Terlalu banyak perbedaan."
Ale mengangguk mengerti.
"Kalo lo? Kejadian paling memalukan, apa?"
"Memalukannya bukan gue yang berbuat tapi," Ale mulai ketawa keras. Kebiasaannya. Dia sering ketawa bahkan sebelum cerita. "Native speaker gue pernah salah kirim SMS. Umurnya pasti udah 60 tahun dan doi mirip kodok. Tau nggak, dia salkir apaan?"
"Hm? Apaan?"
"I can't wait to wake up next to you."
Tawa kami sama-sama meledak, perut gue sampe kram dan Ale sampai meneteskan air mata saking gelinya, dan pelayan yang lewat bahkan berhenti untuk mengamati kami.
"Terus, terus..." dia tersedak, masih ketawa, "dia ngirim SMS lagi, 'Sorry but I made mistake. I hope you won't spread it at class....' Tadinya doi paling hobi ngomel kalo gue telat atau gimana, tapi sekarang udah nggak lagi."
Gue pun nyengir, berargumen, "Pasti doi tau lo suka nulis, makanya doi baik-baikin lo biar lo nggak nulis yang jelek-jelek tentang dia."
Ale menyeringai, tampak nakal. "Gue nggak peduli, sih. I write what I want to write. You can call me coward, but literature is my revenge, and this..." dia menepuk-nepuk netbook birunya, "is my weapon."
Senyum gue mengembang. "I've always known that."
Untuk sesaat kami diam, merenungi apa terjadi. Gue nggak tahu apa ini salah atau nggak, tertawa dengan Ale dengan status yang berbeda. Gue nggak tahu apa kami akan berubah lagi. Tapi gue akan setia menunggu perubahan-perubahan itu, sedikit nggak sabar, malah. Yang gue tahu, masih ada another afternoon menanti di depan kami.
lundi 24 juin 2013
The Day We Fall
"Hei, itu kan cuma karakter di film. Nggak nyata," cetus gue melihat matanya berkaca-kaca.
Irene cuma mendengus. "Bagi sebagian orang, terutama mereka yang menciptakan, karakter itu bernapas, Kak. Mereka hidup. Ada yang berduka kalau mereka meninggal. Payah nih, kakak, nggak peka banget jadi cowok!"
Gue ketawa geli dan mengacak-acak rambutnya. "Oke, oke. Aku bakal peka mulai sekarang."
Gue nggak tahu pikiran apa yang sedang melintasi kepala Irene, karena nggak ada angin, nggak ada ujan, apalagi geledek, tiba-tiba ia bertanya, dengan nada yang hanya satu tingkat di atas bisikan, "Kak, kakak pernah kangen Kak Zizi, nggak?"
Meski nggak ada geledek, reaksi gue udah lebih lebay dari orang kesamber geledek.
"Kadang," ungkap gue, jujur. Sekilas bayangan berkelebat di depan mata gue; wajah Persia yang delicate, suara selembut kicau merpati, rambut panjang yang harumnya seperti buah. Suara gue lirih dan Irene pasti menyadarinya, karena ia kembali menunduk. "Kadang, aku nggak bisa nahan diri untuk nggak mikir 'what if'. What if it happened different? What if she hadn't ever had that disease? What if dia nggak pernah pindah ke Jakarta?"
Pikiran kayak gitu biasanya bakal diakhiri dengan, "What if I end up with her instead of you?" Tapi nggak. Gue nggak menyuarakannya pada Irene.
"Apa kakak pernah mikir... kakak sayang sama dia?" Irene kembali bertanya, kali ini lebih lugas. "Apa kakak pernah bingung dan nggak tahu harus reaksi gimana, apa kakak pernah memerangi hati sendiri dan lebih ngikutin instruksi logika?"
