mardi 14 janvier 2014

Apa Kabar, 2014?

Hai. Ini Echa. Yang masih ga berubah dari 2013 lalu. Bullshit bgt kalo bilang, "New year, new me." Itu juga jargon yang gue koar-koarkan dan jaga biar tetap menyala sejak 2010... dan biasanya sih redup di tanggal 2 Januari.

Sekarang gue ga muluk-muluk. Gue ga bikin resolusi tiap tahun. Tiap gue liat sesuatu yang ingin gue capai, gue jadikan itu resolusi detik ini dan sebisa mungkin gue kabulkan. Dan resolusi detik ini adalah bisa ngelarin tulisan ini.

Sumpah ya, I don't know why tapi akhir-akhir gue ga menemukan motivasi menulis. Libur sebulan gue kemarin menghasilkan zero novel (gue hafal bgt karena ga keitung anon yang nanya itu di ask.fm. Muehehehehe). I found it frustrating but I also believed, when it's meant to be, it will be. Gur tipe penulis yang prinsipnya finish it whatever it takes. Tapi berkaca dari statusnya Ken Terate, novel ga selesai itu bukan akhir dari segalanya. I feel like a hypocrite from this very moment, but that's it.

Gue tau sih gue manjain diri sendiri juga. Atmosfer "kandang" baru gue bener-bener ga ngenakin buat nulis. Semoga aja gue menemukan that urge to write setelah pindah ke rumah lama, aamiin.

Jadi apa dong, yang berubah dari 2013 ke 2014? Well, kalo para jomblo ngetweet new-year-new-me, gue pun berkicau balik, new-year-new-status! Hehehe. Eh, ga boleh takabur ah.

So after spending the last seventeen months--yep, you read it no wrong, seventeen--thinking all love ever does is break and burn and end, I finally found someone who's able to put the pieces together. Dan dia juga bukan orang asing. Dia orang yang gue kenal baik dan mengenal gue lebih baik lagi. Dia orang yang menyaksikan tiap tawa dan air mata, tiap hi dan goodbye. I feel so lucky having him next to me. It's like nothing else matters really.

Season changes but my feeling towards him never does. Dia tetep masih orang yang nawarin gue brownies padahal kita belom tau nama masing-masing. Dia tetep masih orang yang ngangkat telepon tengah malam gue; yang ngerespon curhat menye-menye gue, sengantuk apapun. Feeling like this comes once in a lifetime, begitu petuah mereka yang suhunya romansa. So when you finally meet someone who can dwell you like that, never evet let them go.

2013 brought us bliss, after all. The afternoon we spent on my now-built home roof, with wind slaped our cheeks. The night when we did nothing but staring up at the sky and fireworks, thanking each other's pressence, my palm pressed to his so I was saved in his warmth. The morning I woke up to his arms and our friends morning business.

Cups of coffee we shared, my writings he edited, the game we glambed. For all those times, I feel grateful.

We agreed to refuse calling it pacaran, karena kami terlalu takut ada sesuatu yang berubah. Biarin aja begini. Liatin aja ke mana ngalirnya. Satu hal yang gue sayang dari dia, dia ngeliat segala sesuatu dengan sederhana. Meant to be or not meant to be. As simple as that. Yang manusia bisa lakukan hanya memperjuangkannya.

So welcome me, 2014. Welcome this Echa who just turnt her sumo (susah move on) mode to amo (already move on) mode. Yeay!

Selama libur sebulan itu gue dan dia main, he took me to his house. Kadang kita nyetir tanpa tujuan. Kadang kita brenti di parkiran sepi dan cuma diam, ngeliat cakrawala yang perlahan mengubah warnanya sampe diusir satpam. But I knew I got all I needed, right here in the passenger's seat. Muahahaha. Pernah juga kita movie marathon di rumahnya dan ketiduran di sofa dan gue bangun gegara dibangunin nyokapnya.

...

Nyokapnya kenal gue dan keluarga gue, but it didn't prevent her from interogating like, "Kamu ngapain aja sama anak saya?" Nggak sih, dia nyebut nama anaknya, nggak sekaku itu juga. Terus ya gue jelasin aja yang sebenernya. Simply falling asleep. Masalah pun selesai.

Yea itu masalah kecil sih dibandingin yang lebih besar. It's funny how destiny toy us, humans. Di saat gue already moved on, he came back. Makhluk Tuhan dari masa lalu. Dan lokasi ketemuannya juga ga epic parah, di airport. Gue nyariin HP gue yang--gue kira--ilang dan mendadak dia di samping gue sambil nanya, "Apa lagi yang ilang?"

It was like the world's burden suddenly moved onto my shoulder. Seeing him here, offering help, like nothing happened between us, infuriated me. All-business gue nyahut, "HP." Dia nanya lagi, "Oh. Mau gue bantu cari?"

Just like that. Gue dengan senang hati menolak tapi dia ngotot so I let him. No touch, no I miss you bromance, no words. Just me and him, looking for my phone yang ternyata ketinggalan di rumah. Oke itu antiklimaks. Tapi sumpah, gue udah masukin HP gue ke kantong!

Yea okelah. Rada awkward sih. Tapi yang lebih awkward lagi adalah ketika my lifetime partner dateng ngedorong trolinya sampe mentok tiang gara-gara kita jalan ke arah satu sama lain dan ber-Teletubbies. Disaksiin sama si masa lalu. Those more awkward moments lead us to beyond awkward moments karena ortu si Present nawarin si Past bareng. He agreed, dan jadilah kami bertiga as a team duduk di seat paling belakang, si Present di tengah dan mancing obrolan, to which I responded halfheartedly.

The Past came back to say goodbye, actually. Dia bakal pindah, lebih jauh lagi. Bukan di benua seberang Indonesia lagi, tapi seberangnya seberang. Amerika.

And I wrote this to fulfill his request, actually. He wanna keep up with my world, with so-he-called our world. It surprised me because, yah, satu hal yang bikin gue greget sama dia karena dia ga sungguh-sungguh mendukung mimpi gue jadi penulis. Dan tiba-tiba, ujuk-ujuk, when everything's too late, when things have been said and done, he asked me to write.

You had three years to ask me that, big bro. Ke mana aja lau?

Yah tapi sudahlah. Alhamdulillah juga dia masih sadar. I know you read this, and I genuinely write this not to break your heart like you broke mine. I speak up my mind.

Oke. So that's my holiday. Sebelum holiday gue berpartisipasi di Bulungan Cup XV, jadi seksi kesehatan lagi. Tapi entah kenapa rasanya ga se-"seru" dulu. Ga se-hectic dulu. Ga selucu dulu. Mungkin lucu waktu gue sama Tyas Lisa Raka nemenin Kak Meita ke pasar Pramuka buat beli obat dan kita ke Sevel Matraman. Cuma gue dan Kak Meita doang yang jomblo di sana, and we both saw a pair of new lovebirds.

Tapi gue melihat kejombloan itu sebagai... apa ya. Strength. Gue kagum sama Kak Meita. Dia mandiri bgt. I wish I could copy that from her. Her independence. Her simplicity in doing things. Btw dia belom minta tulisan Kobagas yang gue foto di rompi tukang bajaj yang kita taikin dari pasar Pramuka ke Sevel sana.

Year hadn't changed but something inside me changed. Gue kesel waktu adik kelas nolak gue suruh beli es batu di waktu terjepit. Tapi sumpah yak, waktu gue kelas satu, I did it tanpa banyak protes. Entah gue yang kurang galak atau gimana. Akhirnya sih gue lagi yang jalan. Emang udah kodrat gue kali jadi seksi laler.

Jalan ke sana ke sini sih teteup, tapi kali ini bukan sama Kak Anggun, tapi Lisa. Jalan dari Hall B ke Cemtig ke Pinsat dan balik lagi. Sejam untuk itu. Dan belom sejam duduk di Hall B disuruh ke PS buat beli plastik parsel, which we obliged happily. Mayan jalan-jalan. Duo laler on vacation, iye ga Lis?

Banyak hal yang bakal gue kangenin sih dari 2013. Things I let go and I welcomed. Chances I nodded at without hesitating, no matter how terrified I was, and chances I trashed like two coins sliding up between my fingers. People I high-fived and people I kissed goodbye. So, so many things that I wish I could save inside my head forever.

Year changed, people changed. Ada yang masih melihat gue dengan cara yang sama. Ada yang langsung nge-ditch gue begitu melihat yang lebih baik. Tapi gue ga mau ambil pusing. Gue pengin menduplikasi kemandirian Kak Meita, atau prinsip meant to be/not meant to be-nya Refal. I'm still looking forward to the moments when I cheer up, when I feel the warmth of spotlight, when I stand proudly, when I dance awkwardly for no reason at all. When I feel infinite, when the mixed feeling inside me bubble up and I feel like exploding.

Gue ga bakal nyari saat-saat ketika I cannot hold up to my tears anymore. When I get my hopes down. When I feel tricked and betrayed, even by myself. But I would welcome them if they appear finally. Because really, you can't be happy unless you let yourself unhappy sometimes.

Gue punya prinsip sendiri untuk ini. Prinsip yang gue kopi dari kutipan mutakhirnya Robert Frost.

