dimanche 25 août 2013

Someday Maybe

Haiyyaaaah! Baru nyadar sudah lama sekali tidak bersua di blog yang satu ini yah huehehehe. Mohon maklum, berhubung saya udah kelas 11, jadi makin banyak dan bikin stres pelajarannya, belom lagi ditambah nyokap rajiiin sekali mewanti-wanti kalo setahun lagi saya kelas 12 dan/atau kelas 11 ini kelas di mana nilai-nilai orang notabene menurun.

Anyway....

Beberapa hari lalu Teater70 ngadain demeks di sekolah. Wuidih demeks apatuh Kak Echa (cieh kakak cieeeeh). Demeks stands for demo ekskul, semacam promosi dan/atau perekrutan buat anak-anak kelas satunya. Dan kebetulan gue yang bikin naskahnya huehehehe. Cerita utamanya sih tentang Galih dan Ratna, meski ada selingan berupa AAC, Eyang Subur (dan istri-istrinya), Jeremy Teti, Iron Man, sama kru tim Termehek-Mehek. Waduh gimana cerita lengkapnya tuh? Makanya sekolah di 70 dong hahahaha *kok jadi promosi*

Oke, berhubung Galih dan Ratna yang gue tulis buat demeks itu versi ancurnya, gue jadi wondering sendiri, gimana yak Galih dan Ratna di kehidupan nyata? Apa hubungan mereka adem ayem aja? Atau dikit-dikit ribut kayak Arian dan Irene? Atau justru mereka LDR-an kayak............ kayak siapa ya.

Ya sudah lah, tanpa banyak basa-basi lagi, silakan dinikmati yah Galih dan Ratna-nya heuheuehue.

***

Bandung, Maret 2002

"Mampus, bisa masuk BP lagi gue kalo gini caranya!"

Gadis itu memilin-milin jemarinya, aktivitas yang secara refleks ia lakukan saat sedang panik. Posturnya mungil, semungil bibir penuhnya yang bergerak menyumpah-nyumpah, berambut hitam dengan alis sekerang arang, dan berpipi tirus. Di belakangnya, tas biru bergambar Hello Kitty yang menggantung di punggungnya tampak kontras dengan sling bag cewek-cewek lain yang juga telat. Di tangan kirinya, melingkar jam bermotif tokoh kartun yang sama, bahkan sepatu PX-nya juga dilukis dengan gambar Hello Kitty.

"Raaat! Ratnaaa!"

Yang dipanggil menoleh, balas melambai pada Ike yang melambai padanya dari koridor kelas X di lantai tiga. Ratna balas melambai tanpa semangat.

"Telat lagiiii?" teriak Ike.

"Yoiiiih," sahut Ratna, menarik-narik tali tasnya. "Keeee, tolong kerjain LKS Mtk gue yaaa yang di kolong bangku. Gue udah ada janji kencan sama Pak Tri."

"Janji kencan? Janji sidang maksud lo?" Ike geleng-geleng kepala. "Oke, gue kerjain. Good luck ya Raaat."

Meringis dan mengangguk muram, Ratna melanjutkan beberapa langkah sebelum berhenti persis di luar ruang BP, mengetuk pintunya, menghitung satu sampai tiga, dan membuka pintu itu begitu mendengar jawaban, "Masuk."

Ratna masuk, mendapati Pak Triyono tak sendiri di ruangannya. Seorang siswa duduk di hadapannya, di kursi sebelah kanan, kursi yang sudah didaulat menjadi kursinya saking seringnya Ratna duduk di situ. Rambut si siswa cepak dan seragamnya kelihatan baru dan bau toko, dan ia menggenggam telepon genggam bermerek yang seumur-umur belum pernah Ratna lihat selain di TV.

"Ratna, ngapain melongo? Duduk, situ."

Buru-buru menegakkan dagu sok jaim, Ratna duduk di kursi sebelah si cowok, kakinya langsung bergoyang-goyang kayak biasa.

"Jadi, udah kali berapa dalam sebulan ini kamu telat?" tanya Pak Tri, nadanya antisipatif.

"Umm, tujuh kali, Pak," jawabnya lambat-lambat. Bisa dirasakannya mata si cowok memicing geli padanya.

"Kalau sudah tujuh kali apa artinya?"

"Euh, surat teguran?" usul Ratna, kali ini disertai cengiran memohon.

"Nggak ada tegur-teguran lagi! Bawa orangtua kamu besok ke sini, oke?" dumel Pak Tri, mengambil secarik surat undangan dan menuliskannya selama beberapa saat, menjejalkannya ke amplop kekecilan berkop sekolah, kemudian menyodorkannya ke Ratna. "Nih, awas aja kalo ibu kamu juga telat nemuin saya! Dan kamu, Nak, bareng Ratna aja gih ke kelasnya. Dia sekelas sama kamu, kok."

Baik Ratna maupun cowok itu sama-sama menoleh satu sama lain sehingga mata mereka bertemu. Seketika itu juga Ratna kepengin mundur atau mengepul jadi asap. Mata cowok itu tajam, seperti ujung mata pisau, warnanya serupa cokelat kacang. Tapi selain itu, Ratna tahu segala fitur di wajahnya tercipta pas dan sempurna.

Tambah satu lagi deh, cowok ganteng di sekolahnya. Ratna membatin riang.

"Oke, Pak, terima kasih, Pak," si cowok menjabat tangan Pak Tri formal.

"Sama-sama, Galih. Semoga betah di sini. Jangan lupa belajar yang rajin, kalian berdua, Galih dan Ratna."

Si Galih-Galih itu masih sempat mengangguk dan tersenyum ketika Ratna sudah ngacir ke luar ruangan dan berjalan cepat menuju tangga anak kelas satu, berharap-harap cemas biar si anak baru ketinggalan dan nyasar di sekolah sebesar SMA Pradika. Tapi beberapa kali ia menoleh ke belakang, pandangannya belum berubah, Galih yang ganteng masih mengekor, kedua tangan berjejal di saku celana abu-abu, tas ransel hanya tergantung di sebelah bahu, telinga disumpal headset. Sekali waktu, Galih mengalihkan pandangannya dari lapangan utama sekolah dan menangkap sosok Ratna yang sedang memperhatikannya. Buru-buru Ratna membuang muka. Tengsin kaleee, kepergok melototin orang yang baru dikenal cuma gegara doi kece.

Pintu kelas X-F masih terbuka lebar, jadi Ratna bisa masuk dengan helaan napas lega. Sayangnya, dia nggak bisa buru-buru berlega hati karena di langkahnya yang kelima di kelas itu....

"Maruko! Ada kelabang di rambut lo!"

"KYAAAAAA!" Ratna serta merta menunggingkan kepalanya dan mengacak-acaknya, menjatuhkan kelabang mainan itu ke lantai dan menginjaknya saat itu juga, sementara Rico tertawa terbahak-bahak dari belakang pintu. Menggembungkan pipi, Ratna menendang kelabang mainan itu.

"Yaaah, Maruko ngambek, deh," siul Ivan. "Welcome to the class, Mar! Sekelas lagi kite."

"Marukooo, nih udah gue siapin tempat duduk buat lo! Biar lo nggak jauh-jauh dari kita." Di ujung sana, Hans melambai dari kursi paling belakang, berlagak sok inosen dan polos.

"Hah? Ogah gue duduk di situ! Bisa-bisa gue jadi Sinbad di sarang penyamun, lagi. Emangnya nggak ada tempat duduk lain, apa?" tolak Ratna, memandang berkeliling sebelum matanya berhenti pada Ike. "Keee, kok lo nggak nyimpen tempat buat gue, sih?"

Yang ditanya cuma tersenyum minta maaf. "Sori, Rat, Aa Wildan ngotot duduk di samping gue, sih."

Jawaban itu kontan membuat Ratna cemberut. Mengabaikan cengiran sok charming Wildan, pacar baru Ike, atau tampang cengengesan Ivan dan Rico, Ratna melenggang ke kursi paling belakang, menggertak, "MISI!" pada Hans teramat nggak nyantai. Hans menyingkir sambil bersiul-siul.

Baru saja Ratna membuka tasnya, tiba-tiba kursi di sebelahnya ditempati si anak baru, yang langsung memainkan HP touchsreen-nya dan memejamkan mata, mulutnya berkomat-kamit mendendangkan lagu yang diputar dalam volume kecil. Ratna mengedarkan pandangan lagi, dan dengan hati berusaha menerima kenyataan bahwa memang cuma ada dua kursi tersisa di kelas ini, seakan memang sudah dijatah untuknya dan Galih. Sekarang pilihannya cuma ada dua: tabah atau nggak sekolah.

Tapi kalau Ratna memutuskan pilihan pertama, kayaknya ia benar-benar butuh ekstrasabar karena beberapa menit kemudian, Yongki, cowok tengil yang dianugerahi gelar Master Prankster of the Year semester lalu datang dan melempar tasnya tepat di meja sebelah meja Ratna.

"Widih, Maruko! Asyikkk, ada santapan baru lagi, deh!" Yongki mengadu kedua telapak tangannya layaknya tukang abu gosok. "Dan lo, pasti anak baru!" Yongki keluar dari mejanya dan menjabat tangan Galih sok akrab sampai si empunya tangan mengernyit heran. "Welcome to PBM Club! Semoga betah di sini!"

"PBM?" ulang Galih ceming.

"Pokoknya Bully Maruko!" tandas Yongki sok diplomatis.

Kayaknya, batin Ratna sambil menempelkan dahinya ke balik lipatan tangan, this is gonna be a long term.

***

"Surat panggilan lagi? Ratna, Ratna, bisa nggak sih kamu nggak pulang bawa surat panggilan sebulan sekali?" Bunda menurunkan kacamata bacanya, memijit-mijit kening. Tumpukan baju yang harus dijahit dan dirampungkannya saat ini juga terlupakan begitu saja.

"Kayaknya Pak Tri naksir Bunda, deh, orang poin aku belom banyak-banyak banget, kok," Ratna ngeles, kalem, sambil membuka kaus kakinya satu per satu dan menyelipkannya ke dalam sepatu lukisnya. "Besok dateng ya, Bun, ntar kalo aku nggak boleh ikut UTS, gimana? Bunda cantik deeeeh. Ntar aku pijitin, deh," rayu Ratna semanis mungkin, berdiri sambil meraih bahu ibunya dari belakang. Bunda hanya menghela napas sambil melanjutkan bekerja dengan mesin jahitnya.

"Oke, tapi hari ini kamu pel rumah dan masak ya, Rat. Bunda banyak kerjaan. Oh iya, terus sekarang kamu anterin brownies kita ke rumah nomor 21, ya."

"Rumah nomor 21? Lha, bukannya kosong? Mau buat siapa browniesnya? Kuntilanak?"

"Kemarin malam ada yang pindahan ke rumah itu. Gih, sebagai tetangga yang baik, silaturahmi itu perlu lho, Rat."

"Iya, Bun, iyaaa." Ratna cuma memutar mata, memberi sang ibu kecupan singkat di pipi, dan berlalu ke kamarnya di lantai atas dengan menenteng sepatu, melompati dua anak tangga sekaligus. Sepertinya sebaiknya ia menuntaskan pekerjaan itu sekarang, berhubung Bu Endang ngasih PR Biologi yang bisa bikin saraf-saraf jarinya korslet.

Setelah berganti baju, tanpa menyisir rambutnya atau melepas jam tangan Hello Kitty-nya Ratna keluar rumah, mengambil sepeda di garasi dan mengayuhnya cepat-cepat, berusaha tak tergoda dengan harum brownies di keranjangnya. Matanya bergerak dari kiri ke kanan, memastikan bahwa ia belum melewatkan satu nomor pun, meski agak mustahil melewatkan nomor besar yang terpampang di rumah-rumah areal 25. Di kompleks Ratna, rumah nomor 1-25 adalah yang terbesar, 26-50 sedang, dan 50-75 yang paling kecil. Meski menghabiskan 15 tahun hidupnya di kompleks itu, Ratna nyaris enggan melewati areal 25, karena selain membuat tubuh mungilnya merasa terintimidasi oleh bangunan gagah itu, anak-anaknya juga sengak, mukanya minta ditampar semua. Rata-rata dari mereka juga sekolah di sekolah internasional tak jauh dari sana, sekolah di mana mobil selain Mercy dan BMW sangat jarang ditemukan.

Berhenti di depan rumah nomor 21, Ratna memarkir sepedanya agak jauh, takut-takut dikira barang rongsokan trus dimasukin ke tong sampah. Merapikan sedikit kausnya yang agak lecek, diterobosnya pagar yang--nggak seperti rumah-rumah di kanan-kirinya--tak bersatpam itu. Matanya seketika jelalatan, agak terkesima juga dengan rerumputan liar yang sudah dipangkas rapi. Spasi kecil di sebelah kiri rumah bahkan sudah disulap menjadi lapangan basket, lengkap dengan ring dan bola yang menggelinding di bawahnya. Menggelengkan kepala dan berusaha fokus pada tujuan awalnya, Ratna lanjut berjalan dan mengetuk pintu.

"Ummm, permisiii?" serunya, mengencangkan volume. "ASSALAMU'ALAIKUM! SIAAAANG. HALO? EXCUSE ME? BONJOUR! SPADAAA? ANYBODY HOME?"

Terdengar derap kaki dari luar, dan detik berikutnya, pintu dibuka selebar-lebarnya. Ratna sudah memasang rapi postur sok formalnya: kaki nggak mencong, tubuh dan bahu tegap, dagu menaik, dan senyum yang sudah diatur sepanjang dua senti tiap sisinya. Sayangnya, sosok yang membukakan pintu itu membuat seluruh memorinya tersapu bersih. Ratna bahkan keder apa yang dilakukannya di sini.

"Lho, Maruko? Kok lo di sini?" Kening Galih merapat, dan Ratna mendadak kepengin mundur teratur lagi.

"Umm, ini, anu... sebenernya gue... eh, itu...."

"Galiiih, itu siapa yang ngetuk-ngetuk? Kalo pengemis kasih aja kek uang, nggak usah diinterogasi kayak kemarenan." Tiba-tiba seorang wanita paruh baya muncul di ambang pintu, memakai celemek dan gaun rumahan dan... high heels.

Ratna buru-buru mengalihkan pandangan ke wajah si wanita dan berdeham. "Um, halo Tante, saya Ratna, yang tinggal di rumah nomor 66 itu. Anaknya tukang jahit! Euh, saya mau nganterin makanan, sebagai tetangga kan harus menjaga silaturahmi. Tolong diterima, Tan."

"Maruko ini temen sebangku Galih di sekolah, Ma," Galih nyeletuk, sedatar dan sesamar orang berkumur. Ratna agak kaget juga dia bakal ngomong begitu.

"Lho, nama kamu Ratna apa Maruko?" Mama Galih tertawa merdu. "Yuk, sayang, masuk dulu."

"Eh, anu, Tan, sebenernya saya...."

Tapi sebelum Ratna sempat menyelesaikan keberatannya, Mama Galih sudah keburu merangkulnya bersahabat dan menggiringnya ke ruang tamu. Mama Galih wangi dan bersih, nggak kayak Bunda yang seringnya belepotan sambel dan bau terasi.

"Kamu sama Galih duduk di sini dulu, ya, anggep aja rumah sendiri. Tante bikinin minum, oke?"

Tergagap-gagap, Ratna mengungkapkan terima kasihnya, baru merasa benar-benar diberi kesempatan untuk mengagumi tiap sudut rumah mewah itu begitu Mama Galih pergi. Catnya putih, bergaya Victoria, dan royal banget.

"Jadi, Maruko, lo tinggal di kompleks ini juga?" Galih nyeletuk, menyilangkan kakinya dan mengacak-acak rambut.

"Iya! Areal 75 sih, tapi... eh, tunggu dulu," Ratna kontan menyipitkan mata begitu sadar panggilan barunya, "Maruko? Nama gue Ratna, coy, bukan Maruko."

"Anak-anak sekelas manggil lo Maruko," timpal Galih kalem.

"Guru-guru nggak. Lo lebih percaya sama anak-anak barbar itu atau guru kita yang anti disalahkan?" serang Ratna langsung. "Lagian, nggak relevan banget gitu lho, gue dikasih nickname baru cuma gegara potong rambut."

Galih hanya memandangnya geli. "Maruko kan imut, lucu, persis perawakan lo."

Alih-alih senang, yang dipuji cuma mengibaskan tangan dan memutar mata, gemas. "Sori, gue udah tau makna terselubung di balik kata 'imut' dan 'lucu' kalau konsepnya diterapkan ke gue. Pendek, bantet, kuntet, rata kayak papan jalan, ayo sebutin noun yang lain."

