samedi 28 mai 2016

Pasung: Pelanggaran HAM Tak Kasatmata di Indonesia

Setiap orang dengan penyakit jiwa, atau mereka yang diperlakukan demikian, harus diperlakukan dengan manusiawi dan hormat sesuai dengan harkat-martabat yang melekat pada diri manusia.
Resolusi Majelis Umum PBB 46/119, Pasal 1, Ayat 2.[1]

Untuk ukuran sebuah negara bercorak budaya ketimuran yang identik dengan nilai kesopanan, hak asasi manusia di Indonesia menjadi urusan kesekian yang mendapat perhatian dan prioritas dari pemerintah maupun masyarakat segala lapisan. Kebanyakan pelanggaran HAM di Indonesia baru mendapat bidik setelah disorot tajam oleh media asing. Ironi tidak berhenti di situ saja; mayoritas tindakan pelanggaran HAM di Indonesia yang mendapat perhatian publik “hanyalah” pelanggaran yang sudah memakan korban jiwa. Sisanya? Tidak diusut hingga tuntas, atau bahkan tidak disadari sebagai bentuk pelanggaran HAM sehingga tidak dilaporkan.
Salah satu pelanggaran HAM paling diremehkan di Indonesia eksistensinya adalah praktik pasung yang dilakukan pada mereka yang terganggu kejiwaannya. Praktik pasung baru mendapat tanggapan dari pemerintah setelah menjadi topik kajian lembaga Human Rights Watch Indonesia pada 2015. Jika disesuaikan pada pengkategorian Komnas HAM Indonesia, maka pasung termasuk pelanggaran hak “bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan” yang merupakan bagian kelompok hak atas rasa aman.[2] Dari total 8.249 kasus pengaduan yang diterima Komnas HAM pada 2015, pelanggaran hak tersebut berjumlah 127 kasus, atau sekitar 1,53 persen saja dari keseluruhan.[3] Pengaduan atas pelanggaran hak tersebut bahkan lebih sedikit dari pengaduan pelanggaran hak kepemilikan tanah (1.225 kasus). Padahal, menurut kajian yang dilansir Human Rights Watch, sekitar 57.000 individu dengan keterbatasan mental di Indonesia pernah menghabiskan waktu mereka dalam pasung, dan sekitar 18.800 orang masih terkungkung di pasung hingga saat ini.[4]
Praktik pasung sudah mendapat larangan keras dari pemerintah pada tahun 1977. Program Indonesia Bebas Pasung sudah dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan dalam dua kabinet berturut-turut, di bawah pimpinan Endang Rahayu dan Nafsiah Mboi, masing-masing ditargetkan rampung pada 2014[5] dan 2019[6]. Pada 2016, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa ikut mencanangkan program yang sama di lembaga yang dipimpinnya, dengan target rampung pada 2017. Akan tetapi, dengan waktu yang tersisa satu tahun, sosialisasi yang belum merata di tingkat pemerintah daerah, dan fakta bahwa tradisi pasung tetap saja dijalankan oleh keluarga penderita keterbatasan mental di rumah, pemuka agama, dan bahkan tenaga medis di yayasan rehabilitasi kejiwaan atau rumah sakit jiwa,[7] banyak orang menyangsikan keberhasilan program ini.
Tingkat kesadaran masyarakat Indonesia akan kesehatan mental masih sangat rendah. Pasung menjadi jalan alternatif tercepat ketika penderita keterbatasan mental bertindak agresif; hal itu dilakukan sebagai tindakan preventif, supaya penderita keterbatasan mental tidak mengganggu atau melukai orang-orang di sekitar mereka. Padahal, praktik pasung menyebabkan penderita keterbatasan mental semakin parah kondisinya. Mereka kian merasa tertekan dan depresi karena terkurung, dan banyak yang mengalami malnutrisi dan menderita berbagai penyakit diakibatkan buruknya sanitasi di tempat mereka dipasung.
Di kebanyakan daerah di Indonesia, ada kepercayaan kultural bahwa kondisi kesehatan mental merupakan indikasi bahwa mereka kerasukan roh jahat, diteluh, pernah berdosa, pernah melakukan perbuatan tak bermoral, atau kurang beriman.[8] Relativisme budaya, di mana tiap-tiap kebudayaan memiliki perspeksi sendiri tentang keterbatasan mental dan penyebabnya, bertabrakan dengan prinsip psikiatri yang memandang keterbatasan mental sebagai penyakit universal.[9]
Implikasi dari kepercayaan kultural ini: keluarga dari penderita keterbatasan mental biasanya akan berkonsultasi ke tabib, guru spiritual, atau penyedia jasa pengobatan tradisional. Opsi ini dipilih—selain karena adanya kepercayaan campur tangan makhluk gaib dalam penyakit tersebut—sebab fasilitas untuk keterbatasan mental dengan tenaga medis terdidik sulit dicapai. Bagaimana tidak, Indonesia hanya memiliki 48 rumah sakit jiwa, lebih dari setengahnya berada di empat provinsi di Indonesia. Delapan provinsi tidak memiliki rumah sakit jiwa sama sekali, dan tiga provinsi tidak memiliki psikiater. Indonesia sendiri hanya memiliki enam ratus hingga delapan ratus psikiater, atau dengan perbandingan satu psikiater untuk 300.000 sampai 400.000 individu.[10]
Fasilitas dan pelayanan yang ada di rumah sakit jiwa maupun yayasan rehabilitasi kejiwaan juga tidak mendukung terlaksananya hak-hak dasar manusia dengan keterbatasan psikososial dan mendorong terjadinya kekerasan terhadap mereka. Tidak jarang, justru pekerja profesional di bidang kesehatan mental yang melaksanakan pelanggaran HAM terhadap penderita keterbatasan mental.[11] Di berbagai RSJ dan yayasan rehabilitasi kejiwaan, pasien-pasien ditempatkan di ruangan tertutup atau bahkan berjeruji, dan diisolasi sendiri jika menolak meminum obat yang disediakan. Sama seperti yang dilakukan oleh keluarga-keluarga pasien di rumah, pihak RSJ dan yayasan rehabilitasi kemudian memasung atau merantai mereka jika melakukan tindakan agresif atau destruktif. Rata-rata pasien tidak bisa melaporkan perlakuan yang mereka terima, sebab banyak keluarga mereka yang tidak lagi datang membesuk di yayasan atau rumah sakit, bahkan meninggalkan alamat dan nomor telepon palsu di data rumah sakit.[12] Keluarga merasa tersudut oleh stigma masyarakat yang melabel penyakit mental sebagai bentuk karma atas perbuatan tak bermoral atau penyimpangan yang pernah pasien lakukan. Selain itu, ketiadaan produktivitas pasien menimbulkan beban berat bagi keluarga untuk menanggung biaya pengobatan,[13] sehingga keluarga menelantarkan mereka begitu saja di institusi-institusi kejiwaan tersebut, sebagai langkah yang mereka pandang lebih baik ketimbang pemasungan di rumah.
Begitu umumnya praktik pasung yang bahkan dijustifikasi institusi-institusi kejiwaan, menyebabkan banyak orang tidak awas terhadap pelanggaran HAM yang sesungguhnya mereka perbuat. Untung menanggulangi perkara ini, Human Rights Watch mengajukan beberapa rekomendasi, mulai dari membuat Rancangan Undang-Undang Kesehatan Mental, memperketat pengawasan dan implementasi kebijakan pemerintah seperti larangan pasung, sosialisasi di tingkat RT terkait penyakit mental dan ragamnya, sampai pemberian pelatihan kepada pekerja profesional di institusi-institusi kejiwaan. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial juga perlu bekerja sama menciptakan suatu program yang terintegrasi alih-alih menciptakan program yang serupa namun menjalankannya sendiri-sendiri.
Sudah terlalu lama negeri ini pincang dalam menegakkan hak-hak warga negaranya, terutama mereka yang seharusnya mendapat perhatian khusus. Biarpun program Indonesia Bebas Pasung 2017 terlalu utopis diwujudkan, bila semua kalangan ikut berpartisipasi meningkatkan kesadaran mereka tentang kesehatan mental dan juga HAM, maka sedikit demi sedikit ada satu lagi hak asasi yang diakui kekuatannya dan dijamin tegaknya di Indonesia.


BIBLIOGRAFI

[1] “Resolution 46/119: The protection of persons with mental illness and the improvement of mental health care,” UN General Assembly, diakses pada 26 Mei 2016, http://www.un.org/documents/ga/res/46/a46r119.htm
[2] Subbagian Penerimaan dan Pengolahan Pengaduan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Laporan Data Pengaduan Tahun 2015 (2016), hlm. 4, diakses pada 26 Mei 2016, http://www.komnasham.go.id/sites/default/files/Laporan/Laporan%20penerimaan%20pengaduan%202015.pdf
[3] Ibid.
[4] Human Rights Watch, Living in Hell: Abuses against People with Psychological Disabilities in Indonesia (2016), hlm. 3, diakses pada 26 Mei 2016, https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/indonesia0316web.pdf
[5] “Menuju Indonesia Bebas Pasung,” Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, diakses pada 27 Mei 2016, http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=1242
[6] Herman, “Menkes Ajak Pemda Wujudkan Indonesia Bebas Pasung,” Berita Satu, 10 Mei 2014, diakses pada 27 Mei 2016, http://www.beritasatu.com/kesra/183215-menkes-ajak-pemda-wujudkan-indonesia-bebas-pasung.html
[7] Human Rights Watch, Living in Hell, hlm. 3
[8] Ibid., hlm. 4 241
[9] Michael Winkelman, “Transcultural Psychiatry and Indigenous Psychology,” dalam Culture and Health: Applying Medical Anthropology (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), hlm. 208
[10] Human Rights Watch, Living in Hell, hlm. 5
[11] Dharmono dalam I. Irmansyah dkk., “Human rights of persons with mental illness in Indonesia: more than
legislation is needed,” International Journal of Mental Health Systems, Vol. 3, No. 14 (Juni 2009), hlm. 8, diakses pada 26 Mei 2016, http://ijmhs.biomedcentral.com/track/pdf/10.1186/1752-4458-3-14?site=ijmhs.biomedcentral.com
[12] Ibid., hlm. 6 163
[13] Sri Indaiani, dkk., “Kesehatan Jiwa,” dalam Riset Kesehatan Dasar 2013 (Jakarta: Badan Pengembangan dan Penelitian Kementerian Kesehatan RI, 2013), hlm. 125, diakses pada 25 April 2016, http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf

mardi 17 mai 2016

Feminism in Indonesia: How We Still Misplace the Spotlight of Kartini Day

One of the most memorable reminiscences of our childhood is the festivities of Kartini Day. Perhaps until elementary school, we celebrated it by wearing traditional clothes, participating in various competitions such as fashion show, and marching down the streets around our neighborhood that we caused heavy traffic. Today, as time rolls by and society claims everybody in every social stratification needs to commemorate Kartini’s struggle, many institutions obligate their members to wear traditional clothes, too, on 21st April. In most places in Java, this means kebaya for women and batik or koko shirt for men. They also celebrate it by conducting fashion show or cooking competitions. Of course, that’s a nice thing to do. As young generation, we should conserve our culture and be proud of it. The question: is it what Kartini’s struggle all about? Wearing a nice kebaya to appear pretty, supple, and graceful? With the fact that Kartini devoted her short years of life trying to break through the cage of Javanese patriarchal culture that degraded women as delicate figures created to serve men, it is safe for me to say that we still misinterpret the meaning of her struggle.

Google was being Google: it doodled
Kartini to celebrate her birthday, too!
Kartini is an important figure in Indonesia’s long list of heroes and pioneers. What did she fight for? Education for girls, regardless of their ancestry status and age. This makes her a feminist. As we have already known, in Kartini’s era, only local royalties could go to school and got basic education with children of Dutch elites. This privilege stopped as soon as they hit the age of maturity, for they had to stay at home until a royal man came proposing. In Javanese culture, this act of keeping a girl at home until being proposed is called pingitan. Kartini expressed her feelings: refusal, anger, sadness, through letters she sent to her Dutch friends. She sounded her first idea of emancipation to Estella Zeehandelaar; her desire for freedom of walls of her house that had trapped her for years, how she thought that “law and education belong to men only”, and that she wasn’t impressed by the practice of polygamies and arranged marriages.[1] Her other friend, Rosa Abendanon, collected all the letters she sent, and her husband, Jacques Henrij Abendanon, published it under the title of Door Duistemis Tor Licht (in Bahasa Indonesia: Habis Gelap Terbitlah Terang). It was Kartini who gave J. H. Abendanon inspiration to build schools for the royals as well as the commoners, when he was appointed as Dutch East Indies’s Minister of Culture, Religion, and Craft in early 1900’s.[2]
With Rosie the Riveter on it, this
poster appeared during World War II
and became a symbol for patriotic
womanhood.
In her letters, it was even implied that Kartini was somewhat angry at Javanese feudal culture that forced her to become a wife and a mother, when she was a student whose thirst for knowledge wasn’t fulfilled. So how could we commemorate her by wearing kebaya to symbolize her as a Javanese feudal, domestic mother? The fact is, W. R. Supratman originally created a song titled Raden Ajeng Kartini, but then it was changed into Ibu Kita Kartini in Soekarno’s reign.[3] However, it was during New Order, a doctrine that defined women as wives and mothers, appeared. The doctrine was coined as “state ibuism” by Indonesian feminist Julia Suryakusuma.[4]
As an emancipator and Indonesia’s first feminist, have Kartini’s ideas of gender equality been well received among Indonesian society? To some extends, the answer can be yes and no. As modernization and globalization wave from one place to another, our knowledge about the idea of gender equality has increased. Many women have gathered, being a voice instead of an echo. Feminist movements roar louder. Yet, our awareness and understanding is still shockingly hazy, and some people still see the world through patriarchal spectacles.
The most notable cases that have gone on for years are child marriage cases. Indonesia is one of ten countries with the highest numbers of child brides every year, with an estimated one in every five girls is married before the age of 18.[5] One of the key drivers is rigid gender norms, where there is a statement that “girls don’t need higher education—they will end up in their kitchen anyway”. Other drivers include poverty, economic dependency, financial incentives, dowry practices, lack of access to education and health service. Most marriages don’t end well; poverty keeps catching up while the young couple bears children, resulting in domestic violence, stolen dreams and childhood.
Perhaps we don’t realize, there have been many thoughts from Indonesian youth that have tendency to commodify women. You may have familiarized yourself with the analogy “women in modest clothes are like wrapped candies, they are more valuable because they are still pure and untouched”. This saying has analogical fallacy, because candies don’t have any reasoning capabilities, and they are only possessions, subjects to people’s satisfaction. Therefore, if you say that women are like candies, you practically agree that women are subjects to people’s satisfaction.
Another thing that indicates our awareness towards gender equality is still poor is the growth of rape culture in Indonesia. In a nutshell, rape culture is “a complex of beliefs that encourage male sexual aggression and supports violence against women”. This complex of beliefs includes, “Only ‘bad’ women get raped,” or, “Women incite men to rape.” This culture can be caused by the lack of sex education, patriarchal culture, and weak law enforcement.[6] What’s the evidence? In 2013, UN conducted a study about sexual violence in Asia and the Pacific, which found that 19,5% men in rural Indonesia, 26,5% men in urban Indonesia, and 40,6% men in Indonesia-Papua had committed rape at some time in their lives.[7]
It must be still fresh on your mind: the case of YY, a ninth-grader in Bengkulu, who was raped by fourteen men on her way home from school. This horrible case has summoned national outrage. Sadly, some people still blamed it on the victim; that she should have not walked home alone. Parents in YY’s village also feel the terror, and as result, they become more protective of their daughters. They make sure their daughters use water taxis, always have companies to walk home with, and dress more moderately.[8] This is a pattern that’s common in patriarchal society. When a woman gets raped by a man, other women get told how to dress and behave, meanwhile other men don’t get told not to rape.
Those are the evidences of how the battle that Kartini fought for then, is still raging on now. Instead of focusing on what kebaya to wear and win a fashion show competition with, it would be better if everyone takes their role and works together to solve every problem regarding gender equality issue.

REFERENCE

[1]Rahman Indra, “Apa Sebenarnya Isi Surat-Surat Kartini?’, National Geographic Indonesia, last accessed on 8 May 2016, http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/04/apa-sebenarnya-isi-surat-surat-kartini
[2] “J. H. Abendanon,” Wikipedia, last accessed on 8 May 2016, http://id.wikipedia.org/wiki/J.H._Abendanon
[3] Petra Mahy, “Being Kartini: Ceremony and Print Media in the Commemoration of Indonesia’s First Feminist,” Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific, Issue 28 (March 2012), last accessed on 8 May 2016, http://intersections.anu.edu.au/issue28/mahy.htm
[4] Jewel Topsfield, “Feminism in the spotlight as Indonesia celebrates Kartini Day,” The Sydney Morning Herald, last accessed on 21 April 2016, http://smh.com.au/world/feminism-in-the-spotlight-as-indonesia-celebrates-kartini-day-20160420-goalp2.html
[5] “Child Marriage Around the World: Indonesia,” Girls Not Brides, last accessed on 9 May 2016, http://girlsnotbrides.org/child-marriage/indonesia/
[6] Boby Andika Ruitang, “Indonesia, You Have a Rape Culture Problem. Stop Pretending that You Don’t,” Medium, last accessed on 8 May 2016, http://medium.com/life-tips/indonesia-you-have -a-rape-culture-problem-stop-pretending-that-you-dont-63d301bb021#.owr264e1a
[7] “The UN Multi-Country Study on Men and Violence in Asia and the Pacific,” Partners for Prevention, last accessed on 8 May 2016, http://partners4prevention.org/about-prevention/research/men-and-violence-study
[8] Christine Franciska, “How a rape that was ignored angered Indonesia’s women,” BBC, last accessed on 8 May 2016, http://bbc.com/news/world-asia-36200441


**originally written for an essay assignment in one of my class.