mardi 27 mai 2014

something about fire

Someone said it years ago, "Something about you reminds me of fire."

Gue masih ingat respon gue karena... akuilah, itu first impression paling nggak wajar yang pernah gue dengar.

"Kenapa?"

"You burn so bright, you burn so fast, yet you never long last."

Gue cuma angkat alis dan asal angguk aja. Jujur, gue nggak pernah mikir gue bakal nginget itu sampe hari ini. Well, gue emang udah lupa sih, kalo nggak diingatkan orang yang sama kemarin sore.

Dia langsung datang tanpa gue minta dua kali. Cuma sekali telepon dan sekali dia tanya, "Di mana lo?" Nggak nyampe sepuluh menit nunggu, dia dateng. Biasa aja sih, nggak kayak pangeran berkuda putih di film-film Disney, but it occured to me, a lot, because there'd been a thick wall between us, since both of us exchanged goodbye last March.

And yet, he came. Gue ngerasa dinding itu luruh, meleleh. He gave me his old smile, a crooked one, which formed a dimple on his right cheek.

"Lo nggak kenapa-napa?"

Cuma itu. Telak, to the point. Tanpa assalamu'alaikum atau apa kabar.

"Nggak kenapa-napa."

Orang itu menaikkan alis. "Kipak aja lo. Buruan masuk, keburu ujan." Dan yep, gue masuk mobilnya juga. Belom ada lima menit macet-macetan, cerita gue tumpah. Dia mendengarkan, as always.

Responnya begitu cerita gue kelar, "Calm down, Cha. Don't burn so bright."

Jadi, cerita gue kurang lebih adalah tentang... this guy, who I've liked since I was on 8th grade. Dia adik kelas gue di SMP, dan kami cukup deket. I used to have a crush on him, tapi well, saat itu nggak terbalas, karena dia jadian sama sahabat gue di kelas 7.

I'm sure I've posted a story about him in this blog, sih. Sepinter-pinternya lo menelaah aja dia yang mana. MUAHAHAHA.

Lama kami lost contact, gue ketemu dia lagi. Dua kali. Pertama kali ketemu pas Bulcup. Dia ikut teater. Gue hampir nggak mengenali dia waktu itu. Pura-pura nggak kenal juga sih. Malu, tengsin, karena gue nggak bisa menerima fakta bahwa... dia sekarang tinggi banget nyet. Padahal dulu dia lebih pendek dari gue. SERING GUE KATAIN PULA(!!!)

Karma is a bitch.

But life must go on. Kita lost contact. We lost the chance. Mungkin waktu itu, takdir cuma mengizinkan kami bertukar hai ala kadarnya.

And guess what? Gue sama dia ketemu lagi. Bulan April, waktu gue ikut FLS2N. Kita ketemu. Dia duduk di depan gue di lomba puisi. Lomba yang beneran bikin gue anxious karena beneran nge-stuck dannn tahun lalu udah gue menangkan katagorinya.

Waktu duduk, dia muter ke belakang. Ke gue. Kita ngobrol. We told stories and he didn't know why I came off a little shy. Malu, yang gue lampiaskan dengan nyerocos panjang lebar. Gue nggak berani ngeliat ke dia, atau geser sedikit ke hal-hal pribadi. I was scared it would wreck me. Soalnya gue baru sebulan putus sama... orang itu.

Gue nggak menang lomba itu. Didiskualifikasi, malah. Ternyata yang udah pernah menang nggak boleh ikutan lagi. Bentar ya, gue garuk aspal dulu.

But again, fate did have some says about me. Dia minta nomor HP gue, which gladly I gave. Tapi dia nggak miscall atau apa. Cuma sekadar nanya. Dan berhubung gue kelar paling akhir, we lost that chance again. To talk more closely.

Lama nggak ada kabar, gue mulai lupa tentang dia. Gue nyibukin diri, pembalasan dendam dan upaya move on dari orang itu. Gue deket sama beberapa cowok.

Dan tiba-tiba, nggak ada angin nggak ada ujan, dia nge-chat gue di WhatsApp.

Itu hari Senin, and I swear I'd never felt happier on other Mondays. The chat became unstoppable, meski gue, kayak yang orang itu bilang, berusaha slow down. Logika gue sih nyuruhnya gitu. Hati kecil gue kegirangan. "Maybe it's the chance," kira-kira begitulah.

Singkatnya, gue sama dia jadian, sekitar dua mingguan sejak dia pertama nge-chat. Like fire, we burnt. Too bright mungkin. Too fast juga. Karena sumpah, I'm tired and scared to ever lose the chance again.

Dan bener kata psikolog. "The more you realise you can't get it, the more you want it." And now when I finally can have him, gue malah semena-mena. Ngebiarin temen gue balesin chat-nya dia. Cuma gegara satu masalah sepele yang barangkali kesalahan gue juga. And what irked me was... dia nggak bisa baca atmosfer. Dia tetap trying to light up the fire, padahal gue berusaha memadamkan sedikit biar nggak panas-panas amat.

Waktu gue cerita itu, tanggapan Refal lebih lanjut adalah, "Lo kayaknya bermasalah banget, ya."

Yap, orang itu adalah Refal. My hunny bunny sweetie Refal. And we know we have this mental synchronisation. Kita kayak... bisa baca pikiran masing-masing. Mungkin karena kami lahir terpisah hanya tiga jam jauhnya. So you know, tanpa gue jelasin panjang-lebar, Refal tau full story-nya.

Berhubung gue lagi kesel, gue kasih Refal full access ke HP gue, yang dia manfaatkan unwisely. Ask.fm gue diganti password-nya, di-log out dari HP gue, dannn dibajak. Iya, kadang-kadang jailnya emang bangsyat pake Y.

Di tengah jalan, Refal sempet nanya, "Lo yakin lo sayang dia, bukannya cuma... apa ya? Obsesi?"

Itu kali kedua gue denger kata "obsesi". Pertama kalinya Tyas yang ngomong.

Gue kayak, "Gue nggak pernah main-main kalo pacaran. Apalagi cuma berdasarkan obsesi."

"Lah, kan ya kali aja. Mungkin gegara lo dulu pernah desperate sama dia banget dan nggak dapet, begitu dia deket sekarang, langsung lo terkam. Padahal kan yang kecepetan itu nggak baik."

"Gue bukan macan, Fal."

Refal nyinyir, "Nggak usah sewot gitu. Cuma perumpamaan."

Sesorean kami jalan-jalan, gue dibalikin ke tempat kursus, dan malamnya gue ditraktir Sushitei. Lumayan, mengobati kekesalan. Sampe rumah, gue baru baca semuaaaa bajakan Refal dan Ibu Presiden Republik Jomblo, dan gue rada ngerti sih kenapa si dia tersinggung. But he pushed me, (or I thought so, in case you're reading it. These paragraphs are based on my perspective, ofc), so I exploded.

Sumpah, gue pikir itu udah neraka banget. Semua kata-kata jahat gue keluarin. Stok kalimat berbisa gue sampe abis. I was so harsh. But in the end, all he said was, "So okay. Take care. I love you."

I was too furious to realise how sweet and loving and affectionate those words were. Gue baru sadar besoknya, dan gue langsung minta maaf. Tapi udah terlambat, mungkin. It took him a bit longer than usual to reply my messages. Gue hopeless, dan akhirnya gue nelpon Refal, suruh dia kemari.

Berhubung kami udah sohiban dari jaman gue masih ngempong, dia dateng aja. Nyelonong masuk ke kamar dan bilang, "Lo marah, tapi kangen. Lo kangen, tapi marah. Lo tuh bermasalah banget, ya."

"Itu kan quote di cerbung gue." In the middle of despair, gue masih mendeteksi plagiarisme. Eh, nggak deng. Kalimat itu sendiri gue kopi entah dari mana.

"Apa jadinya elo kalo nggak ada gue?" Refal ngedumel dan akhirnya kami cuma tiduran di lantai, di balkon. Kayaknya tanpa gue jawab, dia tahu.

"Gue nggak tau harus ngapain."

"Forget and let go, or forgive and make peace. Apa gunanya sih mendam-mendam kemarahan?"

Gue diem aja.

"Gue baruuu kemaren ngelarin Allegiant, dan ada satu quotes yang cocok buat lo. 'I suppose a fire that burns that bright is not meant to last.'"

"Lo nyumpahin gue putus?"

"Kenyataannya gitu, kan?" Dia nyengir. "Gue ngeliat lo rada nggak happy. Gue kira itu gara-gara dia terlalu clingy. Tapi ternyata pas ditinggal, lo malah miserable. Serbasalah jadi lo."

Gue nggak komentar.

"Lo harus bedain, yang mana sayang, yang mana obsesi. Kalo lo udah tau, yaaa lo lakuin apa yang menurut lo bener. Mewek kayak gini nggak termasuk, ya. Nanyain pendapat semua orang sampe-sampe lo terlalu kepengaruh juga nggak." Refal peluk gue. "Apapun keputusan lo, pasti gue support. Kan lo yang bilang sendiri, we're on each other's team."

I'm sorry Fal, sampe sekarang gue nggak bisa ngelakuin semua omongan lo. Instead, I wrote this post. Buat narik garis dari isi kepala gue yang lagi abstrak. My thoughts are stars I cannot fathom into constellations.

And for you, if you're reading this. I'm sorry. Ketujuh kalinya yak gue ngomong kea gini dalam sehari. Padahal gue janji cuma dua kali bakal minta maaf. In case you wonder, nope, I don't write this one as a way to get back together with you. I'm simply trying to say what I failed to say these days. And I wanna make peace with you, and myself.

And if somehow we can work it out, we will have a point by then. That we should slow down. Because really, fire that burns that bright is not meant to last.

I'll go back in time and change it, but I can't
So if the chain is on your door, I understand.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire