dimanche 30 mars 2014

Tak Bisakah

Tak bisakah kauberi ia
Satu lagi langit biru?
Dan awan yang bergradasi padu?
Karena sungguh,
tak ada yang lebih diharapkannya dari
melihatnya bersamamu

Tak bisakah kauberi ia
Satu lagi ketukan di pintu?
Dan cokelat terbungkus manis di tangan kananmu?
Karena sungguh,
cokelat itu terasa hambar di bibir
bila ia tak mencecapnya bersamamu

Tak bisakah kauberi ia
Satu lagi sorot lembut itu?
Dan ucapan selamat pagimu?
Karena sungguh,
wajahmu adalah gambar pertama yang dilukis imaji
ketika ia terbangun dari tidur

Tak bisakah kauberi ia
Satu lagi nuansa senja?
Dan warna merah yang tersapu di cakrawala?
Karena sungguh,
tanpa dirimu di sampingnya
keindahan itu terasa sendu

Satu lagi saja...
Tak bisakah kauberi ia
Kata-kata penyemangat?
Karena ia mulai kesepian
Karena ia ingin menangis
Tanpa tahu ke bahu siapa ia bisa bersandar

30/3/2014, 6:37 pm

Mixed Quotes to Brighten Your Day

"And I've realized that the Beatles got it wrong. Love isn't all we need--love is all there is."
Morgan Matson, Second Chance Summer .

"For the two of us, home isn't a place. It is a person. And we are finally home."
Stephanie Perkins, Anna and the French Kiss.

"I needed to hate someone and you're the one I love the most, so it fell on you."
Gayle Forman, Where She Went.

"No one can tell us no. No one can make us stop. We have picked each other, and the rest of the world can go to hell."
Lauren Oliver, Pandemonium.

"As he read, I fell in love the way you fall asleep: slowly, then all at once."
John Green, The Fault in Our Stars.

"Sometimes crying or laughing are the only options left, and laughing feels better right now."
Veronica Roth, Divergent.

"When it's right, it's simple."
Stephanie Perkins, Lola and the Boy Next-Door.

"I'll just love you whether you want me to or not."
Richelle Mead, The Indigo Spell.

"We are born in one day. We die in one day. We can change in one day. And we can fall in love in one day. Anything can happen in just one day."
Gayle Forman, Just One Day.

"Here's one thing to remember: hope keeps you alive. Even when you're dead, it's the only thing that keeps you alive."
Lauren Oliver, Before I Fall.

"If you only read the book that everyone else is reading, you can only think what everyone else is thinking."
Haruki Murakami, Norwegian Wood.

"Some things don't last forever, but some things do. Like a good song, or a good book, or a good memory you can take out and unfold in your darkest times, pressing down on the corners and peering in close, hoping you still recognize the person you see there."
Sarah Dessen, This Lullaby.

"My nightmares are usually about losing you."
Suzanne Collins, Catching Fire.

"If people were rain, I was drizzle and she was a hurricane."
John Green, Looking for Alaska.

"So write it. It doesn't have to be good. You don't have to be Ernest Hemingway."
Rainbow Rowell, Fangirl.

"Sometimes the best way to find out what you're supposed to do is by doing the thing you're not supposed to do."
Gayle Forman, Just One Day.

"It's better to try and fail than to wonder what could have been."
Kirsten Hubbard, Wanderlove.

"This is what love does: It makes you want to rewrite the world. It makes you want to choose the characters, build the scenery, guide the plot. The person you love sits across from you, and you want to do everything in your power to make it possible, endlessly possible. And when it’s just the two of you, alone in a room, you can pretend that this is how it is, this is how it will be."
David Levithan, Every Day.

"I like him so stupidly much."
Katie Cotugno, How to Love.

"People are more difficult to work with than machines. When you break a person, he can't be fixed."
Rick Riordan, The Battle of the Labyrinth.

"One day you'll fall asleep in my arms every night. And you'll wake up to my kisses every morning."
Kiera Cass, The Selection.

"Is it better to have had a good thing and lost it, or never to have had it?"
Jennifer E. Smith, The Statistical Probability of Love at the First Sight.

"I never really gave up on you. Not really. I always hoped...."
J. K. Rowling, Harry Potter and the Half-Blood Prince.

You're My Cup of Tea



The soldier loves his rifle,
The scholar loves his books,
The farmer loves his horses,
The film star loves her looks.
There’s love the whole world over
Wherever you may be;
Some lose their rest for gay Mae West,
But you’re my cup of tea.

Some talk of Alexander
And some of Fred Astaire,
Some like their heroes hairy
Some like them debonair,
Some prefer a curate
And some an A.D.C.,
Some like a tough to treat’em rough,
But you’re my cup of tea.

Some are mad on Airedales
And some on Pekinese,
On tabby cats or parrots
Or guinea pigs or geese.
There are patients in asylums
Who think that they’re a tree;
I had an aunt who loved a plant,
But you’re my cup of tea.

Some have sagging waistlines
And some a bulbous nose
And some a floating kidney
And some have hammer toes,
Some have tennis elbow
And some have housemaid’s knee,
And some I know have got B.O.,
But you’re my cup of tea.

The blackbird loves the earthworm,
The adder loves the sun,
The polar bear an iceberg,
The elephant a bun,
The trout enjoys the river,
The whale enjoys the sea,
And dogs love most an old lamp-post,
But you’re my cup of tea.

W. H. Auden

for you, R.
Buddy, you're my cup of tea
no matter what, Ily
Just stop saying you don't.

lundi 24 mars 2014

Happy Ending itu Nyata

Topik bahasan kita malam ini dimulai dari percakapan kamar gue dan adek, yang kira-kira jalannya kayak gini:

Gue: Ja, tau nggak, kenapa dulu gue ikut segala macem les?
Reza: Hmm? *gigit roti*
Gue: Tau nggak?
Reza: Nggnyaakkk *sambil ngunyah*
Gue: Soalnya gue kepingin move on.
Reza: Ketebak banget. *ngunyah sebentar* Orang mager kayak lo mana mau ngeles kalo nggak terpaksa.
Gue: ....

And our conversation was overheard by my dad. Dan yah, lo tahu lah apa yang selanjutnya terjadi. Gue diinterogasi. Pasalnya, dulu gue bilang gue mau stop ILP. Mau fokus ke pelajaran. And lately I changed my mind. Udah mau tiga tahun gue kursus di ILP. Ogah amat gue DO tanpa ijazah. Lagian "tinggal" lima level kok. "Tinggal" sepuluh bulan.

Long we talked, akhirnya bokap pun berujung pada satu kesimpulan. (Yang mungkin memang benar, mengingat Baginda kadang lebih kenal gue ketimbang gue kenal diri gue sendiri). Gue mau lanjut ILP soalnya baru putus. Salah, diputusin. By a guy who claimed that his future was me.

*brb nyedot ingus*

I loved him, he loved me. Tapi mungkin emang not meant to be. Yah, mau dibilang apa. Di sini gue ceweknya. Gue cuma bisa bilang "okay" atau "no" kan? Hanya bisa konfirmasi. Semua keputusan dia yang buat. Call me passive, tapi gue suka didominasi cowok. Gue suka merasa bisa rely on them. Aneh, nggak?

Yah, pokoknya gitu. Abis gue cerita panjang-lebar, bokap melihat gue, lama, with the kind of stare yang bikin gue merasa ditelanjangi. Di hadapan dia, gue nude. Genuine. Nggak ada kepura-puraan. Gue nangis.

And he patted me on my shoulder and said, "Kamu tuh kayak ayah. Justru semangat waktu lagi jatuh sejatuh-jatuhnya. Giliran seneng jadi males. Lupa diri."

...

Bener, kan? Dia lebih kenal gue.

Bokap nyetujuin gue lanjut ILP karena dia yang paling support segala kegiatan perkursusan gue dan paling ngamuk kalo gue bolos. Hm, ya sudahlah. Intinya hari Rabu I'll back to October. Salah. Back to ILP.

Beberapa hari yang lalu, ada yang nge-ask gue di ask.fm, gue jenis orang yang takut memulai hal baru atau nggak? And I said, no. Gue nggak takut memulai hal baru karena ketakutan gue terletak di mengakhiri hal-hal yang sudah gue mulai itu.

Seriously. I'm always afraid to put an end to something I've started and taken years to develop. Gue takut ada yang hilang. Takut ngerasa dikoyak oleh keputusan gue sendiri, kayak bumerang. Mungkin prospek ini yang ngejelasin kenapa gue selalu takut mutusin orang, muahahaha. Duh. Maaf baper.

Pikiran gue, there's no thing such as happy ending. Logikanya deh, if it makes you happy, why should it end? Yah, tapi pemikiran itu terpental waktu gue nonton film Now You See Me. Ada suatu line yang gue hafal. Bukan quotes, tapi cukup membuka mata.

"Just like every good things that must come to an end..."

Cuma itu yang gue tangkap. See the remark? Every good things must come to an end. Dan ending itu nggak mengubah title mereka jadi bad things, kan? Sama aja kayak mantra favorit gue. You can't be happy unless you let yourself unhappy sometimes.

Sadar atau nggak sadar, segala hal pasti ada akhirnya. Yang buruk atau indah. Terpaksa atau sukarela. Just because it ends, doesn't mean it's not beautiful. Sometimes things end karena... yah, sudah waktu mereka buat expired dan digantikan sama hal yang lebih baru dan lebih bikin lo bahagia. Mungkin lo nggak tau. Tapi di sini yang pegang naskahnya Tuhan, kan? Lo cuma perlu nyiapin diri dan maju saat Dia bilang, "Action!"

Ada banyak quotes tentang hal ini. Life is like ice cream, enjoy it before it melts. You only live once. Sekarang gue mikir... titik berat dari kata-kata mutiara barusan nggak terletak di kata "hidup".

Gue baru sadar, sedikit terlambat, kalau kebahagiaan itu bisa kadaluwarsa.

Gue baru sadar, kalau Disney got it right. Happy ending itu nyata.

...

back to All Too Well

lundi 10 mars 2014

Afternoon Like This

We're never done with killing time
Can I kill it with you? Till the sky runs red and blue
We come around here all the time
Got a lot to not do, can I kill it with you?
400 Lux - Lorde

Semua kepala menoleh padanya saat Ale memasuki kafe, berusaha memasang senyum terbaik dan wajah paling netral. Ia duduk di pojokan, di tempat yang ia dan Fabi selalu tempati. Namun ketika sepuluh menit terlewat dan meditasinya justru membuatnya kembali teringat akan Rayi, Ale bergegas ke kamar mandi, menatap lekat-lekat bayangan di cermin.

Ia tak mengenali bayangan itu sama sekali. Hidungnya merah, matanya sembab, dan rambutnya belum disisir. Persis peran utama Beranak dalam Kubur 2.

"Rayi sialan," desisnya menyumpah, mencengkeram ubin meja wastafel hingga ujung-ujung kukunya memutih.
Di hari-hari biasa saja, Ale paling ogah bawa bedak, apalagi dalam situasi kalang kabut kayak tadi. 

Terpaksa Ale menunggu sampai rona di hidungnya hilang secara natural, yang agak susah karena dia putih.
Begitu yakin dirinya lebih rapi sedikit, Ale berbalik, dan tepat saat itu ia tersungkur ke dalam dekapan lengan-lengan sigap itu. Ale diam, tak berusaha menengadah karena aroma parfum si cowok menariknya seperti magnet.

"Lo kenapa nangis?"

Fabi. Blunt dan straightforward. Tanpa menunggu jawaban Ale, cowok itu memandunya ke meja di pojok, setengah memeluknya guna menghindari cewek itu dari tatapan heran orang-orang.

"Kok, lo tau gue nangis?" tanya Ale begitu duduk, menggosok-gosok hidungnya, begitu malu sampai ia hanya berani memandang sepatu.

Alis Fabi menaik, seakan berkata serius lo? Tapi melihat keadaan Ale, dia tahu cewek itu sedang dalam tidak mood ngeguyon.

"Suara lo di telepon," akhirnya Fabi menjawab.

Ale menaikkan dagunya, menghentikan kegiatannya mengampelas hidung. Suaranya murni kaget. "Suara gue?"

"Itu suara habis nangis," jelas Fabi sok diplomatis. "Semua cewek suaranya kayak gitu kalo mewek. Nggak jelas artikulasi, nggak mengindahkan intonasi."

Jawaban yang lebih jujur dan lebih sederhana: Fabi terlalu mengenal gadis ini.

"Jadi, siapa yang bikin lo nangis? Perlu gue tendang nggak pantatnya?" Fabi mengetuk-ngetuk punggung tangan Ale.

Cerita Ale langsung tumpah ruah tanpa bisa dibendung. Mulai dari cerita Nuna dan pertanyaan cabe-cabeannya di situs ask.fm, Zara yang mengajak Nuna ke girl's day out yang diniatkan Ale hanya untuk dirinya dan Zara, piala dan kado yang dibuang ibunya, sampai yang terkini, Rayi the heartbreaker. Seperti biasa, Fabi mendengarkan, dan kalau ia protes, ia hanya menunjukkannya dari gurat wajah atau kedikan alis, dan Ale langsung memperjelas ceritanya tanpa diminta.

"Jadi..." Ale menjeda kesimpulannya dengan batuk, "gitu."

"Kasian banget lo," kata Fabi tercenung, "such a bad day for you."

"Yeah."

"Tapi gue seneng sih, lo punya masalah yang nggak bisa diselesain Rayi."

Ale berhenti menyeruput hot chocolate-nya. "Um, kenapa?"

"Soalnya lo akhirnya nyari gue," sahut Fabi ringan. "Gimana? Udah lebih lega sekarang? Kalo belom, tumpahin aja lagi. Otak itu kayak ember, Le, ada limit volumenya. Kalo kebanyakan, mending ditumpahin daripada bocor."

"Lega," aku Ale. "Rayi brengsek banget."

Fabi menaikkan bahu. "Gitu deeeh, cewek, kalo lagi sakit hati semua makhluk disalahin."

"Emang dia salah, kan?"

"Yang lebih banyak fight selama kalian berhubungan, siapa? Lo atau dia?" tembak Fabi langsung. "Gue nggak nyalahin elo sih, Le. Ya lo udah bilang sendiri, kan, kalo lo cuma mau jadi temen. Dia ngarepnya lebih. Dan lo terima-terima aja diperlakuin kayak pacar sama dia. Gue tau," Fabi buru-buru melambaikan tangan, ketika Ale menendang kakinya tak suka, "lo nggak minta itu semua. Tapi lo juga nggak nolak, kan?"

"Gue nggak ngerti..." desah Ale nelangsa, "kenapa dia bisa minta break sama gue. Okelah, katakan itu emang buat kebaikan gue sendiri, lalala yeyeye. Masalahnya, gue sama dia udah terlanjur... dalam. Batas-antara gue dan dia udah terlalu tipis."

Aturan pertama ngobrol dengan Elmira Alesa adalah: siap-siap berpikir keras, karena apa yang cewek itu maksudkan biasanya bisa tiga sampai empat kali lipat lebih bermakna ketimbang apa yang diucapkan. Pada akhirnya, Fabi cuma bisa ber-"Oh" sambil mengangguk sok paham, seperti yang dilakukannya 3/4 waktu.

"Lo udah pernah... errr, tidur sama dia?"

Wajah Ale mengkeruh dan ia mengangguk. "Tapi bukan tidur yang gimana-gimana. Tidur yang... cuma tidur. Nggak telanjang," cewek itu lantas menggeleng.

Lagi, Fabi cuma berkomentar, "Oh." Disesapnya semua teh tariks dalam satu tarikan napas, dan ketika dilihatnya Ale masih termenung mengamati minuman kemasannya dengan wajah murung, tak tercegah Fabi menghela napas.

"Oke, get up. Ayo ikut gue."

Susah payah Ale mengangkat dagunya, dan terpaksa melakukannya karena Fabi sudah terlanjur menarik pergelangan tangannya.

"Mau ke mana?" bisiknya serak.

"Ikut aja," timpal Fabi kalem tanpa membalas pandang bertanyanya. Mau tak mau Ale manut, memaksa kakinya mengikuti seretan Fabi yang agaknya kurang berperasaan. Tadinya Ale nggak protes mau dibawa ke mana ia oleh Fabi, namun keningnya berkerut saat Fabi menggeser papan pagar penghalang jalan ke gedung toko buah yang sedang dibangun ulang, yang letaknya persis di seberang kafe.

"Bi, kita mau ngapain...?"

"Masuk," komando Fabi, yang tak menuntaskan rasa penasaran Ale. Tak punya pilihan lain, Ale celingukan dan merundukkan kepalanya, nyaris merangkak masuk ke dalam, seperti kucing kebelet kencing. Fabi menyusul di belakangnya, dan langsung bangkit dan menarik tangannya lagi begitu sampai di seberang pagar.

Barulah Ale benar-benar mengamati keadaan sekitarnya. Gedung suram yang belum jadi, dindingnya masih berupa tripleks dan belum beratap. Tiang-tiang memancang, memberi calon gedung itu kerangka. Di sekelilingnya, rumput dan ilalang liar yang belum dipangkas, bercampur lumpur dan tanah yang distok untuk keperluan membangun. Rasa waswas bergemuruh dalam kepala Ale, terutama begitu Fabi mengingatkan, "Liat-liat ke bawah, ya, Le. Banyak paku soalnya."

Fabi memberi hormat dan meneriakkan, "Hoooiii! Numpang bawa temen, yaaa...!" pada kuli-kuli pengangkut yang sibuk bekerja, dan anehnya, mereka membalas Fabi dengan acungan jempol setuju, mengkonfirmasi kecurigaan Ale kalau ini bukan kali pertama Fabi "piknik" di area yang tertutup untuk umum ini.

Mereka masuk ke dalam gedung, dan Fabi membantu Ale memanjat tangga yang masih berupa kerangka, belum disemen dan masih goyang-goyang ketika kaki mereka menapakinya. Tangga yang memutar itu seakan tak ada ujungnya, dan Fabi baru berhenti berjalan begitu mereka sampai di lantai tertinggi gedung.

"Now, take a deep breath and sit down, please."

Mata Ale menyapu pemandangan di sekelilingnya, dan seketika ia tercekat. Dari ketinggian lantai tujuh, ia dapat membidik semua angle ruas jalan di daerah itu. Setiap lampu merah yang berubah kuning. Setiap petak-petak gedung yang berjajar seperti papan monopoli. Setiap mobil yang berhenti tepat di bawah rambu dilarang parkir. Setiap kesibukan dan pejalan kaki yang tak mengindahkan laju kendaraan di kanan-kiri.

Fabi bisa merasakan keterpakuan yang membekukan gadis itu, karenanya ia berinisiatif mendudukkan Ale di pinggir pembatas atap gedung. Pembatas itu cukup tinggi sehingga cukup menyamarkan mereka berdua. Untunglah begitu, karena kaus oranye manyala yang dikenakan Ale terlalu mencolok untuk diabaikan.

"Lo-lo tau dari mana tempat ini, Bi?"

"You're welcome," Fabi terkekeh, dan menyisir rambutnya yang tadi diacak-acak angin lewat, "lo kayak nggak tau gue aja, deh. Gue kan punya network yang luas." Ia memiringkan kepala ke kiri, menyipitkan mata, seakan Ale adalah bayangan kabur yang sukar ditangkap. "Gue tau lo suka berada di ketinggian. Waktu itu lo bilang, rasanya kayak terbang. Bebas. Lo selalu kepingin punya sayap, biar lo bisa mencermati tiap lapis langit. Biar lo tau komposisi bintang. Biar lo tau apa jejak kaki Neil Armstrong bener-bener masih tercetak di bulan. Biar lo tau di mana persisnya utara tempat burung-burung singgah tiap musim dingin."

"Gue nggak bilang itu...." Mata Ale memejam dan membelalak. "Itu kan Sajak Sayap Patah gue."

Fabi mengangguk, menaikkan bahu. "Waktu itu lo dateng ke gue, nangis-nangis. Lo baru diputusin Fahran. Tapi waktu itu durasi lo singkat, karena lo ngeliat burung nemplok di kabel listrik, dan lo mendadak ngerampas pulpen gue dan nulis di struk belanjaan. Jadi, deh, Sajak Sayap Patah. Titik komanya gue masih hafal, lho."

Ganti Ale yang memiringkan kepalanya ke kanan, mempelajari Fabi.

"Yah, kan gue pembaca pertamanya. Proofreader-nya." Fabi mengumpulkan oksigen banyak-banyak sebelum melepaskannya kembali. Dipungutnya sebatang pensil superpendek yang entah bagaimana, secara kebetulan, ada di dekat kakinya. Selanjutnya ia mengeluarkan dompet dan mengeluarkan struk belanjaan lain, yang selalu ia kumpulkan karena inspirasi tak terbendung bisa datang kapan saja. Disodorkannya dua benda itu pada Ale, khidmat, seakan pensil butut dan struk kusut itu adalah harta dinasti Syailendra yang baru ditemukan.

"Now, write." Fabi tersenyum. "Nulis apa aja, tentang siapa aja. Gue kenal lo, Elmira Alesa Ambrosio. If someone does horrible thing to you, you're gonna put it in your writing. That's how you operate. Literature is your weapon."

Selama sesaat, Ale speechless. Ia tak pernah meminta seseorang mendeskripsikannya, tapi semua untaian kalimat tentangnya yang keluar dari mulut Fabi terasa benar. Fabi mengenalnya, dan prospek itu membuat ulu hatinya yang tadi membeku, sedikit menghangat.

Tak menemukan hal lain untuk dilontarkan, akhirnya Ale berkomentar, "Alesa Ambrosio? Lo katarak atau rabun dekat?" guraunya, tertawa sendiri. "Gue nggak segitu semlohai, kali."

"Dari segi badan, sih, jauh. Sedotan Aqua mana bisa dibandingin sama gitar Spanyol? Tapi muka, boleh, lah. 11/13."

"Jangan sebut 13 di depan gue," kata Ale singkat tanpa mengurangi ketajaman.

"Oh, soalnya itu tanggal anniv lo dan Rayi?" Fabi tersenyum, girang.

"Yep, dan 11 itu tanggal anniv kita," tambah Ale, entah kenapa mengingat info itu.

"Wah, bener," Fabi sontak terbahak. "Happy failed anniversary, Alesa Ambrosio, badan sedotan Aqua."

Ale tak menjawab, hanya memutar mata dan mulai menggesekkan pensil ke struk belanjaan. Dibiarkannya Fabi bersiul samar, beradu dengan merdu nyanyian burung pipit yang hinggap di pohon belakang mereka. Ketika ia selesai, ia mengempaskan dirinya ke dinding pembatas, menatap Fabi.

"Coba, gue lihat kerjaan lo."

Ale tak bergerak. "Sebutin quotes yang lo suka."

"Fine," Fabi tak terlihat jengkel sama sekali. Ia menggaruk dagunya, berpikir. "Hm. This Universe is made of stories, not of atoms. Muriel Rukyard." Ia tersenyum, merenungi kata-katanya sendiri. Disenggolnya Ale yang juga berusaha mencerna dan mengingat kutipan itu. "Lo?"

"Dan Bumi hanyalah setitik debu di bawah telapak kaki kita."

"W. B. Yeast," gumam Fabi tertarik. "Terjemahannya?"

Ale mengangguk. "Lo baca Perahu Kertas juga?"

"Oh, dari novel, toh. Nggak. Gue baca di Goodreads. Everything exists, everything is true, and the earth is only a dust under our feet. Memorable. Indah."

Ale tak benar-benar mendengarkan. Persetan soal terjemahan kutipan, ia lebih menyukai bahasa Indonesia-nya. Setelah sibuk mengumpulkan keberanian, ia menggeser duduknya mendekati Fabi, dan bertanya, "Lo tau kenapa gue nulis?"

Fabi hanya menggeleng, dan balas menatapnya.

Ludah ditelan, dan Ale menjelaskan, "Untuk bersyukur. Untuk memiliki apa yang selama ini nggak gue punya. Untuk mencecap keabadian." Ia menghela napas panjang-panjang sebagai jeda, dan melanjutkan, "Literatur itu pelarian. Literatur itu penolakan. Literatur itu kejujuran di balik kebohongan, dan cuma orang-orang yang kepada siapa karya itu ditujukan yang akan mengerti."

Duh, kalimat ribet lagi, Fabi menggerundel dalam hati, tapi tetap menyimak.

"Gue pernah denger kutipan gini, 'Tugas utama seorang penulis itu bikin susah hidup karakternya.' Dan itu bener. Kalo gue lagi susah, gue bakal bikin karakter gue lebih susah dari gue. Kejam, ya?"

"Nggak juga," bantah Fabi, "itu arty. Pembalasan dendam paling berseni."

Ale tak menggubrisnya, hanya terus mencerocos. "Gue tahu cara main semesta. Semesta itu bukan pabrik pengabul permohonan. Bukan cuma doa kita yang ngantre buat dikabulkan Tuhan." Ia menggeleng kalut, tapi senyum muncul di wajahnya. "So I write. To make my dreams come true, bahkan walau tanpa berdoa."

Senyum itu tak lepas dari wajah Ale, terus melekat tanpa ia tahu siapa yang disenyuminya. Mungkin burung-burung yang terus berkicau rewel di belakangnya. Mungkin udara yang menjaganya tetap merasa bebas. Mungkin langit hari Sabtu yang mulai merona jingga. Mungkin juga Rayi, yang tak sabar ia lihat reaksinya begitu ia mem-publish tulisan di struk belanjaan itu di blognya.

"Mau balik ke kafe?" tanya Fabi lunak, membuyarkan lamunan Ale. "No offense, kayaknya lo butuh lebih banyak struk. Atau buku tulis, sekalian."

"No problemo," balas Ale, merasa lebih kuat dan utuh dari sebelumnya. "Lo nggak ada acara kan, malam ini?"

Fabi menyusulnya bangkit, menggeleng. "Nggak, kenapa?"

"Gue mau nulis, sepanjang malam ini, dan gue nggak mau sendirian." Ia cekikikan sendiri. "Tapi kalo lo mau pulang, nggak pa-pa. Yang gue butuhin saat ini cuma hot chocolate dan hama buat ganggu, kalau sewaktu-waktu gue keinget Rayi. Atau nyokap. Atau Nuna dan Zara."

"Hama. Lumayan. Terakhir kali gue nemenin lo, lo sebut gue laler. Lumayan, kasta gue naik. I feel honored." Fabi tak lagi menahan cengiran. "Yuk, balik."

Diserahkannya tangan kepada Ale, yang menyambut uluran itu sukarela. Dibiarkannya Fabi menuntunnya ke bawah, memandunya, menyeberangkannya. Masih banyak siang-siang yang akan mereka lewatkan. Masih banyak jam-jam yang akan mereka isi, dan kalau mereka sempat, mungkin mereka akan bicara soal perasaan.

***

10/3/2014, 2:39 pm.

For FN, my coach, my leader, my dream partner.

Karena satu hari bersama kamu adalah mimpi yang tak ada usainya.
Karena satu hari bersama kamu membuatku mencecap keabadian.
Karena satu hari bersama kamu, dan Bumi hanyalah setitik debu di bawah telapak kaki kita.

dimanche 2 mars 2014

Sedikit Pesan dari Laler Toko Buku

Gue suka buku. Sesuka itu sampe gue suka ngeliatin mereka. Di rak display yang tertutup kaca mengkilap, di bawah lapisan debu, bertebaran bersama pakaian dalam, apapun itu gue suka. I love smelling and gathering and loathing and hoarding them. Koleksi buku gue dari jaman TK masih tersimpan manis di rak buku gue. Kertasnya udah kuning, gambarnya udah buram, halamannya banyak yang lepas dan bahkan nggak jarang, sampulnya hanya Tuhan yang tahu keselip di mana.

Berhubung gue suka buku, bookstore itu so pasti tempat hangout favorit gue, selain coffee shop yg ada jendela gedenya. Bookstore barangkali satu-satunya tempat tertutup yg ga bikin gue klaustrofobik. There's something magical between the shelves, like a charm trying to draw you near. Berhubung gue orangnya kadang mager keluar dari comfort zone, sekalinya gue suka sama satu tokbuk, gue sampe males ke tempat lain. Mbak kasirnya sampe bosen ngeliat muka gue.

Nggak kayak di luar, industri penjualan buku di Indonesia didominasi sama satu raksasa absolut: Gramedia. Mal yg ga ada Gramedia-nya itu bagaikan Jakarta di musim hujan tanpa banjir: ga lengkap dan ga ada hype-nya. Dulu cuma satu Gramedia yang gue kenal. Gramedia Melawai. Tongkrongan favorit gue waktu SMP ya di situ.

Sejak SMA, berhubung 70 selangkah lebih dekat ke Blok M Plaza, jadilah gue lebih sering ke TGA di sana. Lama ga bersua, gue kaget waktu tau Gramedia Melawai udah ditutup. Kecewa, soalnya banyaaak banget kenangan indah di situ. Promosi+talkshow Fantastic Five. Surprise ke Dinda waktu doi ultah. Ketemu orang yg akhirnya jadi pacar dan akhirnya jadi mantan. Kecewa, tapi mau diapain lagi?

Sejak SMA, selera gue dalam membaca juga sedikit geser. Gue lebih... apa ya? Internationalized? Ya gitulah. Awalnya gue ketularan virus Ucca, yg katanya males nungguin buku terjemahan keluar. Trus waktu renang di Citos, gue diajak Lisa ke Books&Beyond dan menemukan surga baru di sana. Jadilah gue bolak-balik Books&Beyond buat bookshopping.

Setiap bookstore, layaknya mantan, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Buat buku-buku lokal, Gramed masih juara hahaha no doubt lagi deh ya. Harga buku di Gramed dan Togamas dan TGA sama, yang beda cuma stok dan kecepatan persediaannya. Selalu ingat Hukum Gramed I -> Semakin ngetop mal yang "nampung" mereka, semakin cepat dan lengkap stoknya.

Kalo buku impor, beh, untung-untungan cuy. Kadang buku langka dan lama gaada angin gaada ujan nongol di rak. Begitu juga buku baru, belom ada seminggu dari tanggal rilis resmi di negara asal, udah berbaris rapi, menunggu dijamah pembaca. Gue perhatiin, buku-buku impor yang dijual di Gramed didistribusikannya sama PT Sinar Star Books, ada di stiker di belakang buku. Stiker yang sama juga kadang gue temukan di buku-buku Kinokuniya. Dan kata apa yang identik dengan Kinokuniya? Muahal pake U.

Stok buku impor di setiap Gramed itu juga beda-beda. Gue nemu Cinder yang gue cari antara hidup dan mati di Gramed Penville dan Before I Fall yang udah bikin gue putus asa di Gramed Gancit. Biasanya stoknya juga dikit, paling banter lima kopi per judul. Biasanya lagi, judul-judul bukunya itu random. Jadi ga semua buku baru ada di sana. Yah, down on luck aja sih kalo mau cari buku impor mah.

Sejauh ini, Gramed paling "wow" yang gue temui ituuu di Gancit dan PIM. Matraman sih jangan tanya ya wajar lah kalo dia lengkap. Buat buku lama, bisa coba cari di Gramed Penville atau Kalibata.

Oh iya. Gramed juga punya policy yang namanya Gramedia Member Card. Nyokap gue bikinin buat gue, and really, the use somehow confuses me karena beda Gramed, beda juga cara mereka nge-treat si member card. Ada yang ngasi diskon ada yang nggak. Belakangan gue tau kalo member card-nya harus diisi saldo dulu, baru lo bisa dapet diskon 20%. Kalo pake tunai, lo nggak dapet diskon, tapi cuma nambahin poin. Sebelum ada misunderstanding nih, Gramed Member Card cuma bisa dipake buat buku terbitan Gramed dan keluarga besarnya.

Books&Beyond. bookstore langganan gue selanjutnya. Love bgttt soalnya dia proses pengirimannya lebih cepat, biasanya selang dua minggu dari tanggal rilis di US udah nyampe di toko. Biasanya juga udah langsung tersedia dalam bentuk international edition yang notabene lebih affordable. Kalo Periplus kannn biasanya hardcover-nya dulu yang muncul, baru paperback atau IE menyusul one or two months later.

B&B juga kalo ngasih diskon ga tanggung-tanggung, bisa sampe 30% persen buat buku baru. I got my copy of Requiem by Lauren Oliver for only 84,6k. The Beginning of Everything by Robyn Schneider for only 69k (lately gue tau harga di Periplus 125k. MATI). Dan itu berlaku buat buku baru.

Member card juga disediain sama B&B, tapi sayangnya bayar huhuhu cry me a river:'( Positifnya, member card-nya aktif ngasi diskon 10% buat all products all year, nggak pake season-season-an. Birthday discount sampe 15%. Buat application setahun harganya 100k, dua tahun 150k, dan tiga tahun 200k. Gue nggak tau sih apa itu bakal do me many favors karena gue nggak diizinin bikin. 100k bisa buat nambah satu buku.

On the other hand, kalo mahal mereka juga nggak nanggung-nanggung HEHE dan kenaikan harga bisa lebih unpredictable dari mood cewek pas PMS. Biasanya bulan-bulan awal buku dijual masih murah. For example, gue waktu itu beli buku Ransom Riggs' Hollow City di B&B Penville for 132k. Balik ke B&B Citos sebulan kemudian, harganya udah 205k buset. Terlepas ini gegara pengaruh dolar atau nggak, gue bersyukur gue beli buku itu di awal.

Temen gue juga cerita waktu dia beli buku If I Stay-nya Gayle Forman di B&B. Di plastiknya tertera 99k, tapi waktu di kasir harganya jadi 110k. Temen gue yang main asal terima ya bayar aja, meski akhirnya dia terpaksa pulang ke rumah jalan kaki. Sampe di rumah, dia nelpon gue pake telepon rumahnya dan gue kena semprot.

Selain itu, website B&B suka nggak sesuai dengan kenyataan dan kurang development huhu aku sedih. Akun twitter-nya juga jarang update. Yaaa nggak banyak ngaruh sih tapi itu kan menyulitkan customer buat reach out mereka. Dan meski B&B most times paling murah, gue tetep nganjurin kalian buat ngebandingin harganya sama Peri+. Waktu itu gue beli House of Hades di sana 159k dan di Peri+ 149k. Beda 10k. Mayan buat beli bakso. Let It Snow di B&B 125k dan di Peri+, biar kata telat, 105k doang. YANG INI NYESEK MAMEN. Last time gue lucky karena gue beli Every Day di Peri+ 125k, di B&B 188k. Edisi di Peri+ juga udah ditambahin short story dan excerpt lainnya. HU to the RAY. HURRAAAAY.

Btw, bookstore B&B yang gue anjurkan kelengkapannya adalah Penville dan Citos. Yang terakhir kecil-kecil cabe rawit. Kalo PS rada tidak memuaskan yah. Paling lengkap sih adanya di Lippo Cikarang atau Karawaci gitu gue lupa. Gue belom pernah ke sana sayangnya:(

Bookstore ketiga adalah Peri+, yang udah kalian denger dari paragraf di atas. Plusnya, lumayan lengkap dan stoknya banyak. Kalo annual sale buset serasa nyolong gue saking murahnya. Website-nya bagus dan well-developed. Twitter-nya selalu update dan responnya quick waktu gue mention.

Tapi Peri+ sayangnya nggak segesit B&B dalam kecepatan suplai buku. Bisa berbulan-bulan sampe bukunya nyampe, apalagi kalo bukunya bukan dari penulis terkenal. Kalo datengnya cepet juga biasanya hardcover, something that's too royal to me. Yang gue kagumi, harga mereka nggak bohong. Paperback rata-rata paling mahal 125k, tebelan dikit 150k.

Peri+ juga nawarin member card, Periplus Elite Card a.k.a. PEC. Plusnya lagi, GRATIS. Kita cuma perlu beli buku seharga 500k dalam dua bulan. Minusnya? Cuma bisa digunain buat new products atau di occasion tertentu. Diskonnya 15%, birthday discount 20%. Kita bakal dapet poin buat setiap pembelian buku dengan PEC, 10k buat satu poin. Sayangnya poin baru bisa "ditebus" kalo udah 500. Kurang dari itu? Angus kalo ga di-redeem, which happened to me. Hikz.

Peri+ rekomendasi gue? PS dan Gancit dan PIM. Dua terakhir sering ngasih annual sale.

Fourth, Kinokuniya. Kayak yang udah gue bilang di atas, ni bookstore MUAHAL pake U. Harganya bisa beda 20k sampe 50k dari bookstore lain. Plusnya? Lengkap dan luas bgt Masya Allah. Lo nyari apaan juga pasti ketemu di situ. Sayangnya Kino nggak punya website di Indonesia:( Yaaa pilihan terakhir kalo gue ngebet bgt pengin punya buku ya ini. Ada di PIM2 dan PS, samping Starbucks pula.

Ohiyaaa ada juga Aksara. Harganya relatif mahal, tapi kalo mau borju baca buku sambil ngopi, you can try Aksara Kemang. Cozy bgt gilak. Pewe. Sayang kopinya mahal jadi gue nelen juga rada nggak rela gimana gitu:'>

Kalo lo udah bener-bener desperate, bisa sih coba online shop. Di Indonesia ada OpenTrolley, yang katanya cepet tapi lebih mahal dari Kino. Di luar ada Book Depository, free ongkir. Minusnya? Nggak bisa dilacak pengirimannya dan cuma bisa pake kredit. Nyampenya juga lama. Gue sampe sujud syukur waktu pesenan gue dateng. Sebulan dua hari.

Saran gue? Always, jeli sebelum membeli! Wait a little longer gabakal bikin lo mati. Enjoy books, happy shopping, and have fun!