vendredi 8 février 2013

Mengenangmu

Mengenangmu mungkin hanyalah syair tak berbait, atau puisi lama tanpa kata
Mungkin pula sebuah kesederhanaan dari nilai kompleks suatu cerita
Mengenangmu mungkin adalah nina bobo yang sayup-sayup disenandungkan
Mungkin pula sebuah jeritan yang terkemas dalam kebisuan

Tak peduli di halaman berapa kita berada,
namun kulihat bayangmu di balik kelopak-kelopak bunga
Kudengar pula tawamu dalam dengungan lebah-lebah,
dan kutitipkan salamku pada semilir angin yang menderu

Mengenangmu mungkin adalah kata yang tua
definisi yang tak teruraikan
atau sapuan warna pada kanvas kosong
Namun bila aku bisa mendapatkan segalanya dalam hidup,
kan kuhabiskan setiap detikku untuk mengenangmu

Originally written by Esa Khairina
7:04 pm, 8/2/13
dedicated for my friends,
thank you for everything.

samedi 2 février 2013

Kenangan Choco Glee part 1

Bahkan walaupun ada bintang besar yang menubruk bumi dan menyemburkan debu keberuntungan, Ara tetap sangsi kesialannya hari ini bakal terhapus.

Pertama, di hari pertamanya dalam semester dua ini, Ara udah kena semprot wali kelasnya. Masalahnya sih sepele, gara-gara dia make sepatu beda warna! Padahal sih, ini bukan salah Ara (walaupun dia memang salah). Memangnya keinginan Ara apa, wekernya error sampe-sampe telat bunyi? Alhasil Ara menghabiskan Senin paginya dengan blingsatan nyari peralatan sekolah.

Kedua, Ara ditempatkan di kelas yang ia bahkan nggak kenal satu pun muridnya. Bukannya Ara ansos, tapi dia memang segan menyapa orang yang udah terlalu seru haha-hihi sama orang lain. Makanya, dia jadi cuma kenal sedikit orang.

"Hepi dikit, kek, Ra, kan kelas lo isinya anak pinter semua. Buset dah, itu kacamata udah tebel-tebel kayak martabak!" demikian Giri, sohibnya, berkomentar.

"Ish, cablak banget sih lo!" gerutu Ara gusar. Diam-diam matanya menerawang melewati kaca jendela kelas Giri, dan tanpa sadar senyumnya mengembang. Ada dia di sana, sedang bermain kemoceng sambil kejar-kejaran. Ara bahkan nggak menghitung seberapa lama ia terpaku dalam keterpanaan total, sampai-sampai orang yang dipelototinya menoleh. Matanya bertemu dengan mata Ara.

"Sial, sial, orangnya ngeliat, lagi!" gumam Ara, panik. Buru-buru dibenahinya bukunya, diiringi tatapan aneh Giri, bersiap-siap balik ke kelasnya, class sweet class.....

"Heh, Pendek!"

Spontan Ara menoleh, membuat beberapa senior yang nongkrong di dekat tangga bersuit, "Pendek, gangguin kita dong!" Menghela napas panjang, Ara memberengut pada Aldri.

"Puas, lo? Gila, bisa-bisa nama angkatan gue jadi 'Pendek', nih!" Ara menyepak betis Aldri tanpa ampun.

"Anjir, pendek-pendek ternyata tenaga lo gede juga, ya. Untung lo cewek. Coba kalo bukan." Aldri memamerkan kepalan tinjunya. Dilayangkannya tinjunya ke sekeliling kepala Ara, tapi alih-alih melukai cewek itu, Aldri justru melilitkan jari-jarinya pada rambut Ara yang kayaknya belom disisir.

"Ish, lepasiiiin! Genit banget sih jadi cowok!" Ara langsung beringsut menjauh dari Aldri.

Yang digertak cuma angkat bahu dan menyenderkan diri pada tiang koridor kelas IPS.

"Kelas mana lo sekarang?" tanya Aldri sok ngebos. Ingin rasanya Ara cakar bibirnya yang sok seksi itu.

"Heh, pake manyun segala, lagi. Sok imut, lo. Ntar tuh bibir jatoh aja, baru tau rasa."

"IPA-1," sahut Ara ogah-ogahan.

"Gila lo, Ra. Bisa-bisa sebulan di situ minus mata lo nambah jadi -100!"

"Garing lo ah. Lagian, apa hubungannya mata sama IPA-1?"

"Kan isinya anak pinter semua. Pasti lo bakal banyak tugas, deh. Terus, lo makin ansos, makin jarang keluar rumah, makin jarang olahraga, terus, ujung-ujungnya jadi makin pendek, deh!"

"Bo-do-a-mat!" Kini Ara memukul setiap bagian dari tubuh Aldri dengan bukunya. Aldri, seperti biasa, cuma menjulurkan lidah dan memberi sentilan selamat tinggal di dahi Ara, kemudian ngacir entah ke mana.

*****

Ara suka sama Aldri.

Mungkin itu adalah rahasianya yang paling besar. Rahasia yang paling boom-shakalaka yang pernah Ara simpan. Pertama kali Ara melihat Aldri, adalah waktu mereka ikut lomba pembacaan puisi di kelas 8. Aldri ngakak sampai terjungkal dari kursinya waktu giliran Ara tampil, membuat konsentrasi Ara pecah ke keping rekahan. Alasannya? Mikrofon diletakkan lebih tinggi daripada Ara, sampai-sampai Ara nggak nyampe, dan gara-gara tangannya udah penuh dengan buku, dia nggak bisa memendekkan tinggi mikrofon.

Yang bikin Ara keki bukan cuma itu. Ketika ia duduk, ia melotot pada Aldri, tapi Aldri justru mengedipkan matanya, dan membuat gerombolan teman SMP cowok itu ikut ketawa juga. Parahnya lagi, Aldri yang keliatan slengean kayak gitu bisa jadi juara satu, mendepak Ara dari posisi yang membuatnya karatan selama dua tahun berturut-turut. Ara cuma dapat juara dua.

Saat Ara ikut tes masuk di SMA Airlangga, salah satu SMA internasional favorit di Jakarta, ternyata ia ketemu lagi sama si muka slengean itu. Aldri. Parahnya, Aldri malah duduk di belakangnya, menyodok bahu Ara dengan pensil tiap butuh jawaban. Kalau Ara nggak nengok, Aldri bakal menggumam, "Pendek, nengok dong!" yang sukses membuat Ara menoleh garang. Lebih parahnya, pernah, saat tes fisika, Ara sok budek, sok gagu, terhadap bisikan Aldri. Aldri pun punya solusi cerdas, yaitu dengan menendang bangku Ara. Entah badan Ara yang kelewat enteng atau emang tenaga Aldri yang lebih-lebih dari babon, bangku Ara sukses terbalik.

Ara pun jadi makin keki saat tahu Aldri peringkat tujuh, mengalahkannya yang peringkat sembilan. Dan, seolah itu belum cukup, ia dan Aldri sekelas, pula. Ketika mereka sekelas, frekuensi kejailan Aldri menurun, walau nggak musnah sepenuhnya, sih. Aldri paling cuma manggil Ara, "Pendek!" beberapa kali, kemudian berlalu.

Saat itulah Ara sadar dia kangen Aldri.

Tapi bagaimana pun, Ara sadar dia nggak akan pernah dilirik Aldri karena 1.) Aldri kelewat eksis, sampe-sampe ia pernah mendengar namanya disebut-sebut dalam gosip ibu-ibu tetangga, dan 2.) Ara duduk sama Tari yang digadang-gadang bakal jadi Miss Indonesia begitu lulus SMA nanti. Nah, mana ada cowok yang bakal naksir Upik Abu kalo ada Putri Salju?

Sejak saat itu Ara selalu mengasumsikan, setiap Aldri memperhatikannya, itu pasti Aldri sedang melamun melihat Tari yang mukanya emang 11/12 sama Miranda Kerr.

Bukannya Ara pesimis, sih. Dia orangnya cukup optimistik, kok. Tapi emang bukan Ara namanya kalo nggak tertutup. Sampai saat ini, belum ada orang yang tau kalo Ara naksir Aldri, bahkan membayangkan prospek eh-lo-tau-nggak-gue-naksir-Aldri-loh itu saja membuatnya bergidik. Di dunia ini, cuma ada satu orang yang Ara percaya: dirinya.

*****

Setidaknya, di jam-jam terakhir matematika, Ara mendapat sedikit penghiburan. SMS dari seniornya di teater, yang mangatakan kalau mereka akan mementaskan suatu kolaborasi sama "SMA sebelah". Ara sih nggak ngerti kenapa orang-orang menyebutnya demikian, tapi sepertinya sebutan itu memang sudah mendarah daging. Ara juga nggak ngerti, sih, nggak ada angin nggak ada ujan, tiba-tiba Teater Airlangga mau bikin pentas kolaborasi sama teater SMA Mandala yang notabene adalah musuh sekolah mereka.

"Lo pasti bakal excited, deh. Di sana kan, bakal ada Zakari Anggara, Ra! Itu lho, yang dapet award pemain utama pria terbaik! Anjrit, tuh cowok mirip banget sama Nicholas Saputra!" seru Ivo, rekan teaternya, berapi-api.

Mungkin Ara keracunan saat itu, karena ketika ia mendengar kata "Nicholas Saputra", yang ada di pikirannya adalah Aldri. Dan rasanya baru tempo hari ia menjerit di bioskop pas nonton film 5 cm, meneriakkan, "Mirip Aldri!" saat Fedi Nuril muncul. Untung bagi Ara, waktu itu dia cuma nonton sendirian.

Jadi Ara cuma bisa menjawab, "Hm-mm?"

Ivo menghela napas. "Ih, lo, nggak asik deh! Seneng, kek, excited, kek! Nggak usah malu-malu gitu kali, lo mah malu-maluin adanya!"

"Dih, siapa juga yang malu-malu. Adanya lo, kali. Ngitung nggak sih lo, udah setengah jam nih, lo masih megang tuh kaca sama sisir!"

Ivo cuma cekikikan dan meletakkan dua benda itu di meja kafe. Ivo lalu menggebrak meja dengan halus dan mencondongkan kepalanya ke Ara. "Pokoknya, Ra, kolab ini harus jadi ajang cari pacar dan wahana penumpas kutukan jomblo! Gue kan nggak mau jadi jones seumur hidup, cuma bisa mupeng tiap liat orang pacaran."

Mendengus meremehkan, Ara memutar mata. "Yaelah, apa sih enaknya pacaran? Tujuan utama lo mah, bukannya buat berkarya, tapi buat nyari cowok. Santai aja, lagi. Cowok tuh suka sama cewek yang fokus pada tujuan. Kalo lo bisa tampil bagus, prima, dan nampilin yang terbaik, pasti si Zakaria itu..."

"Zakari Anggara!"

"Nah, iya, itu. Dia pasti juga klepek-klepek sama lo!"

Wajah Ivo mencerah. "Wah, pinter juga lo. Nggak salah ternyata gue berguru soal cinta sama lo."

"Gue kan udah pernah pacaran, Neng, jadi bukan jones lagi...."

"Udah ah, nggak usah dibahas! Yuk, buruan ke GOR!"

*****

GOR sebenarnya bukan tempat yang tabu untuk dikunjungi Ara yang berulang kali latihan teater di sana, tapi rasanya aneh aja, duduk melingkar di aula GOR bersama anak-anak dengan seragam "SMA sebelah". Ara melirik anggota Teater Mandala. Sembilan orang cowok dari total 24 anggota, sangat sedikit untuk tiga angkatan. Dengan malu Ara mengingatkan diri bahwa, boleh saja sih, Teater Airlangga punya sekitar lima puluh personel, tapi cuma ada satu cowok di antara mereka.

Untuk ukuran pertemuan pertama setelah konflik tahunan, bisa Ara nilai 8 dari skala 1-10. Anak-anak SMA Mandala tampak tak seramai anak-anak Airlangga, tampak kikuk dan canggung. Kepala Ivo dari tadi sudah menjulur kayak jerapah, mencari-cari "mangsa".

"Wah, cowoknya nggak ada yang jelek, Ra!" bisik Ivo berisik.

"Biasa aja, ah," balas Ara simpel. Keningnya berkernyit melihat seseorang yang Ivo tunjuk. Oke, dia bukan orang munafik, jadi mau tak mau ia mengakui cowok itu memang lumayan hot.

"Jadi, itu dia si Zakari Anggara?"

"Bukan, bukan! Wah, Zakari Anggara itu seratus kali lebih kece, Ra. Lo harus liat, deh."

Ara cuma melamun, dan buru-buru mengalihkan pandangan ketika Devina, sang ketua teater, berdiri berdampingan dengan Andros, ketua Teater Mandala. Masing-masing dari mereka mengucapkan sepatah-dua patah kata (oke, ini bohong banget. Ara yakin dia bisa tertidur andai pidato Andros-Devina diperpanjang satu kalimat, saja). Setelah itu, sesi perkenalan. Ara cuma menonton dengan bosan, sementara kuping Ivo tegak, mengingat-ingat setiap nama cogan yang dilihatnya.

"Gila, abis ini gue mintain ah PIN-nya satu-satu!" Ivo bersenandung riang. Ara cuma mengerang.

"Ra, Ra, liat deh, tuh cewek cantik banget!"

Ara cuma menoleh dengan ogah-ogahan, tapi ia langsung megap-megap begitu melihat siapa yang ditunjuk Ivo. Cewek yang sedang memperkenalkan dirinya sebagai Kirana Deswanty itu membuat Tari menjadi seperti setitik debu. Kalau Tari mirip Miranda Kerr, Kana mirip Keira Knightley!

"Cantik banget," gumam Ara mengakui.

"Ih, jangan-jangan lo lesbi, ya? Dari tadi gue tunjukin cogan, lo cuma menyendiri dan mingkeeem aja kayak ayam lagi ngerem telor. Sekarang giliran ada cewek cakep, lo malah melek. Gimana sih lo."

"Lo cuma kesel soalnya envy. Secara, dia lebih cantik daripada lo," Ara menyeringai, to the point.

Ivo cuma merengut dan kembali sibuk dengan kaca.

*****

Sampai pukul lima sore, segalanya baik-baik saja, tapi menjelang pukul enam, mood Ara kembali terjun bebas. Ivo merengek terus-terusan karena Zakari Anggara tak kunjung muncul, sedangkan yang lain mulai ikut casting. Yang beda, para pelatih nggak memberi tahu seperti apa naskah yang akan mereka pentaskan. Mereka cuma memberi tes uji kelenturan dan menyuruh mereka melakukan beberapa gerakan tari.

Sejauh ini, Kana adalah yang paling bagus gerakannya. Cewek itu lentur dan menjiwai tariannya, tapi Rasti, sang pelatih, cuma tersenyum masam. Setelah itu Kana menyingkir ke pinggir bersama Ara.

"Tadi lo keren banget," puji Ara, walau setengah hati, sih.

"Thanks," cewek itu nyengir. "Nama lo Ara, kan, ya? Yang waktu pentas itu jadi musang, kan?"

Ara menyeringai. Di pentas sebelumnya, Teater Airlangga menampilkan The Lion King, dan Ara cuma dapat peran minor sebagai Nona Musang. Latihan tiga bulan membuat Ara tanpa sadar meringik layaknya hewan pengerat itu selama tiga hari berikutnya. Aldri mengejeknya habis-habisan.

"Iya, gue..."

Ara tak sempat menyelesaikan ucapannya. Aldri berdiri di pintu, melambai. Ia mengernyit. Tak biasanya Aldri melambai padanya. Kata "Pendek!" adalah satu-satunya sapaan Aldri, dan sialnya, Ara selalu menoleh.

Aldri mendekat, dan otak Ara seperti membeku. Ada gerangan apa Aldri ke sana? Apa Aldri ingin menyusulnya? Apa Aldri ingin bertemu dengannya? Apa Aldri.....

"Hai, Kan."

Bayangan itu hancur seketika. "Kan"!!! Tentu saja, Aldri menghampiri Kana, rupanya.

"Eh, elo, Ra. Saking pendeknya sampe nggak keliatan," cetus Aldri santai, kayak biasa.

Kana tersenyum pada Aldri. Senyum yang memuja. Senyum yang juga diam-diam Ara kembangkan ketika nggak ada yang melihat.

"Dri! Long time no see!" Kana langsung mendekati Aldri dan memeluknya.

Ara sesak napas. Selalu begini. Dia memang nggak pernah dan nggak pernah jadi orang yang Aldri peluk. Aldri yang kece, dan Kana yang gorgeous. Pasangan matching.

"Aradia Hau!"

Ara langsung merangkak ke hadapan pada tetinggi dan tetua teater. Ia linglung sedetik sebelum "nyontek" gerakan orang lain diam-diam. Kemudian ia berdiri, memasang tampang paling jutek dan keras yang ia tahu tak akan bisa diterima, lalu mulai menari.

Gerakannya kacau dan sama sekali tak membekaskan keindahan, karena konsentrasi Ara terpecah. Bayangan Aldri dan Kana berpelukan membuat urat-uratnya menggeliat panas. Seiring waktu, gerakan Ara semakin cepat, persis lumba-luma yang terperangkap di jaring, minta dibebaskan.

Setelah ia selesai, Ara mengedikkan kepalanya sedikit, bingung. Anehnya, semua orang bertepuk tangan untuknya, dan bahkan para senior tersenyum untuknya.


10:04 a.m., 02/02/13.
For HY,
don't say goodbye too fast, please.