mercredi 12 novembre 2014

Pain, Sometimes

Now I understand why
Some people are found dead
with a deep slit
cut their wrist

Now I understand why
Some people look serene
like greeting fairies from folklore
while their blood scatters on the floor

Now I understand why
Some people volunteer going to war
and come back with immortal scar
and end up dying
for souls they owe nothing

Now I understand why
Some people dare to date Elmaut
unafraid of being cursed
by running until they burst

Now I understand that
pain, sometimes
can be the only cure
for loss
and loneliness

12/11/2014, 4:14 pm

jeudi 23 octobre 2014

Siang ini, di sebuah Metromini

"Cause what about, what about angels? They will come, they will go, make us special."
Not About Angels - Birdy

This is gonna be a super short and useless post, but I'm writing this for a fact that writing is especially cathartic.

Berhubung hari ini, dan empat hari sebelumnya, sekolah gue ada UTS, gue sama temen-temen anak BTA yang lain konsul di BTA Taman Puring. I've been so used to doing these repetitive activities that I can't see anything anything remarkable, day to day. Tapi siang ini, di sebuah Metromini, gue menemukannya.

Tiga puluh menit sebelum gue di Metromini, gue asyik cerita-cerita dan ketawa cekakak-cekikik sama Rini Mitha Noly Cheryl Nadya, ngegosipin kepsek sendiri sampe kepsek sekolah lain, sampe Rini cerita soal mitos kuntilanak yang terbukti benar dari tontonannya di Hitam Putih. I can't write the details soalnya bakal bikin lo ga nyaman dan ga appropriate aja rasanya HAHA. Terus berhubung kita juga baru kelar bahas soal latihan buat ulangan geografi besok yang materinya Inderaja, Rini tiba-tiba nyeletuk, "Tapi bisa lho, lo nge-detect penampakan pake kamera thermal. Ada application-nya di Play Store." Lagi asyik-asyiknya ngobrolin soal "dunia lain", lampu ruang santai BTA tiba-tiba mati.

Yang lain sontak teriak, tapi gue bengong diam statis aja gitu di tempat. Trus gue ngomong, "Teguran kali, ada yang nggak suka kita omongin." I just blurted out those words without calculating the effect that soon followed. Temen-temen gue makin parno, gue juga ikutan merinding. Akhirnya kita semua turun ke ruang santai di lantai satu, tapi topik masih belum diganti. Rini yang ikut Sisga (ekskul pecinta alam di 70) malah cerita soal kejadian "spesial"-nya semasa naik gunung. Mulai dari yang disasarin lah, ada kepala di pundaknya lah, sampe orang-orang yang dia kenal yang kerasukan sampe hampir lompat tebing.

Keasyikan ngobrol, gue sama Cheryl ga nyadar kalo langit udah mendung, sedangkan bus 614 itu LAMA BANGET datengnya. Selangka itu. But Fortuna shot me with a luck. Gue sama Cheryl bahkan ga nyadar kalo ada 614 yang lewat di samping kami persis waktu lagi ngobrol pas nyebrang.

And again, we were lucky. Masih banyak tempat duduk kosong, mungkin karena belum jam pulang kantor. Gue sama Cheryl duduk di belakang seorang kakek-kakek. Di jalan, gue nunjukin beberapa toko di kanan-kiri bus like a tour guide. I love it actually, pretending to be a tourist in my own city.

Begitu Cheryl turun di Barito, gue pun gabut. Nggak ada musik, gerimis mulai turun rintik-rintik. Berhubung gue paling anti (baca: kapok) tidur di bus soalnya pernah kelewatan halte sampe nyasar dan ngerepotin Refal (luv u, Fal), gue pun menajamkan indra gue. Gue celingukan ke kanan-kiri, merhatiin kucing dan anjing di toko-toko hewan sepanjang Barito, looking out of their cage with watchful eyes and bored gesture. Pas Metro udah lewatin Barito, gue mengalihkan perhatian gue ke penumpang bus yang lain, khususnya kakek di depan gue. Dia pake kemeja kotak-kotak yang warna birunya memudar, gagang kacamatanya diselotip, dan rambutnya udah 75% memutih di bawah topi merahnya.

And as soon as I looked at his cap, I got a sudden lump in my throat. Ga tau kenapa, dia ngingetin gue sama almarhum kakek gue, yang meninggal waktu gue kelas 5 SD. I know it's been so long, tapi dari cerita bonyok dan oom dan tante gue, I was his closest granddaughter. Almost every afternoon, he took me for a walk, wearing his red cap. Dia beliin gue es krim dan mainan, dan bahkan walau my mother shot him with disapproving look as we got home, beliau ga pernah kapok beliin gue apa yang gue mau.

Gue buru-buru merhatiin hal lain, lagi males baper. Tapi ga lama kemudian, di lampu merah, si kakek manggil tukang koran yang kebetulan lewat. Dia mau beli koran Kompas, tapi harganya ternyata empat ribu. Gue udah keluarin uang gue dari saku, mau bayarin, tapi urung. Si kakek akhirnya ngambil Pos Kota, dan tukang koran ngasih potongan 500 perak.

Ga lama, Metromini jalan dan berhenti lagi. Ibu-ibu yang ada di seberang si kakek turun. Si kakek berdiri dan ngoper plastik merah bawaannya ke kursi itu, sama korannya juga, and I noticed his hands and his feet were shaking. Terus korannya pun terbang ke tangga pintu depan. Si kakek teriak-teriak ke supir Metro, minta diberhentiin, dan dia udah jongkok buat ambil korannya, tapi gara-gara banyak motor, dia ditegur sama penumpang lain yang takut beliau kesamber. Akhirnya beliau duduk lagi, itu pun dinyinyirin sama si kernet dan penumpang bitchy di belakang gue. As he sat, he looked so empty. Koran itu belum dia baca sama sekali. And for inexplicable reason, his fragile back broke my heart.

Saking emosinya sama si kernet, gue ga sadar kalo Metro belok ke tikungan yang berlawanan sama tikungan ke rumah gue. Sama penumpang cewek di depan, gue teriak-teriak minta diturunin soalnya busnya ngebut. Waktu berdiri, I nearly lost my hold from the trail, sampe gue oleng. Si kakek pun narik tangan gue, nyegah gue dari jatuh. Gue bilang makasih singkat, terlalu terpana sampe diteriakin kernetnya, "Dek, mau turun ga?!" Si kakek nepuk punggung gue, and I saw his wrinkled hand, dan gue tiba-tiba inget setiap kali gue salim ke kakek gue sebelum dan sepulang sekolah.

Gue akhirnya turun dan lari. I cried. Cewek yang tadi turun bareng gue lari nyusul gue dan tiba-tiba nepuk bahu gue dan nanya, "Kenapa nangis?" Gue cuma bisa geleng ga jelas. Ga berapa lama, si cewek ngasih gue plastik bening dari tasnya sebelum lari sambil teriak, "Duluan yaa!"

Di tengah jalan, di tengah hujan, gue bengong total.

Gue akhirnya make plastik itu buat HP gue yang udah sekarat, wondering if she was an angel, the girl who talked to me. Everybody knows the superstition. Konon, ada malaikat yang jatuh bersama bulir hujan. Makanya kalo ada hujan ga boleh ngeluh, soalnya pasti adaaa aja rezeki. Gitu sih kata nyokap gue. Selama ini gue cuma mikir kalo teorinya cuma berlaku buat tukang ojek payung, but well, now I believe that.

Gue jadi mikir. Cewek malaikat itu baik banget. Dia pasti udah niatin bakal ngasih plastik itu ke gue, dan ga ragu karena gue orang asing. She acted her intention out. Sedangkan gue... andai gue memverbalkan pikiran gue buat bayarin koran si kakek, who until now, still reminds me of my deceased grandpa.

And then I ran home, carrying my phone in a plastic bag, crying.

dimanche 19 octobre 2014

Akankah kaukenang, jingga cakrawala petang itu?
berkaca pada luas samudra
nyiur melambaikan salam perpisahannya pada sang surya
langkahmu menyusuri tepi kubakan
tak takut akan apa yang mungkin kautemukan

Malam itu, kutemukan bintang di bawah telapak kaki
Siapa yang berani mencurinya dari sang langit?
Malam itu, temaram bulan pun kuabaikan,
karena ada jutaan cahaya cerlang,
terpancar di bawah kanopi kafe-kafe pinggiran

Kau menamai permainan ini "menggoda ombak"
kita berlari menyusuri gelombang dan mundur perlahan-lahan
matamu berair, tersedak pasir
Dari lambai rambutmu, dan deru angin di telinga
aku tahu kita menari
aku tahu alam menabuh musik di antara pijak kaki
buih yang pecah setelah menabrak karang
akankah kau mengenangnya?

Karena akan kukenang, hangat tanganmu kala kugenggam
Akan kukenang, aroma laut yang disamarkan wangi masakan
Akan kukenang, ujung celana yang tetap basah meski kugulung
Akan kukenang, petikan gitar dan kicau burung

Kawan,
seperti malam ini, kau tak terlupakan

Jimbaran, 20 Juni 2014

samedi 11 octobre 2014

Good things (never) happen to those who wait

Sebelum kening kalian mengernyit gegara bingung sama judulnya, di mana gue menjungkirbalikkan paradigma "good things happen to those who wait," let me get it clear.

Ofc, "wait" di sini konotasinya negatif. I'm a notorious waiter known for procrastinating everything in sight. Apa-apa ditunda terus. Gue selalu kepingin nyari waktu sempurna dan pas buat ngelakuin sesuatu, but the time often slips before I realize it. The thing is, people, you'll never guess what could happen next.

Kayak kondisi gue sekarang contohnya. When I faced my mirror, I saw a bleary-eyed girl with crumpled face. Fyi, gue nggak tidur semaleman. Dan itu semua karena gue... nunda-nunda kerjaan.

Tempo hari gue beli buku di Books&Beyond, terus ngopi-ngopi cantik bareng Fajri my beloved friend. Pas pulang, I was tired but I knew I could read some pages, tapi gue malah leyeh-leyeh ga guna sambil main HP. AC gue nyalain ke suhu 16. Akhirnya gue nggak dapet apa-apa. Gue nggak sempet tidur siang juga soalnya keburu maghrib.

Abis salat maghrib, nyokap beliin gue kwetiau, yang gue tunda-tunda juga penyantapannya. Gue sibuk ketak-ketik laptop, ngelarin cerbung gue di Ms. Word, sambil ngopi. I'm sorta helpless to write without coffee. Udah kelar, gue nyalain internet. Gue buka blog private gue. Gue copas tulisan di Ms. Word ke sana. Everything had gone smoothly until my laptop went blank, right before I clicked "Publish post".

Gue nyante-nyante aja tuh. Gue nyalain juga charger-nya. Nggak sampe dua menit sejak gue nge-sync charger...

listriknya mati.

Gue mulai nggak santai. Kata nyokap sih, gardu PLN deket rumah kebakar, makanya mati listrik. Ya udah. Akhirnya gue turun dan makan kwetiau. Abis itu balik lagi ke kamar, only to realize... God, I was so helpless without electricity. Gue nggak bisa baca buku. Gue nggak bisa nyalain laptop. Sampe sinyal internet gue juga ngaco.

Akhirnya gue putusin buat tidur. Gue buka jendela, biar nggak panas banget gitu biar kata AC mati. Guess what?

Banyak nyamuk.

Gue emang paling anti sama makhluk yang satu ini, akhirnya gue tutup jendela. The situation happen next fulfilled my bet. Panasnya minta ampun ya Tuhan. Gara-gara nggak tahan, gue pun ke kamar adik gue dan ngambil Baygon.

"Eh, mau lo bawa ke mana Baygon-nya?!" Tiba-tiba adek gue bangun.

"Nyemprot nyamuk," jawab gue setengah hati.

"Tolol. Lo mau rumah kita kebakaran?"

Asli, gue udah tertohok banget sama omongan nyolotnya itu, but I found the thought made sense. Iya ya. Di sekeliling rumah lagi banyak lilin. Banyak api. Semprot minyak tanah mah sama aja cari mati.

Finally I went back to my bedroom and tried to sleep. I failed miserably.

Lalu gue inget gue udah nenggak dua gelas  kopi seharian ini.

Gue pun terlentang menatap langit-langit. Nyamuk-nyamuk ngerubung gue. Perut gue keroncongan. Mana malem-malem kayak ada yang jalan di atap gue, pula. I haven't slept. Hingga sekarang.

Gue jadi mikir, what if I had worked my ass off earlier? What if I had typed my stories once I got home? What if I hadn't drunk that goddamn coffee?

Now you meet my endless what-if list.

Bukan sekali ini aja sih gue kena masalah gara-gara kopi. Beberapa minggu lalu, gue kepingin banget cappucino cincau di sekitar rumah gue. Nggak deket, tapi nggak jauh juga. Kayak dari Bulungan ke Blok M Square gitu lah jaraknya. Akhirnya gue ke sana, jam 12, panas-panasan, dan guess what?

Tokonya belom buka, nyet.

Berhubung gue orangnya harus ngedapetin apa yang gue idamkan kalo udah setengah jalan, gue pun mikirin cara lain. Gue ke minimarket di belakang tukang capucin, beli kopi sendiri, dan pulang. Gue beli es batu dan getok sendiri. Gue bikin kopinya sendiri. Gue masukin es batunya, dannn....

Gelasnya kesenggol siku gue sampe jatoh.

Seakan belom cukup sial, nyokap gue ngamuk dan nyuruh gue ngepel+cuci barang-barang yang kena kopi gue. Gue laksanakan juga titah baginda. Sambil nangis-nangis bombay ceritanye. Kelar cuci piring dan ngepel, gue bikin kopi lagi. Dari awal. Gue bawa ke kamar gue. Pas gue mau ambil buku, gue sadar badan gue lengket sama keringat dan sisa tumpahan kopi.

Seogah-ogahnya gue, gue tetep mandi. As always sih, I made wrong choice.

Pas gue kelar mandi, kopi kedua gue udah dirubung semut.

Here came my earlier what-ifs. What if I had drunk that coffee before I bathed? Mungkin bakalan worth the struggle.

Itu baru yang berkaitan sama kopi. Minggu ini, entah udah berapa waktu yang gue abisin buat hal-hal yang sia-sia. Senin kemarin, gue bolos demi bikin KTP. Pas udah sampe di kelurahan, orangnya bilang belom bisa bikin KTP kalo belom ultah. Kamis-nya, waktu ada event lomba menyambut ultah 70 sekolah kami tercinta, hampir sekelas gue pada cabut. Gue masuk soalnya nggak enak kan, udah bolos sehari.

Sekelas gue akhirnya cuma sembilan orang yang masuk dan guru-guru terlalu sibuk ngurusin lomba. Akhirnya gue gabut 8 jam. Gue tidur-tiduran. Gue ngobrol ngalor ngidul sampe pulang. Gerbang baru dibuka jam tiga lantaran satpam yang jagain ikut lomba voli. And it was too late to go to Books&Beyond and do my bookshopping. Pas di jalan, gue lupa gue belom ngerjain tugas akuntansi gue yang bejibun. Akhirnya gue pulang, berlinangan air mata, cursing both my stupidity and my teacher's lies. Katanya pulangnya jam 12. Bullshit.

Berhubung gue udah terlanjur nggak mood parah, gue bolos kursus Prancis gue. Gue curhat ke Fadli, my lovely psychologist to be yang sekarang S2 di salah satu PTN terkemuka (nggak setermuka UI, tetep:p). Katanya, gue butuh hippo time.

I actually had no idea what hippo time was, so I Googled it. Fadli orangnya nyolot, kalo gue nggak tau pasti dicak-cakin bego. Padahal teori labelling itu dilarang dan fatal. Gimana sih lo.

Anyway, hippo time ternyata, harfiah gampangnya, "berkubang" dulu dalam kesedihan kita. Ngasih diri kita waktu sebelum menapak tahap SUMO: Shut Up and Move On. Waktu gue pamerin kecerdasan superfisial gue ke Fadli, doi bilang, "Manusia sama kuda nil tuh 11/12. Kuda nil berkubang, manusia berkabung." He stated something original, like ever, and his saying made into my favourite quotations list.

Dan lo tau lah, apa yang gue lakuin di masa-masa hippo time gue.

Yak, procrastinating.

Once again, I drowned in grieve begitu sadar kerjaan gue nggak kelar. Sebelum gue ngetik post ini pun, gue SMS Fadli, and wise as ever, he said, "Nothing to lose kok Cha."

Dan gue kayak, "I lost lots of time."

Dia bales, "You didn't lose what you've learned, though. And you've got another story to tell."

His advice opened my eyes. So I here I am, writing this story, nungguin listriknya nyala (udah sebelas jam woy matinya), hoping I don't lose anything anymore.

Kids, don't procrastinate. I'm serious. It's bad for your health. Good things never come to those who wait. Good things happen to those who work their asses out.

Do it now. Sometime "later" becomes "never".

jeudi 4 septembre 2014

Great things are coming

Hi, guys. Maaf kalo title blog ini terkesan sedikit narsis (atau nggak "sedikit"?). But for me, great things are really coming. I've been spending the last three months keeping out touch of this blog for these beauties (and other beauties as well).

1. Buku baru kedelapan dan kesembilan.
The left one is the 8th. It was called Nathan's Secret actually, tapi karena kebijakan editor (cieh), dipersingkat jadi Bluish #2 aja. Nunggu "kelahiran"-nya selama dua tahun sejak kontrak, so it's really my first baby in two years, since my last solo book in 2012. Ceritanya masih lanjutan dari Bluish #1 yang terbit tahun 2012, kelanjutan petualangan our legendary rockin' Blue Gill, masih berpusat pada kegiatan nge-band Blue bersama Bluish dan aktivitas di asrama Champion yang jauh dari kata "biasa". Yang membedakan dari buku pertama, mungkin konfliknya lebih belibet dan Nathan... well, he transformed a bit from the first book. But I'll bet you love the newer him. Dan buat yang belum beli Bluish #1, don't worry, semua ceritanya (akan ada empat buku di seri Bluish) beda kok walau satu seri. Mungkin kamu bakal butuh adaptasi dengan semua karakter, but one reader told me she could read without any problems. Jadi penasaran malah, sama buku pertamanya.

Jangan lupa dibeli ya guys!


The right one... baru terbit Agustus bulan lalu. Pertama kali ngeliat cover-nya, I was horrendous and beyond speechless, soalnya gap waktu terbit antara beliau (?) dan Bluish #2 cuma selang tiga bulan. And it's my 4th book coming this year, so yeah, call me undeniably fortunate.

The story revolves around Emmeline, atau Emma, atau Em, cewek 14 tahun anak diplomat yang keluarganya terpisah-pisah jauh. Karena suatu masalah, Em depresi dan memutuskan kabur dari rumah dengan tuntunan sebuah jurnal yang isinya teka-teki tantangan mengelilingi beberapa negara. Kalau Em sukses ke tujuan akhir, Em bisa ketemu sama si pembuat jurnal. Em mengubah namanya menjadi Seinee, menyamar menjadi cewek yang nggak tahu apa-apa soal traveling, dan di salah satu destinasi pertama di tantangan jurnal, dia bertemu dengan Kent dan Rae, yang menjadi partner seperjalanannya.

Pertanyaannya: apakah garis finish benar-benar ada... atau hanya eksis dalam harapan seorang Emma?

Baca kisah lengkapnya di Journal of Parisien Girl! ;D

2. Pentas teater.
It's my 7th theatrical performance, the 3rd one for Festival Teater SLTA, walau dari ketujuh-tujuhnya itu, gue cuma main empat kali. Di sini gue berperan jadi seksi properti bersama hunny bunny sweety Tyas, dan kalo mau tau riwehnya jadi tim produksi, bisa scroll down sedikit.


Semua keterangan tentang pementasan bisa dilihat di poster di atas. Ayu ini ceritanya... tentang seorang anak yang ayahnya bisu dan di-bully sama temen-temennya. Sebisa mungkin gue menjadi objektif di sini, menurut gue it's a show worth watching.

Kalo ada yang mau beli tiket, bisa hubungi gue juga di ID Line Eshawn atau via BBM 7DCEBC48.

C u there! :D

lundi 1 septembre 2014

Agustus, Oh Agustus

Agustus adalah bulan dari banyak awal dan akhir di hidup gue. Awal jadi anak kelas 12 yang dikit lagi UN, awal semua migrain dan keluhan capek, awal kegilaan dan adaptasi. August wasn't intentionally easy for me. In fact, it was painstakingly hard that I thought at some moment or another I'd reach the point where I would break down to pieces.

It didn't happen, though. Semuanya baik-baik aja sampe sekarang. Kalo nggak, mungkin gue nggak akan nulis blog penuh bunga ini. Just like this legendary quote someone always assures me to believe, "Everything will be okay in the end. If it's not okay, then it's not the end."

Terlalu banyak yang terjadi di bulan Agustus sampai gue sendiri bingung mau nulis dari mana. Awal masuk sekolah setelah hampir dua bulan (libur akhir semester+libur lebaran) leha-leha di rumah. Begitu masuk, BOOM, langsung dihajar tugas-tugas. Guru-guru pada tancep gas. Temen-temen gue kocar-kacir cari tempat bimbel meanwhile gue masih labil mau ikut bimbel atau nggak.

Hari pertama masuk aja gue udah dikasih kejutan. Tahun lalu, kelas tiga nggak diacak muridnya, jadi masih sama kayak kelas dua. Jadilah gue ngaso dan santai-santai aja. Nggak taunya diacak. Adaptasi sama kelas baru, sama suasana dan temen-temen baru. Not especially easy for me yang udah sangat betah dan klop di XIS-1. Everything's okay in the end, tetep. I make friends and the process somewhat is really fun, since I enjoy meeting new people.

Adaptasi juga sama guru-gurunya, dan jujur, yang ini gue lumayan jet lag. Hampir semua guru gue diganti, guru-guru kelas dua kesayangan gue yang santai selalu:') Dan sekarang, I gotta deal with guru yang hampir selalu ngasih tugas tiap pertemuan. Sehari bisa ada enam tugas yang ngabisin berlembar-lembar folio. Tau sih, maksudnya biar kami belajar soalnya udah deket UN, tapi lumayan babak belur juga. Jangankan buat main, deh, buat napas atau nyantai aja kadang susah cari celah.

Ngerti kan, kenapa sekarang gue jarang update blog? Menuntaskan tulisan wajib gue yang mungkin bisa di-publish secara cetak aja jarang banget ada waktu:')

Agustus juga jadi awal mula bagi ekskul baru gue, PMR 70. Sebenernya dulu udah ada PMR, cuma entah benang merahnya putus di mana, ekskul itu sempet mati suri, dan yang membangun adalah gue, Tyas, Lisa, Fianu, Raka, Winona, Zakky, Ulva, Wina, Trisna, Candrika, Aul, Zikra, Ayu, Nisa, Hana, Sofi. Hafal kan gue 17-nya yay! We're a new family, guys:') The struggle, again, wasn't the easiest one either. Kita berulang kali debat, ketemuan pas lagi liburan buat bahas proposal, nyerahin proposal, disuruh revisi, bikin lagi, debat lagi, begitu siklusnya. Sampe akhirnya kunci ruang PMR ada di tangan lagi... rasanya tuh, wah, nggak sia-sia perjuangan. Anyway, gue di sini sebagai sekretaris (lagi), yang job description sehari-harinya pacaran sama laptop dan kertas dan printer.

Agustus juga officially menjadi garis start perjuangan tim produksi Ayu, pentas Teater 70 yang bakal diadain tanggal 15 September 2014 di GJRS Bulungan nanti. Gue sama temen sehidup tapi tidak sejomblo gue, Tyas, kelimpungan nyari properti, dan berhubung gue juga sekretaris di Teater70, things ain't that simple karena kerjaan gue makin banyak. Biar kata kami nggak baru-baru ini terjun ke bisnis(?) properti itu, tapi jadi challenge tersendiri bikoz kami bener-bener ngelakuin semuanya sendiri tanpa bantuan alumni. Nggak papalah, udah terlatih tangan ini sejak ngapus lukisan di kain plastik segede layar bioskop pake kerikan waktu Mimesasiso ya, Yas:') Ayo lanjutkan perjuangan.

I also say hello untuk bimbel baru gue, BTA 70 yang ngambil kelas hari Sabtu di sekolah. Tadinya mau GO sih cuma nggak dapet kelas Senin-Rabu jadi ya sudahlah:') Hari pertama bimbel, gue mesti diseret dari tempat tidur sampe mewek sama nyokap saking capeknya. Mana placement test-nya susah banget pula-_- Gue yakin nilai gue bukan nol lagi, tapi minus.

I still join my French class in Institut Français d'Indonésie, setiap Selasa dan Kamis jam 5 sore, yang bikin badan makin ngerentek, dan guru gue tersayang yang udah biasa ghe curhatin pun ganti jadi guru alumni 70 yang nggak mau pake bahasa Indonesia kalo ngajar dan parahnya, bisa baca pikiran orang. Creepy banget nggak sih? Gue mesti ngejar semua ketertinggalan gue soalnya frankly, dengan jadwal padat gue rada keteteran dan nggak nyempetin diri praktikin Prancis, padahal gue udah level B1. Udah intermediate.

When there's hello, there's goodbye, and I waved mine to kursus bahasa Inggris gue di ILP. Padahal tinggal 5 level, 10 bulan lagi menuju Proficiency, level final di ILP. Rasanya rada gimanaaa gitu, udah tiga tahun setiap Senin-Rabu selalu ke sana, sekarang harus pulang. Kadang nongkrong dulu sih di Sevel seberang, sekadar mengenang kejayaan masa lalu. Nggak bisa tenang dan harus cepat-cepat pulang juga, secara gue punya setumpuk PR dan too many memories I couldn't rewind without getting teary-eyed.

The second goodbye went to my beloved, tapi yang ini nggak usah diceritain, ya. I still love you even that we don't talk anymore and that's all you need to know, pal.

Sapaan ke hal-hal jelek dan perpisahan ke hal-hal indah lumayan bikin gue frustasi. Agustus mungkin adalah bulan di mana gue paling sering bangun tidur dengan mata bengkak kek kena baking powder. Namun segalanya berubah saat negara api menyerang, eh, saat ada mention di twitter yang bilang kalo buku kesembilan gue bakal diterbitin! Selasa dua minggu lalu, ah I remember it all too well. The news felt like fresh breeze, right when I thought I'd die from despair.

Last July, I also got a boy kitten who I named Chico. Nggak usah ditanya lah dapet dari mana, lukanya masih baru nih, belom sembuh bener. Nah, now you get an idea.

Sebenernya namanya Chico Oreo Adhitama, cuma nggak tau kenapa nyokap gue manggilnya Chico Choc (baca: Cikocok) dengan logat sangat Betawi. Semua orang manggil doi gitu, deh.

Things got brighter and brighter since then. Hari-hari gue lumayan cerah dan gue udah mulai menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan baru gue. Mau nangis melulu mbok ya capek, mending ikhlas dan jalanin aja. I suppose that perjuangan gue belum ada apa-apanya. Masih newbie banget.

Jalan masih panjang di depan. Masih bakal banyak air mata dan keringat yang harus gue simpen sebagai stok.

Hail and farewell, August. Thanks for teaching me experiences and being nice.

Hello, September. Hope you can put up with me:)

jeudi 14 août 2014

Domino dan Bumerang

Curhatan hari ini dimulai dengan kata-kata pedas seseorang yang menurut gue pointless.

Nggak, gue nggak akan menyinggung nama atau tempat, yang mungkin bikin lo mikir post yang satu ini nonsense karena gue nggak punya bukti. But believe me, waktu seseorang tiba-tiba nyamperin lo cuma buat bilang, "Gue nggak suka sama lo," dan membeberkan sederet fakta kenapa dia nggak suka sama lo, lo cuma bisa...

ceming.

Statis.

Diam tanpa kata.

Nggak deng. Nggak sepuitis itu, kok. Logically, manusiawi kok, kalo kita nggak suka sama seseorang. Akuilah, there's someone out there you secretly hope will just vanish so you don't have to see them anymore. Tapi belakangan gue mikir lagi, is it fair to hate someone who does absolutely nothing to you, is it fair to hate for simply who they are? Is it fair to say that out loud in front of many people?

Rasanya jleb, sih.

Anyway, sebenernya bukan itu inti racauan gue malam ini. Orang ini udah lumayan bikin gue cranky, dan gue menghibur diri sebisanya. Barusan, gue lihat di medsoc, dia lagi curhat ambigu. Gue pun akhirnya mikir, "Bahkan orang yang omongannya paling thoughtless sekalipun punya masalah." Gue jadi merasa bersalah udah nyumpahin dia yang jelek-jelek. Padahal... in the end, kami sama-sama mengalami hari yang buruk, yang gue tau persis gimana rasanya.

Ada satu lirik dari Taylor Swift yang menurut gue sangat relatable:

"I bet you got pushed around, somebody's made you cold. But the cycle ends right now cause you can't lead me down that road..."

Maybe she's got pushed around already, so she pushed me back. Dan andai gue melampiaskan kekesalan gue ke orang lain, the list of victims will goes on and on.... Nggak akan ada ujungnya. Kayak lingkaran. Kayak domino.

Dari dulu, gue percaya banget sama yang namanya karma. What goes around, comes back around. Like a boomerang. Bukti paling konkret yang sering gue lihat adalah bokap gue, yang biasanya marah-marah di rumah... eh besoknya diomelin bosnya. Gue teliti lebih lanjut, bokap juga tadinya ngomel gara-gara bosnya duluan ngomel. Nyokap kadang bad mood dan balas ngomelin gue. Domino.

Minggu lalu, gue ngaku gue melakukan kesalahan alpa. I deserved all the critics, tapi yaaa gue tau sih gue salah. Nggak usah menggonggong sampe bikin kuping pengang juga. Si Oknum X ini ngoceh panjang-lebar soal kesalahan gue, mentang-mentang gue bawahannya. Nggak sampe nunggu sehari, dia juga ngelakuin kealpaan yang kurang lebih sama dengan gue dan juga diomelin sama yang posisinya lebih tinggi. Mau ketawa mbok ya nggak pantes. Secara udah pernah di posisinya dia.

The point is, terkadang kita terlalu buta dan melabeli diri sebagai korban, sampai nggak sadar si pelaku sebenarnya sudah dijatuhi hukuman. Nggak harus dari tangan lo langsung, kok. Karma itu beragam bentuknya. Teori yang sama berlaku dari segi bumerang. Terkadang, kita nggak sadar kalau kita juga merupakan pelaku dari kesedihan orang lain. We're too busy making ourselves happy that sometimes we forget that people deserve their own happiness, too.

Dan sekarang... di penghujung malam ini, gue jadi mikir, apa hujatan nggak berdasar si "pelaku" ini merumakan bumerang karena gue pernah melakukan hal serupa ke orang lain, at some points of my life, atau gue cuma kebagian putaran domino dan suatu saat akan menimpakannya ke orang lain juga?

Kontemplasi kedua: apakah salah kalau seseorang beda dari kita? Entah prinsipnya, atau pola pikirnya? Apa salah kalau seseorang have a sharp tongue and not as considerate as you? Mungkin mereka nggak tahu itu.

There's a remark my dad told me once, "Kalau uang kamu hilang, jangan ngerutuk. Coba pikir, apa kamu juga pernah hilangin rezeki orang lain? Begitu juga soal pacar. Soal nilai. Soal materi. Soal perasaan. Selalu introspeksi. Jangan bisanya ngeluh doang.

"Always be nice, because everyone's got their own battle."

Good night, fellas. Sekian dulu Echa Teguh's Silver Way-nya.

:)

samedi 9 août 2014

Love is an Open Door

HAHAHA malam-malam diawali dengan baca blog-nya Tyas yang super-duper ucul menceritakan tentang pacarnya. Pacar pertamanya. Trus gue jadi flashback sama oknum satu ini, yang berhasil membubuhkan namanya di daftar riwayat hidup (ada kolom "Mantan-Mantan" di riwayat hidup gue. Keren kan?). Bedanya gue sama Tyas, pacar pertamanya Tyas masih jadi pacarnya hingga sekarang sedangkan gue... ah, sudahlah, tak ada gunanya meratapi kejombloan diri sendiri.

Pacar pertama gue itu...... gue dapatkan di liburan pra-UN SD. Meliburkan diri sih, hehehe. Dia dulu tetangga gue, tapi beda sekolah. Ga tetangga juga sih, dia rumahnya di kompleks sebelah, gue di gang:/ Apapun itu, sebut aja namanya Mawar. Eh, Oknum D.

Gue nggak tau penilaian apa yang ditimbang seorang bocah SD sampe berani nembak gue jadi pacar. Via SMS, sih, bahasanya masih kategori bahasa plat mobil pula:') Berhubung waktu itu gue belom UN, dengan polosnya gue bilang, "Aku belom boleh pacaran, masih SD." GUE INGET BANGET DIA BALES, "Oh, kalo udah lulus boleh dong?" Yha tentunya dengan kombinasi huruf, angka, serta simbol macam @ dan ! yang bisa Anda bayangkan sendiri.

Singkatnya, abis UN dia pun SMS gue dengan kalimat yang sama, "Pacaran yuk." Kalo ini iklan kopi, udah pasti gue Raisa-nya. Eh, nggak deng, rasa cintaku tak sepahit kopi.

Finally I gave him my yes. Dan omg rasanya pertama kali pacaran itu... awkward waktu ketemu, keabisan topik obrolan, trus rada kaku ngomong aku-kamu, sayang, blahblahblah. Gue masih inget, hal terjauh yang kami lakukan adalah... pegangan tangan. Itu pun kilat dan ngumpet-ngumpet kayak maling jemuran. Kita backstreet ceritanye.

He's my first and every words he said always seemed to make sense to me. You know, when someone you love states something, you can only nod or say yes. Dia semangat dan mendukung waktu gue bilang gue bikin novel. Dia mulai ngenalin gue ke temen-temennya, ikut les di tempatnya. Dari sinilah gue bertemu dengan our fabulous Oknum F1, yang kebetulan lagi di Jakarta dalam rangka summer holiday-nya. Hi! Don't you remember?

Jujur, dari semua masa lalu gue, Oknum F adalah yang paliiing longlast. Dua tahun lima bulan. Padahal bisa dibilang awal kami deket itu gaada baiknya sama sekali. We hated each other, I hated him for his arrogance, and he hated me for my dumbness. JANGAN NGELES, LO DULU PERNAH NGOMONG GITU KE GUE bye. Nggak tau takdir atau gimana, intinya gue sama dia ketemu-ketemu melulu. Lama-lama kita jadi baik. Lama-lama dia mulai nyapa, mulai ngajak bercanda, mulai ngeliat gue kayak cewek normal lainnya. I felt happy for no reason, too busy being happy that I didn't even bother defining this feeling.

Lama kita deket, akhirnya 2 Februari 2010, dia nge-shot gue, dengan status gue delapan bulan mantan temennya. Kalo yang pertama super-duper simpel, yang kedua lebih heboh. Pake mawar putih dan Everything-nya Michael Buble. Gue nggak tau apa saat itu gue udah sayang sama dia. All I knew was... he's beautiful and he wants me.

Sejak gue sama dia pacaran, I saw the world in a total new light. He was so inspiring. Call me lebay, but I found the way he rolled his eyes or called my name... enlightening. He's everything Taylor Swift sang in The Way I Loved You. Kayak ada beban yang keangkat aja gitu kalo ada dia. Segalanya jadi baik, benar, nothing can go wrong kalau dia ada. Pokoknya kayak gitu. Segitu menginspirasinya dia, sampe-sampe gue membangun banyak karakter cowok yang berdasarkan personality-nya. Ello Rivaldi Aryanto, for sure. The stubborn heartthrob Jonathan Mountain. And so many names I can't tell in the name of memories and my privacy.

Dan karena dia yang paling lama... well, frontal aja, dia yang paling nyakitin. He hurt me, twice and trice and so on. Dan pada akhirnya gue mikir, "It's time now, gotta let go." Waktu dia ngasih tau gue dia bakal pindah ke Aussie, gue langsung hopelessly assumed we were never meant to be. Mau sesering apapun balikan, ujung-ujungnya dia pergi.

And even after he's gone, he kept inspiring me. Buat jadi orang yang lebih baik, dari dia dan diri gue tempo hari. Gue ikut les ini itu, ambil dua ekskul like a pro, semua kegiatan gue coba, sampe-sampe gue cuma bisa libur di hari Minggu. Sisi baiknya sih, karena gue capek bgt pas pulang, gue jadi nggak punya waktu buat ngegalau. Kalo gue galau, gue langsung ambil pulpen atau media lainnya buat nulis, jadi kegalauan gue tersalurkan dengan produktif. Nggak nyiksa atau bikin sakit kuping orang yang dengerin misuh-misuh gue, pula. Gue yang sekarang itu ya... mungkin dia yang punya andil dalam membentuk. I still remember his dream, mau jadi guru bahasa Indonesia di luar negeri. Udah, itu aja. Simpel, nggak neko-neko. Tapi berapa banyak cowok yang bakal mikir kayak gini?

I remember every whispered secrets, every wild dreams and already shattered ones. I remember us planning a future together, dia bakal ngajar dan gue nulis. Bukan berarti gue ngelupain semua mimpi itu dan nggak mengejarnya cuma karena si pemacu mimpi udah nggak ada. Beberapa orang pernah datang, dan gue membagi mimpi gue ke mereka, disertai harapan kami bisa mewujudkannya bersama. Mimpi gue yang sekarang sama Oknum Terbaik adalah... gue jadi psikolog dan dia jadi dokter, and he'll take me home everyday after work. Kerja di tempat sama. Pulang bareng. Berangkat semobil.

Let's admit it, there's some people in this world who does nothing and yet, their existence simply inspires you. Just like John Green said in his book An Abundance of Katherines, "There's some people in this world who you can just love, and love, and love, no matter what."

Dan sekarang, gue pengin ngucapin makasih buat Oknum D. Buddy, wherever you are, I hope it's nice and beautiful, because a good guy like you deserves it. Thanks for our three months, sorry I couldn't make it and quit. Thanks for introducing me to your beloved friend, and formed a link--the best and memorable one--through my life. Thanks for simply exist, because we met in the moment I really needed someone to hold. Thanks for being a good friend and even better boyfriend. Thanks for opening the door to this organized chaos--one adjective I now use to sum up everything I've been through all my life. Without you, maybe I haven't found my eternal sunshine for spotless minds.

It's been nice to love you.

mercredi 6 août 2014

Midnight Confession

I hope it's not too late to confess
You give my soul a creak when you smiled
Or when our fingertips touched
Or when I realized you've got my heart to disown
All was well back then

I hope it's not too late to confess
Every sassy craps I talk
are reminders that we just can't walk
Every attitudes you think too bold
are turn overs for goosebumps in my world
Every shitty jokes I sprout
are red herrings of how for you I root
Every moments of breath I fail to take
are alarms for me to wake
Every gentle slaps your body receives
are revenge for nasty butterfly in my stomach

I hope it's not too late to confess
I'm unhappy when you back down
or is it just me who trick the mirror like a clown?
And pretend like I can't see
We are never meant to be

I hope it's not too late to confess
I'm dying inside as you run your fingers through her hair
It's aching to rewind how you link your arms around her feet, all bare

I hope it's not too late to confess
When you asked me if I loved
I almost said I did

I hope it's not too late to confess
I loved you then,
I love you still
I always have
I always will

10:01, 6/8/14

dimanche 29 juin 2014

Crazy Little Thing Called Move On

"There are far, far better things ahead than any we leave behind."
-CS. Lewis

Fyi, tadinya gue mau nulis title-nya: Crazy Little Thing Called Kangen Mantan. Tapi setelah gue diskusikan dengan orang kepercayaan gue... merangkap mantan juga, dua kata terakhir terpaksa gue babat. Baper abis kesannya.

Former title sama newer title rada contrary, yak. Gue sendiri masih bingung apa itu move on. Apa batasan-batasannya, tanda-tandanya. Yang gue tau dan hafal tentang move on, dua warga negara Republik Jomblo, Auliya Wiskha dan Annisa Tiara, the president herself, pernah ngasih statement: "Orang yang mutusin kan biasanya udah move on duluan."

Tratakdungces.

Dari situ gue narik kesimpulan kalo move on = suka sama orang lain. Malah mungkin udah mulai make a move. Udah kedap-kedip ngalus. Btw, batasan ngalus tuh apaan aja sih?

Gue juga lupa siapa yang bilang ini, tapi katanya, bagian paling penting dari move on itu adalah orang baru. Orang yang bisa bikin kita menengok ke arah dia instead of curi-curi pandang ke belakang. Tapi gue juga mikir. Let's say lo udah punya orang baru ini, tapi lo masih suka flesbek-flesbek berujung galau soal seseorang. Itu termasuk move on, bukan?

Dan again, apakah adil buat target orang baru itu? I mean, jadi a place for moving on. Gue nggak tau apa gue pernah jadi sasaran atau iya, tapi kalaupun iya... gue nggak keberatan sih.

But in the end, justice is just matter of perspective. Every darn thing is just matter of perspective, unless ada hal yang mengikat dan bersifat formal. Kenapa gue jadi nyerempet ke sosiologi gini ya.

Tapi balik lagi, kayak yang gue bilang tadi, everything is just matter of perspective. Move on pun begitu. Nggak semua orang mencantumkan definisi yang sama buat that crazy little thing called move on di kamus hidup mereka. Buat gue pribadi, move on happens when you really let go, or at least, act like you're not bothered. Buat gue, it's maturity, when you pretend you've moved on. Kata si Buluk, it slowly will kill me inside.

Gue punya prinsip dalam hidup, yang kebanyakan orang think against it. Fake it till you make it. When you can't smile, fake it. When you can't forget, fake it.

Satu lagi entry move on yang gue suka adalah dari nyokap gue. Life is about go and move, move and leave. Udah esensi hidup manusia kayak gitu. Move on doesn't have to happen after goodbye, it's a part of our life. Kadang kita pergi sesuka hati, kadang harus dipaksa, diusir. Tapi yang jelas, menurut nyokap gue, entah sadar atau nggak, we human, are always moving on.

And so am I.

I'm moving on.

dimanche 8 juin 2014

Cinta ini sederhana
Sesederhana lambaianmu di seberang sana
Sesederhana lagu yang kita bagi berdua,
film-film sore yang membuatmu tertawa,
dan pintu mobil yang kaubuka

Terkadang cinta ini menyebalkan
Seperti kau yang sering terlambat datang
atau malah tiba-tiba membatalkan

Kawanku bilang, cinta ini kreatif
sebab belum mereka temukan, pemuda yang mengajak gadisnya lewat Post-It,
berkencan di atap gedung yang gagal mencakar langit,
membentuk serpih hatinya menjadi mozaik,
atau meninggalkan struk-struk belanjaan ditulisi sajak dan musik

Kata ayahku, cinta ini akan berakhir baik
Sebaik kamu dan keluargamu
yang sering membagikan buku,
dan mengulurkan tangan pada mereka yang tak mampu
Sebaik harapan yang kautitip setiap aku bertemu orang baru

Dalam kamusku, cinta ini indah
Seindah senja tak bertepi yang kita saksikan bersama
Seindah hujan yang menggurat kaca jendela
Seindah tangis dan canda,
dan apa yang terjadi setelahnya

Tak peduli kamu yang berhenti berjuang,
atau aku yang pergi duluan
Tapi cinta ini selalu menjumpai jalan
Aku tak tahu kapan siklus ini akan berakhir
Yang kutahu, cinta ini tak ada ujungnya

7/6/2014, 11:09 pm

for Mr. Post-It,
who doesn't need Post-It anymore.

vendredi 30 mai 2014

Project 13

Proyek ini murni ketidaksengajaan, waktu gue abis nge-post puisi gue yang judulnya Lupakan Saja. Well, lupain aja puisi yang satu itu. Gue tadi galaw dan baper parah.

Anyway, tiba-tiba Refal SMS gue, bilang, "Puisi ke-12 ya?"

Dan gue kayak, "Hah?"

Refal bales, "Puisi yang lo post di eiffelicious udah 12 biji. Nggak nyadar yak? Waktu gue save page, selalu gue nomerin soalnya. Wkwkwk."

Sebelum gue sempat mencerna, SMS Refal nongol lagi, "12, my lucky number."

Gue juga baru sadar, lucky number-nya Refal itu tanggal lahir gue. Kami lahir cuma selang sehari. Tiga jam, malah. Gue 12 Oktober, doi 13 Oktober. And we made a deal, tanggal lahir gue adalah lucky number-nya, dan sebaliknya.

Waktu sadar tentang itu, gue langsung obrak-abrik memo HP, karena semua puisi gue tulis di sana. Dan ketemu deh, puisi Teman. Puisi yang nggak gue niatkan di-post karena... itu obvious banget. Tapi yah sudahlah. Yang penting sekarang jadi genap 13. Eh, ganjil deng.

I called this as Project 13; 13 puisi, 13 latar waktu berbeda, dan 13 inspirasi. I hope they entertain you:)

Sooo here goes the list:
1. Mengenangmu
2. Sebaiknya Pulang
3. Bila
4. Perlukah
5. Benang Merah Ini
6. Satu Kata
7. Some People Ask Me
8. In the End
9. Take Me Back to the Time
10. Only Hope
11. Tak Bisakah
12. Teman
13. Lupakan Saja

Kritik dan saran ditunggu, yap!

Cheers,
EchaSwift.

Lupakan Saja

Tolong jangan lupakan, saat kita pertama bertemu
Pulang sekolah, seragam putih biru?
Bayanganmu berkelebat di hadapanku
Terkadang, masih kuputar kenangan itu
Masih terpampang, meski kini mulai semu

Tolong simpan dalam memori, pojok gelap di belakang panggung
Kita bertemu lagi
Konspirasi semesta memberi kita
satu kesempatan lagi
Aku hampir tak mengenalimu
Tapi ah, bukan itu yang penting
yang harus kaugarisbawahi,
di bawah remang lampu sorot, kita saling menemukan

Tolong kauhafalkan, kursi yang didempet tembok
di ruang kelas itu
Pada hari Selasa,
kita saling bertukar sapa, kita saling berbagi cerita
Tentang kita, hidup yang membola,
dan bagaimana cara sastra bekerja

Tolong ingat selalu,
sore kala kita menyambung apa yang sempat terputus,
pagi saat aku orang pertama yang kaupikirkan sebangun tidur,
malam ketika kau mengucap tiga kata itu,
23 Mei, masihkah kauingat?

Tolong simpan baik-baik, semua rekam suaraku,
setiap kenangan yang membuat malu,
seluruh frasa I love you

Karena aku tak ingin jadi satu-satunya yang mengenang
dan nelangsa sendirian

Ah, sudahlah
Lupakan saja permintaan bodohku
kalau memang itu melukai
Lupakan saja puisi ini
Biar kubuatkan kamu satu lagi yang baru

30/5/2014, 6:39 pm

This 13th poem is
for you, E,
I won't forget

Teman

Ini kisah tentang dua teman kecil
menjalani tahapan kehidupan
normal-normal saja, baik-baik saja
Sampai suatu ketika si pemuda mulai melihat gadisnya dengan cara yang berbeda
Tapi, ah
pikirnya, "Mana mau dia dilindungi orang sepertiku?"

Si gadis pun sampai ke suatu ketika
ia merasakan sensasi aneh itu
Ingin tahu rasanya didekap lengan kuat itu,
ingin tahu rasanya dibelai jemari lembut itu
Tapi, ah
pikirnya, "Dia tidak pernah melihatku sebagai perempuan."

Ada banyak orang yang berlalu-lalang
mengambil hati si gadis hanya untuk mencuri sekepih rekahannya
Si pemuda marah, namun tak kuasa berbuat apa-apa
Ia tak bisa mengenyahkan keyakinan,
"Aku bisa membenarkan apa yang telah mereka rusak."

Sementara si gadis, seringkali terlena dalam lamunan,
"Aku yakin kamu bisa memperlakukan hatiku lebih baik dari mereka."

Tahunan berlalu, dan
masih terngiang di benak si pemuda
ketika gadisnya berkata pilu,
"Maaf, tapi bukan kamu."
Punggung mungilnya lantas berdiri
menjauhinya
keluar dari jangkau kasihnya

Dan si gadis juga masih belum melupakan rasa sesalnya
"Andai kamu mengatakannya lebih awal."
atau,
"Andai aku membiarkanmu tahu."

Tahunan berlalu
terkadang mereka masih bertemu di tempat yang sama
dan bicara tentang vampir, cinta, dan alam semesta

Terkadang si pemuda bertanya-tanya
Siapa yang sekarang dicintai gadis itu?
Terkadang si gadis menatapnya seakan ia hanya bayang horizon
Ia tak tahu, si gadis merasakan mereka begitu dekat
Tapi juga begitu jauh

Menyedihkan

Ingin si pemuda melihat jagat si gadis
di mana segalanya tampak berpindah
dan gadisnya terbang sebebas burung
Batinnya, "Kamu tetap orang yang pernah kucintai."

Ingin si gadis menyaksikan dunianya dengan mata si pemuda
di mana hanya ada satu orang yang pasti menyambutnya
Nelangsa ia berharap
orang itu adalah dia
Batinnya, "Andai kamu tahu. Tapi tidak penting kamu tahu sekarang. Kamu sudah bahagia, kan?"

Tidak penting
Tidak penting
Jangan pikirkan itu

Persetan

20/4/14, 10:06

I know I shouldn't have written this one, because you're just too forbidden for me to love.

But, well...

love keeps no secret.

And this one is for you, R.

mardi 27 mai 2014

something about fire

Someone said it years ago, "Something about you reminds me of fire."

Gue masih ingat respon gue karena... akuilah, itu first impression paling nggak wajar yang pernah gue dengar.

"Kenapa?"

"You burn so bright, you burn so fast, yet you never long last."

Gue cuma angkat alis dan asal angguk aja. Jujur, gue nggak pernah mikir gue bakal nginget itu sampe hari ini. Well, gue emang udah lupa sih, kalo nggak diingatkan orang yang sama kemarin sore.

Dia langsung datang tanpa gue minta dua kali. Cuma sekali telepon dan sekali dia tanya, "Di mana lo?" Nggak nyampe sepuluh menit nunggu, dia dateng. Biasa aja sih, nggak kayak pangeran berkuda putih di film-film Disney, but it occured to me, a lot, because there'd been a thick wall between us, since both of us exchanged goodbye last March.

And yet, he came. Gue ngerasa dinding itu luruh, meleleh. He gave me his old smile, a crooked one, which formed a dimple on his right cheek.

"Lo nggak kenapa-napa?"

Cuma itu. Telak, to the point. Tanpa assalamu'alaikum atau apa kabar.

"Nggak kenapa-napa."

Orang itu menaikkan alis. "Kipak aja lo. Buruan masuk, keburu ujan." Dan yep, gue masuk mobilnya juga. Belom ada lima menit macet-macetan, cerita gue tumpah. Dia mendengarkan, as always.

Responnya begitu cerita gue kelar, "Calm down, Cha. Don't burn so bright."

Jadi, cerita gue kurang lebih adalah tentang... this guy, who I've liked since I was on 8th grade. Dia adik kelas gue di SMP, dan kami cukup deket. I used to have a crush on him, tapi well, saat itu nggak terbalas, karena dia jadian sama sahabat gue di kelas 7.

I'm sure I've posted a story about him in this blog, sih. Sepinter-pinternya lo menelaah aja dia yang mana. MUAHAHAHA.

Lama kami lost contact, gue ketemu dia lagi. Dua kali. Pertama kali ketemu pas Bulcup. Dia ikut teater. Gue hampir nggak mengenali dia waktu itu. Pura-pura nggak kenal juga sih. Malu, tengsin, karena gue nggak bisa menerima fakta bahwa... dia sekarang tinggi banget nyet. Padahal dulu dia lebih pendek dari gue. SERING GUE KATAIN PULA(!!!)

Karma is a bitch.

But life must go on. Kita lost contact. We lost the chance. Mungkin waktu itu, takdir cuma mengizinkan kami bertukar hai ala kadarnya.

And guess what? Gue sama dia ketemu lagi. Bulan April, waktu gue ikut FLS2N. Kita ketemu. Dia duduk di depan gue di lomba puisi. Lomba yang beneran bikin gue anxious karena beneran nge-stuck dannn tahun lalu udah gue menangkan katagorinya.

Waktu duduk, dia muter ke belakang. Ke gue. Kita ngobrol. We told stories and he didn't know why I came off a little shy. Malu, yang gue lampiaskan dengan nyerocos panjang lebar. Gue nggak berani ngeliat ke dia, atau geser sedikit ke hal-hal pribadi. I was scared it would wreck me. Soalnya gue baru sebulan putus sama... orang itu.

Gue nggak menang lomba itu. Didiskualifikasi, malah. Ternyata yang udah pernah menang nggak boleh ikutan lagi. Bentar ya, gue garuk aspal dulu.

But again, fate did have some says about me. Dia minta nomor HP gue, which gladly I gave. Tapi dia nggak miscall atau apa. Cuma sekadar nanya. Dan berhubung gue kelar paling akhir, we lost that chance again. To talk more closely.

Lama nggak ada kabar, gue mulai lupa tentang dia. Gue nyibukin diri, pembalasan dendam dan upaya move on dari orang itu. Gue deket sama beberapa cowok.

Dan tiba-tiba, nggak ada angin nggak ada ujan, dia nge-chat gue di WhatsApp.

Itu hari Senin, and I swear I'd never felt happier on other Mondays. The chat became unstoppable, meski gue, kayak yang orang itu bilang, berusaha slow down. Logika gue sih nyuruhnya gitu. Hati kecil gue kegirangan. "Maybe it's the chance," kira-kira begitulah.

Singkatnya, gue sama dia jadian, sekitar dua mingguan sejak dia pertama nge-chat. Like fire, we burnt. Too bright mungkin. Too fast juga. Karena sumpah, I'm tired and scared to ever lose the chance again.

Dan bener kata psikolog. "The more you realise you can't get it, the more you want it." And now when I finally can have him, gue malah semena-mena. Ngebiarin temen gue balesin chat-nya dia. Cuma gegara satu masalah sepele yang barangkali kesalahan gue juga. And what irked me was... dia nggak bisa baca atmosfer. Dia tetap trying to light up the fire, padahal gue berusaha memadamkan sedikit biar nggak panas-panas amat.

Waktu gue cerita itu, tanggapan Refal lebih lanjut adalah, "Lo kayaknya bermasalah banget, ya."

Yap, orang itu adalah Refal. My hunny bunny sweetie Refal. And we know we have this mental synchronisation. Kita kayak... bisa baca pikiran masing-masing. Mungkin karena kami lahir terpisah hanya tiga jam jauhnya. So you know, tanpa gue jelasin panjang-lebar, Refal tau full story-nya.

Berhubung gue lagi kesel, gue kasih Refal full access ke HP gue, yang dia manfaatkan unwisely. Ask.fm gue diganti password-nya, di-log out dari HP gue, dannn dibajak. Iya, kadang-kadang jailnya emang bangsyat pake Y.

Di tengah jalan, Refal sempet nanya, "Lo yakin lo sayang dia, bukannya cuma... apa ya? Obsesi?"

Itu kali kedua gue denger kata "obsesi". Pertama kalinya Tyas yang ngomong.

Gue kayak, "Gue nggak pernah main-main kalo pacaran. Apalagi cuma berdasarkan obsesi."

"Lah, kan ya kali aja. Mungkin gegara lo dulu pernah desperate sama dia banget dan nggak dapet, begitu dia deket sekarang, langsung lo terkam. Padahal kan yang kecepetan itu nggak baik."

"Gue bukan macan, Fal."

Refal nyinyir, "Nggak usah sewot gitu. Cuma perumpamaan."

Sesorean kami jalan-jalan, gue dibalikin ke tempat kursus, dan malamnya gue ditraktir Sushitei. Lumayan, mengobati kekesalan. Sampe rumah, gue baru baca semuaaaa bajakan Refal dan Ibu Presiden Republik Jomblo, dan gue rada ngerti sih kenapa si dia tersinggung. But he pushed me, (or I thought so, in case you're reading it. These paragraphs are based on my perspective, ofc), so I exploded.

Sumpah, gue pikir itu udah neraka banget. Semua kata-kata jahat gue keluarin. Stok kalimat berbisa gue sampe abis. I was so harsh. But in the end, all he said was, "So okay. Take care. I love you."

I was too furious to realise how sweet and loving and affectionate those words were. Gue baru sadar besoknya, dan gue langsung minta maaf. Tapi udah terlambat, mungkin. It took him a bit longer than usual to reply my messages. Gue hopeless, dan akhirnya gue nelpon Refal, suruh dia kemari.

Berhubung kami udah sohiban dari jaman gue masih ngempong, dia dateng aja. Nyelonong masuk ke kamar dan bilang, "Lo marah, tapi kangen. Lo kangen, tapi marah. Lo tuh bermasalah banget, ya."

"Itu kan quote di cerbung gue." In the middle of despair, gue masih mendeteksi plagiarisme. Eh, nggak deng. Kalimat itu sendiri gue kopi entah dari mana.

"Apa jadinya elo kalo nggak ada gue?" Refal ngedumel dan akhirnya kami cuma tiduran di lantai, di balkon. Kayaknya tanpa gue jawab, dia tahu.

"Gue nggak tau harus ngapain."

"Forget and let go, or forgive and make peace. Apa gunanya sih mendam-mendam kemarahan?"

Gue diem aja.

"Gue baruuu kemaren ngelarin Allegiant, dan ada satu quotes yang cocok buat lo. 'I suppose a fire that burns that bright is not meant to last.'"

"Lo nyumpahin gue putus?"

"Kenyataannya gitu, kan?" Dia nyengir. "Gue ngeliat lo rada nggak happy. Gue kira itu gara-gara dia terlalu clingy. Tapi ternyata pas ditinggal, lo malah miserable. Serbasalah jadi lo."

Gue nggak komentar.

"Lo harus bedain, yang mana sayang, yang mana obsesi. Kalo lo udah tau, yaaa lo lakuin apa yang menurut lo bener. Mewek kayak gini nggak termasuk, ya. Nanyain pendapat semua orang sampe-sampe lo terlalu kepengaruh juga nggak." Refal peluk gue. "Apapun keputusan lo, pasti gue support. Kan lo yang bilang sendiri, we're on each other's team."

I'm sorry Fal, sampe sekarang gue nggak bisa ngelakuin semua omongan lo. Instead, I wrote this post. Buat narik garis dari isi kepala gue yang lagi abstrak. My thoughts are stars I cannot fathom into constellations.

And for you, if you're reading this. I'm sorry. Ketujuh kalinya yak gue ngomong kea gini dalam sehari. Padahal gue janji cuma dua kali bakal minta maaf. In case you wonder, nope, I don't write this one as a way to get back together with you. I'm simply trying to say what I failed to say these days. And I wanna make peace with you, and myself.

And if somehow we can work it out, we will have a point by then. That we should slow down. Because really, fire that burns that bright is not meant to last.

I'll go back in time and change it, but I can't
So if the chain is on your door, I understand.

samedi 10 mai 2014

Be Specific

Don’t say you saw a bird: you saw a swallow,
Or a great horned owl, a hawk, or oriole.
Don’t just tell me that he flew;
That’s what any bird can do;
Say he darted, circled, swooped or lifted in the blue.

Don’t say the sky behind the bird was pretty;
It was watermelon pink streaked through with gold;
Gold bubbled like a fountain
From a pepperminted mountain
And shone like Persian rugs when they are old.

Don’t tell me that the air was sweet with fragrance;
Say it smelled of minted grass and lilac bloom;
Don’t say your heart was swinging;
Name the tune that it was singing,
And how the moonlight’s neon filled the room.

Don’t say the evening creatures all were playing;
Mention tree toad’s twanging, screeching fiddle notes,
Picture cricket’s constant strumming
To the mass mosquitoes humming
While the frogs are singing bass deep in their throats.

Don’t use a word that’s good for all the senses
There’s a word for every feeling one can feel.
If you want your lines to be terrific;
Then do make your words specific,
For words can paint a picture that's real

Mauree Applegate

mardi 15 avril 2014

Drama Parkir Hari Ini

Seumur hidup, gue nggak pernah ngeliat orang yang markir mobil lebih ribet dari bokap.

Ya, ya, gue tau. Masalah keamanan dan faktor karena bokap gue tau dirinya superceroboh (yang menurun ke gue), dan bermuara pada sifat parnoan (yang menurun ke adek gue). Bokap selalu meriksa tiap pintu mobil, apa injakan kaki udah digembok, apa ada kucing di kolong mobil, dll. Belakangan gue cek, tendensi bokap ini merujuk ke OCD. Bukan, bukan diet itu. OCD-nya ini mental disorder yang menyebabkan penderitanya terobsesi melakukan pekerjaan berulang-ulang. Kalo kelamaan, gue ngeri doi ikut ngelepas setir dari tempatnya, berhubung doi moviefreak-nya Mr. Bean.

Ketakutan bokap beralasan, sih. FYI, rumah gue ada di dalam gang. Seumur hidup gue tinggal di gang itu, dan keluarga gue emang nggak suka punya rumah di pinggir jalan yang berisik. Dannn berhubung rumah gue di ujung gang, otomatis kami nggak punya garasi. Otomatis bokap harus selalu gambling tempat parkir di jalan umum. Kadang doi lucky, kadang nggak.

Hari ini bokap termasuk yang kedua, the unlucky one. Waktu kita ke tempat parkir, udah diisi dua mobil yang diparkir vertikal. Sebenernya muat sih... tapi, kalo maksa, bokap bisa nutupin jalan ke garasi rumah orang. Alhasil kita jalan dan nyari tempat puteran, sambil mikir gitu. Akhirnya bokap mutusin buat maksain.

Guess what? Pas kita balik, ada taksi yang nurunin penumpangnya di tempat yang udah di-tag bokap. Gue sama beliau pun nunggu sampe bikin macet di belakang, dan akhirnya bokap pun markir di situ.

Gue pun turun, sambil nenteng plastik gede berisi tujuh buku borongan (it's a long story). Bokap juga turun, tapi sedetik kemudian dia masuk lagi.

Gue bingung dong, dan gue ketok-ketok jendelanya.

Sebelum gue ngomong, bokap udah ngedumel, "Brisik kamu, Kak. Ayah mau pindahin ke sana." Beliau menunjuk areal kosong lainnya di seberang pake dagu. "Tolong parkirin, ya."

Hidup bersama orang yang kalo parkir paling recet menjadikan gue tukang parkir paling recet pula. Gue ke tempat yang ditunjuk bokap dan membiarkan bokap markir. Sialnya, tadi tuh rameee banget. Gara-gara jalan lewat pasar ke Fatmawati dipampat, nggak ngerti kenapa, mobil jadi pada lewat jalan non-raya depan gang gue. Yaaa gue parkirin kan tuh, dan lama-lama gue sadar, gue berdiri di samping pohon kecil, dan di salah satu daun yang dahannya paling dekat dengan siku gue, gue melihat ulat bulu.

Sontak gue panik dan komando lurus atau belok gue melenceng jadi, "Amfuuun! Iiih! Mati kauuuu setaaaan!" Nggak, deng, nggak kayak gitu juga. Maaf jayus.

Gue tetep menjalankan amanat mulia memarkirkan bokap. Sebenernya sih bokap udah kelar parkir yak, tapi berhubung doi ngerasa kurang lurus, dimaju-mundurkanlah mobilnya. Belom juga beliau keluar, anak-anak kecil RT sebelah keluar dari gangnya, bawa karung, dan saling pukul-pukulan. Jantung gue langsung jor-joran karena... well, tuh jalanan lagi rame dan sempit banget. Kesandung dikit, bisa-bisa mereka kepleset jadi perkedel. Kalo bulan Ramadhan punya perang sarung, maka bulan April punya perang karung. Indah sekali.

Begitu drama itu kelar, gue pun terus markirin, dan pas ada bapak-bapak pake sepeda lewat, doi teriak, "Yah Neng, cakep-cakep gerewekan sendiri." Gue sewot sih, tapi nggak gue nyinyirin balik. Cewek cakep cuma boleh menyahuti godaan makhluk cakep juga.

*brb muntah tomcat*

Selang beberapa lama, bokap pun keluar dengan muka kusut. Gue mengkopi dengan tak kalah kusut.

"Kok lama banget sih Yah, parkirnya?"

"Abis kamu males banget, nggak mau markirin ayah."

"LAH DARI TADI KAN AKU BERDIRI DI SINI TERIAK-TERIAK MARKIRIN."

Bokap cuma mengerjap letih dan bilang, "Yah, ayah nggak denger. Jendelanya kan ayah tutup tadi."

..................

lundi 7 avril 2014

Belajar dari Sekitar

Dulu, waktu gue masih kecil, gue suka banget sama yang namanya "belajar". Ortu gue juga membiaskan istilah itu sehingga "belajar"-nya orang-orang keitung sebagai "main-main" bagi gue. Umur tiga setengah tahun, gue udah bisa nulis, dan umur empat tahun, gue udah bisa baca. Sebelum gue masuk TK, gue sering nyelipin agenda "mengajar" tiap gue bikin tea party sama boneka-boneka gue. Nuff said, I love studying and making people study.

As I grow up, kata "belajar" makin buram di kehidupan gue. Sekolah bikin capek dan stres alih-alih bikin enjoy. Lo udah begadang semalam suntuk dan menekuni buku matematika, nilai lo kalah sama mereka yang menyelundupkan buku ke kolong meja atau lirik kanan-kiri. Dan hasilnya sama-sama aja tuh, baik lo lurus atau melenceng. Sejak itu, dan sekarang, bagi gue sekolah itu bukan tentang belajar lagi. Sekolah itu tentang nilai bagus yang berjejer di rapor dan naik kelas. Titik.

Gue justru merasa hal-hal yang harus gue catat dan nilai-nilai yang mesti gue anut dan bawa saat gue dewasa, bukan berasal dari sekolah. Well, sekolah ngasih tahu gue cara gambar garis linier dan nyari persamaan integral. Sekolah ngasih tahu gue jenis-jenis industri dan warna apa sih bilirubin itu. Sekolah, secara tersirat, juga bikin gue tahu kalo nggak semua orang bisa lo panggil "teman". Kasarnya, backstabber everywhere.

Most beautiful things I learnt, I got from various media and/or occasion. Dari buku anak-anak yang halamannya udah menguning. Dari film-film Hollywood. Dari orang-orang ask.fm yang dengan murah hatinya memfoto pedagang tua dan ngasih label sad story. Makin lama, gue makin sadar... It's just matter of perspective how to see these discoveries as subjects to learn.

Malam ini gue belajar dari tukang sekoteng yang suka lewat di depan rumah gue. Biasanya dia lewat sini jam 10 malam. Dan berhubung gue kedinginan, gue pun beli sekotengnya. Gue rada tergugu waktu melihat si tukang. Dia udah tua, jauh lebih tua ketimbang bokap. Dan dia senyum sumringah banget waktu gue nyodorin dua mangkuk  buat diisi.

Kami ngobrolin beberapa hal remeh. Gue tahu dia udah jualan sekoteng puluhan tahun, dan sepuluh tahun terakhir dia merintis semua usahanya sendiri lantaran istrinya udah meninggal. Gue bilang, "Allah lebih sayang sama istri bapak." Dia bilang, "Saya tahu, Neng," sambil terkekeh ringan.

Gue tahu dia kadang pulang ke rumah tanpa satu mangkuk pun terjual. Gue juga tahu dia punya anak yang mau ujian.

Dia: "Saya punya anak seumuran Neng."
Gue: "Oh, ya?"
Dia: "Iya, bentar lagi mau ujian."
Gue: "Oh, berarti lebih muda saya. Saya baru kelas dua."
Dia: "Oooh. Nanti Neng mau lanjut SMA di mana?"
Gue: "..."

Iya, gue tahu. Simpati gue juga rada lumer dan gue jadi mayan bete gegara disangka anak SMP. Tapi beliau lantas bilang, "Kalo anak saya mah, mau saya masukin pesantren aja. Biar pinter ngaji dan moralnya bagus, dan lagian kan biaya pesantren nggak begitu mahal."

Gue tahu dia nggak nyindir, tapi itu nggak mencegah gue memeluk diri sendiri yang pake kaus sleeveless dan hot pants. Maklum, gue mau tidur dan suhu di Jakarta nowadays kadang bisa bikin Indomie mateng lebih cepet.

Begitu pesenan gue kelar, gue menyodorkan uang gocapan ke beliau. Dan beliau langsung kaget salting begitu.

"Wah, Neng, belum ada kembalian, nih."

Gue langsung bingung kan. "Hah? Belom ada kembalian? Lah bapak emang baru jualan?"

"Saya mah udah jualan dari jam enam."

Seketika gue speechless. Beliau udah mencari nafkah selama empat jam, menempuh jarak yang cuma Tuhan yang tahu detailnya, dan nggak punya kembalian buat uang gocap? Gue malu, dan gue kepengin nangis. Sehari, nyokap ngasih gue duit jajan 35 ribu, belum ongkos ojek. Dan baru tadi siang gue menghamburkan uang 300 ribu lebih demi beli buku, sedangkan buku gue yang belom dibaca masih menumpuk di rumah. Si tukang sekoteng... yang udah kerja banting tulang selama empat jam....

"Saya tukerin dulu uangnya di warung bawah ya, Neng!" perkataannya bikin gue sadar.

Tapi gue nolak. Gue bilang aja dia bisa ngambil kembaliannya. Nggak apalah, dia jauh lebih butuh itu daripada gue. Dia punya mulut-mulut kelaparan yang jadi tanggungannya di rumah. Gue tinggal minta, udah dikasih.

Mata beliau yang udah merah berkaca-kaca, dan beliau langsung ngedoain gue all things good and beautiful, to which I replied amen. Dia juga sempet bilang, "Bukan pilihan saya mau jadi orang miskin, Neng. Saya juga maunya kayak Neng, tidur enak, baju bagus, nggak punya duit recehan."

Giliran gue berkaca-kaca, tapi gue sok asik dan nepuk bahunya, "Saya duluan ya, Pak. Saya doain bapak rezekinya lancar, dan semoga anak bapak bisa lulus ujian."

Beliau mengamini, dan membereskan "alat perang"-nya begitu gue lenyap dari pandangan. Padahal gue ngumpet di balik tembok, menyaksikannya yang berbalik dan kembali mendorong gerobak, mengadu logam sendok ke mangkuk, berseru, "Sekoteng! Sekoteng! Sekoteng!"

Then I went home and cried. Gue sadar, betapa hinanya gue sebagai manusia. Kebanyakan ngeluh dan terlalu berpusat sama diri sendiri sampai terkadang gue nggak melihat battles that other people are struggling.

Gue baru aja nganggep diri gue unlucky karena gue dapet masalah. Padahal, berani taruhan masalah gue nggak ada apa-apanya dibanding si tukang sekoteng. Gue baru aja ditinggal orang yang gue pikir gue kenal, orang yang baru lima tahun gue kenal, tapi si bapak sudah kehilangan orang yang selama ini bangunin dan ngurusin dia, orang yang berbagi tempat tidur, rumah, dan keluh-kesah. Dan sementara gue ngabisin 300 ribu dalam dua jam, dia bingung harus mengembalikan uang gocapan gue bagaimana.

I just realized my life is perfectly fine, jauh lebih baik ketimbang beliau dan jutaan yang senasib. Selama ini gue terlalu berpusat sama diri sendiri sampai nggak bisa nengok kanan dan kiri. Padahal masih banyak contoh nyata betapa beruntung dan tercukupinya hidup gue. I think I'm a good person, while in reality, I'm not. I'm just another bastard who sees life ungratefully.

Terima kasih atas pelajaran hidupnya malam ini, Pak Sekoteng. Insya Allah, saya beli lagi besok.

dimanche 30 mars 2014

Tak Bisakah

Tak bisakah kauberi ia
Satu lagi langit biru?
Dan awan yang bergradasi padu?
Karena sungguh,
tak ada yang lebih diharapkannya dari
melihatnya bersamamu

Tak bisakah kauberi ia
Satu lagi ketukan di pintu?
Dan cokelat terbungkus manis di tangan kananmu?
Karena sungguh,
cokelat itu terasa hambar di bibir
bila ia tak mencecapnya bersamamu

Tak bisakah kauberi ia
Satu lagi sorot lembut itu?
Dan ucapan selamat pagimu?
Karena sungguh,
wajahmu adalah gambar pertama yang dilukis imaji
ketika ia terbangun dari tidur

Tak bisakah kauberi ia
Satu lagi nuansa senja?
Dan warna merah yang tersapu di cakrawala?
Karena sungguh,
tanpa dirimu di sampingnya
keindahan itu terasa sendu

Satu lagi saja...
Tak bisakah kauberi ia
Kata-kata penyemangat?
Karena ia mulai kesepian
Karena ia ingin menangis
Tanpa tahu ke bahu siapa ia bisa bersandar

30/3/2014, 6:37 pm

Mixed Quotes to Brighten Your Day

"And I've realized that the Beatles got it wrong. Love isn't all we need--love is all there is."
Morgan Matson, Second Chance Summer .

"For the two of us, home isn't a place. It is a person. And we are finally home."
Stephanie Perkins, Anna and the French Kiss.

"I needed to hate someone and you're the one I love the most, so it fell on you."
Gayle Forman, Where She Went.

"No one can tell us no. No one can make us stop. We have picked each other, and the rest of the world can go to hell."
Lauren Oliver, Pandemonium.

"As he read, I fell in love the way you fall asleep: slowly, then all at once."
John Green, The Fault in Our Stars.

"Sometimes crying or laughing are the only options left, and laughing feels better right now."
Veronica Roth, Divergent.

"When it's right, it's simple."
Stephanie Perkins, Lola and the Boy Next-Door.

"I'll just love you whether you want me to or not."
Richelle Mead, The Indigo Spell.

"We are born in one day. We die in one day. We can change in one day. And we can fall in love in one day. Anything can happen in just one day."
Gayle Forman, Just One Day.

"Here's one thing to remember: hope keeps you alive. Even when you're dead, it's the only thing that keeps you alive."
Lauren Oliver, Before I Fall.

"If you only read the book that everyone else is reading, you can only think what everyone else is thinking."
Haruki Murakami, Norwegian Wood.

"Some things don't last forever, but some things do. Like a good song, or a good book, or a good memory you can take out and unfold in your darkest times, pressing down on the corners and peering in close, hoping you still recognize the person you see there."
Sarah Dessen, This Lullaby.

"My nightmares are usually about losing you."
Suzanne Collins, Catching Fire.

"If people were rain, I was drizzle and she was a hurricane."
John Green, Looking for Alaska.

"So write it. It doesn't have to be good. You don't have to be Ernest Hemingway."
Rainbow Rowell, Fangirl.

"Sometimes the best way to find out what you're supposed to do is by doing the thing you're not supposed to do."
Gayle Forman, Just One Day.

"It's better to try and fail than to wonder what could have been."
Kirsten Hubbard, Wanderlove.

"This is what love does: It makes you want to rewrite the world. It makes you want to choose the characters, build the scenery, guide the plot. The person you love sits across from you, and you want to do everything in your power to make it possible, endlessly possible. And when it’s just the two of you, alone in a room, you can pretend that this is how it is, this is how it will be."
David Levithan, Every Day.

"I like him so stupidly much."
Katie Cotugno, How to Love.

"People are more difficult to work with than machines. When you break a person, he can't be fixed."
Rick Riordan, The Battle of the Labyrinth.

"One day you'll fall asleep in my arms every night. And you'll wake up to my kisses every morning."
Kiera Cass, The Selection.

"Is it better to have had a good thing and lost it, or never to have had it?"
Jennifer E. Smith, The Statistical Probability of Love at the First Sight.

"I never really gave up on you. Not really. I always hoped...."
J. K. Rowling, Harry Potter and the Half-Blood Prince.

You're My Cup of Tea



The soldier loves his rifle,
The scholar loves his books,
The farmer loves his horses,
The film star loves her looks.
There’s love the whole world over
Wherever you may be;
Some lose their rest for gay Mae West,
But you’re my cup of tea.

Some talk of Alexander
And some of Fred Astaire,
Some like their heroes hairy
Some like them debonair,
Some prefer a curate
And some an A.D.C.,
Some like a tough to treat’em rough,
But you’re my cup of tea.

Some are mad on Airedales
And some on Pekinese,
On tabby cats or parrots
Or guinea pigs or geese.
There are patients in asylums
Who think that they’re a tree;
I had an aunt who loved a plant,
But you’re my cup of tea.

Some have sagging waistlines
And some a bulbous nose
And some a floating kidney
And some have hammer toes,
Some have tennis elbow
And some have housemaid’s knee,
And some I know have got B.O.,
But you’re my cup of tea.

The blackbird loves the earthworm,
The adder loves the sun,
The polar bear an iceberg,
The elephant a bun,
The trout enjoys the river,
The whale enjoys the sea,
And dogs love most an old lamp-post,
But you’re my cup of tea.

W. H. Auden

for you, R.
Buddy, you're my cup of tea
no matter what, Ily
Just stop saying you don't.

lundi 24 mars 2014

Happy Ending itu Nyata

Topik bahasan kita malam ini dimulai dari percakapan kamar gue dan adek, yang kira-kira jalannya kayak gini:

Gue: Ja, tau nggak, kenapa dulu gue ikut segala macem les?
Reza: Hmm? *gigit roti*
Gue: Tau nggak?
Reza: Nggnyaakkk *sambil ngunyah*
Gue: Soalnya gue kepingin move on.
Reza: Ketebak banget. *ngunyah sebentar* Orang mager kayak lo mana mau ngeles kalo nggak terpaksa.
Gue: ....

And our conversation was overheard by my dad. Dan yah, lo tahu lah apa yang selanjutnya terjadi. Gue diinterogasi. Pasalnya, dulu gue bilang gue mau stop ILP. Mau fokus ke pelajaran. And lately I changed my mind. Udah mau tiga tahun gue kursus di ILP. Ogah amat gue DO tanpa ijazah. Lagian "tinggal" lima level kok. "Tinggal" sepuluh bulan.

Long we talked, akhirnya bokap pun berujung pada satu kesimpulan. (Yang mungkin memang benar, mengingat Baginda kadang lebih kenal gue ketimbang gue kenal diri gue sendiri). Gue mau lanjut ILP soalnya baru putus. Salah, diputusin. By a guy who claimed that his future was me.

*brb nyedot ingus*

I loved him, he loved me. Tapi mungkin emang not meant to be. Yah, mau dibilang apa. Di sini gue ceweknya. Gue cuma bisa bilang "okay" atau "no" kan? Hanya bisa konfirmasi. Semua keputusan dia yang buat. Call me passive, tapi gue suka didominasi cowok. Gue suka merasa bisa rely on them. Aneh, nggak?

Yah, pokoknya gitu. Abis gue cerita panjang-lebar, bokap melihat gue, lama, with the kind of stare yang bikin gue merasa ditelanjangi. Di hadapan dia, gue nude. Genuine. Nggak ada kepura-puraan. Gue nangis.

And he patted me on my shoulder and said, "Kamu tuh kayak ayah. Justru semangat waktu lagi jatuh sejatuh-jatuhnya. Giliran seneng jadi males. Lupa diri."

...

Bener, kan? Dia lebih kenal gue.

Bokap nyetujuin gue lanjut ILP karena dia yang paling support segala kegiatan perkursusan gue dan paling ngamuk kalo gue bolos. Hm, ya sudahlah. Intinya hari Rabu I'll back to October. Salah. Back to ILP.

Beberapa hari yang lalu, ada yang nge-ask gue di ask.fm, gue jenis orang yang takut memulai hal baru atau nggak? And I said, no. Gue nggak takut memulai hal baru karena ketakutan gue terletak di mengakhiri hal-hal yang sudah gue mulai itu.

Seriously. I'm always afraid to put an end to something I've started and taken years to develop. Gue takut ada yang hilang. Takut ngerasa dikoyak oleh keputusan gue sendiri, kayak bumerang. Mungkin prospek ini yang ngejelasin kenapa gue selalu takut mutusin orang, muahahaha. Duh. Maaf baper.

Pikiran gue, there's no thing such as happy ending. Logikanya deh, if it makes you happy, why should it end? Yah, tapi pemikiran itu terpental waktu gue nonton film Now You See Me. Ada suatu line yang gue hafal. Bukan quotes, tapi cukup membuka mata.

"Just like every good things that must come to an end..."

Cuma itu yang gue tangkap. See the remark? Every good things must come to an end. Dan ending itu nggak mengubah title mereka jadi bad things, kan? Sama aja kayak mantra favorit gue. You can't be happy unless you let yourself unhappy sometimes.

Sadar atau nggak sadar, segala hal pasti ada akhirnya. Yang buruk atau indah. Terpaksa atau sukarela. Just because it ends, doesn't mean it's not beautiful. Sometimes things end karena... yah, sudah waktu mereka buat expired dan digantikan sama hal yang lebih baru dan lebih bikin lo bahagia. Mungkin lo nggak tau. Tapi di sini yang pegang naskahnya Tuhan, kan? Lo cuma perlu nyiapin diri dan maju saat Dia bilang, "Action!"

Ada banyak quotes tentang hal ini. Life is like ice cream, enjoy it before it melts. You only live once. Sekarang gue mikir... titik berat dari kata-kata mutiara barusan nggak terletak di kata "hidup".

Gue baru sadar, sedikit terlambat, kalau kebahagiaan itu bisa kadaluwarsa.

Gue baru sadar, kalau Disney got it right. Happy ending itu nyata.

...

back to All Too Well

lundi 10 mars 2014

Afternoon Like This

We're never done with killing time
Can I kill it with you? Till the sky runs red and blue
We come around here all the time
Got a lot to not do, can I kill it with you?
400 Lux - Lorde

Semua kepala menoleh padanya saat Ale memasuki kafe, berusaha memasang senyum terbaik dan wajah paling netral. Ia duduk di pojokan, di tempat yang ia dan Fabi selalu tempati. Namun ketika sepuluh menit terlewat dan meditasinya justru membuatnya kembali teringat akan Rayi, Ale bergegas ke kamar mandi, menatap lekat-lekat bayangan di cermin.

Ia tak mengenali bayangan itu sama sekali. Hidungnya merah, matanya sembab, dan rambutnya belum disisir. Persis peran utama Beranak dalam Kubur 2.

"Rayi sialan," desisnya menyumpah, mencengkeram ubin meja wastafel hingga ujung-ujung kukunya memutih.
Di hari-hari biasa saja, Ale paling ogah bawa bedak, apalagi dalam situasi kalang kabut kayak tadi. 

Terpaksa Ale menunggu sampai rona di hidungnya hilang secara natural, yang agak susah karena dia putih.
Begitu yakin dirinya lebih rapi sedikit, Ale berbalik, dan tepat saat itu ia tersungkur ke dalam dekapan lengan-lengan sigap itu. Ale diam, tak berusaha menengadah karena aroma parfum si cowok menariknya seperti magnet.

"Lo kenapa nangis?"

Fabi. Blunt dan straightforward. Tanpa menunggu jawaban Ale, cowok itu memandunya ke meja di pojok, setengah memeluknya guna menghindari cewek itu dari tatapan heran orang-orang.

"Kok, lo tau gue nangis?" tanya Ale begitu duduk, menggosok-gosok hidungnya, begitu malu sampai ia hanya berani memandang sepatu.

Alis Fabi menaik, seakan berkata serius lo? Tapi melihat keadaan Ale, dia tahu cewek itu sedang dalam tidak mood ngeguyon.

"Suara lo di telepon," akhirnya Fabi menjawab.

Ale menaikkan dagunya, menghentikan kegiatannya mengampelas hidung. Suaranya murni kaget. "Suara gue?"

"Itu suara habis nangis," jelas Fabi sok diplomatis. "Semua cewek suaranya kayak gitu kalo mewek. Nggak jelas artikulasi, nggak mengindahkan intonasi."

Jawaban yang lebih jujur dan lebih sederhana: Fabi terlalu mengenal gadis ini.

"Jadi, siapa yang bikin lo nangis? Perlu gue tendang nggak pantatnya?" Fabi mengetuk-ngetuk punggung tangan Ale.

Cerita Ale langsung tumpah ruah tanpa bisa dibendung. Mulai dari cerita Nuna dan pertanyaan cabe-cabeannya di situs ask.fm, Zara yang mengajak Nuna ke girl's day out yang diniatkan Ale hanya untuk dirinya dan Zara, piala dan kado yang dibuang ibunya, sampai yang terkini, Rayi the heartbreaker. Seperti biasa, Fabi mendengarkan, dan kalau ia protes, ia hanya menunjukkannya dari gurat wajah atau kedikan alis, dan Ale langsung memperjelas ceritanya tanpa diminta.

"Jadi..." Ale menjeda kesimpulannya dengan batuk, "gitu."

"Kasian banget lo," kata Fabi tercenung, "such a bad day for you."

"Yeah."

"Tapi gue seneng sih, lo punya masalah yang nggak bisa diselesain Rayi."

Ale berhenti menyeruput hot chocolate-nya. "Um, kenapa?"

"Soalnya lo akhirnya nyari gue," sahut Fabi ringan. "Gimana? Udah lebih lega sekarang? Kalo belom, tumpahin aja lagi. Otak itu kayak ember, Le, ada limit volumenya. Kalo kebanyakan, mending ditumpahin daripada bocor."

"Lega," aku Ale. "Rayi brengsek banget."

Fabi menaikkan bahu. "Gitu deeeh, cewek, kalo lagi sakit hati semua makhluk disalahin."

"Emang dia salah, kan?"

"Yang lebih banyak fight selama kalian berhubungan, siapa? Lo atau dia?" tembak Fabi langsung. "Gue nggak nyalahin elo sih, Le. Ya lo udah bilang sendiri, kan, kalo lo cuma mau jadi temen. Dia ngarepnya lebih. Dan lo terima-terima aja diperlakuin kayak pacar sama dia. Gue tau," Fabi buru-buru melambaikan tangan, ketika Ale menendang kakinya tak suka, "lo nggak minta itu semua. Tapi lo juga nggak nolak, kan?"

"Gue nggak ngerti..." desah Ale nelangsa, "kenapa dia bisa minta break sama gue. Okelah, katakan itu emang buat kebaikan gue sendiri, lalala yeyeye. Masalahnya, gue sama dia udah terlanjur... dalam. Batas-antara gue dan dia udah terlalu tipis."

Aturan pertama ngobrol dengan Elmira Alesa adalah: siap-siap berpikir keras, karena apa yang cewek itu maksudkan biasanya bisa tiga sampai empat kali lipat lebih bermakna ketimbang apa yang diucapkan. Pada akhirnya, Fabi cuma bisa ber-"Oh" sambil mengangguk sok paham, seperti yang dilakukannya 3/4 waktu.

"Lo udah pernah... errr, tidur sama dia?"

Wajah Ale mengkeruh dan ia mengangguk. "Tapi bukan tidur yang gimana-gimana. Tidur yang... cuma tidur. Nggak telanjang," cewek itu lantas menggeleng.

Lagi, Fabi cuma berkomentar, "Oh." Disesapnya semua teh tariks dalam satu tarikan napas, dan ketika dilihatnya Ale masih termenung mengamati minuman kemasannya dengan wajah murung, tak tercegah Fabi menghela napas.

"Oke, get up. Ayo ikut gue."

Susah payah Ale mengangkat dagunya, dan terpaksa melakukannya karena Fabi sudah terlanjur menarik pergelangan tangannya.

"Mau ke mana?" bisiknya serak.

"Ikut aja," timpal Fabi kalem tanpa membalas pandang bertanyanya. Mau tak mau Ale manut, memaksa kakinya mengikuti seretan Fabi yang agaknya kurang berperasaan. Tadinya Ale nggak protes mau dibawa ke mana ia oleh Fabi, namun keningnya berkerut saat Fabi menggeser papan pagar penghalang jalan ke gedung toko buah yang sedang dibangun ulang, yang letaknya persis di seberang kafe.

"Bi, kita mau ngapain...?"

"Masuk," komando Fabi, yang tak menuntaskan rasa penasaran Ale. Tak punya pilihan lain, Ale celingukan dan merundukkan kepalanya, nyaris merangkak masuk ke dalam, seperti kucing kebelet kencing. Fabi menyusul di belakangnya, dan langsung bangkit dan menarik tangannya lagi begitu sampai di seberang pagar.

Barulah Ale benar-benar mengamati keadaan sekitarnya. Gedung suram yang belum jadi, dindingnya masih berupa tripleks dan belum beratap. Tiang-tiang memancang, memberi calon gedung itu kerangka. Di sekelilingnya, rumput dan ilalang liar yang belum dipangkas, bercampur lumpur dan tanah yang distok untuk keperluan membangun. Rasa waswas bergemuruh dalam kepala Ale, terutama begitu Fabi mengingatkan, "Liat-liat ke bawah, ya, Le. Banyak paku soalnya."

Fabi memberi hormat dan meneriakkan, "Hoooiii! Numpang bawa temen, yaaa...!" pada kuli-kuli pengangkut yang sibuk bekerja, dan anehnya, mereka membalas Fabi dengan acungan jempol setuju, mengkonfirmasi kecurigaan Ale kalau ini bukan kali pertama Fabi "piknik" di area yang tertutup untuk umum ini.

Mereka masuk ke dalam gedung, dan Fabi membantu Ale memanjat tangga yang masih berupa kerangka, belum disemen dan masih goyang-goyang ketika kaki mereka menapakinya. Tangga yang memutar itu seakan tak ada ujungnya, dan Fabi baru berhenti berjalan begitu mereka sampai di lantai tertinggi gedung.

"Now, take a deep breath and sit down, please."

Mata Ale menyapu pemandangan di sekelilingnya, dan seketika ia tercekat. Dari ketinggian lantai tujuh, ia dapat membidik semua angle ruas jalan di daerah itu. Setiap lampu merah yang berubah kuning. Setiap petak-petak gedung yang berjajar seperti papan monopoli. Setiap mobil yang berhenti tepat di bawah rambu dilarang parkir. Setiap kesibukan dan pejalan kaki yang tak mengindahkan laju kendaraan di kanan-kiri.

Fabi bisa merasakan keterpakuan yang membekukan gadis itu, karenanya ia berinisiatif mendudukkan Ale di pinggir pembatas atap gedung. Pembatas itu cukup tinggi sehingga cukup menyamarkan mereka berdua. Untunglah begitu, karena kaus oranye manyala yang dikenakan Ale terlalu mencolok untuk diabaikan.

"Lo-lo tau dari mana tempat ini, Bi?"

"You're welcome," Fabi terkekeh, dan menyisir rambutnya yang tadi diacak-acak angin lewat, "lo kayak nggak tau gue aja, deh. Gue kan punya network yang luas." Ia memiringkan kepala ke kiri, menyipitkan mata, seakan Ale adalah bayangan kabur yang sukar ditangkap. "Gue tau lo suka berada di ketinggian. Waktu itu lo bilang, rasanya kayak terbang. Bebas. Lo selalu kepingin punya sayap, biar lo bisa mencermati tiap lapis langit. Biar lo tau komposisi bintang. Biar lo tau apa jejak kaki Neil Armstrong bener-bener masih tercetak di bulan. Biar lo tau di mana persisnya utara tempat burung-burung singgah tiap musim dingin."

"Gue nggak bilang itu...." Mata Ale memejam dan membelalak. "Itu kan Sajak Sayap Patah gue."

Fabi mengangguk, menaikkan bahu. "Waktu itu lo dateng ke gue, nangis-nangis. Lo baru diputusin Fahran. Tapi waktu itu durasi lo singkat, karena lo ngeliat burung nemplok di kabel listrik, dan lo mendadak ngerampas pulpen gue dan nulis di struk belanjaan. Jadi, deh, Sajak Sayap Patah. Titik komanya gue masih hafal, lho."

Ganti Ale yang memiringkan kepalanya ke kanan, mempelajari Fabi.

"Yah, kan gue pembaca pertamanya. Proofreader-nya." Fabi mengumpulkan oksigen banyak-banyak sebelum melepaskannya kembali. Dipungutnya sebatang pensil superpendek yang entah bagaimana, secara kebetulan, ada di dekat kakinya. Selanjutnya ia mengeluarkan dompet dan mengeluarkan struk belanjaan lain, yang selalu ia kumpulkan karena inspirasi tak terbendung bisa datang kapan saja. Disodorkannya dua benda itu pada Ale, khidmat, seakan pensil butut dan struk kusut itu adalah harta dinasti Syailendra yang baru ditemukan.

"Now, write." Fabi tersenyum. "Nulis apa aja, tentang siapa aja. Gue kenal lo, Elmira Alesa Ambrosio. If someone does horrible thing to you, you're gonna put it in your writing. That's how you operate. Literature is your weapon."

Selama sesaat, Ale speechless. Ia tak pernah meminta seseorang mendeskripsikannya, tapi semua untaian kalimat tentangnya yang keluar dari mulut Fabi terasa benar. Fabi mengenalnya, dan prospek itu membuat ulu hatinya yang tadi membeku, sedikit menghangat.

Tak menemukan hal lain untuk dilontarkan, akhirnya Ale berkomentar, "Alesa Ambrosio? Lo katarak atau rabun dekat?" guraunya, tertawa sendiri. "Gue nggak segitu semlohai, kali."

"Dari segi badan, sih, jauh. Sedotan Aqua mana bisa dibandingin sama gitar Spanyol? Tapi muka, boleh, lah. 11/13."

"Jangan sebut 13 di depan gue," kata Ale singkat tanpa mengurangi ketajaman.

"Oh, soalnya itu tanggal anniv lo dan Rayi?" Fabi tersenyum, girang.

"Yep, dan 11 itu tanggal anniv kita," tambah Ale, entah kenapa mengingat info itu.

"Wah, bener," Fabi sontak terbahak. "Happy failed anniversary, Alesa Ambrosio, badan sedotan Aqua."

Ale tak menjawab, hanya memutar mata dan mulai menggesekkan pensil ke struk belanjaan. Dibiarkannya Fabi bersiul samar, beradu dengan merdu nyanyian burung pipit yang hinggap di pohon belakang mereka. Ketika ia selesai, ia mengempaskan dirinya ke dinding pembatas, menatap Fabi.

"Coba, gue lihat kerjaan lo."

Ale tak bergerak. "Sebutin quotes yang lo suka."

"Fine," Fabi tak terlihat jengkel sama sekali. Ia menggaruk dagunya, berpikir. "Hm. This Universe is made of stories, not of atoms. Muriel Rukyard." Ia tersenyum, merenungi kata-katanya sendiri. Disenggolnya Ale yang juga berusaha mencerna dan mengingat kutipan itu. "Lo?"

"Dan Bumi hanyalah setitik debu di bawah telapak kaki kita."

"W. B. Yeast," gumam Fabi tertarik. "Terjemahannya?"

Ale mengangguk. "Lo baca Perahu Kertas juga?"

"Oh, dari novel, toh. Nggak. Gue baca di Goodreads. Everything exists, everything is true, and the earth is only a dust under our feet. Memorable. Indah."

Ale tak benar-benar mendengarkan. Persetan soal terjemahan kutipan, ia lebih menyukai bahasa Indonesia-nya. Setelah sibuk mengumpulkan keberanian, ia menggeser duduknya mendekati Fabi, dan bertanya, "Lo tau kenapa gue nulis?"

Fabi hanya menggeleng, dan balas menatapnya.

Ludah ditelan, dan Ale menjelaskan, "Untuk bersyukur. Untuk memiliki apa yang selama ini nggak gue punya. Untuk mencecap keabadian." Ia menghela napas panjang-panjang sebagai jeda, dan melanjutkan, "Literatur itu pelarian. Literatur itu penolakan. Literatur itu kejujuran di balik kebohongan, dan cuma orang-orang yang kepada siapa karya itu ditujukan yang akan mengerti."

Duh, kalimat ribet lagi, Fabi menggerundel dalam hati, tapi tetap menyimak.

"Gue pernah denger kutipan gini, 'Tugas utama seorang penulis itu bikin susah hidup karakternya.' Dan itu bener. Kalo gue lagi susah, gue bakal bikin karakter gue lebih susah dari gue. Kejam, ya?"

"Nggak juga," bantah Fabi, "itu arty. Pembalasan dendam paling berseni."

Ale tak menggubrisnya, hanya terus mencerocos. "Gue tahu cara main semesta. Semesta itu bukan pabrik pengabul permohonan. Bukan cuma doa kita yang ngantre buat dikabulkan Tuhan." Ia menggeleng kalut, tapi senyum muncul di wajahnya. "So I write. To make my dreams come true, bahkan walau tanpa berdoa."

Senyum itu tak lepas dari wajah Ale, terus melekat tanpa ia tahu siapa yang disenyuminya. Mungkin burung-burung yang terus berkicau rewel di belakangnya. Mungkin udara yang menjaganya tetap merasa bebas. Mungkin langit hari Sabtu yang mulai merona jingga. Mungkin juga Rayi, yang tak sabar ia lihat reaksinya begitu ia mem-publish tulisan di struk belanjaan itu di blognya.

"Mau balik ke kafe?" tanya Fabi lunak, membuyarkan lamunan Ale. "No offense, kayaknya lo butuh lebih banyak struk. Atau buku tulis, sekalian."

"No problemo," balas Ale, merasa lebih kuat dan utuh dari sebelumnya. "Lo nggak ada acara kan, malam ini?"

Fabi menyusulnya bangkit, menggeleng. "Nggak, kenapa?"

"Gue mau nulis, sepanjang malam ini, dan gue nggak mau sendirian." Ia cekikikan sendiri. "Tapi kalo lo mau pulang, nggak pa-pa. Yang gue butuhin saat ini cuma hot chocolate dan hama buat ganggu, kalau sewaktu-waktu gue keinget Rayi. Atau nyokap. Atau Nuna dan Zara."

"Hama. Lumayan. Terakhir kali gue nemenin lo, lo sebut gue laler. Lumayan, kasta gue naik. I feel honored." Fabi tak lagi menahan cengiran. "Yuk, balik."

Diserahkannya tangan kepada Ale, yang menyambut uluran itu sukarela. Dibiarkannya Fabi menuntunnya ke bawah, memandunya, menyeberangkannya. Masih banyak siang-siang yang akan mereka lewatkan. Masih banyak jam-jam yang akan mereka isi, dan kalau mereka sempat, mungkin mereka akan bicara soal perasaan.

***

10/3/2014, 2:39 pm.

For FN, my coach, my leader, my dream partner.

Karena satu hari bersama kamu adalah mimpi yang tak ada usainya.
Karena satu hari bersama kamu membuatku mencecap keabadian.
Karena satu hari bersama kamu, dan Bumi hanyalah setitik debu di bawah telapak kaki kita.

dimanche 2 mars 2014

Sedikit Pesan dari Laler Toko Buku

Gue suka buku. Sesuka itu sampe gue suka ngeliatin mereka. Di rak display yang tertutup kaca mengkilap, di bawah lapisan debu, bertebaran bersama pakaian dalam, apapun itu gue suka. I love smelling and gathering and loathing and hoarding them. Koleksi buku gue dari jaman TK masih tersimpan manis di rak buku gue. Kertasnya udah kuning, gambarnya udah buram, halamannya banyak yang lepas dan bahkan nggak jarang, sampulnya hanya Tuhan yang tahu keselip di mana.

Berhubung gue suka buku, bookstore itu so pasti tempat hangout favorit gue, selain coffee shop yg ada jendela gedenya. Bookstore barangkali satu-satunya tempat tertutup yg ga bikin gue klaustrofobik. There's something magical between the shelves, like a charm trying to draw you near. Berhubung gue orangnya kadang mager keluar dari comfort zone, sekalinya gue suka sama satu tokbuk, gue sampe males ke tempat lain. Mbak kasirnya sampe bosen ngeliat muka gue.

Nggak kayak di luar, industri penjualan buku di Indonesia didominasi sama satu raksasa absolut: Gramedia. Mal yg ga ada Gramedia-nya itu bagaikan Jakarta di musim hujan tanpa banjir: ga lengkap dan ga ada hype-nya. Dulu cuma satu Gramedia yang gue kenal. Gramedia Melawai. Tongkrongan favorit gue waktu SMP ya di situ.

Sejak SMA, berhubung 70 selangkah lebih dekat ke Blok M Plaza, jadilah gue lebih sering ke TGA di sana. Lama ga bersua, gue kaget waktu tau Gramedia Melawai udah ditutup. Kecewa, soalnya banyaaak banget kenangan indah di situ. Promosi+talkshow Fantastic Five. Surprise ke Dinda waktu doi ultah. Ketemu orang yg akhirnya jadi pacar dan akhirnya jadi mantan. Kecewa, tapi mau diapain lagi?

Sejak SMA, selera gue dalam membaca juga sedikit geser. Gue lebih... apa ya? Internationalized? Ya gitulah. Awalnya gue ketularan virus Ucca, yg katanya males nungguin buku terjemahan keluar. Trus waktu renang di Citos, gue diajak Lisa ke Books&Beyond dan menemukan surga baru di sana. Jadilah gue bolak-balik Books&Beyond buat bookshopping.

Setiap bookstore, layaknya mantan, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Buat buku-buku lokal, Gramed masih juara hahaha no doubt lagi deh ya. Harga buku di Gramed dan Togamas dan TGA sama, yang beda cuma stok dan kecepatan persediaannya. Selalu ingat Hukum Gramed I -> Semakin ngetop mal yang "nampung" mereka, semakin cepat dan lengkap stoknya.

Kalo buku impor, beh, untung-untungan cuy. Kadang buku langka dan lama gaada angin gaada ujan nongol di rak. Begitu juga buku baru, belom ada seminggu dari tanggal rilis resmi di negara asal, udah berbaris rapi, menunggu dijamah pembaca. Gue perhatiin, buku-buku impor yang dijual di Gramed didistribusikannya sama PT Sinar Star Books, ada di stiker di belakang buku. Stiker yang sama juga kadang gue temukan di buku-buku Kinokuniya. Dan kata apa yang identik dengan Kinokuniya? Muahal pake U.

Stok buku impor di setiap Gramed itu juga beda-beda. Gue nemu Cinder yang gue cari antara hidup dan mati di Gramed Penville dan Before I Fall yang udah bikin gue putus asa di Gramed Gancit. Biasanya stoknya juga dikit, paling banter lima kopi per judul. Biasanya lagi, judul-judul bukunya itu random. Jadi ga semua buku baru ada di sana. Yah, down on luck aja sih kalo mau cari buku impor mah.

Sejauh ini, Gramed paling "wow" yang gue temui ituuu di Gancit dan PIM. Matraman sih jangan tanya ya wajar lah kalo dia lengkap. Buat buku lama, bisa coba cari di Gramed Penville atau Kalibata.

Oh iya. Gramed juga punya policy yang namanya Gramedia Member Card. Nyokap gue bikinin buat gue, and really, the use somehow confuses me karena beda Gramed, beda juga cara mereka nge-treat si member card. Ada yang ngasi diskon ada yang nggak. Belakangan gue tau kalo member card-nya harus diisi saldo dulu, baru lo bisa dapet diskon 20%. Kalo pake tunai, lo nggak dapet diskon, tapi cuma nambahin poin. Sebelum ada misunderstanding nih, Gramed Member Card cuma bisa dipake buat buku terbitan Gramed dan keluarga besarnya.

Books&Beyond. bookstore langganan gue selanjutnya. Love bgttt soalnya dia proses pengirimannya lebih cepat, biasanya selang dua minggu dari tanggal rilis di US udah nyampe di toko. Biasanya juga udah langsung tersedia dalam bentuk international edition yang notabene lebih affordable. Kalo Periplus kannn biasanya hardcover-nya dulu yang muncul, baru paperback atau IE menyusul one or two months later.

B&B juga kalo ngasih diskon ga tanggung-tanggung, bisa sampe 30% persen buat buku baru. I got my copy of Requiem by Lauren Oliver for only 84,6k. The Beginning of Everything by Robyn Schneider for only 69k (lately gue tau harga di Periplus 125k. MATI). Dan itu berlaku buat buku baru.

Member card juga disediain sama B&B, tapi sayangnya bayar huhuhu cry me a river:'( Positifnya, member card-nya aktif ngasi diskon 10% buat all products all year, nggak pake season-season-an. Birthday discount sampe 15%. Buat application setahun harganya 100k, dua tahun 150k, dan tiga tahun 200k. Gue nggak tau sih apa itu bakal do me many favors karena gue nggak diizinin bikin. 100k bisa buat nambah satu buku.

On the other hand, kalo mahal mereka juga nggak nanggung-nanggung HEHE dan kenaikan harga bisa lebih unpredictable dari mood cewek pas PMS. Biasanya bulan-bulan awal buku dijual masih murah. For example, gue waktu itu beli buku Ransom Riggs' Hollow City di B&B Penville for 132k. Balik ke B&B Citos sebulan kemudian, harganya udah 205k buset. Terlepas ini gegara pengaruh dolar atau nggak, gue bersyukur gue beli buku itu di awal.

Temen gue juga cerita waktu dia beli buku If I Stay-nya Gayle Forman di B&B. Di plastiknya tertera 99k, tapi waktu di kasir harganya jadi 110k. Temen gue yang main asal terima ya bayar aja, meski akhirnya dia terpaksa pulang ke rumah jalan kaki. Sampe di rumah, dia nelpon gue pake telepon rumahnya dan gue kena semprot.

Selain itu, website B&B suka nggak sesuai dengan kenyataan dan kurang development huhu aku sedih. Akun twitter-nya juga jarang update. Yaaa nggak banyak ngaruh sih tapi itu kan menyulitkan customer buat reach out mereka. Dan meski B&B most times paling murah, gue tetep nganjurin kalian buat ngebandingin harganya sama Peri+. Waktu itu gue beli House of Hades di sana 159k dan di Peri+ 149k. Beda 10k. Mayan buat beli bakso. Let It Snow di B&B 125k dan di Peri+, biar kata telat, 105k doang. YANG INI NYESEK MAMEN. Last time gue lucky karena gue beli Every Day di Peri+ 125k, di B&B 188k. Edisi di Peri+ juga udah ditambahin short story dan excerpt lainnya. HU to the RAY. HURRAAAAY.

Btw, bookstore B&B yang gue anjurkan kelengkapannya adalah Penville dan Citos. Yang terakhir kecil-kecil cabe rawit. Kalo PS rada tidak memuaskan yah. Paling lengkap sih adanya di Lippo Cikarang atau Karawaci gitu gue lupa. Gue belom pernah ke sana sayangnya:(

Bookstore ketiga adalah Peri+, yang udah kalian denger dari paragraf di atas. Plusnya, lumayan lengkap dan stoknya banyak. Kalo annual sale buset serasa nyolong gue saking murahnya. Website-nya bagus dan well-developed. Twitter-nya selalu update dan responnya quick waktu gue mention.

Tapi Peri+ sayangnya nggak segesit B&B dalam kecepatan suplai buku. Bisa berbulan-bulan sampe bukunya nyampe, apalagi kalo bukunya bukan dari penulis terkenal. Kalo datengnya cepet juga biasanya hardcover, something that's too royal to me. Yang gue kagumi, harga mereka nggak bohong. Paperback rata-rata paling mahal 125k, tebelan dikit 150k.

Peri+ juga nawarin member card, Periplus Elite Card a.k.a. PEC. Plusnya lagi, GRATIS. Kita cuma perlu beli buku seharga 500k dalam dua bulan. Minusnya? Cuma bisa digunain buat new products atau di occasion tertentu. Diskonnya 15%, birthday discount 20%. Kita bakal dapet poin buat setiap pembelian buku dengan PEC, 10k buat satu poin. Sayangnya poin baru bisa "ditebus" kalo udah 500. Kurang dari itu? Angus kalo ga di-redeem, which happened to me. Hikz.

Peri+ rekomendasi gue? PS dan Gancit dan PIM. Dua terakhir sering ngasih annual sale.

Fourth, Kinokuniya. Kayak yang udah gue bilang di atas, ni bookstore MUAHAL pake U. Harganya bisa beda 20k sampe 50k dari bookstore lain. Plusnya? Lengkap dan luas bgt Masya Allah. Lo nyari apaan juga pasti ketemu di situ. Sayangnya Kino nggak punya website di Indonesia:( Yaaa pilihan terakhir kalo gue ngebet bgt pengin punya buku ya ini. Ada di PIM2 dan PS, samping Starbucks pula.

Ohiyaaa ada juga Aksara. Harganya relatif mahal, tapi kalo mau borju baca buku sambil ngopi, you can try Aksara Kemang. Cozy bgt gilak. Pewe. Sayang kopinya mahal jadi gue nelen juga rada nggak rela gimana gitu:'>

Kalo lo udah bener-bener desperate, bisa sih coba online shop. Di Indonesia ada OpenTrolley, yang katanya cepet tapi lebih mahal dari Kino. Di luar ada Book Depository, free ongkir. Minusnya? Nggak bisa dilacak pengirimannya dan cuma bisa pake kredit. Nyampenya juga lama. Gue sampe sujud syukur waktu pesenan gue dateng. Sebulan dua hari.

Saran gue? Always, jeli sebelum membeli! Wait a little longer gabakal bikin lo mati. Enjoy books, happy shopping, and have fun!