Ketika ia menanyakannya, gue tahu Irene juga menanyakan hal yang sama pada dirinya sendiri. Gue. Zeno. Itu udah cukup clear. Kadang juga, gue takut. Gue takut suatu saat tangan yang akan melingkari bahu Irene, tangan yang akan menghapus air matanya, tangan yang akan ngasih dia pelukan selamat datang bukan gue, tapi Zeno. Kadang, gue pikir Zeno ancaman serius.
"Hm? Kenapa ngomong kayak gitu, sih?" Gue tersenyum dan memeluk badannya penuh-penuh, mencium aroma tubuh Irene. Hambar, sama seperti rasa bibirnya. "We'll stay together, okay? You and me. Just leave what left behind."
Meski Irene mengangguk, gue tahu hatinya masih ragu.
Karena ada hal-hal yang memunculkan pertanyaan "kenapa" dan lo nggak bisa menjawabnya. Lo hanya tahu itu benar.
"Rene?" panggil gue ketika gue yakin ia udah mendengkur halus di bahu gue.
"Hm?"
Perlu beberapa detik untuk mempertimbangkannya, tapi toh akhirnya gue melontarkan permintaan itu, "Panggil aku Arian, oke?"
Irene tidak menjawab, dan dengkurannya kini kian terasa di bahu gue. Dan bahkan walau ia menjawab, gue yakin dia akan nanya balik. Kenapa?
Dan kali ini, gue menjawabnya sendiri, "Karena aku nggak mau disamain sama Zeno."
Gue nggak pernah percaya sama cinta pada pandangan pertama, sampai gue ketemu dia.
Yah, siapa lagi kalo bukan Irene? Satu tahun di bawah gue, bego, blangsakan, ceroboh, kalo ngomong seringnya seenak udel. Gue juga nggak ngerti kenapa. Kalo kata Arian nih, "You just know, there's no why."
Oh iya, Arian itu pacarnya Irene. Dan bisa lo simpulkan, gue berkawan dengan cowoknya cewek yang gue suka, yang juga merangkap sahabat gue, yang sering bermanja-manja kayak anak kucing tiap Arian ngilang. Gue tau hubungan kami ini rumit, kayak jaring laba-laba, saling terhubung satu sama lain. Namun, kayak jaring laba-laba juga, kami solid dan kuat. Nggak lengkap tanpa yang lain.
Setelah dua tahun kenal mereka, bisa dibilang kami bertiga sohiban. Kami sering jalan bertiga, geng yang sering Irene sebut, "Romeo-Juliet dan tukang foto". Gue tahu dia cuma bergurau, sih, tapi tetep aja itu bikin jleb. Apalagi Arian tipe orang yang kalo udah nafsu, nggak bakal berusaha memeranginya. Pernah dia mencium Irene tepat di depan masjid.
Iya, mereka emang gila. Dan mungkin gue lebih gila karena mau aja makan ati dua tahun bergaul sama mereka.
Tapi kalau itu artinya gue bisa bersama Irene setiap kesempatan, kenapa nggak?
Irene tipikal cewek yang selalu cerita ke pacarnya tentang apapun, dan kalo Arian nggak ada, gue yang terpaksa jadi tong sampahnya. Meski begitu, gue yakin sih, ada satu hal yang Arian belum pernah dengar tentang Irene.
Ini tentang ketika gue sadar gue jatuh cinta sama Irene.
Itu adalah hari biasa di sela-sela latihan vokal. Gue dan Irene bakal ke Jungle Cafe untuk balik kerja. Tiba-tiba, waktu lewat lapangan softball, Irene menarik tangan gue, memaksa gue duduk di atas rumput, tepat di balik pagar pembatas lapangan.
"Apaan deh, Rene? Kita nyaris telat, nih," demikian gue ngedumel.
"Sssht!" sergah Irene. "Liat ke atas!"
Maka gue pun mengikuti pandangannya, dan seketika juga ingin tersenyum. Ada sarang burung di dahan tertinggi, dengan kicauan anak-anak burung sedikit bising. Gue menatap Irene dan kini nggak bisa menahan senyum. Fokus Irene kini hanya satu, sarang anak burung.
"Sebentar lagi, Mandarin dateng."
"Mandarin?" Alis gue menaik.
Irene cuma mengangguk samar, dan beberapa menit berikutnya, gue tahu siapa yang ia sebut Mandarin. Burung pipit lain yang berukuran lebih besar, membawa sesuatu di mulutnya. Ia hinggap di dahan, membagikan makanannya pada satu per satu anaknya.
"Dulu, waktu nih lapangan belom dijadiin lapagan softball, gue sering latihan teater di sini. Rumputnya hijau, bisa buat guling-gulingan. Gue suka lama-lama duduk di sini, nungguin sunset. Kadang gue beli kuaci di Indomaret buat Mandarin."
"Burung makan kuaci?" Kali ini gue nggak bisa menyembunyikan keheranan gue, dan kepengin ketawa juga. Sayangnya gue nggak tega. Irene sangat serius, seolah menjelaskan fakta ilmiah.
"Burung pipit makannya biji-bijian, Kak, dan lagian mereka juga nggak nolak, kok. Yang penting, kenyang. Ah, tapi sekarang semuanya beda. Markas gue diinvasi anak-anak softball, padahal mereka juga jarang tuh, latihan di sini. Ngeselin, deh."
Satu hal tentang Irene, dia selalu ceria, dan ketika ia kesal, itu sudah pasti beralasan. Dan gue memahami kekesalannya saat ini, sort of.
Tiba-tiba ia berhenti dan terlihat sedang menimbang sesuatu. Ia melirik gue dan berkata cepat, seperti orang kumur-kumur, "Ini perbedaan lo sama Kak Arian."
"Apa?" tanya gue nggak yakin.
"Ini, perbedaan lo, sama Kak Arian." Irene menaikkan bahu dan duduk, menyender di pohon. "Kak Arian jarang mau denger yang begituan. Dia lebih suka suasana sunyi. Menurutnya, silence speaks louder than mouth ever does." Dari nada bicaranya, gue tahu Irene sangat kontra dengan opini sang pacar, tapi gue nggak. Gue sedikit banyak setuju dengan Arian.
Dan entah kenapa, gue ngerasa bangga memiliki sesuatu yang lebih di mata Irene daripada Arian.
Kemudian ia berbaring di rumput, sementara gue memanjat pohon dan menyender di dahannya yang paling bawah, membiarkan angin menyenandungkan lagu sorenya pada kami. Gue mulai menggenjreng gitar, dan entah karena terbawa suasana atau kenapa, mendadak Irene bertanya, "Kak, mimpi lo apaan?"
"Hm, mimpi?" Jujur, sebagai orang pesimistik dan nggak jarang sarkastik, membicarakan mimpi adalah hal yang tabu bagi gue. Motto gue adalah, seperti yang Ritu Ghatourey mantrakan, "Work hard in silence, let your success be your noise."
"Iya, mimpi. Everyone has a dream."
Irene sungguh kekanakan dan genuine, satu hal yang bakal bikin lo nggak nyaman berbohong sama dia. Tatapan Irene juga nggak jarang menakutkan. Seolah menelanjangi lo dari lapisan kepura-puraan. Bikin lo berdosa kalo ngelakuin sesuatu yang salah sama dia. Jalan sama Irene, rasanya kayak jalan sama orang yang lo tau kastanya lebih tinggi dari lo, tapi si orang itu selalu menunduk tiap ketemu lo.
Bagi gue, itu menakutkan sekaligus mengagumkan, in some ways.
"Mimpi gue..., hm. Nggak tahu."
Jadi penulis lagu. Jadi gitaris. Jadi musisi. Jadi sesuatu yang berhubungan dengan seni. Jadi seseorang yang bisa bermakna sesuatu bagi dunia. Jadi seseorang yang bisa bikin lo senyum.
Gue mengerjapkan mata dengan gagasan yang terakhir. Apa? Gue mikir apa barusan?
"Liar," tuduh Irene riang. "Everyone has a dream," ulangnya.
"Kalo lo sendiri? Apa?" Giliran gue bertanya.
"Hm, astronot. Atau badan penyelidik alien."
"Hah?"
Irene bangkit dan kini memutar tubuhnya, memandangi gue dari bawah seakan-akan gue penghuni Ragunan.
"Iya, gue pengin jadi astronot. Lucu aja sih, nge-discover sesuatu yang asing. Jadi badan penyelidik alien juga. Maksud gue, nama alien sendiri udah ngundang kontroversi. Mereka yang berpandangan cupat mikir alien itu cuma bullshit. Tapi bagi gue, just because you don't see it, doesn't mean it doesn't exist."
"Sama kayak orang yang jatuh cinta tapi nggak sadar?" Sumpah, gue nggak tahu dari mana asalnya kata-kata itu, yang jelas gue nggak bisa menelan mereka kembali. Irene kini mengernyit.
"Yah, lo pasti tau apa maksudnya. Mereka yang nggak sadar mereka udah jatuh sama seseorang sampai orang itu pergi. Atau kasusnya sama kayak Mandarin, kayak orangtua jaman sekarang. Banyak anak-anak yang dramatis mikir ortunya udah nggak sayang lagi sama mereka hanya karena mereka nggak melihat kasih sayang dalam bentuk yang mereka inginkan. Padahal, cinta itu nggak harus diwujudkan dengan... yah, maksud gue, pandangan tiap orang itu beda-beda, kan?"
Irene kini mengangkat alis sebelum tertawa terpingkal-pingkal.
Gue terpekur menatapnya. "Kok, lo ketawa?"
"Hei! Adanya gue kali yang nanya! Kok, bisa-bisanya lo ngomong cinta? Bukannya lo orang paling bitter kalo udah ngomongin yang begituan?"
Baik, kini pipi gue terasa panas.
"Yah, seenggaknya hari ini gue nge-discover satu lagi sifat baik lo. Puitis," Irene cekikikan dan bangkit, "udah yuk, ah, kita balik kerja! Jangan nangkring kayak gitu kek, lo jadi kayak bekantan."
Perkataannya lugu, polos, dan nggak disaring. Tapi hanya mendengar suaranya, dan berpikir bagaimana suara Irene terdengar seperti musik, gue tahu gue udah jadi korban dari ocehan gue sendiri.
Gue jatuh cinta sama Irene.
Ini sudah pukul lima lewat empat puluh, yang berarti sudah nyaris satu jam dari waktu janjian, dan muka Kak Arian belum nampak juga.
"Awas aja ya kalo gue ketemu dia, bakal gue sate hidup-hidup!" maki Kak Zeno di samping gue, mengibaskan tangan, berusaha menangkal asap sate padang favoritnya. Ini adalah awal minggu terakhir bulan Ramadhan, saat iman manusia udah rontok-rontoknya, dan satu jam aku dan Kak Zeno berdiri di sesak festival makanan Asia ini, festival yang tiap tahun rutin digelar. Selain ada stan-stan yang menjual makanan dan tempat berbuka, ada juga konser amal dan bazaar diskonan. Iya, diskonan setelah harganya dinaikkan 50% dulu.
"Orang sabar disayang Tuhan," jelas gue, meski perut gue kini keroncongan nggak jelas lagi. Sejak tadi gue emang bermasalah dengan perut, dan gue mungkin nggak akan ke mana-mana kalau Kak Arian nggak SMS gue untuk bukber, sama Kak Zeno juga. Katanya, udah lama sejak Romeo+Juliet+JuruFoto nggak ngabur bareng lagi.
Kak Zeno cuma mendengus. Hampir semua stan sudah dijejali keluarga-keluarga maupun pasangan, dan kami di sini kayak orang hilang. Mana HP Kak Arian nggak aktif, pula.
Dan mendadak, dengan tiba-tiba Kak Zeno memeluk gue dari belakang, hal yang bikin gue nyaris kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
"Nyet, lo lagi dapet?" bisiknya di telinga gue, terdengar panik.
"Hah? I-iya, apa?" Gue ikutan panik.
"Lo tembus! Shit, kenapa lo pake jeans putih segala, sih," Kak Zeno mendecak di telinga gue.
Dunia seakan membelah jadi dua. Gue kepengin nangis.
"Angka dua belas ada toilet. Buruan ke sana, gue di belakang lo."
Layaknya orang main kereta-keretaan, gue dan Kak Zeno berjalan sampai ke toilet umum. Gue langsung ngacir ke bilik yang kosong, mendapati jeans gue kini kotor dengan darah. Sial, sial, sial. Berusaha berpikir jernih, gue menelpon Kak Zeno.
"Halo, gimana?" tanyanya di ujung sana.
"Parah! Gila, kayaknya gue nggak bisa keluar dari toilet deh, Kak."
"Buset, lo mau mati di situ, hah?" Kak Zeno terdengar jengah. "Oke, lo tunggu di situ, ya. Jangan ke mana-mana."
Dia mematikan koneksi telepon, dan sebisa mungkin gue membersihkan jeans gue dan memakainya lagi. Nyaris lima belas menit, dan tiba-tiba bilik gue digedor dari luar.
"Rene, buka woi!"
Gue pun membuka pintu bilik, mendapati Kak Zeno berdiri di luar sana, seluruh wajahnya memerah, seakan hampir-hampir berasap. Cewek-cewek di luar toilet mengamati kami dengan raut tertarik, bahkan ada juga yang tanpa malu-malu ketawa.
"Nih!" tandas Kak Zeno, langsung memberikan gue plastik besar, dan pergi tanpa mengatakan apapun. Di dalam plastik itu ada rok kering dan kau-tahu-apa. Pipi gue langsung terasa panas, membangun skenario Kak Zeno berjalan ke salah satu konter dan berkata, "Bu, pembalut satu."
Tapi itulah yang terjadi. Dan Kak Zeno melakukannya demi gue.
Perasaan hangat menjalar ke hati gue, dan secepat mungkin gue memakai rok itu, memasukkan jeans gue yang basah ke dalam plastik. Rok batik selutut putih dengan corak hitam, yang entah bagaimana matching dengan kaus hitam gue. Setelah merasa rapi, gue pun keluar, mendapati Kak Zeno sedang berdiri di depan toilet tanpa ekspresi, tangan terlipat di depan dada.
Untuk sesaat, dia cuma memandangi gue, dengan ekspresi yang kadang gue lihat di wajah Kak Arian tiap gue memakai kaus biru, warna kesukaannya. Ekspresi yang kalau diterapkan pada Kak Arian, akan disusul pujian, "Kamu cantik banget, aku sampe pangling."
Namun bibir Kak Zeno buru-buru terkatup, dan sambil menaikkan bahu, ia tersenyum samar. "Udah? Yuk."
Gue pun mengikutinya, dan kami berputar-putar selama beberapa saat sampai suara yang familiar meneriakkan nama kami. Kak Arian, tergopoh-gopoh, dengan kaus putih bergaris hitam horizontal dan topi, sinar emas matahari menambah pekat auranya. Di tangannya, tiga kemasan teh kotak bergelantungan.
"Hei, gue nyariin kalian ke mana-mana!" ujarnya, tersenyum pada gue. "Irene? Tumben kamu pake rok, jadi makin cantik."
Gue dan Kak Zeno saling melempar pandangan sebelum sama-sama tertawa lepas.
"Yeee, malah ketawa, lagi. Sori ya gue lama, tadi gue mesen topi dulu di stan ujung sono. Nih, buat kalian!"
Ia memberi kami masing-masing sebuah topi. Punya gue putih, Kak Zeno abu-abu, sedangkan Kak Arian sendiri hitam. Di bagian depan, ada sebuah kata. Punya Kak Zeno "we", gue "are", dan Kak Arian "insane".
"We are insane?" tawa gue begitu menyadarinya.
"Lha, emang bener, kan." Jari-jari Kak Arian kini menyelip di antara jari-jari gue, dan sambil mengulum senyum, Kak Arian berkata, "Tuh, si jomblo digandeng juga, biar nggak kayak anak ilang. Gue udah mesen tempat buat kita. Buruan jalan!"
Gue hanya tersenyum dan buru-buru mengekor langkah panjang Kak Arian. Adzan maghrib berkumandang dan dua cowok di samping gue pun membuka minuman masing-masing. Saat-saat seperti ini, gue merasa nggak akan bisa memilih. Saat-saat seperti ini, gue akan menyingkirkan "kenapa", dan menarik gagasan bahwa selama kami bertiga, segalanya akan baik-baik saja.
I believe that, and I hope, so do you.
Like, ever.
samedi 22 juin 2013
Another Afternoon 2: Ale
vendredi 21 juin 2013
Don't Ask That But Ask....
Gue tergerak buat ngepost kayak begini setelah ngeliat video YouTube, kakak beradik entertainer Indonesia yang demen nyanyi. Di video itu, mereka nge-cover lagunya Katy Perry. Nggak, yang jadi masalah bukan lagunya. Suara mereka bagus, kok. Sayangnya, di video itu mereka full ngomong bahasa Inggris, di awal-awal perkenalan pun. Padahal pas gue stalk lebih lanjut, mereka gaada tuh nenek moyang bangsa barat. Dan gue pun mikir, kalo warganya sendiri aja ogah ngomong bahasa Indonesia, gimana yang di luar sana?
Sumpah, gue nggak bermaksud mencaci mereka cuma karena mereka ngomong bahasa Inggris, sih. Gue sendiri juga sering ngebacot di twitter pake tuh bahasa. I mean, harus secinta itukah pada sang bahasa internasional, sampe-sampe di rumah pun mereka cang-cing-cung emoh pake bahasa ibu sendiri?
Gue tau globalisasi menuntut kita buat lebih open-minded. Apa-apa ngomongnya pake bahasa Inggris. Bio twitter bahasa Indonesia dianggap ketinggalan jaman. And I don't blame it, we can do nothing but deal with it. Hanya, gue ngerasa gue krisis identitas. Siapa sih gue? Darah apa yang mengalir dalam badan gue?
Di kejadian lain, following gue yang KPoper akut ngetweet panjang lebar soal Korea, memuja dan memuji dan berujung pada: KENAPA INDONESIA GABISA KAYAK KOREA? Itu pemikiran yang bagus, sih. Kadang, kita memang mesti ngeliat ke atas biar bisa maju dan "naik pangkat". Tapi karena mata gue gatel ngeliat kicauannya, gue DM doi, "Hai Dek, kenapa ga pindah aja ke Korea sekalian?"
Terus gue block tuh account. Selesai.
Gue sih bukannya munafik atau sok tua ya. Di sini gue netral. Tapi kalo lo kebanyakan ngeluh, kebanyakan bacot mengiblat negara lain tanpa ngelakuin sesuatu yang bisa bikin Indonesia semaju negara yang lo sembah itu, does it make sense? Orang-orang mengeluh di mana-mana; "Indonesia macet," atau, "Kapan sih pemerintahan Indonesia bener?" Tweet sindiran yang bikin kuping panas seandainya mereka punya suara pun berjejer di timeline. Tapi, let's muse, mereka ga berusaha belajar dan berusaha agar bisa jadi pemerintah masa depan yang lebih baik. Kerjaannya cuma ngeluh, nuntut. Padahal emang lo kira oksigen yang lo hirup kiriman dari Madagaskar, ya? Oksigen yang lo hirup sekarang berasal dari Indonesia, man.
Post yang satu ini juga disponsori oleh pengalaman nggak terlupakan gue di gedung DPR, tanggal 19-20 Mei lalu. Gue ikut lomba cipta dan baca puisi bertema Empat Pilar di sana, bareng Abary yang kategori cowok. Selama dua hari gue latihan sama Bu Zaitun dan Pak Yusup. Vokal gue jelek dan gue ga punya kemampuan mentereng soal berpuisi, tapi salah satu guru yang ngedenger gue latihan bilang, "Indonesia perlu anak muda macam kamu, Nak."
DEG.
Tiba-tiba gue ngerasa guilty. Gue merasa bukan seperti gue yang membacakan puisi itu. Echa yang ngebacain puisi itu optimis dengan negaranya, cerdas dan tahu soal Empat Pilar. Echa yang ono nggak tahu apa itu Empat Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara sebelom baca petunjuk lomba.
But we went ahead. Tanggal 19 Mei, gue sama Abary, Kak Dhimas, dan Pak Yusup ke gedung DPR buat lomba. Gur cewek sendiri di antara mereka, dan peserta lain pada bawa suporter. Gue? Kerudung gue lecek gara-gara belom diseterika. Tapi segalanya berubah sejak negara api menyerang (coret yang tadi) sejak Abary nyanyi dan Kak Dhimas nggenjreng gitar buat backsound puisi gue, Tanah Air Beta. Rasanya gue kepancing. Di bagian lirik, "Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata," gue sadar apa arti Indonesia bagi gue. Mungkin ga semakmur Amerika atau Inggris, ga sekaya Jepang atau Korea. Tapi seburuk apapun, di tanah ini kaki gue menjejak, di tanah ini gue mendapat pasukan oksigen.
Jangan salahkan mereka yang lo anggap ga becus mengurus Indonesia. Udah berlalu gitu, mau lo apain? Satu quotes favorit yang gue dapet dari buku Travellous karya Andrei Budiman which goes like, "Kamu enggak perlu berjuang sampai mati untuk mengharumkan nama negara." And I totally agree with that.
Tunjukkan apa yang lo bisa itu juga udah bukti kecintaan lo sama Indonesia.
"Ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country."
-John. F. Kennedy.
lundi 3 juin 2013
Perlukah
Perlukah kuucap sayonara
Kepada kamu, yang bahkan tak tahu namaku?
Perlukah kulambaikan tangan
Kepada kamu, yang bahkan tak tahu, dan tak peduli, aku ada?
Perlukah kusampaikan
Kepada kamu, bahwa aku jatuh cinta bahkan sebelum tahu identitasmu?
Mungkin aku naif
Dilayang angan-angan tentang kesempurnaan
Namun aku bisa merapal kata itu, membuat anagram 'sempurna' dari namamu
18 Desember, masihkah kauingat?
Kuharap masih, karena masih bisa kulihat kilat ganjil di wajahmu saat aku bertanya
Dan kepul rokok, ah, sayang betul kau perokok
Dan rambutmu yang berantakan, tanganmu terangkat untuk melambai pada kawanmu
Yang berlari kecil keluar stadion
Yah, mungkin aku cuma gadis kecil biasa
Baru lulus SMP, mungil
Tak bisa mengimbangi keindahan harmoni yang tercipta oleh bayangmu
Tapi masih kuingat hari-hari yang kulewati dari kejauhan, memandangimu di lapangan
Aku, yang terlalu takut untuk bertanya
Terlalu bodoh untuk berharap
Mungkin di pengujung hari, hanya seuntai kata yang menjerat perasaan ini
Mungkin kau takkan tahu
Mungkin kan takkan sadar patung abadi yang kucipta untukmu kukenang
Tapi
Aku selalu ingat
9:11 pm, an ingénue who falls in love from distance.