dimanche 8 septembre 2013

Like No Other Afternoon

Post it itu menggantung di meja resepsionis, nggak mencolok-mencolok amat sampe gue takut Ale yang kalau jalan jarang lirik kiri-kanan bakal menangkapnya lewat ekor mata. Belum lagi tulisannya yang kelewat kecil--salah gue juga sih. Tengsin amat gue nulis ajakan ngedate ke cewek pake pulpen glitter warna-warni.

"Umm, makasih ya Mas," gue menggaruk puncak kepala yang nggak gatal. "Tapi bener kan, Ale ada kelas hari ini?"

"Iya, bener kok Mas. Udah nulisnya?" Si Mas berkemeja necis di balik meja resepsionis cuma menaikkan alis melihat tulisan gue. "Another afternoon?"

Gue meringis sebelum cepat-cepat menjawab, "Makasih ya Mas," dan ngacir dari gedung kursus bahasa Inggris yang diikuti Ale. Menjejalkan tangan ke saku, gue jalan ke kafe sebelah, sradak-sruduk tanpa pandang bulu. Inilah hal yang paling nggak bisa gue kendalikan pas gue gugup; panca indra gue semacam out of control.

Hari ini, gue kepengin ngelarin semua masalah. Memutuskan this endless cycle, Ale yang menulis untuk gue dan sebaliknya. Pretending like we feel nothing, karena entah kenapa gue punya firasat Ale berharap gue nembak dia. Hari ini, gue pengin menghapus 'another afternoon' dari kamus kami, karena gue nggak akan melakukan kesalahan yang kayak dulu lagi; membuangnya lantaran gue bosan. Gue bakal menjemput dia tiap hari, nongkrong di kafe lain, dan list lainnya yang nggak bakal bikin Ale kehilangan ide cerita.

Sekitar setengah jam gue menunggu, akhirnya sosok itu datang juga. Ale, rambutnya sudah memanjang beberapa senti sejak pertemuan terakhir kami. Bajunya lebih ketat. Roknya dikecilin sampai nyaris span. Ah, gue lupa sekarang Ale udah senior, which means only one thing, she's in charge now.

Lebih dari itu, gue melihat bibirnya yang sedari tadi tersenyum lebih penuh, dan wajahnya berseri-seri. Bahkan mesti udah ngetatin baju dan ngecilin rok, cewek itu tetap anti memakai make up. Matanya berbinar-binar. Pasti mood-nya lagi bagus, yang membesarkan peluang gue buat diterima.

"Hey, I've got your note," celetuknya riang, as I don't know it. Maksud gue, mana mungkin dia ada di sini kalau belum, iya kan? "Jadi, ada apa? Gue belom ngerjain PR, nih."

"Hah? Tumben Miss Sophisticated males ngerjain kewajiban," gue ngeles, pura-pura basa-basi, padahal diam-diam gue udah nyaris pipis di celana.

"Blog lebih penting dari tugas," sahut Ale teoritis. "And passion is a way better than doing something you dislike by force."

"Oh, blog tentang gue ya?" Gue nyengir sekarang.

Alih-alih merespons, Ale mengeluarkan binder dan tempat pensil dari dalam tasnya. "Baca aja sendiri."
Maka gue menurut, mengeluarkan ponsel dan mencari WiFi, membuka blog Ale secepat mungkin. Gue baca title-nya berulang-ulang.

Galih dan Ratna. Apa-apaan? Gue lirik Ale yang sedang sibui menyumpahi PR Ekonomi-nya, lalu memutuskan untuk membaca.

Tiap paragrafnya terasa hidup, kayak gue dibawa ke tempat itu. Tapi lama-kelamaan, gue merasa tercekik. Ortu gue bukan diplomat. Gue nggak pernah tinggal di Bandung.

Itu semua hal yang dimiliki Fahran.

"Udah kelar?" celetuk Ale riang, mengamati gue yang terpekur membacanya.

"Udah," gue memaksakan senyum, "jadi..."

"Yap! Gue balikan sama Fahran malem Sabtu kemarin! Gue langsung nge-Skype dan...." Sisa ocehannya nggak bisa gue tangkap karena telinga gue serasa berdenging. Kalimat Ale menggantung di udara, menyerang gue seperti sebilah belati.

Gue balikan sama Fahran....

Dan kalimat gue sendiri, kalimat yang gue curahkan dalam wujud lain sejak gue mengajaknya dalam another afternoon pertama kami sejak putus, tertelan begitu aja. Pahit sih.

I love you. I love you. I love you....

Why?

Post it yang sudah gue siapkan untuk ditempelkan di depan Ale setelah ini nyaris remuk dalam kepalan tangan gue. Post it bertuliskan, "Whatever I'm trying to write, I'm always trying to write my way back to you:)" itu akhirnya gue tempel di kolong meja. Bodo amat, paling yang nemuin cleaning service.

"Bi, kok muka lo asem gitu, sih?" Ale cemberut. "Kasih selamat kek, apa kek. Kan ini berarti telinga lo udah dapet asuransi dari ocehan galau gue yang nggak penting."

"Ocehan galau lo nggak pernah nggak penting, Le, serius deh. Inspiratif," gue beneran tersenyum karena yang satu ini, gue selalu tahu kebenarannya. "Dan anyway, metyaw. Semoga langgeng selalu."
Ale bersorak dan berdiri, dan tanpa gue duga dia memeluk gue. Dia masih memakai cologne bayi seperti waktu dia bersama gue. Dia masih tercium seperti minyak kayu putih. Dia masih Ale. Dia tetap Ale, meski status kepemilikannya sudah ganti.

I love you, gue mengartikulasikan itu ke lehernya.

"Makasih ya Bi, udah selalu jadi temen yang baik buat gue."

I love you.

"Sama-sama. Lo juga, kok." Ia melepaskan pelukannya dan tersenyum.

Gue pura-pura melirik arloji yang melingkari tangan kiri gue, bangkit dan menunjukkan gurat penyesalan.

"Sori Le, gue mesti cabut sekarang. Gue juga masih ada tugas di rumah."

Ale kelihatan bingung. "Errr tapi kan kita belom ngobrolin apapun, lho."

"Gue emang cuma pengin say hi doang kok." Nyengir, gue membenahi properti yang berantakan di atas 
meja. Sebelum gue pergi, mungkin kali ini dari kehidupannya yang udah terlabel happily ever after, gue sempat menepuk bahunya sekilas dan berkata, "Whatever happens, just be strong, be true, be forever who you are ya, Le."

Dan sebelum Ale sempat menjawab, gue pergi. Gue pergi karena gue takut ekspresi yang Ale tunjukkan bakal bikin mulut gue keceplosan.

I love you.

***

Fabi nggak menulis tentang another afternoon kami di blog-nya, dan itu membuatku agak heran. Ini sudah nyaris dua bulan dan belum ada tweet atau blog atau bahkan post it ajakan lagi. Fabi hilang, seperti hantu, dan aku kembali kebingungan, seperti kali ia memutuskan hubungan kami.

Yang lebih parah, aku peduli. Aku peduli di saat aku seharusnya tidak.

Masalahnya, cuma pada Fabi aku bisa curhat tentang masalah kepenulisan. Dia mengerti. Dia mau mendengar. Dia bisa memberi sentuhan bersejarah dalam hidup karakterku. Dia bisa membuat mereka makin hidup.

Nggak seperti Fahran, yang bahkan pernah ngomong, "Kenapa kamu nulis? Itu pointless, apalagi nulis sesuatu yang kamu tau bakal bikin orang sakit hati. Immature." And I was like, "Siapa suruh mereka bikin aku sakit hati duluan?"

Tapi Fabi... dia mengerti. Dia seharusnya mengerti.

Aku nggak pernah memberi embel-embel "profesional" pada kata penulis kalau aku subjeknya, namun kali ini, aku merasa lebih buruk dari penulis manapun yang ada. Aku kehilangan sense menulis. Rasanya seperti tersesat. Rasanya seperti aku nggak mampu mencerna kata yang tepat. Penyakit lethologic-ku kumat lagi.
Jadi hari ini, kuputuskan untuk pergi ke kafe another afternoon-ku dan Fabi, sekadar untung mengenang. Mengenang kaca jendela yang membiaskan sinar matahari atau digurat rintik hujan. Mengenang cangkir kopi atau hot chocolate yang kami pesan. Aku nggak merasa sedih atau senang. Truth is, I feel nothing at all. Totally numb.

Tapi hei, bukannya aku punya pacar sekarang? Pacar yang, sejauh dan setidakpengertian apapun dia, akan selalu ada buatku. Aku menghela napas dan menyalakan laptop, dan menunggunya menyala, aku mengirim WhatsApp pada Fahran, "Hun, Skype yuk."

Aku mengkoneksikan WiFi dan membuka Skype, dan karena kecerobohanku, HP-ku sampai jatuh ke kolong meja. Menggerutu, aku merangkak ke kolong meja dan mengambilnya, dan mendapati kepalaku membentur meja.

"Shit," makiku gusar. Aku melihat meja itu kali ini, mundur dan mendapati sesuatu yang lain. Post it oranye menempel di sana, dan aku mencabutnya, membacanya di atas.

Whatever I'm trying to write, I'm always trying to write my way back to you.

Post it. Dan tulisan kecil solid. Tulisan yang mirip tulisan Fabi.

Apa ia datang ke sini setelah pertemuan kami dan mengajak cewek lain balikan? Tapi rasanya agak mustahil. Fabi nggak suka duduk di dekat jendela, ia melakukannya semata-mata karena aku menyukainya.

Jadi, post it ini ditujukan untukku? Pada hari aku mengumumkan aku balikan dengan Fahran?

Aku menelan ludah, and for no reason at all, I start crying. I feel the tears streaming down my cheeks.

Aku nggak menangis ketika Fabian meninggalkanku, meraba dalam gelap beberapa tahun lalu, lantas kenapa aku harus menangis sekarang?

"Ale, kamu nangis...?" Aku mendengar suara lain, dan sadar suara itu berasal dari headphone-ku.

Aku buru-buru menghapus air mata dengan punggung tangan.

"What's the matter, Le?" kejar Fahran di seberang sana, di Perth.

"It's nothing," dengan mudahnya aku berbohong. "Nothing."

Dan bahkan, walau ia sudah melihatku menangis, ia percaya aku baik-baik saja.

***

Apa yang terjadi dua bulan setelahnya: aku dan Fahran putus.

Sebenarnya ini bukan salahnya sih, ini salahku juga. Aku merasa nggak bisa menjadi diriku sendiri di sampingnya. Aku selalu berusaha menjadi seseorang yang ingin dilihatnya. Dan Fahran... dia menganggap remeh mimpi-mimpiku. I can't simply be with someone like him.

Anyway, dia akan pindah lagi ke Montreal, dan dengan mudahnya ia memutuskanku dalam dalam dua kalimat, "So what now?" dan "Are we done?" Aku nggak merasakan apapun sih, sampai sekarang, sumpah. Justru aku merasa lega. Lega dan bahagia, meski Papa sempat nyinyir menyindir, "Masa kamu lebih produktif ngasilin mantan daripada karya, sih?"

Tapi sindiran itu ada benarnya, karena kesibukanku yang kian menjadi membuatku jarang menyentuh laptop. Novelku nggak kelar-kelar dan itu menyebalkan. Karakterku seperti mati. Seperti... ya gitu. Bahkan meski aku punya waktu lebih luang, aku nggak bisa menyeret kakiku dan duduk di belakang meja komputer.

Post it dari Fabi, sementara itu, menggantung manis di atas meja belajarku. Whatever I'm trying to write, I'm always trying to write my way back to you. Aku pernah menanyainya lewat SMS, apa benar post it itu untukku. Yang ada dia malah mengganti nomornya. Usaha lain, aku mengirimkan tweet twitpic post it itu... dan nggak sampai dua menit namanya hilang dari daftar following dan followers. Akunnya deactivated. Usaha terakhir adalah menulis di blog, semua kisahku dan kisahnya..., dan kau pasti tau apa yang terjadi.

Blognya menghilang. Maybe he set it private and changed the URL, atau mungkin dia benar-benar menghapus blognya. Setelah semua tulisan tentangku! Dia menghilang. Dia menghilang lebih cepat dari kepul asap. Dan aku tak punya apa-apa untuk melacak jejaknya.

Malam ini hujan, dan aromanya menyusup melalui sela-sela jendela. Aku menghirupnya dalam-dalam. Seluruh kamarku gelap, hanya mendapat sisa remang cahaya dari ruang tamu atau kilat petir yang sesekali menyambar. Dulu, aku dan Fabi sering berandai-andai kalau kami adalah hujan. Apa yang akan kami bawa begitu kami datang?

"Rasa sejuk dan mood, dan kebahagiaan," begitu jawabnya saat itu, "kamu, Le?"

"Mmm, mungkin kenangan, kali ya," aku berhenti menulis dan menopang dagu. Kafe yang sama, beberapa tahun yang lalu, dan kami terpaksa menunggu sampai diusir karena hujan nggak kunjung berhenti. Akhirnya, kami terpaksa berlari menembus hujan di atas motor Fabi. Aku merasa menggigil, tapi juga bahagia. Rasa yang akan Fabi bawa seandainya ia adalah hujan.

Dan malam ini, sesuatu yang akan kubawa seandainya aku adalah hujan yang menghampiriku. Kenangan. Semua memori tentangnya, yang manis dan yang pahit, every ups and downs, laughter and tears. Every another afternoon. Everything I remember about him, everything I wanna be remembered for. Dan semua dorongan itu mengantarkanku pada tulisan ini.

Whatever I'm trying to write, I'm always trying to write my way back to you.

***

Paris, eight years later.

Meski hawa musim gugur sudah terasa, tapi Jardin du Luxembourg masih aja penuh. Penuh dengan anak-anak kecil yang cengengesan atau orang tua yang berjalan dengan bantuan tongkat. Carousel tua yang berada di dekat bangunan puppet show bahkan masih beroperasi. Semua orang kelihatan senang, ketawa-ketiwi seakan udah yakin bakal masuk surga. Gue, sementara itu, berjalan selamban siput, berusaha mencocokkan jalanan dan tiap penunjuk arah dengan peta yang gue bawa. Gue lapar dan kesasar, dan bahasa Prancis gue masih jauh dari kata bagus. Terakhir kali gue nanya ke seorang cewek, yang ada gue malah ditampar. Belakangan Jacques, kawan sekosan gue, baru bilang kalo kesalahan kecil dalam pertanyaan gue mengubah kalimat yang gue ucapkan menjadi, "Mbak, ukuran branya berapa, ya?"

Dan kesialan gue belum berakhir, rupanya. Baru berhenti sebentar, tiba-tiba seorang bocah lelaki berambut pirang menabrak gue, es krim yang dibawanya mengotori jaket yang baru keluar dari tempat laundry. Si bocah marah, padahal jelas-jelas dia yang salah! Tapi, sebelum gue sempat marahin dia balik, seorang cowok berambut tak kalah pirang berteriak, "Pierre! Ici! Ici!"

Pierre si bocah tengik lanjut berlari, dan gue cuma bisa menatapnya dengan pandangan nggak percaya.

"Monsieur, pardon, pardon. C'est mon...."

Orang yang menghampiri gue nggak bisa menyelesaikan kata-katanya, dan mendadak gue tahu kenapa. Gue merasa gue cukup mengenalnya. Mata gelap yang menari. Bibir penuh yang selalu dilekati senyum. Wajah yang selalu terlihat ekspresif. Tubuh yang mungil, so delicate that everyone would wish to hug her.

Elmira Alesa.

Gabungan lapar, bingung, dan kesal bikin gue sempoyongan, dan Ale mencekal lengan gue di saat yang tepat.

"Uh, thanks, thanks," ucap gue, nggak menemukan kata lain untuk dilontarkan.

"What are you doing here?" tanya Ale, suaranya tercekat, dan gue melihat emosi berkelebat di matanya. Ia berdeham dan berusaha tersenyum, kikuk. "Comment vas tu?"

Gue memandangnya makin bingung. "Indonesia aja, oke?"

Ale rupanya mengatakan semua bahasa planet itu di luar kesadarannya, karena ia menggeleng dan berkata, "Sori, sori. Confusion has made me bilingual."

"Sama, gue juga bingung," gue berusaha bersikap sekasual mungkin. Cewek ini. Cewek dari masa lalu. Cewek yang gue harap gue lupakan tapi selalu gue mimpikan kehadirannya. "Erm, apa kabar, Le?"

"Better than ever," sahutnya, "lo sendiri gimana?"

"Okay, so does everything," gue mulai berjalan dan ia mengikuti, "anyway, yang tadi itu anak lo?"

"Anak?" Kening Ale mengernyit dan detik berikutnya ia tertawa. Ngakak. Kebiasaan ini nggak berubah, rupanya. "Pierre, maksud lo? Nggak lah, bukan, bisa stres gue punya anak secerewet dia. Dia anak bos gue." Kemudian ia menunjukkan label Theatre des Marionettes di dada kiri kaus ungunya.

"Lo jadi... eh, story teller?"

"Yap. Setelah sekian lama, I finally found out I couldn't do something away from literature," jelas Ale bangga, "lo sendiri gimana?"

"Hubungan internasional, Stanford. Gue ke sini buat nulis skripsi, abis dapetnya perusahaan di sini." Gue menghalangi sinar matahari yang merembes melalui dedaunan hijau. "Lo masih kuliah? Atau gimana?"

"Gue udah lulus tiga bulan lalu, jadi sekarang hidup gue cuma melingkupi studio dan nih taman. Tiap pagi, gue bakal bangun dan nulis di depan jendela, dengan pemandangan kota Paris di luar sana. Such a wonderful city for artists and writers, you know. Gue kerja, dan malemnya gue bakal nulis lagi. Dan... oh ya. Creative writing Sorbonne," Ale tersenyum, "who can guess I've come this far, huh? Paris, Sorbonne, dan nulis. Everything I was afraid too good to be true."

"Your dreams have drawn your path here," gue berkata bijak, "wait, wait, creative writing Sorbonne? Jangan bilang yang nulis Like No Other Afternoon itu lo?"

Ale tersenyum ganjil. "Lo udah baca?"

"Tiga hari lalu gue ke Shakespeare & Co., jadi gue beli. Abis namaya E. Alesa. Tapi belom gue buka sampe sekarang. Gue bawa ke mana-mana, sih."

Mendadak, Ale berhenti berjalan dan memutar tubuhnya menghadap gue. Matanya kembali menari. Kembali bercerita. "Kenapa lo belom buka buku gue?" Suaranya rendah, namun menantang.

"Soalnya..." gue menelan ludah, tapi mendapati Ale yang menatap gue dengan mata menarinya, juga sinar matahari dan aroma daun gugur, gue tahu I can't hold it any longer. "Soalnya gue takut itu tentang Fahran lagi. Gue takut apa yang gue lihat bakal bikin gue kabur lagi kayak delapan tahun lalu."

Ale tak bicara, tak menjawab, dan gue bersyukur atas keheningan itu.

"Gimana kalo lo buka itu sekarang?" tanyanya, kali ini suaranya seperti ia akan menangis.

Gue manut dan membuka ransel yang gue cangklongkan, mengambil buku karangan Ale yang lumayan tebal. Like No Other Afternoon, yang kovernya seorang cewek yang seorang cowok bergandengan tangan di jalan raya, sinar matahari membuat sosok mereka nge-blur. Gue membuka plastik pembungkusnya dan membaca halaman pertama.

Reaksi gue kayak kesetrum. Atau tersengat.

Di halaman pertamanya, tertera nama gue. Fabian, persis di atas tulisan, "Whatever I'm trying to write, I'm always trying to write my way back to you."

Belum sempat gue bergerak, Ale menempelkan sesuatu di samping lembar persembahan. Post it dari gue, yang gue tempel di bawah meja kafe itu.

"Salah kalo lo bilang cuma mimpi gue yang bawa gue sampe ke sini, Bi," bisiknya, butiran air berebutan keluar dari kelopak matanya, "post it ini yang bawa gue sampe sejauh ini."

Untuk sesaat kami cuma diam, cuma mendengar suara hembusan angin dan teriakan anak-anak. Cuma menatap satu sama lain dengan kehausan yang nggak bisa gue jelaskan. Sementara gue melarikan diri, post it itu membantu Ale mencari gue, dan menemukan dirinya sendiri.

Gue nggak ingat-ingat amat apa yang gue katakan setelahnya. Yang gue tahu, gue memasukkan buku itu kembali ke tas, dan tangan gue mencari jari-jari Ale, jari yang telah mengurung hati gue dalam genggamannya delapan tahun lamanya. Gue berjalan, dan ia mengikuti, bahkan tanpa takut gue yang disoriented bakal menyesatkan dia atau gimana.

Mungkin Ale akan kembali mencerocos panjang soal kehidupannya, atau mungkin kami akan kembali berbincang-bincang soal Nazi. Mungkin kami akan kembali menemukan tempat yang asyik untuk bertemu kembali. Mungkin gue akan membuka kembali blog gue dan membalas semua cerita yang ia curahkan dalam buku itu.

Dan setelah sekian lama, akhirnya gue tahu segala filosofi dari another afternoon. Kenapa kami selalu melakukannya secara spontan. Kenapa kami nggak pernah marah kalau sudah menunggu lama dan salah satu nggak datang. It's because we live for the present. We don't look back; we never expect the future. We let everything flow just the way it should. Because if we're really meant to be, the flow will gather us at some point of our lives, maybe to infinity and beyond.

And for some time now, the present is enough, and that's all I need to know.

8/9/2013, 11:42 pm.

for this wonderful guy I met in the parking lot,
the guy who told me to be strong, be true, be forever who I am.
Whatever I'm trying to write, I'm always trying to write my way back to you.
(and happy birthday, by the way)

dimanche 1 septembre 2013

Cerita dari Meja Laptop

Oke. Di saat lo lagi baca nih post, mungkin gue lagi metong kegerahan. Atau tengah menuju proses pengeriputan. Seriously, gue nggak bisa buka internet di laptop gede gue tanpa berkeringat dan keluar urat. Nggak ngerti kenapa, laptop gue kalo udah dicolok ke modem jadinya lemooot bgt. Bukan, bukan lemot loading-nya. Lemot buka Google, lemot buka Ms. Word, dll.

And it drives me crazy everytime I have assignments to work out. Gue punya satu netbook bermerek sama, loading cepet, tapi... modem gue nggak pernah ke-detect tiap nyolok di sana.

*brb ambil bambu runcing*

Ortu gue udah berulang kali nawarin beli laptop yang lebih baru dan muda, tapi gue berulang kali nolak. Mungkin ini cliché dan pointless mind, tapi gue ngerasa laptpp gue punya sentuhan magis sendiri. U no what, gue nggak bisa ngelarin sebuah tulisan di device lain. Harus dimulai dan diakhiri di laptop ini, bahkan biar di tengah jalan gue gonta-ganti partner. Rasanya kayak... jari-jari gue udah bisa nentuin sentuhan keyboard mana yang berfungsi baik. Atau semacam itu.

Gue adalah tipikal believer sejati, jadi gue percaya kalo laptop gue itu lucky charm gue. Rada tolol sih, tapi itu bener. Bukannya gue syirik atau apa, kalo kalian Potterhead dan hafal apa yang Harry bilang ke Hermione waktu tongkatnya dipatahin Basilisk, kira-kira seperti itu perasaan gue. Things are not the same without my laptop.

Dan gue juga ngerasa nggak tega nge-replace laptop gue. Rasanya kayak, habis manis sepah dibuang. Ibarat kata nih kalo orang pacaran, lo udah dipelukin, diciumin, bela-belain beli pulsa, eh si doi nyelonong pergi gitu aja pas ngeliat yang lebih cakep. Gimana perasaan lo andai itu terjadi sama lo, hah? Gue ulang biar lebih dramatis, GIMANA?

*ini kenapa gue jadi nyari temen*

Anyway, laptop gue juga punya history yang panjang. Nggak kayak AJS, anak jaman sekarang, gue butuh perjuangan sampe berdarah-darah demi laptop itu. Gue baru punya laptop itu kelas lima SD, setelah bokap beneran yakin gue cukup berprestasi dan serius menekuni dunia tulis menulis. Gue inget rasa senengnya kayak apa... soalnya gue ngerasain banget bung, yang namanya ngacir ke warnet yang jauhnya naudzubillah atau diusir dari rumah tetangga gegara kelamaan minjem PC mereka demi ngelarin cerita. Gue inget betapa fun-nya gue, ngetik ulang semua cerita yang gue tulis tangan. Ngegambar acakadut di drawing, gonta-ganti wallpaper, mainan Pinball. Everything was so simple back then.

Waktu buku pertama gue, My Little Strawberry, terbit, gue inget benda yang pertama gue peluk dan ciumin adalah laptop gue, karena dia adalah saksi nyata tangan-tangan gue menghasilkan buku itu, karena tanpa dia, gue bukan siapa-siapa sekarang, biar kata gue teteup masih bukan apa-apa sih. Sumpah gue ga ngerti inti paragraf ini tuh apa.

Jadi ya gitu, gue nggak pernah tega ngejual nih laptop, karena dia adalah salah satu partner gue yang paling setia. Temen yang ga pernah ninggalin gue dalam gelap karena dia punya cadangan listrik (bodo amat Cha), sekaligus temen paling moody karena dikit-dikit ngeheng. But still, I love you so much, laptop<3

Rada nyeleneng dikit sih nih, tapi gue ngerasa tulisan itu juga ada magic-nya. Buktinya apa? Pas gue break nulis blog ini, modem gue ke-detect di netbook dan tugas gue kelar HOORAYYYY \^^/

Jadi, ini ceritaku. Apa ceritamu?