mercredi 26 juin 2013

Another Afternoon: The Confession

Pada kali keempat another afternoon kami, Ale menemui gue dengan penampilan baru.

Rambutnya dipotong pendek, mungkin cuma satu senti di bawah kuping, tapi jelas itu bikin gue pangling. Rambut barunya itu membuat lehernya tampak lebih jenjang, tulang pipinya kian menaik, dan, gue nggak tahu apa ini memang nyata atau cuma tipuan mata, bibirnya tampak penuh.

Dari sekian banyak pengakuan yang akan gue tuturkan padanya hari ini, jelas ucapan "lo lebih cantik kalo rambutnya pendek" bukan salah satunya.

Maka untuk menutupi nervous, gue berdeham dan meledeknya, "Rambut baru, Neng?"

Responnya standar. Menaikkan bahu acuh tak acuh, mengeluarkan laptop dari dalam ranselnya. Poni Ale bergerak liar di sekeliling dahinya, dan dengan cahaya matahari yang merefleksikan warna pirang pada rambut-rambut itu, sekilas Ale tampak seperti Louise Brooks.

Yah, mungkin lo nggak kenal dia, tapi silakan Googling.

"Eh, gue cuma mau ngomong satu hal nih ya, gue nggak bisa lama-lama sekarang," celetuknya.

"Hah? Kenapa?"

"Gue ada janji sama Regan," jawab Ale singkat.

Regan. Tentu saja. Regan dan Regan dan Regan. Gue sadar ini adalah salah satu hal yang dulu bikin gue mutusin dia. Ale terlalu banyak punya temen cowok dan kelihatan kewalahan membangun tembok pembatas dengan mereka. Dia juga nggak mampu menarik garis pembeda antara mereka dan gue sebagai pacarnya waktu itu.

Ale seperti burung. Dia nggak suka dikekang. Pernah, gue bertanya ke dia suatu kali, apa yang dia suka jadi single. Jawabannya, "Bisa lebih bebas, itu pasti. Bisa ngobrol sama siapa aja, hang out kapan aja," dia merendahkan suaranya dan bertopang dagu, seakan ia berbagi rahasia dengan gue, "and I could kiss whoever I want."

"Hah?" Gue nggak bisa kedip sedikit pun. "Errr, lo nggak serius, kan?"

"Kalo gue serius, kenapa?" Andai Ale berbicara dengan suara cemprengnya yang biasa, tentu gue akan menganggap dia lagi nge-flirt. The flirtatious Ale, meski cuma sama orang-orang yang sudah dikenalnya dengan baik aja. Tapi tidak. Ia bertanya dengan nada menantang. Dan, penasaran juga.

"Ya, nggak pa-pa, sih." Gue hanya menaikkan bahu kala itu, sedangkan mata Ale juga sudah menerawang menembus kaca jendela kafe. Ale memang sering begitu. Dia sering nggak notice terhadap sekeliling. Saat ia memandang dunia di luar, gue tahu otaknya sedang memperumit pertanyaan sederhana, seperti, "Kenapa udara itu transparan? Gimana cara bikin suatu materi solid jadi tembus pandang kayak kaca? Kenapa api membakar sedangkan air bikin basah?"

"Oke, jadi agenda kita hari ini adalah, confession," Ale berdeham, dan lamunan gue pun buyar seketika. Gue menegakkan posisi duduk gue, menatapnya seserius mungkin. Ini adalah versi yang lebih serius dari truth or dare kami, biasanya pas gue atau dia merasa ada sesuatu yang salah. See, hubungan gue dan Ale memperkaya alternatif, menambah kosakata, memperuwet juga kadang-kadang. Kami punya bahasa tersendiri untuk satu hal, dan biasanya, Ale yang menggagasnya duluan.

Ale adalah wallflower, kalo gue boleh jujur. Namun, pada orang-orang tertentu, dia bisa ceria dan bebas bercerita.

"Lo yang nanya duluan," tembaknya langsung.

Gue cuma tertawa kecil. "Oke, semangat banget sih, Bu, kepengin di-interview. Bentar, gue udah catet pertanyaannya somewhere. Nah, gue inget. Hm, menurut lo, dosa lo yang paling gede apa?"

"Segede apa?" tanya Ale. Tuh, kan.

"Seandainya dosa itu digaji, katakanlah lo bisa beli rumah di Pondok Indah sepuluh biji," ungkap gue sok ilmiah.

Ale berpikir sejenak sebelum menjawab dua menit kemudian, "Ah, gue tahu. Well, oke. Gue pernah jadian sama seseorang cuma buat percobaan."

"Hah?" Kali ini gue kaget lagi.

"Namanya Yudha, temennya Fahran. Gue ngecengin dia pas gue dan Fadel putus. Gue lagi buntu, nggak ada inspirasi, sedangkan gue ada lomba nulis waktu itu. Jadi yah, korban eksperimen gue adalah Yudha. Kita jadian seminggu, dan waktu nama gue keluar sebagai pemenang..." ia meraih hot chocolate-nya dan mengunyah sedotannya, "gue nraktir Yudha makan. Di perjalanan pulang, gue mutusin dia."