Kali ini Galih benar-benar tertawa. "Tuh, kan. Lo tuh lucu. It makes you more interesting than others."

"Situ turis, yak? Kok ngomongnya bahasa Inggris melulu?" Ratna tak bisa menahan diri dari mencemooh.

"Gue baru tinggal di Indo dua tahun terakhir," kata Galih lambat-lambat, "jadi yah, bisa dibilang gue turis."

Nah, topik yang tadi menarik perhatian Ratna. "Hah? Baru dua tahun tinggal di Indo? Lo orang Indo, kan?"

"Gue punya dua paspor," jelas Galih lamban-lamban, "Indonesia sama UK. Gue lahir di London, soalnya."

Jawaban itu tambah membuat Ratna melongo.

"Nyokap gue diplomat," Galih menanggapi pandangan bertanya Ratna.

"Oooh. Seru, dong, kalo gitu. Pasti ntar kalo lo udah gede, lo mau jadi diplomat juga yak?"

"Sotoy lo," Galih mendengus, "kenapa stereotype orang-orang kayak gitu, sih. Gue kepengin jadi guru bahasa Indonesia."

Suara dan jawaban itu mengejutkan Galih sendiri. Biasanya ia kaku, biasanya ia enggan bercakap-cakap dengan orang yang baru dikenal, terutama hal-hal yang menyangkut mimpi dan obsesi. Itu semua terasa terlalu pribadi baginya.

"Oh ya? Gila, itu keren banget. Berapa banyak orang yang mau jadi guru di Indonesia? Paling anak SD doang. Terus, terus...."

Untunglah komentar cewek itu dipotong oleh kedatangan ibunya yang membawakan tiga gelas es jeruk, dan Galih menghela napas lega karenanya.

"Aduh, seru banget sih kalian cerita-ceritanya. Pasti udah haus, kan? Jadi, Ratna, kamu udah berapa tahun tinggal di sini?"

Ratna buru-buru menegakkan bahunya yang sudah turun lagi. "Umm, seumur hidup saya tinggal di sini, Tan. Dari TK sampe SMA juga sekolah di Pradika, jadi temennya 4L. Lu Lagi Lu Lagi," ringis Ratna.

"Oh ya, tapi pasti kamu punya banyak temen, kan? Galih tuh orangnya suka antisosial gitu kalo sama orang yang bikin dia nggak nyaman, padahal ya waktu di Jerman atau Belanda, dia tuh..."

"Ma," potong Galih cepat, "nggak usah buka kartu deh."

Ratna cuma cengengesan. "Galih orangnya emang suka nge-cut pembicaraan orang seenak udel ya, Tan?"

"Iya, tuh, bener banget. Tuh, Gal, temen sebangku kamu aja sampe uncomfortable gara-gara kamu."

"Apaan sih, Ma. Udah ah, Galih capek. Ke atas dulu, yak. Sori ya Maru... eh, Rat, nggak bisa nemenin lama-lama, gue belom ngerjain biologi soalnya."

"Waaah, iya!" Ratna langsung ternganga begitu teringat tugas Bu Endang, namun Galih sudah tak mendengar sisa cicitannya dengan ibunya. Setengah malas, ditaikinya tangga ke lantai dua, merebahkan dirinya di atas ranjang sambil memandang kosong langit-langit kamar. Ketika ia mendengar suara Ratna di luar jendela, tanpa memikirkan apapun ia bangkit dan mengintip.

Gadis itu kini sedang melambai pada ibunya, terlihat ceria dan tanpa beban. Langkahnya begitu ringan hingga Galih bertanya-tanya apa Ratna bisa terbang. Sesampainya ia di luar gerbang, Ratna mengambil sepeda jelek yang diparkir sembarangan dan berputar. Rambut pendeknya sekilas berkibar ditiup angin sebelum sosoknya hilang.

"Maruko..." Galih geleng-geleng kepala sendiri.

Tapi sejago apapun cewek itu membuat Galih terbuka sedikit, ia tetap menganggapnya sebagai pengganggu kurang kerjaan. Nggak tau momen, pula. Seperti hari ini. Pak Mahar si guru fisika tengah mencatat rangkuman materi yang lebih mirip diktean di papan tulis, hurufnya begitu rapat dan Pak Mahar ngejelasin kayak ngomong sama dirinya sendiri.

Dan tiba-tiba, nggak ada angin nggak ada hujan, Ratna membanting pulpennya dan bertopang dagu, berbisik, "Kenapa lo kepengin jadi guru bahasa Indonesia?"

Mengerutkan dahi, Galih menatap Ratna. "Kenapa lo sekepengin tau itu?"

"Salah ya, kalo gue orangnya curious. Semalem tuh gue sampe nggak bisa tidur tau nggak sih, mikirin elo dan cita-cita lo yang misterius gitu."

"Lo mikirin gue sampe nggak bisa tidur?" Galih nyengir sekarang.

"Nggak usah ge-er, deh," Ratna memutar mata. "Jadi, kenapa lo pengin jadi guru bahasa Indonesia?"

"Soalnya gue ngeliat negara ini potensial banget, dan berhubung gue nggak bisa ngelakuin sesuatu yang enough dari dalam, gue bakal melakukannya dari luar. Gue bakal ngajarin bahasa Indonesia ke orang-orang luar. Jadi semacam guru kursus gitu."

"Ih, wow," Ratna bertepuk tangan agak heboh sekarang. "Ih, sumpah, unpredictable banget. Anak-anak jaman sekarang kan kalo ditanya mau jadi apa, pasti jawabnya mau jadi rocker, aktris sinetron, biduan dangdut... yah pokoknya yang on stage lah. Banci tampil."

Galih kembali berpaling tertarik padanya, kali ini juga meletakkan pulpennya.

"Apa tiga hal yang paling lo suka dalam hidup?"

"Tiga?" ulang Ratna, menghitung dengan jari-jarinya. "Tapi gue punyanya lima."

"Oke, lima. Lima hal yang paling lo suka dalam hidup tuh, apa?"

"Hello Kitty, abu-abu, masakan nyokap, layangan, dan ramalan bintang."

"Ramalan bintang?" Galih kini tak bisa mengendalikan tampang mencemoohnya. "Hari gini, masih percaya ramalan bintang?"

"Iya, dong, emang kenapa? Lo lahir tanggal berapa?"

"Gue ogah diramal."

"Kalo ogah diramal, berarti lo juga percaya, dong?" serang Ratna langsung.

"Oke," Galih mengangkat tangan, "6 Mei."

"6 Mei, berarti Taurus dong? Keras kepala. Ambisius. Artsy. Charming. Loyal dan royal."

"Loyal dan royal?"

"Yap. Taurus itu suka finest things in life, dan setia."

"Setia," ulang Galih, kali ini terbahak-bahak, "bukan gue banget. Zodiak lo sendiri apa?"

"12 Oktober, Libra. Charming, peace lover, balance seeker, flirtatious."

"Oh ya?"

"Iyap. Before you discover other people's selves, you gotta discover yourself first," Ratna menjentikkan jemrinya kali ini. "Cita-cita gue waktu masih kecil tuh peramal, lho."

"Kalo cita-cita lo sekarang apa?"

Alih-alih menjawabnya, Ratna cuma mengedikkan bahu. "Kalo lo? Tiga hal yang paling lo suka dalam hidup itu apa?"

"Musik, nulis, The Beatles."

"Musik? Nulis? The Beatles?"

"Musik itu esensi dari hidup. It keeps things right. Nulis..., yah, gue suka literatur. Gue ngefans sama Fitzgerald. The Beatles? Mereka itu keren."

Kayaknya Ratna bisa keriputan kalau duduk di sebelah orang penuh kejutan kayak nih cowok. "It's just... wow. Berapa banyak cowok 15 tahun di dunia ini yang demen The Beatles? Berapa banyak cowok di dunia ini yang baca Great Gatsby?"

"Itu lo tau. Lo tau Fitzgerald."

"Yaelah," Ratna mengibaskan tangannya lagi, "dia kan famous. Dan lagian, nyokap gue tuh kutu buku parah. Kerjaan sampingan doi selain jadi penjahit itu cerpenis, suka ngirim cerpen atau artikel gitu ke majalah tiap bulannya. Kakek gue juga penulis, atau semacam itu. Gue baca Great Gatsby dari perpustakaannya."

"Giliran gue bilang wow sekarang."

"Jadi, lo juga kepengin jadi penulis. What kind of writer?"

"Hm, nggak tau. I still haven't discovered it yet."

"Hm, that's okay. Gue kasih lo nilai 8 dari 10."

Galih menyamarkan tawanya dengan batuk. "Do you always give someone score before decide whether to befriend with them or not?"

"Yes, no, short of." Cewek itu mengedikkan bahunya lagi. "I just want to know."

***

Meski tak ada dalam deskripsi tiga hal paling disukainya kemarin, Ratna tahu satu hal lagi yang menjadi hobi Galih. Mengejutkan orang. Bikin jantungan, malah.

Contohnya sekarang. Ratna sedang mengambil handuknya dari balkon ketika dering bel sepeda mengejutkannya. Ketika ia melongok ke bawah, didapatinya Galih sedang melambai dari atas sepeda hitam mengilap. Butiran air berjatuhan dari pucuk-pucuk rambutnya yang jabrik, dan entah perasaan Ratna saja, apa emang tuh cowok kelihatan lebih charming hari ini?

Ratna dibuat tertegun sendiri oleh pemikiran itu. Astaga. Cowok kaku yang perbandingan ngomong dan diemnya 1:99 begitu... charming?

Namun cowok itu tampaknya nggak notice dengan kekagetan Ratna, karena ia turun dari sepedanya dan menggestur pada beranda, mengisyaratkan ia akan duduk di situ. Ratna, yang nggak tahu mesti ngomong apa, hanya mengangguk dan mandi secepat mungkin.

Begitu ia selesai dan turun, Bunda yang lagi duduk di meja makan serta merta menyambut, "Ratna! Itu ada cowok ganteng di depan!"

"Ih, Bun, ganteng apanya sih," ringis Ratna, mengutuki kemunafikannya sendiri, "dan lagian dia temen aku. Orangnya emang gitu Bun. Full of surprise." Diliriknya meja makan dan diambilnya dua tangkup roti berselai kacang. "Bun, aku makannya sambil jalan aja ya, kasian temen aku itu. Takutnya ntar telat lagi."

"Oh, ya udah. Hati-hati ya, Rat, inget, jangan deket-deket sama cowok. Cowok itu buaya!"

Setengah mati Ratna menahan bola matanya berputar. "Iya, iya, Bunda tenang aja deh. Udah yak, aku jalan. Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikum salam...!"

Terseok-seok, Ratna berlari ke luar, mendapati Galih masih duduk dengan kaki menyilang di kursi beranda. Seluruh gimiknya terasa begitu pas; menguarkan kepercayaan diri dan totalisme. Ratna bertanya-tanya apa cuma dia satu-satunya cewek yang takut sama ni cowok.

"Hei! Kok lo bisa di sini?"

"Halo, nice to meet you too." Galih mengangkat alisnya, bangkit dan menarik tali ranselnya. "Salah ya, kalo gue silaturahmi ke rumah tetangga sendiri?"

Ratna mencebikkan bibirnya. "Nggak masalah sih, andai lo cowok jelek nggak laku yang nggak punya fans di sekolah. Kalo tim Galiholic lo pada tau, bisa-bisa gue diteror."

"Galiholic? Ngaco lo," selanya kalem, sambil lalu. "Eh, tunggu dulu. 'Andai gue cowok jelek nggak laku'? Berarti maksud lo gue ganteng, gitu? Dan banyak yang naksir?"

Taurus. Know what gift they have and know that they're dangerously charming.

Ratna cuma bergumam nggak jelas. "Udah yuk, ah, berangkat buruan. Kebetulan banget lo dateng ke sini. Sepeda gue rantenya lepas, lagi diservis sekarang. Jadi, yah, gue harap lo kuat memberi gue tebengan."

"Berapa sih, berat lo? Empat puluh kilo juga nggak ada palingan."

Tiga puluh tujuh kilo sebenarnya, tapi Ratna tak meralat yang barusan. Diperhatikannya Galih yang kini mengambil sepedanya dan menaikinya. "Ayo, buruan! Nggak ada jok belakang ya tapi, jadi lo seharus itu diri sepanjang jalan."

"I get over it," timpal Ratna simpel, berdiri dan dengan ragu memegang bahu cowok di depannya. Reaksi seketikanya adalah kepengin mundur dan mencegat ojek aja di depan kompleks. Bahu Galih sangat... uh, strong. Dan besar. Dan menyentuhnya seperti ini mengingatkan Ratna akan betapa absolutnya cowok itu.

Sayangnya sesampainya mereka di depan sekolah, gerbang sudah ditutup, rapat, dan nggak ada satpam di "kandang burung" yang biasanya bakal membukakan pintu. Di depan gerbang tergantung papan yang bertuliskan "PERATURAN BARU. TELAT DILARANG MASUK SAMPAI JAM ISTIRAHAT".

Galih dan Ratna bertukar pandang.

"Oh, tidak," rutuk Ratna, mengguncang gerbang besi berkarat itu. "Shit, man. Hari ini kita mesti ngumpulin tugas Bu Endang!"

"Percuma aja sih lo gedor-gedor kayak orang kebakaran gitu. Nggak akan dibukain," komentar Galih, menuntun sepedanya mendekati gerbang.

"Tapi Bu Endang... lo nggak tau dia kayak apa, Gal. Dia tuh nggak toleran sama yang namanya telat ngumpulin tugas. Bisa-bisa nilai kita nggak dituntasin kalo gini caranya!"

"Terus lo mau ngapain sekarang?" Galih mendesah. "Why you gotta be worrying so much about things you can't change?"

Ratna bungkam, hanya mendesah dan terus mengutuki dirinya sendiri.

"Gimana kalo kita cabut aja?" usul Galih mendadak.

"Hah? Cabut?" Mata Ratna terbeliak total. "Gal, ini bukan Jakarta, lo nggak bisa nyelonong di jalan raya pake putih abu-abu di jam sekolah begini. Dan lagian, kalo kita sampe ketangkep guru..."

"Kalo kita sampe ketangkep guru, kita nggak bakal mati, kan?" sela Galih, memandang cewek itu lekat-lekat. Ia memiringkan kepalanya ke kanan, menyeringai. "Dan lagian, cabut sekali-sekali nggak bakal bikin dunia kiamat, kok."

Mata Ratna memicing padanya, seakan berusaha menimbang apakah a) Galih cowok mesum yang melakukan tindak asusila atau b) Galih cowok yang memang nggak pernah peduli sama pelajaran. Kalau memang benar, ternyata sifat liarnya sangat berlawanan dengan tampang Nazi-nya itu.

"Apapun itu, gue sih mau have fun dulu. Ngapain jamuran di depan sekolah sampe bel istirahat?" Galih meneruskan percaya diri, menaiki sepedanya dan mengayuhnya menjauh. Ratna masih sempat memandangi punggung tegapnya yang menjauh sebelum menghentakkan kakinya, antara kesal karena Galih meninggalkannya dan menyesal karena ia keukeuh nggak mau ikut. Tapi penyesalan itu hanya bertahan selama lima menit, karena Galih muncul kembali dari arah sebaliknya, menderingkan bel sepeda.

"Maruko, gue tau lo nyesel, makanya gue balik ke sini."

Kembali menghentakkan kakinya, Ratna menaikkan bahunya sambil memanjat pijakan di belakang sepeda Galih, mencengkeram bahu cowok itu kelewat kencang. "Jangan sampe kita ketangkep guru ato polisi, dan jangan sampe kita pergi lewat jam 10!"

Yang diberi instruksi hanya tertawa. "Siap, Bos."

Sepeda itu meluncur, dan angin yang berhembus membawa pergi keresahan Ratna sesaat. Ia merileks, berusaha menghirup dalam-dalam aroma udara kota Bandung dan menyingkirkan segala tetek bengek soal tugas dan sekolah. Inilah yang selalu disukainya dari naik sepeda. Ia bisa berpikir. Ia bisa mengkhayal. Ia bisa berpura-pura ia sedang melayang.

"Eh, kita udah nyampe, nih. Buruan turun."

Ratna memaksa matanya terbuka, megap-megap begitu sadar ia dibawa ke mana.

"Paris van Java? Lo gila? Ini mah udah terkenal banget tempat ngeceng anak-anak cabut! Gal, sumpah lo cari mati. Balik aja yuk ke sekolah, gue...."

Perkataannya tak terampungkan, dan Ratna bahkan ragu bisa menyelesaikannya begitu Galih melepaskan telunjuknya dari bibirnya. Cowok itu begitu dekat, begitu besar, begitu charming.

"Gue yang bawa lo ke sini, berarti gue yang bertanggung jawab atas keselamatan lo selama di sini. All you have to do is believe, okay?"

Bahkan sebelum Galih menyelesaikan kalimatnya, Ratna tahu ia sudah percaya. Apa yang membuat cowok ini begitu mudah dipercayainya? Ih, amit-amit cuma gara-gara mukanya ganteng, Ratna jadi iya-iya aja. Apa jangan-jangan Galih make pelet? Susuk, mungkin?

Agak irasional sih, tapi bukan berarti nggak masuk akal, kan?

"C'mon," ajak Galih, menarik tangan Ratna langsung dan masuk ke salah satu toko yang Ratna kenal namanya tapi nggak pernah ia masuki karena satu alasan: mahal. Ratna sih ngiranya Galih bakal langsung melepaskan tangannya begitu mereka masuk, tapi nyatanya tidak. Cowok itu justru membawanya berkeliling toko sampai berpapasan dengan wanita muda yang kelihatannya owner toko itu.

"Eh, Galih, siapa lagi ini? Baru lagi?"

Galih hanya terkekeh, mendorong pelan punggung Ratna ke sebelah si owner. "Ini Ratna, Mbak Tris. Tolong ya cariin baju yang kerenan dikit. Kaus kek, apa kek, pokoknya jangan sampe ada identitas anak SMA yang ketinggalan."

"Oke deeeh, siiip."

Ratna bahkan nggak sempat menanyakan siapa yang akan membayarinya baju di toko semahal ini. Mbak Tris dengan semangat 45 melemparkannya ke ruang ganti, berkata, "Kamu tunggu di sini sebentar ya," sambil lalu, ngeloyor pergi, dan kembali lagi dengan tiga-empat setelan.

"Kalo saya liat-liat sih, baju-baju ini yang cocok buat kamu, yang lain terlalu dewasa semua modelnya. Eh, kamu butuh pakaian dalam baru nggak?"

Pipi Ratna seketika memerah. "Nggak!"

Mbak Tris mengangguk puas. "Oke, kamu coba-coba aja dulu, jangan lupa yang nggak kamu suka masukin ke hanger lagi."

Ratna tak mengatakan apa-apa, dan rupanya Mbak Tris pun cuma di situ untuk urusan bisnis. Mendecak, Ratna memilih-milih semua pakaian itu, mencobanya satu per satu, dan akhirnya pilihannya jatuh ke setelan nomor dua: kaus abu-abu bermotif burung hantu dan jeans tiga per empat. Mengamati sebentar pantulannya di cermin, Ratna menggantung baju tak terpakai ke hanger dan melipat seragamnya, menjejalkannya ke dasar tas. Ia keluar dari ruang ganti, menyerahkan setelan-setelan yang tak terpakai ke Mbak Tris, dan mendekati Galih yang sedang berkutat dengan ponselnya, senyum ganjil tercetak di wajah tampannya.

"Hei, Gal."

"Oh, hei." Yang dipanggil mendongak dan tersenyum kecil, berdiri sambil meregangkan tubuhnya yang kini dibalut kaus plus jaket hitam dan jeans panjang. "Abu-abu. Warna favorit lo."

Ratna cuma mengangguk.

"Yuk, cabut lagi." Tanpa aba-aba, Galih sudah menarik lagi tangannya ke luar toko, dan Ratna megap-megap sendiri oleh cekalan tangannya yang dingin.

"Tap-tapi... siapa yang bayarin belanjaan kita ini?"

"Oh, itu," ekspresi Galih berubah datar, "toko yang tadi itu salah satu investasi bokap. Satu-satunya cabang di Bandung."

"Oh, gitu," angguk Ratna, naik ke boncengan Galih. "Sekarang bokap lo di mana?"

"Meninggal. Summer 1999 di Amsterdam. Jantung."

"Oh, gitu." Ratna berpegangan kembali ketika sepeda mulai melaju. "You're not the one kok, Gal. Gue juga dibesarin sama orangtua tunggal."

"Maksudnya?"

"Bokap gue ninggalin nyokap gue waktu umur gue kira-kira satu tahun. Yah, begitulah."

Lewat kaca spion, Ratna bisa melihat Galih kini memandangnya lekat-lekat. Lewat kaca spion, Galih bisa melihat wajah ringan Ratna yang masih memejamkan matanya, seakan mengatakan bahwa ayahnya hanya pergi untuk beli mainan dan akan pulang dua hari lagi.

"Jadi, lo suka warna abu-abu," deham Galih, memutuskan mengganti topik. "Kenapa? Hello Kitty kan identik sama warna pink."

"Abu-abu itu netral. Balance. Libras are balance seeker."

Galih tertawa mencemooh lagi. "Lo ternyata nggak boong ya pas bilang lo suka ramalan bintang."

"Selain itu," lanjut Ratna, mengabaikan yang barusan, "netral itu bagus. Nggak terlalu baik, nggak terlalu buruk. Yin dan Yang. Gue percaya kalo segala sesuatu di dunia ini punya dua sisi koin."

"Dua sisi koin?"

"Yep. Keburukan dan kebaikan. Kira-kira semacam itu." Ratna bersiul pelan dan nyeletuk lagi. "Lagian, nggak ada hubungannya ah, Hello Kitty sama warna pink. Kalo gue bilang gue suka Hello Kitty tapi nggak suka kucing, lo bakal kaget nggak?"

"Hah? Kenapa? Rata-rata cewek kan demennya kucing. Atau cihuahua, biar kata gue lebih prefer burung dara, sih."

"Gue alergi sama bulunya. Turunan bokap gue. Sebaliknya, nyokap gue tuh penyayang binatang banget."

"Oooh, oke," gumam Galih, "anyway, turun gih. Kita udah sampe, nih."

Keningnya berkerut, namun Ratna tak membantah. Ia melompat dari sepeda, memandang blank rumah mungil di hadapannya. Dari dalamnya, terdengar bunyi-bunyi alat musik yang bikin kuping sakit. Tertawa membaca ekspresi Ratna, Galih merangkulnya dan memimpinnya masuk ke rumah itu.

Karena dari luar saja sudah kedengaran genjrang-genjreng, Ratna nggak heran melihat drum dan gitar dan bas dan mikrofon serta gulungan kabel di sana. Seorang cowok sedang menggulung kabel dan seorang cewek asyik memainkan drum imajinasi dengan kedua stiknya. Keduanya sama-sama berseragam SMA.

"Hai, guys, sori telat."

Si penggulung kabel mendongak dan mengadu tinjunya pada tinju Galih, dan Ratna sedikit terkesiap. Bego juga dia kalau menganggap Galih cowok paling kece yang pernah ditemuinya. Cowok yang dihadapannya ini... wow.

Sementara si cewek hanya menaikkan alis melihat Ratna, sikapnya agak nggak ramah. Tingginya sedang, dengan rambut dipotong nggak rata dan dicat merah. Selain anting, ia juga mengenakan dua giwang di masing-masing telinga, dan setelah diperhatikan baik-baik, baru Ratna sadar hidung cewek itu ditindik.

"Gal, siapa nih cewek?" si cewek punk mengedik Ratna datar. Setomboi-tomboinya cewek, ternyata nggak ada yang mampu menaklukkan rasa jealous sama cowok yang disukain, ternyata.

"Oh, ke sini dong Rat, jangan ansos gitu. Ini Ratna, guys. Rat, itu Semaun, yang itu Muso."

"Uh, itu bukannya nama... umm, tokoh..."

"PKI?" Semaun memotong, menyunggingkan senyum yang bisa bikin Ratna meleleh dalam kecepatan cahaya. "Ya, gitu deh. Riang yang ngasih ide, sih, dia ngefans berat sama faham komunis."

Ratna menggestur pada si cewek, menanyakan apa dia yang namanya Riang. Galih hanya mengangguk samar.

"Tapi daftar absen dan akte gue masih mencatat nama gue Damas, kok."

"Dia lebih tua setaun dari kita, Rat, jadi dia seneng banget dipanggil Kang."

"Uoh, oke. Kang Damas?" Ratna mengetes, dan Galih terbahak-bahak saat itu juga.

"Hirauin aja mah si Galih, dia stres juga kadang-kadang," Damas mengibaskan tangan. Pada Galih dan Riang, ia berkata, "Guys, we're running out of time. Yuk, buruan latihan. Gue mesti balik ke sekolah jam pelajaran keenam, gurunya killer soalnya."

Tadinya Ratna ingin bertanya latihan apa yang akan mereka jalankan, namun sorot mata Galih mengatakan, "Just wait and see."

Maka yang dilakukan Ratna selanjutnya adalah duduk dan menonton.

***

25/8/2013, 3:16 pm
for Fadel,
my true (and maybe forever) Galih

vendredi 2 août 2013

BIG ANNOUNCEMENT

Oke... gue gatau harus mulai dari mana atau basa-basi gimana, yang jelas semua cerbung dan cerpen dan puisi gue semua di-remove ke blog gue yang satu lagi, Confession of An Ailurophile. Maaf, maaf banget kalau ini sedikit mengecewakan, tapi semua orang punya jalan hidupnya masing-masing loh kok jadi serius begini sik hahahahahaha.

Di CAA, semua konten di-set just for invited reader, jadi SEANDAINYA ada yang niat mau baca, mention aja URL blog kalian ke @Eshaawn. Gue tau ini ribet sih, dan mungkin bakal menuai pro dan kontra dalam hidup gue... oke ini overrated. But I thought that was the best way to protect my rights as a creator.

Semua ini bermula dari seorang kawan yang minta minjem puisi gue buat nilai B. Indo, and I got mad and sick because only fools who permit anyone to use their work for shit like that. C'mon lah, gue yakin lo bisa bikin sesuatu yang jauh lebih keren dari puisi rubbish gue, something NEW and ORIGINAL, wuis saking marahnya Echa sampe dikapitaliasi semua yekan. Tapi suer tekewer-kewer, gue esmosi.

Ya okelah, gue tau itu konsekuensi yang gue emban dan telen bulet-bulet kalo nge-share sesuatu di dunia maya. Maka trik gue adalah bikin blog gue gabisa dicopas. Mayan mempan sih, sampe suatu saat gue melihat seseorang make quotes gue... dan quotes orang lain juga, and took credit for it. Someone who calls herself as an author. I was beyond disappointed.

Gue pernah baca quotes dari @AdviceToWriters begini: "If you copy from one, it's plagiarism. If you copy from many, it's research." Now I see that's not all true. If you copy from many without add something original by yourself, it's no more than rubbish.

I don't write this to humiliate anyone or whatsofckever, I just want to speak up my mind. I am so so sorry if this post disrupts you or what. I hope you understand (mostly if you consider yourself as copycat, too).

Salam meong-meong,
EchaSwift12.