“Setiap orang
dengan penyakit jiwa, atau mereka yang diperlakukan demikian, harus
diperlakukan dengan manusiawi dan hormat sesuai dengan harkat-martabat yang
melekat pada diri manusia.”
Resolusi Majelis
Umum PBB 46/119, Pasal 1, Ayat 2.[1]
Untuk
ukuran sebuah negara bercorak budaya ketimuran yang identik dengan nilai
kesopanan, hak asasi manusia di Indonesia menjadi urusan kesekian yang mendapat
perhatian dan prioritas dari pemerintah maupun masyarakat segala lapisan. Kebanyakan
pelanggaran HAM di Indonesia baru mendapat bidik setelah disorot tajam oleh
media asing. Ironi tidak berhenti di situ saja; mayoritas tindakan pelanggaran
HAM di Indonesia yang mendapat perhatian publik “hanyalah” pelanggaran yang
sudah memakan korban jiwa. Sisanya? Tidak diusut hingga tuntas, atau bahkan
tidak disadari sebagai bentuk pelanggaran HAM sehingga tidak dilaporkan.
Salah satu
pelanggaran HAM paling diremehkan di Indonesia eksistensinya adalah praktik
pasung yang dilakukan pada mereka yang terganggu kejiwaannya. Praktik pasung
baru mendapat tanggapan dari pemerintah setelah menjadi topik kajian lembaga
Human Rights Watch Indonesia pada 2015. Jika disesuaikan pada pengkategorian
Komnas HAM Indonesia, maka pasung termasuk pelanggaran hak “bebas dari
penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan” yang merupakan bagian kelompok
hak atas rasa aman.[2]
Dari total 8.249 kasus pengaduan yang diterima Komnas HAM pada 2015,
pelanggaran hak tersebut berjumlah 127 kasus, atau sekitar 1,53 persen saja
dari keseluruhan.[3]
Pengaduan atas pelanggaran hak tersebut bahkan lebih sedikit dari pengaduan
pelanggaran hak kepemilikan tanah (1.225 kasus). Padahal, menurut kajian yang
dilansir Human Rights Watch, sekitar 57.000 individu dengan keterbatasan mental
di Indonesia pernah menghabiskan waktu mereka dalam pasung, dan sekitar 18.800
orang masih terkungkung di pasung hingga saat ini.[4]
Praktik pasung sudah
mendapat larangan keras dari pemerintah pada tahun 1977. Program Indonesia
Bebas Pasung sudah dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan dalam dua kabinet
berturut-turut, di bawah pimpinan Endang Rahayu dan Nafsiah Mboi, masing-masing
ditargetkan rampung pada 2014[5]
dan 2019[6]. Pada
2016, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa ikut mencanangkan program yang
sama di lembaga yang dipimpinnya, dengan target rampung pada 2017. Akan tetapi,
dengan waktu yang tersisa satu tahun, sosialisasi yang belum merata di tingkat
pemerintah daerah, dan fakta bahwa tradisi pasung tetap saja dijalankan oleh
keluarga penderita keterbatasan mental di rumah, pemuka agama, dan bahkan
tenaga medis di yayasan rehabilitasi kejiwaan atau rumah sakit jiwa,[7]
banyak orang menyangsikan keberhasilan program ini.
Tingkat kesadaran
masyarakat Indonesia akan kesehatan mental masih sangat rendah. Pasung menjadi
jalan alternatif tercepat ketika penderita keterbatasan mental bertindak
agresif; hal itu dilakukan sebagai tindakan preventif, supaya penderita keterbatasan
mental tidak mengganggu atau melukai orang-orang di sekitar mereka. Padahal,
praktik pasung menyebabkan penderita keterbatasan mental semakin parah kondisinya.
Mereka kian merasa tertekan dan depresi karena terkurung, dan banyak yang
mengalami malnutrisi dan menderita berbagai penyakit diakibatkan buruknya
sanitasi di tempat mereka dipasung.
Di kebanyakan daerah
di Indonesia, ada kepercayaan kultural bahwa kondisi kesehatan mental merupakan
indikasi bahwa mereka kerasukan roh jahat, diteluh, pernah berdosa, pernah
melakukan perbuatan tak bermoral, atau kurang beriman.[8] Relativisme
budaya, di mana tiap-tiap kebudayaan memiliki perspeksi sendiri tentang keterbatasan
mental dan penyebabnya, bertabrakan dengan prinsip psikiatri yang memandang keterbatasan
mental sebagai penyakit universal.[9]
Implikasi dari kepercayaan
kultural ini: keluarga dari penderita keterbatasan mental biasanya akan
berkonsultasi ke tabib, guru spiritual, atau penyedia jasa pengobatan
tradisional. Opsi ini dipilih—selain karena adanya kepercayaan campur tangan
makhluk gaib dalam penyakit tersebut—sebab fasilitas untuk keterbatasan mental
dengan tenaga medis terdidik sulit dicapai. Bagaimana tidak, Indonesia hanya
memiliki 48 rumah sakit jiwa, lebih dari setengahnya berada di empat provinsi
di Indonesia. Delapan provinsi tidak memiliki rumah sakit jiwa sama sekali, dan
tiga provinsi tidak memiliki psikiater. Indonesia sendiri hanya memiliki enam
ratus hingga delapan ratus psikiater, atau dengan perbandingan satu psikiater
untuk 300.000 sampai 400.000 individu.[10]
Fasilitas dan
pelayanan yang ada di rumah sakit jiwa maupun yayasan rehabilitasi kejiwaan
juga tidak mendukung terlaksananya hak-hak dasar manusia dengan keterbatasan
psikososial dan mendorong terjadinya kekerasan terhadap mereka. Tidak jarang,
justru pekerja profesional di bidang kesehatan mental yang melaksanakan
pelanggaran HAM terhadap penderita keterbatasan mental.[11] Di
berbagai RSJ dan yayasan rehabilitasi kejiwaan, pasien-pasien ditempatkan di
ruangan tertutup atau bahkan berjeruji, dan diisolasi sendiri jika menolak
meminum obat yang disediakan. Sama seperti yang dilakukan oleh
keluarga-keluarga pasien di rumah, pihak RSJ dan yayasan rehabilitasi kemudian
memasung atau merantai mereka jika melakukan tindakan agresif atau destruktif. Rata-rata
pasien tidak bisa melaporkan perlakuan yang mereka terima, sebab banyak
keluarga mereka yang tidak lagi datang membesuk di yayasan atau rumah sakit,
bahkan meninggalkan alamat dan nomor telepon palsu di data rumah sakit.[12] Keluarga
merasa tersudut oleh stigma masyarakat yang melabel penyakit mental sebagai
bentuk karma atas perbuatan tak bermoral atau penyimpangan yang pernah pasien
lakukan. Selain itu, ketiadaan produktivitas pasien menimbulkan beban berat
bagi keluarga untuk menanggung biaya pengobatan,[13]
sehingga keluarga menelantarkan mereka begitu saja di institusi-institusi
kejiwaan tersebut, sebagai langkah yang mereka pandang lebih baik ketimbang
pemasungan di rumah.
Begitu umumnya
praktik pasung yang bahkan dijustifikasi institusi-institusi kejiwaan,
menyebabkan banyak orang tidak awas terhadap pelanggaran HAM yang sesungguhnya
mereka perbuat. Untung menanggulangi perkara ini, Human Rights Watch mengajukan
beberapa rekomendasi, mulai dari membuat Rancangan Undang-Undang Kesehatan
Mental, memperketat pengawasan dan implementasi kebijakan pemerintah seperti
larangan pasung, sosialisasi di tingkat RT terkait penyakit mental dan
ragamnya, sampai pemberian pelatihan kepada pekerja profesional di
institusi-institusi kejiwaan. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial juga
perlu bekerja sama menciptakan suatu program yang terintegrasi alih-alih
menciptakan program yang serupa namun menjalankannya sendiri-sendiri.
Sudah terlalu lama
negeri ini pincang dalam menegakkan hak-hak warga negaranya, terutama mereka
yang seharusnya mendapat perhatian khusus. Biarpun program Indonesia Bebas
Pasung 2017 terlalu utopis diwujudkan, bila semua kalangan ikut berpartisipasi
meningkatkan kesadaran mereka tentang kesehatan mental dan juga HAM, maka
sedikit demi sedikit ada satu lagi hak asasi yang diakui kekuatannya dan
dijamin tegaknya di Indonesia.
BIBLIOGRAFI
[1] “Resolution 46/119: The protection of persons with mental illness and the
improvement of mental health care,” UN General Assembly, diakses pada 26 Mei 2016,
http://www.un.org/documents/ga/res/46/a46r119.htm
[2] Subbagian
Penerimaan dan Pengolahan Pengaduan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Laporan Data Pengaduan Tahun 2015
(2016), hlm. 4, diakses
pada 26 Mei 2016,
http://www.komnasham.go.id/sites/default/files/Laporan/Laporan%20penerimaan%20pengaduan%202015.pdf
[3] Ibid.
[4] Human Rights Watch, Living in Hell: Abuses against People with
Psychological Disabilities in Indonesia (2016), hlm. 3, diakses pada 26
Mei 2016,
https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/indonesia0316web.pdf
[5] “Menuju
Indonesia Bebas Pasung,” Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, diakses pada
27 Mei 2016, http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=1242
[6] Herman, “Menkes
Ajak Pemda Wujudkan Indonesia Bebas Pasung,” Berita Satu, 10 Mei 2014, diakses pada 27 Mei 2016, http://www.beritasatu.com/kesra/183215-menkes-ajak-pemda-wujudkan-indonesia-bebas-pasung.html
[7] Human Rights
Watch, Living in Hell, hlm. 3
[8] Ibid., hlm. 4 241
[9] Michael
Winkelman, “Transcultural Psychiatry and Indigenous Psychology,” dalam Culture and Health: Applying Medical
Anthropology (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), hlm. 208
[10] Human Rights
Watch, Living in Hell, hlm. 5
[11] Dharmono dalam I. Irmansyah dkk., “Human
rights of persons with mental illness in Indonesia: more than
legislation is needed,” International Journal of Mental Health
Systems, Vol. 3, No. 14 (Juni 2009), hlm. 8, diakses pada 26 Mei 2016, http://ijmhs.biomedcentral.com/track/pdf/10.1186/1752-4458-3-14?site=ijmhs.biomedcentral.com
[12] Ibid., hlm. 6 163
[13] Sri
Indaiani, dkk., “Kesehatan
Jiwa,” dalam Riset Kesehatan Dasar 2013
(Jakarta: Badan Pengembangan dan Penelitian Kementerian Kesehatan RI, 2013),
hlm. 125, diakses pada 25 April 2016,
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf