lundi 18 mai 2015

614

Pesan moral yang bakal gue kasih ke lo-lo pada bahkan sebelum sesi curhat dimulai: bus yang langka dan penuh lebih banyak memberi pelajaran hidup daripada bus yang pasaran dan sepi.

Menurut gue it makes sense sih, since there goes the famous quote: you never really get to know someone until you see them at their worst. Semakin buruk situasi yang lo hadapi, semakin melorot topeng yang lo pakai dan perlihatkan ke orang-orang. Di scenes seperti itulah kita bener-bener mempelajari watak seseorang.

"Oh, si A kalo udah emosi orangnya abusif, padahal kelihatannya kalem."

"Oh, si Z kalo laper jadi self-centered banget ya, semua mesti nurutin kemauannya."

Etc.-etc.

Di bus nomor 614, jurusan Tanah Abang-Pasar Minggu, gue mengenal berbagai wajah original (bukan paha atas aja yang original) berkerumun. Former status gue sebagai pengangguran menjelang kuliah yang menyibukkan diri dengan intensif SBMPTN di BTA bikin gue rutin naik bus itu, pergi dan pulang. Earlier this year, gue pernah nge-post tentang lansia yang mengingatkan gue akan kakek gue dan nahan gue biar nggak jatuh, juga malaikat yang ngasih gue kantong kresek pas hujan deras. Well, di waktu-waktu lain, ada kalanya gue kurang beruntung dan malah ketemu wajah-wajah yang malah kurang menyenangkan.

Pernah, gue yang udah duduk manis di bus penuh sesak, berdiri dengan maksud ngasih tempat duduk ke ibu-ibu yang bawa tas banyak banget. Eh, malah diserobot mas teng nggak tau diri. Gue udah nahan keki banget, si ibu juga kelihatan prihatin. Tapi nggak ada yang negur, dan nggak ada yang bisa gue lakukan selain menghela napas panjang. Panjaaaaang sekali.

Bukan sekali-dua kali gue ketemu laki-laki dewasa berbadan kekar yang nggak mau give up their seats untuk orang yang lebih membutuhkan, i.e. wanita hamil, lansia, penderita disabilitas, kids in kindergarten/elementary school uniform. It's sickening, really, to see just a little humanity left on them. They just look around with those boring eyes, seakan-akan udah sering ngelihat panorama macam itu, yang berarti, udah sering juga feed their ego dan tutup mata tutup telinga. Gue ngerti, gue sangat sangat sangat paham kalo dia capek/ngantuk/just had a rough day, tapi bukankah semua orang dalam bus juga begitu?

Kali lainnya, gue terdesak ke perut bus, lokasi yang amat tidak strategis kalo lo mau turun. Tiba-tiba ada ibu-ibu yang naik, mukanya datar tanpa senyum. Baru lima detik di atas bus, dia udah komplain, "Geseran dong, Bu." Lima belas detik, dia nyolek bahu ibu-ibu lain yang badannya gempal di tempat duduk dan bilang, "Bu saya pusing. Mau duduk, dong."

Wtf.

No magic words. No "please" and "thanks." Dia langsung mengangsurkan diri gitu aja ke atas bangku. Setiap bus ngerem mendadak dan ada yang nyenggol, dia ber-ckckck kesal. Mana suka garuk-garuk lagi. Gue tahu ini nggak adil dan nggak ada korelasinya, tapi rambutnya bau bawang, ketombean dan banyak kulit kepala yang mencuat, dan setiap dia kegatelan dan mengoprek rambutnya, ketombenya dan kulit kepalanya berguguran. Dan itu makin bikin gue bete aja. Sampe-sampe waktu ada yang bergumam, "Cibang," gue ngangguk-ngangguk dalam hati. Belakangan gue sadar generalisasi itu rasis dan diskriminatif, tapi tu orang emang b@ngs4t, sih.

Tapi yah, kadang diskriminasi bisa jadi bumerang yang menghasilkan, sih. Pernah ada bangku kosong di samping gue, dan bapak-bapak kantoran yang udah diri lebih lama dari gue mempersilakan gue duduk dengan alasan, "Adek badannya kecil gitu." Gue nggak protes saat itu. Di kondisi normal mungkin gue bakal nyinyir, "Saya nggak pendek, situ aja yang tinggi." HAHAHAHAHA. #shortpeopleproblem

Penumpang jenis lain, yang pelit dan nggak mau rugi duit, juga ada. Gue samar-samar nguping bapak-bapak yang bilang ke temennya, "Kasih aja sopirnya seribu. Kita nggak duduk ini." Gue menahan diri buat nggak komen kalo they're being unfair. Mau lo duduk atau berdiri, sopir dan kernet itu udah mengantar lo ke tempat tujuan dengan selamat, and that's the whole damn point. Tapi waktu gue diskusi sama my partner in muse, Fadli, dia menimpali gue, "Ya menurut lo kalo orang nonton konser, lebih mahal yang duduk atau yang diri? Toh mereka ngeliat penyanyi yang sama." Gue ngotot, "Ih itu kan beda." Intinya gue kalah sih.

Ya udahlah kita skip. Bukan, bukannya gue mau menggambarkan betapa payah dan lemahnya argumentasi gue, but paraphrasing Fadli and I arguing will take lots of time.

*brb minum* *oke lanjut*

Nggak selamanya sih, gue ketemu sama orang-orang ngeselin. Di hari-hari gue udah males naik 614 because I decided it was stuffed by rude people, dan sudah antipati dan pasang muka badak, justru gue dikejutkan sama keramahan mereka. Ada yang nawarin gue payungan bareng waktu hujan dan bus 614-nya ada di tengah jalan. Ada yang kelihatan genuinely curious about my stories and the opposite, those who made me curious about their stories and they shared them with me wholeheartedly. Yang paling bikin gue terharu sekaligus menyesal, ada nenek-nenek yang memberi gue kursi. Gue tetep diri dan bilang, "Saya deket kok Bu," to which she responded all smile, "Saya juga deket." Akhirnya gue duduk di tempatnya, sementara dia diri di dekat pintu depan. Guess what? Gue turun sebelum dia.

Malamnya gue laporan lagi ke Komjen Fadli dan dia bilang, "Makanya jangan menggeneralisasi. Lo terus-terusan ketemu orang jahat karena lo belom sempet naik bus yang isinya orang-orang baik." Gue langsung tertegun sih.

Maybe that's all that matters. It is countless; the frequency of me complaining and bitching about other people's lives, although I do it in silence. Orang Indonesia egois. Orang Indonesia jorok. Orang Indonesia norak. Itu semata-mata karena gue belum ketemu orang Indonesia yang selfless, yang resik, yang keep it classy. Don't say this world is bad until you travel every pieces of it. Say there's part of this world which is bad for you; itu yang correct.

Saat-saat gue menunggu bus 614 juga memberi pelajaran tersendiri. Di spot yang dilewati 614 tempat gue biasa nunggu, gue sering nyender ke sudut terpencil pagar rumah orang, soalnya lumayan adem dan strategis. Selama gue nunggu gue pura-pura budek tiap ada penunggu (bukan hantu) terminal yang ngajak gue ngobrol. Lama-lama gue nyerah dan mulai ngerespon. Suatu hari dia ngasih unjuk tempat buat gue duduk dan bilang, "Lain kali jangan nyender di situ. Itu kan tempat kencing sopir."

Gue langsung kaget. "KOK BAPAK NGGAK NGASIH TAU??? SAYA UDAH SERING BANGET NYENDER DI SITU."

"Lah kamu nggak nanya."

*brb nari Tor-Tor*

Yha, guys. Next time lo nemuin tempat adem dan strategis yang nggak dikerumunin calon penumpang, lo wajib curiga.

(Anyway, sampe rumah gue langsung misahin baju-baju yang pernah gue pake ke BTA dan gue cuci ulang semuanya.)

Gue juga belajar soal fate and coincidence dari bus 614. Biasanya gue nungguin 15-45 menit sampe satu bus itu lewat. Suatu hari gue beli otak-otak dan es podeng, trus ngaso di bawah pohon di depan Pasar Mayestik. (Nikmat, sumpah. Lo semua kudu nyoba). Baru tiga suap, kira-kita tujuh menit, ada bus 614 lewat.

Crap.

Untung es podengnya gue bungkus, jadi gue bisa ngacir ngejar bus itu. Sampe rumah tetep mencair, sih. But that's so not the point.

Gue pernah juga denger orang yang kecopetan naik suatu bus (non-614) dan jadi kapok naik bus itu, dengan dalih bus itu banyak copetnya. Dari fakta sosial ini gue mengembangkan dua teori:
1) dia cuma kebetulan aja naik bus yang ditaiki juga oleh si pencopet, dan,
2) yang namanya sial, siapa yang tahu.

Selebihnya, gue berusaha mengingat peristiwa-peristiwa manis dan sederhana aja. Kayak cogan yang ngasih gue kursi dan ngingetin uang gue yang nyembul dari saku, atau Pak Sopir yang nyahut, "Sama-sama Dek," waktu gue bilang makasih. Pengalaman hidup gue jadi bertambah sejak gue naik bus ini, dan gue harap pelajaran hidup lo bertambah sejak baca post ini. *nyengir*

Anyway, mulai bulan Agustus gue bakal berubah haluan naik bus 614 ke arah Pasar Minggu buat pergi dan ke arah Tanah Abang pas pulang.

Oke. Gue nyiapin ikat kepala dulu, ya. Sekian dulu Echa Teguh Platinum Ways-nya. Dadaaaah.