In three words I can sum up everything I've learned about life: it goes on.

Thanks for the memories, 2013, dan salam cenat-cenut, 2014.

(resolution completed)

jeudi 9 janvier 2014

Cornered

Those seconds when you have that urge to find a corner...

and you find it

and you cry.

Gue mengalaminya saat ini.

Pernah ga kalau lo ngerasa semua hal yang lo lakuin selama ini sia-sia? Kalau every struggle you struggled ga berarti apa-apa? Kalau semua janji yang lo bikin karena lo dengan senang hati menepatinya, ga dipedulikan oleh mereka. Bahkan, mereka ga ambil pusing kalo janji lo itu keluar dari hati atau bullshit belaka.

Maybe it's me and my blind opstimism to blame.

Pernah ga waktu sekitar lo tiba-tiba meninggi dan menggerombol sedangkan lo tetap elo. Yang kerdil dan sendiri di dunia yang besar ini. Yang nyari pojokan untuk bersandar dan nangis. F*ck metaphors, gue emang pendek, jadi yah perumpamaan ini tak sepenuhnya bermakna kiasan, lah.

There are some things I need to confess. Gue adalah tipikal orang yang lebih seneng dipeluk daripada dikasihtau, "I love you." Because what? Karena ada beberapa hal that only your body gesture can express, can't be represented with your words. Cara lo mengerling dia yang lo selalu tunggu di koridor sekolah, cara lo senyum begitu dia akhirnya nongol; karena dengan ngeliat dia aja lo bisa seneng. It was weird. It was rare. I remember it all too well. The feeling was abstract. But it was there. Skipping your heart a beat.

Dan cara lo memeluk lengannya, berharap dia juga emoh melepas lo; berharap dia bisa baca isi pikiran lo, berharap dia juga merasa apa yang lo rasa. When someone does that to me, I know from the very first touch that they love me.

Poin gue adalah, gue lebih suka dikasih bukti alih-alih janji. Maaf ya, udah muter-muter segini panjang ga taunya gini doang.

Gue kesel. Ga tau kenapa. Padahal sepele. Tapi tetep aja gondok. I hate those kind of people who say, "I miss you," without even making any effort to erase that missing feeling. To replace that, "Kangen. Kapan ketemu?" dengan, "Kapan-kapan lagi yaaa."

Oke ya. Call me unromantic tapi gue emang jarang bilang kangen. Jarang. Mungkin karena kata rindu itu gue tumpahin ke puisi yang menye-menye atau cerbung tanpa ujung. Menurut gue sendiri, kata itu usang. Bakal kehilangan arti kalau lo ga segera memberi bukti. Dan gue mengganti semua aimisyu itu dengan rajin update tempat-tempat hang out seru atau ngajak mereka ke event tertentu. It's my way showing people how much I care.

Gue ga bakal jadi munafik di sini. When it comes to affection, I don't always give without remembering. Sadar atau ga, we're craving for it. Mungkin di kamar, saat lagi baca ini, kepala lo goyang-goyang kayak pigura anjing di dasbor mobil, menggelengkan setiap kata. Tapi menurut gue, affection itu harus sirkular. Dua arah. When you give your affection to people you love, you expect them to give theirs in return. Yea teori gue ga berlaku buat mereka yang jatuh cinta diam-diam, sih. Yang ga cukup kuat buat mengungkapkan perasaannya tapi pemberani untuk menyimpan gejolak itu sendirian.

Gue tau hal berubah. I watch every motion of it. Time changes people. Pain changes people. They change me, too.

But really, I'll do everything it takes to get you back.

Gue tau lo yang baca ini juga pasti membayangkan wajah that one person ketika membaca kalimat di atas. Yang transformasinya terlalu ekstrem sampai lo lupa kayak gimana mereka sebelum bermetamorfosis. Yang lo terima dan berusaha menyesuaikan karena cuma itu yang bisa lo lakukan. Cause that's what (boy)(girl)(best) friends are supposed to do, begitu kan, liriknya? Accepting each other's flaws, because it hurts you less than watching them go.

Kadang lo mikir apa mereka masih butuh lo. Karena selama ini hanya lo yang berjuang. Karena selama ini hanya lo yang berusaha mempertahankan. Karena selama ini hanya lo yang memberi bukti.

...

iya, kan?

Tapi lo juga ga berani nanya, apalagi mengonfrontasi. Karena lo takut dengar kenyataannya. Karena lo takut kalau suspeksi lo benar--bahwa mereka memang ga butuh lo, it would shard you to ashes. Karena lo takut mendengar gema pengakuan diri lo... bahwa lo butuh mereka.

...

iya, kan?