jeudi 14 août 2014

Domino dan Bumerang

Curhatan hari ini dimulai dengan kata-kata pedas seseorang yang menurut gue pointless.

Nggak, gue nggak akan menyinggung nama atau tempat, yang mungkin bikin lo mikir post yang satu ini nonsense karena gue nggak punya bukti. But believe me, waktu seseorang tiba-tiba nyamperin lo cuma buat bilang, "Gue nggak suka sama lo," dan membeberkan sederet fakta kenapa dia nggak suka sama lo, lo cuma bisa...

ceming.

Statis.

Diam tanpa kata.

Nggak deng. Nggak sepuitis itu, kok. Logically, manusiawi kok, kalo kita nggak suka sama seseorang. Akuilah, there's someone out there you secretly hope will just vanish so you don't have to see them anymore. Tapi belakangan gue mikir lagi, is it fair to hate someone who does absolutely nothing to you, is it fair to hate for simply who they are? Is it fair to say that out loud in front of many people?

Rasanya jleb, sih.

Anyway, sebenernya bukan itu inti racauan gue malam ini. Orang ini udah lumayan bikin gue cranky, dan gue menghibur diri sebisanya. Barusan, gue lihat di medsoc, dia lagi curhat ambigu. Gue pun akhirnya mikir, "Bahkan orang yang omongannya paling thoughtless sekalipun punya masalah." Gue jadi merasa bersalah udah nyumpahin dia yang jelek-jelek. Padahal... in the end, kami sama-sama mengalami hari yang buruk, yang gue tau persis gimana rasanya.

Ada satu lirik dari Taylor Swift yang menurut gue sangat relatable:

"I bet you got pushed around, somebody's made you cold. But the cycle ends right now cause you can't lead me down that road..."

Maybe she's got pushed around already, so she pushed me back. Dan andai gue melampiaskan kekesalan gue ke orang lain, the list of victims will goes on and on.... Nggak akan ada ujungnya. Kayak lingkaran. Kayak domino.

Dari dulu, gue percaya banget sama yang namanya karma. What goes around, comes back around. Like a boomerang. Bukti paling konkret yang sering gue lihat adalah bokap gue, yang biasanya marah-marah di rumah... eh besoknya diomelin bosnya. Gue teliti lebih lanjut, bokap juga tadinya ngomel gara-gara bosnya duluan ngomel. Nyokap kadang bad mood dan balas ngomelin gue. Domino.

Minggu lalu, gue ngaku gue melakukan kesalahan alpa. I deserved all the critics, tapi yaaa gue tau sih gue salah. Nggak usah menggonggong sampe bikin kuping pengang juga. Si Oknum X ini ngoceh panjang-lebar soal kesalahan gue, mentang-mentang gue bawahannya. Nggak sampe nunggu sehari, dia juga ngelakuin kealpaan yang kurang lebih sama dengan gue dan juga diomelin sama yang posisinya lebih tinggi. Mau ketawa mbok ya nggak pantes. Secara udah pernah di posisinya dia.

The point is, terkadang kita terlalu buta dan melabeli diri sebagai korban, sampai nggak sadar si pelaku sebenarnya sudah dijatuhi hukuman. Nggak harus dari tangan lo langsung, kok. Karma itu beragam bentuknya. Teori yang sama berlaku dari segi bumerang. Terkadang, kita nggak sadar kalau kita juga merupakan pelaku dari kesedihan orang lain. We're too busy making ourselves happy that sometimes we forget that people deserve their own happiness, too.

Dan sekarang... di penghujung malam ini, gue jadi mikir, apa hujatan nggak berdasar si "pelaku" ini merumakan bumerang karena gue pernah melakukan hal serupa ke orang lain, at some points of my life, atau gue cuma kebagian putaran domino dan suatu saat akan menimpakannya ke orang lain juga?

Kontemplasi kedua: apakah salah kalau seseorang beda dari kita? Entah prinsipnya, atau pola pikirnya? Apa salah kalau seseorang have a sharp tongue and not as considerate as you? Mungkin mereka nggak tahu itu.

There's a remark my dad told me once, "Kalau uang kamu hilang, jangan ngerutuk. Coba pikir, apa kamu juga pernah hilangin rezeki orang lain? Begitu juga soal pacar. Soal nilai. Soal materi. Soal perasaan. Selalu introspeksi. Jangan bisanya ngeluh doang.

"Always be nice, because everyone's got their own battle."

Good night, fellas. Sekian dulu Echa Teguh's Silver Way-nya.

:)

samedi 9 août 2014

Love is an Open Door

HAHAHA malam-malam diawali dengan baca blog-nya Tyas yang super-duper ucul menceritakan tentang pacarnya. Pacar pertamanya. Trus gue jadi flashback sama oknum satu ini, yang berhasil membubuhkan namanya di daftar riwayat hidup (ada kolom "Mantan-Mantan" di riwayat hidup gue. Keren kan?). Bedanya gue sama Tyas, pacar pertamanya Tyas masih jadi pacarnya hingga sekarang sedangkan gue... ah, sudahlah, tak ada gunanya meratapi kejombloan diri sendiri.

Pacar pertama gue itu...... gue dapatkan di liburan pra-UN SD. Meliburkan diri sih, hehehe. Dia dulu tetangga gue, tapi beda sekolah. Ga tetangga juga sih, dia rumahnya di kompleks sebelah, gue di gang:/ Apapun itu, sebut aja namanya Mawar. Eh, Oknum D.

Gue nggak tau penilaian apa yang ditimbang seorang bocah SD sampe berani nembak gue jadi pacar. Via SMS, sih, bahasanya masih kategori bahasa plat mobil pula:') Berhubung waktu itu gue belom UN, dengan polosnya gue bilang, "Aku belom boleh pacaran, masih SD." GUE INGET BANGET DIA BALES, "Oh, kalo udah lulus boleh dong?" Yha tentunya dengan kombinasi huruf, angka, serta simbol macam @ dan ! yang bisa Anda bayangkan sendiri.

Singkatnya, abis UN dia pun SMS gue dengan kalimat yang sama, "Pacaran yuk." Kalo ini iklan kopi, udah pasti gue Raisa-nya. Eh, nggak deng, rasa cintaku tak sepahit kopi.

Finally I gave him my yes. Dan omg rasanya pertama kali pacaran itu... awkward waktu ketemu, keabisan topik obrolan, trus rada kaku ngomong aku-kamu, sayang, blahblahblah. Gue masih inget, hal terjauh yang kami lakukan adalah... pegangan tangan. Itu pun kilat dan ngumpet-ngumpet kayak maling jemuran. Kita backstreet ceritanye.

He's my first and every words he said always seemed to make sense to me. You know, when someone you love states something, you can only nod or say yes. Dia semangat dan mendukung waktu gue bilang gue bikin novel. Dia mulai ngenalin gue ke temen-temennya, ikut les di tempatnya. Dari sinilah gue bertemu dengan our fabulous Oknum F1, yang kebetulan lagi di Jakarta dalam rangka summer holiday-nya. Hi! Don't you remember?

Jujur, dari semua masa lalu gue, Oknum F adalah yang paliiing longlast. Dua tahun lima bulan. Padahal bisa dibilang awal kami deket itu gaada baiknya sama sekali. We hated each other, I hated him for his arrogance, and he hated me for my dumbness. JANGAN NGELES, LO DULU PERNAH NGOMONG GITU KE GUE bye. Nggak tau takdir atau gimana, intinya gue sama dia ketemu-ketemu melulu. Lama-lama kita jadi baik. Lama-lama dia mulai nyapa, mulai ngajak bercanda, mulai ngeliat gue kayak cewek normal lainnya. I felt happy for no reason, too busy being happy that I didn't even bother defining this feeling.

Lama kita deket, akhirnya 2 Februari 2010, dia nge-shot gue, dengan status gue delapan bulan mantan temennya. Kalo yang pertama super-duper simpel, yang kedua lebih heboh. Pake mawar putih dan Everything-nya Michael Buble. Gue nggak tau apa saat itu gue udah sayang sama dia. All I knew was... he's beautiful and he wants me.

Sejak gue sama dia pacaran, I saw the world in a total new light. He was so inspiring. Call me lebay, but I found the way he rolled his eyes or called my name... enlightening. He's everything Taylor Swift sang in The Way I Loved You. Kayak ada beban yang keangkat aja gitu kalo ada dia. Segalanya jadi baik, benar, nothing can go wrong kalau dia ada. Pokoknya kayak gitu. Segitu menginspirasinya dia, sampe-sampe gue membangun banyak karakter cowok yang berdasarkan personality-nya. Ello Rivaldi Aryanto, for sure. The stubborn heartthrob Jonathan Mountain. And so many names I can't tell in the name of memories and my privacy.

Dan karena dia yang paling lama... well, frontal aja, dia yang paling nyakitin. He hurt me, twice and trice and so on. Dan pada akhirnya gue mikir, "It's time now, gotta let go." Waktu dia ngasih tau gue dia bakal pindah ke Aussie, gue langsung hopelessly assumed we were never meant to be. Mau sesering apapun balikan, ujung-ujungnya dia pergi.

And even after he's gone, he kept inspiring me. Buat jadi orang yang lebih baik, dari dia dan diri gue tempo hari. Gue ikut les ini itu, ambil dua ekskul like a pro, semua kegiatan gue coba, sampe-sampe gue cuma bisa libur di hari Minggu. Sisi baiknya sih, karena gue capek bgt pas pulang, gue jadi nggak punya waktu buat ngegalau. Kalo gue galau, gue langsung ambil pulpen atau media lainnya buat nulis, jadi kegalauan gue tersalurkan dengan produktif. Nggak nyiksa atau bikin sakit kuping orang yang dengerin misuh-misuh gue, pula. Gue yang sekarang itu ya... mungkin dia yang punya andil dalam membentuk. I still remember his dream, mau jadi guru bahasa Indonesia di luar negeri. Udah, itu aja. Simpel, nggak neko-neko. Tapi berapa banyak cowok yang bakal mikir kayak gini?

I remember every whispered secrets, every wild dreams and already shattered ones. I remember us planning a future together, dia bakal ngajar dan gue nulis. Bukan berarti gue ngelupain semua mimpi itu dan nggak mengejarnya cuma karena si pemacu mimpi udah nggak ada. Beberapa orang pernah datang, dan gue membagi mimpi gue ke mereka, disertai harapan kami bisa mewujudkannya bersama. Mimpi gue yang sekarang sama Oknum Terbaik adalah... gue jadi psikolog dan dia jadi dokter, and he'll take me home everyday after work. Kerja di tempat sama. Pulang bareng. Berangkat semobil.

Let's admit it, there's some people in this world who does nothing and yet, their existence simply inspires you. Just like John Green said in his book An Abundance of Katherines, "There's some people in this world who you can just love, and love, and love, no matter what."

Dan sekarang, gue pengin ngucapin makasih buat Oknum D. Buddy, wherever you are, I hope it's nice and beautiful, because a good guy like you deserves it. Thanks for our three months, sorry I couldn't make it and quit. Thanks for introducing me to your beloved friend, and formed a link--the best and memorable one--through my life. Thanks for simply exist, because we met in the moment I really needed someone to hold. Thanks for being a good friend and even better boyfriend. Thanks for opening the door to this organized chaos--one adjective I now use to sum up everything I've been through all my life. Without you, maybe I haven't found my eternal sunshine for spotless minds.

It's been nice to love you.

mercredi 6 août 2014

Midnight Confession

I hope it's not too late to confess
You give my soul a creak when you smiled
Or when our fingertips touched
Or when I realized you've got my heart to disown
All was well back then

I hope it's not too late to confess
Every sassy craps I talk
are reminders that we just can't walk
Every attitudes you think too bold
are turn overs for goosebumps in my world
Every shitty jokes I sprout
are red herrings of how for you I root
Every moments of breath I fail to take
are alarms for me to wake
Every gentle slaps your body receives
are revenge for nasty butterfly in my stomach

I hope it's not too late to confess
I'm unhappy when you back down
or is it just me who trick the mirror like a clown?
And pretend like I can't see
We are never meant to be

I hope it's not too late to confess
I'm dying inside as you run your fingers through her hair
It's aching to rewind how you link your arms around her feet, all bare

I hope it's not too late to confess
When you asked me if I loved
I almost said I did

I hope it's not too late to confess
I loved you then,
I love you still
I always have
I always will

10:01, 6/8/14