samedi 9 août 2014

Love is an Open Door

HAHAHA malam-malam diawali dengan baca blog-nya Tyas yang super-duper ucul menceritakan tentang pacarnya. Pacar pertamanya. Trus gue jadi flashback sama oknum satu ini, yang berhasil membubuhkan namanya di daftar riwayat hidup (ada kolom "Mantan-Mantan" di riwayat hidup gue. Keren kan?). Bedanya gue sama Tyas, pacar pertamanya Tyas masih jadi pacarnya hingga sekarang sedangkan gue... ah, sudahlah, tak ada gunanya meratapi kejombloan diri sendiri.

Pacar pertama gue itu...... gue dapatkan di liburan pra-UN SD. Meliburkan diri sih, hehehe. Dia dulu tetangga gue, tapi beda sekolah. Ga tetangga juga sih, dia rumahnya di kompleks sebelah, gue di gang:/ Apapun itu, sebut aja namanya Mawar. Eh, Oknum D.

Gue nggak tau penilaian apa yang ditimbang seorang bocah SD sampe berani nembak gue jadi pacar. Via SMS, sih, bahasanya masih kategori bahasa plat mobil pula:') Berhubung waktu itu gue belom UN, dengan polosnya gue bilang, "Aku belom boleh pacaran, masih SD." GUE INGET BANGET DIA BALES, "Oh, kalo udah lulus boleh dong?" Yha tentunya dengan kombinasi huruf, angka, serta simbol macam @ dan ! yang bisa Anda bayangkan sendiri.

Singkatnya, abis UN dia pun SMS gue dengan kalimat yang sama, "Pacaran yuk." Kalo ini iklan kopi, udah pasti gue Raisa-nya. Eh, nggak deng, rasa cintaku tak sepahit kopi.

Finally I gave him my yes. Dan omg rasanya pertama kali pacaran itu... awkward waktu ketemu, keabisan topik obrolan, trus rada kaku ngomong aku-kamu, sayang, blahblahblah. Gue masih inget, hal terjauh yang kami lakukan adalah... pegangan tangan. Itu pun kilat dan ngumpet-ngumpet kayak maling jemuran. Kita backstreet ceritanye.

He's my first and every words he said always seemed to make sense to me. You know, when someone you love states something, you can only nod or say yes. Dia semangat dan mendukung waktu gue bilang gue bikin novel. Dia mulai ngenalin gue ke temen-temennya, ikut les di tempatnya. Dari sinilah gue bertemu dengan our fabulous Oknum F1, yang kebetulan lagi di Jakarta dalam rangka summer holiday-nya. Hi! Don't you remember?

Jujur, dari semua masa lalu gue, Oknum F adalah yang paliiing longlast. Dua tahun lima bulan. Padahal bisa dibilang awal kami deket itu gaada baiknya sama sekali. We hated each other, I hated him for his arrogance, and he hated me for my dumbness. JANGAN NGELES, LO DULU PERNAH NGOMONG GITU KE GUE bye. Nggak tau takdir atau gimana, intinya gue sama dia ketemu-ketemu melulu. Lama-lama kita jadi baik. Lama-lama dia mulai nyapa, mulai ngajak bercanda, mulai ngeliat gue kayak cewek normal lainnya. I felt happy for no reason, too busy being happy that I didn't even bother defining this feeling.

Lama kita deket, akhirnya 2 Februari 2010, dia nge-shot gue, dengan status gue delapan bulan mantan temennya. Kalo yang pertama super-duper simpel, yang kedua lebih heboh. Pake mawar putih dan Everything-nya Michael Buble. Gue nggak tau apa saat itu gue udah sayang sama dia. All I knew was... he's beautiful and he wants me.

Sejak gue sama dia pacaran, I saw the world in a total new light. He was so inspiring. Call me lebay, but I found the way he rolled his eyes or called my name... enlightening. He's everything Taylor Swift sang in The Way I Loved You. Kayak ada beban yang keangkat aja gitu kalo ada dia. Segalanya jadi baik, benar, nothing can go wrong kalau dia ada. Pokoknya kayak gitu. Segitu menginspirasinya dia, sampe-sampe gue membangun banyak karakter cowok yang berdasarkan personality-nya. Ello Rivaldi Aryanto, for sure. The stubborn heartthrob Jonathan Mountain. And so many names I can't tell in the name of memories and my privacy.

Dan karena dia yang paling lama... well, frontal aja, dia yang paling nyakitin. He hurt me, twice and trice and so on. Dan pada akhirnya gue mikir, "It's time now, gotta let go." Waktu dia ngasih tau gue dia bakal pindah ke Aussie, gue langsung hopelessly assumed we were never meant to be. Mau sesering apapun balikan, ujung-ujungnya dia pergi.

And even after he's gone, he kept inspiring me. Buat jadi orang yang lebih baik, dari dia dan diri gue tempo hari. Gue ikut les ini itu, ambil dua ekskul like a pro, semua kegiatan gue coba, sampe-sampe gue cuma bisa libur di hari Minggu. Sisi baiknya sih, karena gue capek bgt pas pulang, gue jadi nggak punya waktu buat ngegalau. Kalo gue galau, gue langsung ambil pulpen atau media lainnya buat nulis, jadi kegalauan gue tersalurkan dengan produktif. Nggak nyiksa atau bikin sakit kuping orang yang dengerin misuh-misuh gue, pula. Gue yang sekarang itu ya... mungkin dia yang punya andil dalam membentuk. I still remember his dream, mau jadi guru bahasa Indonesia di luar negeri. Udah, itu aja. Simpel, nggak neko-neko. Tapi berapa banyak cowok yang bakal mikir kayak gini?

I remember every whispered secrets, every wild dreams and already shattered ones. I remember us planning a future together, dia bakal ngajar dan gue nulis. Bukan berarti gue ngelupain semua mimpi itu dan nggak mengejarnya cuma karena si pemacu mimpi udah nggak ada. Beberapa orang pernah datang, dan gue membagi mimpi gue ke mereka, disertai harapan kami bisa mewujudkannya bersama. Mimpi gue yang sekarang sama Oknum Terbaik adalah... gue jadi psikolog dan dia jadi dokter, and he'll take me home everyday after work. Kerja di tempat sama. Pulang bareng. Berangkat semobil.

Let's admit it, there's some people in this world who does nothing and yet, their existence simply inspires you. Just like John Green said in his book An Abundance of Katherines, "There's some people in this world who you can just love, and love, and love, no matter what."

Dan sekarang, gue pengin ngucapin makasih buat Oknum D. Buddy, wherever you are, I hope it's nice and beautiful, because a good guy like you deserves it. Thanks for our three months, sorry I couldn't make it and quit. Thanks for introducing me to your beloved friend, and formed a link--the best and memorable one--through my life. Thanks for simply exist, because we met in the moment I really needed someone to hold. Thanks for being a good friend and even better boyfriend. Thanks for opening the door to this organized chaos--one adjective I now use to sum up everything I've been through all my life. Without you, maybe I haven't found my eternal sunshine for spotless minds.

It's been nice to love you.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire