jeudi 23 octobre 2014

Siang ini, di sebuah Metromini

"Cause what about, what about angels? They will come, they will go, make us special."
Not About Angels - Birdy

This is gonna be a super short and useless post, but I'm writing this for a fact that writing is especially cathartic.

Berhubung hari ini, dan empat hari sebelumnya, sekolah gue ada UTS, gue sama temen-temen anak BTA yang lain konsul di BTA Taman Puring. I've been so used to doing these repetitive activities that I can't see anything anything remarkable, day to day. Tapi siang ini, di sebuah Metromini, gue menemukannya.

Tiga puluh menit sebelum gue di Metromini, gue asyik cerita-cerita dan ketawa cekakak-cekikik sama Rini Mitha Noly Cheryl Nadya, ngegosipin kepsek sendiri sampe kepsek sekolah lain, sampe Rini cerita soal mitos kuntilanak yang terbukti benar dari tontonannya di Hitam Putih. I can't write the details soalnya bakal bikin lo ga nyaman dan ga appropriate aja rasanya HAHA. Terus berhubung kita juga baru kelar bahas soal latihan buat ulangan geografi besok yang materinya Inderaja, Rini tiba-tiba nyeletuk, "Tapi bisa lho, lo nge-detect penampakan pake kamera thermal. Ada application-nya di Play Store." Lagi asyik-asyiknya ngobrolin soal "dunia lain", lampu ruang santai BTA tiba-tiba mati.

Yang lain sontak teriak, tapi gue bengong diam statis aja gitu di tempat. Trus gue ngomong, "Teguran kali, ada yang nggak suka kita omongin." I just blurted out those words without calculating the effect that soon followed. Temen-temen gue makin parno, gue juga ikutan merinding. Akhirnya kita semua turun ke ruang santai di lantai satu, tapi topik masih belum diganti. Rini yang ikut Sisga (ekskul pecinta alam di 70) malah cerita soal kejadian "spesial"-nya semasa naik gunung. Mulai dari yang disasarin lah, ada kepala di pundaknya lah, sampe orang-orang yang dia kenal yang kerasukan sampe hampir lompat tebing.

Keasyikan ngobrol, gue sama Cheryl ga nyadar kalo langit udah mendung, sedangkan bus 614 itu LAMA BANGET datengnya. Selangka itu. But Fortuna shot me with a luck. Gue sama Cheryl bahkan ga nyadar kalo ada 614 yang lewat di samping kami persis waktu lagi ngobrol pas nyebrang.

And again, we were lucky. Masih banyak tempat duduk kosong, mungkin karena belum jam pulang kantor. Gue sama Cheryl duduk di belakang seorang kakek-kakek. Di jalan, gue nunjukin beberapa toko di kanan-kiri bus like a tour guide. I love it actually, pretending to be a tourist in my own city.

Begitu Cheryl turun di Barito, gue pun gabut. Nggak ada musik, gerimis mulai turun rintik-rintik. Berhubung gue paling anti (baca: kapok) tidur di bus soalnya pernah kelewatan halte sampe nyasar dan ngerepotin Refal (luv u, Fal), gue pun menajamkan indra gue. Gue celingukan ke kanan-kiri, merhatiin kucing dan anjing di toko-toko hewan sepanjang Barito, looking out of their cage with watchful eyes and bored gesture. Pas Metro udah lewatin Barito, gue mengalihkan perhatian gue ke penumpang bus yang lain, khususnya kakek di depan gue. Dia pake kemeja kotak-kotak yang warna birunya memudar, gagang kacamatanya diselotip, dan rambutnya udah 75% memutih di bawah topi merahnya.

And as soon as I looked at his cap, I got a sudden lump in my throat. Ga tau kenapa, dia ngingetin gue sama almarhum kakek gue, yang meninggal waktu gue kelas 5 SD. I know it's been so long, tapi dari cerita bonyok dan oom dan tante gue, I was his closest granddaughter. Almost every afternoon, he took me for a walk, wearing his red cap. Dia beliin gue es krim dan mainan, dan bahkan walau my mother shot him with disapproving look as we got home, beliau ga pernah kapok beliin gue apa yang gue mau.

Gue buru-buru merhatiin hal lain, lagi males baper. Tapi ga lama kemudian, di lampu merah, si kakek manggil tukang koran yang kebetulan lewat. Dia mau beli koran Kompas, tapi harganya ternyata empat ribu. Gue udah keluarin uang gue dari saku, mau bayarin, tapi urung. Si kakek akhirnya ngambil Pos Kota, dan tukang koran ngasih potongan 500 perak.

Ga lama, Metromini jalan dan berhenti lagi. Ibu-ibu yang ada di seberang si kakek turun. Si kakek berdiri dan ngoper plastik merah bawaannya ke kursi itu, sama korannya juga, and I noticed his hands and his feet were shaking. Terus korannya pun terbang ke tangga pintu depan. Si kakek teriak-teriak ke supir Metro, minta diberhentiin, dan dia udah jongkok buat ambil korannya, tapi gara-gara banyak motor, dia ditegur sama penumpang lain yang takut beliau kesamber. Akhirnya beliau duduk lagi, itu pun dinyinyirin sama si kernet dan penumpang bitchy di belakang gue. As he sat, he looked so empty. Koran itu belum dia baca sama sekali. And for inexplicable reason, his fragile back broke my heart.

Saking emosinya sama si kernet, gue ga sadar kalo Metro belok ke tikungan yang berlawanan sama tikungan ke rumah gue. Sama penumpang cewek di depan, gue teriak-teriak minta diturunin soalnya busnya ngebut. Waktu berdiri, I nearly lost my hold from the trail, sampe gue oleng. Si kakek pun narik tangan gue, nyegah gue dari jatuh. Gue bilang makasih singkat, terlalu terpana sampe diteriakin kernetnya, "Dek, mau turun ga?!" Si kakek nepuk punggung gue, and I saw his wrinkled hand, dan gue tiba-tiba inget setiap kali gue salim ke kakek gue sebelum dan sepulang sekolah.

Gue akhirnya turun dan lari. I cried. Cewek yang tadi turun bareng gue lari nyusul gue dan tiba-tiba nepuk bahu gue dan nanya, "Kenapa nangis?" Gue cuma bisa geleng ga jelas. Ga berapa lama, si cewek ngasih gue plastik bening dari tasnya sebelum lari sambil teriak, "Duluan yaa!"

Di tengah jalan, di tengah hujan, gue bengong total.

Gue akhirnya make plastik itu buat HP gue yang udah sekarat, wondering if she was an angel, the girl who talked to me. Everybody knows the superstition. Konon, ada malaikat yang jatuh bersama bulir hujan. Makanya kalo ada hujan ga boleh ngeluh, soalnya pasti adaaa aja rezeki. Gitu sih kata nyokap gue. Selama ini gue cuma mikir kalo teorinya cuma berlaku buat tukang ojek payung, but well, now I believe that.

Gue jadi mikir. Cewek malaikat itu baik banget. Dia pasti udah niatin bakal ngasih plastik itu ke gue, dan ga ragu karena gue orang asing. She acted her intention out. Sedangkan gue... andai gue memverbalkan pikiran gue buat bayarin koran si kakek, who until now, still reminds me of my deceased grandpa.

And then I ran home, carrying my phone in a plastic bag, crying.

dimanche 19 octobre 2014

Akankah kaukenang, jingga cakrawala petang itu?
berkaca pada luas samudra
nyiur melambaikan salam perpisahannya pada sang surya
langkahmu menyusuri tepi kubakan
tak takut akan apa yang mungkin kautemukan

Malam itu, kutemukan bintang di bawah telapak kaki
Siapa yang berani mencurinya dari sang langit?
Malam itu, temaram bulan pun kuabaikan,
karena ada jutaan cahaya cerlang,
terpancar di bawah kanopi kafe-kafe pinggiran

Kau menamai permainan ini "menggoda ombak"
kita berlari menyusuri gelombang dan mundur perlahan-lahan
matamu berair, tersedak pasir
Dari lambai rambutmu, dan deru angin di telinga
aku tahu kita menari
aku tahu alam menabuh musik di antara pijak kaki
buih yang pecah setelah menabrak karang
akankah kau mengenangnya?

Karena akan kukenang, hangat tanganmu kala kugenggam
Akan kukenang, aroma laut yang disamarkan wangi masakan
Akan kukenang, ujung celana yang tetap basah meski kugulung
Akan kukenang, petikan gitar dan kicau burung

Kawan,
seperti malam ini, kau tak terlupakan

Jimbaran, 20 Juni 2014

samedi 11 octobre 2014

Good things (never) happen to those who wait

Sebelum kening kalian mengernyit gegara bingung sama judulnya, di mana gue menjungkirbalikkan paradigma "good things happen to those who wait," let me get it clear.

Ofc, "wait" di sini konotasinya negatif. I'm a notorious waiter known for procrastinating everything in sight. Apa-apa ditunda terus. Gue selalu kepingin nyari waktu sempurna dan pas buat ngelakuin sesuatu, but the time often slips before I realize it. The thing is, people, you'll never guess what could happen next.

Kayak kondisi gue sekarang contohnya. When I faced my mirror, I saw a bleary-eyed girl with crumpled face. Fyi, gue nggak tidur semaleman. Dan itu semua karena gue... nunda-nunda kerjaan.

Tempo hari gue beli buku di Books&Beyond, terus ngopi-ngopi cantik bareng Fajri my beloved friend. Pas pulang, I was tired but I knew I could read some pages, tapi gue malah leyeh-leyeh ga guna sambil main HP. AC gue nyalain ke suhu 16. Akhirnya gue nggak dapet apa-apa. Gue nggak sempet tidur siang juga soalnya keburu maghrib.

Abis salat maghrib, nyokap beliin gue kwetiau, yang gue tunda-tunda juga penyantapannya. Gue sibuk ketak-ketik laptop, ngelarin cerbung gue di Ms. Word, sambil ngopi. I'm sorta helpless to write without coffee. Udah kelar, gue nyalain internet. Gue buka blog private gue. Gue copas tulisan di Ms. Word ke sana. Everything had gone smoothly until my laptop went blank, right before I clicked "Publish post".

Gue nyante-nyante aja tuh. Gue nyalain juga charger-nya. Nggak sampe dua menit sejak gue nge-sync charger...

listriknya mati.

Gue mulai nggak santai. Kata nyokap sih, gardu PLN deket rumah kebakar, makanya mati listrik. Ya udah. Akhirnya gue turun dan makan kwetiau. Abis itu balik lagi ke kamar, only to realize... God, I was so helpless without electricity. Gue nggak bisa baca buku. Gue nggak bisa nyalain laptop. Sampe sinyal internet gue juga ngaco.

Akhirnya gue putusin buat tidur. Gue buka jendela, biar nggak panas banget gitu biar kata AC mati. Guess what?

Banyak nyamuk.

Gue emang paling anti sama makhluk yang satu ini, akhirnya gue tutup jendela. The situation happen next fulfilled my bet. Panasnya minta ampun ya Tuhan. Gara-gara nggak tahan, gue pun ke kamar adik gue dan ngambil Baygon.

"Eh, mau lo bawa ke mana Baygon-nya?!" Tiba-tiba adek gue bangun.

"Nyemprot nyamuk," jawab gue setengah hati.

"Tolol. Lo mau rumah kita kebakaran?"

Asli, gue udah tertohok banget sama omongan nyolotnya itu, but I found the thought made sense. Iya ya. Di sekeliling rumah lagi banyak lilin. Banyak api. Semprot minyak tanah mah sama aja cari mati.

Finally I went back to my bedroom and tried to sleep. I failed miserably.

Lalu gue inget gue udah nenggak dua gelas  kopi seharian ini.

Gue pun terlentang menatap langit-langit. Nyamuk-nyamuk ngerubung gue. Perut gue keroncongan. Mana malem-malem kayak ada yang jalan di atap gue, pula. I haven't slept. Hingga sekarang.

Gue jadi mikir, what if I had worked my ass off earlier? What if I had typed my stories once I got home? What if I hadn't drunk that goddamn coffee?

Now you meet my endless what-if list.

Bukan sekali ini aja sih gue kena masalah gara-gara kopi. Beberapa minggu lalu, gue kepingin banget cappucino cincau di sekitar rumah gue. Nggak deket, tapi nggak jauh juga. Kayak dari Bulungan ke Blok M Square gitu lah jaraknya. Akhirnya gue ke sana, jam 12, panas-panasan, dan guess what?

Tokonya belom buka, nyet.

Berhubung gue orangnya harus ngedapetin apa yang gue idamkan kalo udah setengah jalan, gue pun mikirin cara lain. Gue ke minimarket di belakang tukang capucin, beli kopi sendiri, dan pulang. Gue beli es batu dan getok sendiri. Gue bikin kopinya sendiri. Gue masukin es batunya, dannn....

Gelasnya kesenggol siku gue sampe jatoh.

Seakan belom cukup sial, nyokap gue ngamuk dan nyuruh gue ngepel+cuci barang-barang yang kena kopi gue. Gue laksanakan juga titah baginda. Sambil nangis-nangis bombay ceritanye. Kelar cuci piring dan ngepel, gue bikin kopi lagi. Dari awal. Gue bawa ke kamar gue. Pas gue mau ambil buku, gue sadar badan gue lengket sama keringat dan sisa tumpahan kopi.

Seogah-ogahnya gue, gue tetep mandi. As always sih, I made wrong choice.

Pas gue kelar mandi, kopi kedua gue udah dirubung semut.

Here came my earlier what-ifs. What if I had drunk that coffee before I bathed? Mungkin bakalan worth the struggle.

Itu baru yang berkaitan sama kopi. Minggu ini, entah udah berapa waktu yang gue abisin buat hal-hal yang sia-sia. Senin kemarin, gue bolos demi bikin KTP. Pas udah sampe di kelurahan, orangnya bilang belom bisa bikin KTP kalo belom ultah. Kamis-nya, waktu ada event lomba menyambut ultah 70 sekolah kami tercinta, hampir sekelas gue pada cabut. Gue masuk soalnya nggak enak kan, udah bolos sehari.

Sekelas gue akhirnya cuma sembilan orang yang masuk dan guru-guru terlalu sibuk ngurusin lomba. Akhirnya gue gabut 8 jam. Gue tidur-tiduran. Gue ngobrol ngalor ngidul sampe pulang. Gerbang baru dibuka jam tiga lantaran satpam yang jagain ikut lomba voli. And it was too late to go to Books&Beyond and do my bookshopping. Pas di jalan, gue lupa gue belom ngerjain tugas akuntansi gue yang bejibun. Akhirnya gue pulang, berlinangan air mata, cursing both my stupidity and my teacher's lies. Katanya pulangnya jam 12. Bullshit.

Berhubung gue udah terlanjur nggak mood parah, gue bolos kursus Prancis gue. Gue curhat ke Fadli, my lovely psychologist to be yang sekarang S2 di salah satu PTN terkemuka (nggak setermuka UI, tetep:p). Katanya, gue butuh hippo time.

I actually had no idea what hippo time was, so I Googled it. Fadli orangnya nyolot, kalo gue nggak tau pasti dicak-cakin bego. Padahal teori labelling itu dilarang dan fatal. Gimana sih lo.

Anyway, hippo time ternyata, harfiah gampangnya, "berkubang" dulu dalam kesedihan kita. Ngasih diri kita waktu sebelum menapak tahap SUMO: Shut Up and Move On. Waktu gue pamerin kecerdasan superfisial gue ke Fadli, doi bilang, "Manusia sama kuda nil tuh 11/12. Kuda nil berkubang, manusia berkabung." He stated something original, like ever, and his saying made into my favourite quotations list.

Dan lo tau lah, apa yang gue lakuin di masa-masa hippo time gue.

Yak, procrastinating.

Once again, I drowned in grieve begitu sadar kerjaan gue nggak kelar. Sebelum gue ngetik post ini pun, gue SMS Fadli, and wise as ever, he said, "Nothing to lose kok Cha."

Dan gue kayak, "I lost lots of time."

Dia bales, "You didn't lose what you've learned, though. And you've got another story to tell."

His advice opened my eyes. So I here I am, writing this story, nungguin listriknya nyala (udah sebelas jam woy matinya), hoping I don't lose anything anymore.

Kids, don't procrastinate. I'm serious. It's bad for your health. Good things never come to those who wait. Good things happen to those who work their asses out.

Do it now. Sometime "later" becomes "never".