Gue menatap dalam-dalam mata Ale, mencoba melihat sebeapa autentik pemaparannya itu. Sayangnya, mata Ale berkabut, dilapisi atom-atom yang nggak bisa gue tembus. Ale memang nggak pernah bisa ditebak, dan ekspresinya tidak membantu sama sekali.

Gue menghela napas dalam-dalam dan bertanya, "Lo nyesel nggak abis itu?"

"Kalo nyesel soal dapet hadiah dua setengah juta dan mutusin dia biar dia bisa dapet yang lebih baik sih, enggak ya. Tapi kalo soal kelicikan gue... yah, mana mungkin gue mengkategorikannya sebagai dosa kalo gue nggak nyesel ngelakuinnya?"

Benar juga.

"Bukannya nge-judge sih, lo berubah drastis, ya," ujar gue lambat-lambat. Ale memincingkan mata, terpingkal-pingkal.

"Setiap ada aksi, pasti ada reaksi," tukasnya ringan.

Everything happens for a reason. Pain changes people, itu maksudnya.

"Dan lagian, cuma orang-orang naif kan, yang berharap segala sesuatunya nggak berubah? Maksud gue, liat aja deh. Setiap satu detik, ada berapa banyak orang yang meninggal? Ada berapa banyak bayi baru lahir? Ada berapa banyak bacotan yang di-post di twitter?" Ale menenggak minumannya lagi. "It just happens the way it is. The changing. The mobile. Natural coincidence. Like, we can't stop them, or prevent them. We can't prevent things change."

Dan sekali lagi, dia benar. Inilah suatu keajaiban Ale, dia bisa membuat seseorang mengerti tanpa muter-muter, menjelaskan panjang-lebar. Ale berpikir sederhana, tapi ribet juga. Yah, pokoknya gitu. Kayak yang gue bilang di awal, ada banyak Ale dalam satu Ale.

"Sekarang giliran gue!" Ale bertopang dagu kembali. "Apa hal paling memalukan yang terjadi pas lo di Amsterdam?"

Aha, pertanyaan lucu, dan memalukan juga.

"Gue? Hm...." Gue pikir-pikir sejenak. "Gue hampir, yah, gue sama hostsister gue...."

"Ya?"

Putus asa, gue mengait telunjuk tangan kanan gue dengan yang kiri. Mata Ale membulat, dan gue tahu dia kepengin ketawa.

"Terus? Kok nggak jadi?"

"Kok lo tau akhirnya kita nggak jadi?" Gue mengernyit.

"Tadi lo ngomong 'hampir', halo," Ale mendengus, "dan satu lagi. Untuk menyebutkan lo dan adik angkat lo itu, lo pake istilah 'kami'. Kalo kita, itu artinya lo sama gue."

"Oke, oke, expert-nya bahasa Indonesia," gue menggerundel, "ya gitu. Dia lagi mabuk, cuma itu. Dan lagian, gue nggak suka dia. Terlalu banyak perbedaan."

Ale mengangguk mengerti.

"Kalo lo? Kejadian paling memalukan, apa?"

"Memalukannya bukan gue yang berbuat tapi," Ale mulai ketawa keras. Kebiasaannya. Dia sering ketawa bahkan sebelum cerita. "Native speaker gue pernah salah kirim SMS. Umurnya pasti udah 60 tahun dan doi mirip kodok. Tau nggak, dia salkir apaan?"

"Hm? Apaan?"

"I can't wait to wake up next to you."

Tawa kami sama-sama meledak, perut gue sampe kram dan Ale sampai meneteskan air mata saking gelinya, dan pelayan yang lewat bahkan berhenti untuk mengamati kami.

"Terus, terus..." dia tersedak, masih ketawa, "dia ngirim SMS lagi, 'Sorry but I made mistake. I hope you won't spread it at class....' Tadinya doi paling hobi ngomel kalo gue telat atau gimana, tapi sekarang udah nggak lagi."

Gue pun nyengir, berargumen, "Pasti doi tau lo suka nulis, makanya doi baik-baikin lo biar lo nggak nulis yang jelek-jelek tentang dia."

Ale menyeringai, tampak nakal. "Gue nggak peduli, sih. I write what I want to write. You can call me coward, but literature is my revenge, and this..." dia menepuk-nepuk netbook birunya, "is my weapon."

Senyum gue mengembang. "I've always known that."

Untuk sesaat kami diam, merenungi apa terjadi. Gue nggak tahu apa ini salah atau nggak, tertawa dengan Ale dengan status yang berbeda. Gue nggak tahu apa kami akan berubah lagi. Tapi gue akan setia menunggu perubahan-perubahan itu, sedikit nggak sabar, malah. Yang gue tahu, masih ada another afternoon menanti di depan kami.

9:07 pm, 26/6/2013
for f,
DON'T TRY THAT AT HOME LYK SRYSLY
anyway, your photo is safe, unless you write something bad X)

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire