mercredi 17 mai 2017

On Writing: A Case of Being Inarticulate

I have written since I was 3. Yes, most people start with reading, but I started with writing. Of course, my handwriting was messy, the words didn't make sense. But when I got my first book published, my parents crooned, "Oh, your talent shows from a very young age!"

The question: why do I write? How did I come to find the pleasure in telling my stories in the platform? Many people don't believe my love for writing stemmed from the fact that I am inarticulate. If you don't know what it is, inarticulate is incapable of expressing thoughts and feelings into speech.

Investigating on this, I asked my parents what kind of kid I was. They said I had vivid imagination, I remembered things clearly to the details, and I loved stories (bed-time and real-life drama my cousins told, that's it). My parents provided me storybooks even before I started kindergarten. Additionally, they also said I had curiosity towards the unknown. This last disposition, I suppose, wasn't nurtured very well. Most of childhood I spent either going out with my relatives (my parents only let me go with people they really know), and watching from behind the fences as my same-age friends played together. My parents were really protective; they still are. But I couldn't really blame them, because in reality I was nearly kidnapped when I was a baby. (Anyway, I am who I am today because of the way they built me, so thank you, Mamma and Dadda.)

But you can imagine. This little girl, with her imagination and thirst for connection, easily attuned to new information like antennae picking up signals, being shut out from the outer world. I became friend with books and stories, and sucker when it came to traditional game (lompat karet, congklak, bekel, anyone?). I didn't understand how my same-age friends acted that way, talked that way, because from books that was not how I knew people in the world behave. Thus came the communication issue. I hardly expressed my thoughts very well, because I constantly tried to express it in the way people could understand. I spent so much time thinking on the way I could express my thoughts, when talking. It was a struggle, it was exhausting. When I didn't know my communicants very well, when I couldn't picture their reaction, I either mumbled or opted to say nothing at all. But to people I (think I) know and am comfortable with, well, they know how nosy I can be.

Image result for never part of any crowd cause her heads up in some cloud gif

So when speech fails me, how am I supposed to make my words count? How can I make people understand? How can I untrap myself from the wall that makes me feel lonely? The solution is writing. I love writing because it gives me structure of my thoughts, and it makes me reflect more (if I didn't have the idea to write this "on writing" thingy, I wouldn't jump to my parents asking them how I behaved as child). Writing liberates me out of my confusion by giving me strict, clear-cut guidance to sound my voice.

Of course, people like me cannot stand rigid structure that much. I have low level of tolerance for that, I prefer flexibility. I usually don't write synopsis (unless my editors ask me HAHAHA) because I feel like they strangle me to commit to them. While in the process, I usually seek to explore more ways to resolve the conflict I present in my story, the twist in my essays. Usually, I only decide the ending of my story or the conclusion of my non-fiction, before gearing up to find a plot that streams toward that end. Every time I am faced to rewriting ideas for my tasks, I always start from the conclusion, make points of it, and note the parts that match the points.

Image result for belle gif to have someone understand

Another part I love from writing: it makes me listen more. Good writers are good listeners, how can you come up with something interesting when you are not attuned to your surroundings? From listening, I can pick so many interesting puzzles to piece up in my writing. The process is just enjoyable. From being a good listener, I also learn to be a present-person. I live in the here and now, remembering the details of people and moments.

I know a lot of writers who use, "Writing makes you immortal," or, "Writing is a way you can be useful to the society," as their jargon. Me, I am not that charitable. I write to express, not to impress, so I purely write for personal satisfaction, which sounds kinda egoistical. But who cares.

Conclusion: that's my case of writing! I write because I am inarticulate and writing helps me to put my expression in a more concrete, understandable way. What about you? Why do you write? What benefit do you reap from it?

jeudi 11 mai 2017

Kutu(k)an

(Demi perlindungan informan, semua identitas disamarkan.)

Sewaktu saya mencium tangan mama sebelum berangkat ke salah satu desa Baduy Luar, pesan beliau masih sama dengan default sebelumnya: "Jangan macam-macam, ikuti kata ketua suku, kalo jalan jangan lupa ikat tali sepatu." Saya membalas sekadarnya, "Doain aja."

Perjalanan ke desa tersebut membuat saya yakin mama memang mendoakan saya. Trekking di jalanan berbatu pada pukul satu dinihari dengan perut kosong membuat saya memperlambat gerak kelompok. Hampir jatuh, hampir menyerah. Keadaan yang gelap tanpa lampu dan kesadaran bahwa di kiri-kanan saya jurang tidak banyak membantu. Begitu saya sampai di rumah Kang Rosyid di Dusun Cicakal, tempat Baduy Luar bermukim di Desa Kanekes, saya langsung tepar. Ambyar.

Saya berplesir ke Dusun Cicakal dalam rangka mengambil gambar untuk film dokumenter. Buat ukuran saya sih, itu tergolong nekat, karena saya pergi ke tempat tanpa sinyal saat pekan UTS. (Sebenernya pengin menjelaskan betapa susahnya kuliah di jurusan saya... tapi ... ah sudahlah.) Proses pengambilan gambar saya lakukan bersama seorang kolega, Intan.

Dusun Cicakal dan perempuan jagoan yang membangunnya.

Syuting di tempat yang tidak saya mengerti bahasanya dan tidak saya kenal medannya adalah tantangan sendiri. Saya dan Intan baru memulai kegiatan kami pukul sembilan, sementara tim yang lain pergi ke dusun Baduy Dalam yang berjarak lima jam perjalanan. (Yep, nope I'm good thankyou.) Karena saya berusaha mempertahankan idealisme akan consent subjek bidikan saya, maka saya tidak menyembunyikan kamera.

Looking at it now, I wonder if I had made the right decision.

Susah banget, men. Mencari informan untuk diwawancarai. Target saya waktu itu adalah perempuan penenun, anak-anak, dan bapak-bapak yang meladang. Singkat cerita, para Baduy Luar begitu pemalu. Setiap kali mendekat, pandangan mereka langsung terpusat ke kamera saya dan menghindar. Jadi nggak enak sendiri, kan, sewaktu saya baru mau say hi tapi perempuan yang sedang mencari nafkah dengan menenun langsung masuk ke rumah tanpa melanjutkan pekerjaannya. Belum lagi kami sempat berpapasan dengan senior yang mewanti-wanti, "Tadi gue deketin penenun yang hampir nimpuk gue kalo gue nggak buru-buru pergi!" Hadeuh, jadi makin sungkan.

Mereka yang lebih ramah dan terbuka, menurut saya, justru nenek-nenek. Saya sempat duduk di dipan rumah sepasang nenek dan kakek yang mempunyai warung. Si nenek begitu ekspresif dan bergairah menjelaskan aktivitasnya... dalam bahasa Sunda! Atas nama kesopanan, saya dan Intan cuma bisa manggut-manggut. Nggak apa ya, Nek?

Beberapa orang lain yang juga terbuka berusaha lebih keras untuk berkomunikasi dengan kami. Seorang penenun muda (sebut saja Mawar) contohnya. Menurut perkiraan saya, umurnya kurang dari 15 tahun. Tapi waktu saya tanya, dia jawab, "Dua puluh." Lah, lebih tua dari saya dong?

Saat itu saya mencoba maklum. Orang Baduy memang begitu awet muda. Saya pun lanjut bertanya berapa lama biasanya dia menuntaskan kain tenunannya. Apa jawabannya? "Dua puluh."

Dua puluh hari? saya menegaskan. Dia menganggukan konfirmasi.

Obrolan kami mulai lancar setelahnya. Sampai saya bertanya lagi, "Kalau dijual di kota, harganya berapa?" Si Mawar menjawab, "Dua puluh."

Intan, yang nggak selemot saya, langsung berbisik, "Cha, anu... kayaknya dia cuma tahu angka 20. Mending kita jangan tanyain hal-hal numerik."

Tratakdungcess.

Saya menghargai usaha Mawar. Dia adalah informan paling kooperatif yang saya temui. Sedangkan informan paling asyik tentu saja Ronald dan Messi, dua anak yang berhasil memancing saya sampai ke seberang sungai. Mereka juga yang mempertemukan saya dengan orang yang "mengutuk" saya.

Gara-gara hari sudah sore dan saya belum juga mendapatkan stok video yang memadai, saya berniat mewawancarai Kang Amir. Pekerjaan beliau, menurut saya, begitu menarik. Tapi, belum saya membuka mulut, Kang Amir berkata, "Saya nggak mau direkam."

Saya pun berusaha melobi beliau. Tapi beliau tetap bersikeras. "Kalau nanti direkam diam-diam, hati-hati saja kameranya rusak!"

Dan, jegerrr! Kutukan dijatuhkan! Saya seharusnya ingat kata mama, tapi rasa letih membuat saya diam-diam memfoto beliau. Saya kembali ke Jakarta dengan perasaan waswas. Untungnya, kamera saya maupun memorinya baik-baik saja.

Tapi entah sengaja atau tidak... barang elektronik saya memang rusak setelah pulang dari Cicakal! Pertama adalah ponsel saya yang jatuh ke kloset (it's a long story) empat hari setelah kembali ke Jakarta. Untuk mereparasinya, saya harus mengorek 1,3 juta dan kehilangan data di memori internal.

Karena saya harus pergi ke luar kota lagi untuk membuat output perjalanan lainnya, jadilah saya menggunakan ponsel lama saya. Tak dinyana, ponsel saya itu juga hilang di perjalanan. Tapi rasa lelah lagi-lagi membuat saya tidak peduli. Yang lebih bikin gemas justru ini: di hari pertama, cuma satu dari tiga kamera yang bisa dioperasikan! Lho, kenapa? Karena satu kamera ketinggalan SD card-nya, dan satu lagi ketinggalan baterai cadangannya. Saya cuma bisa pasrah. Satu hari jelas waktu yang berharga.

Rupanya rentetan kesialan itu belum selesai. Sampai di Jakarta, beberapa hari setelah perjalanan tersebut, kamera saya tidak bisa dibuka penutup lensanya! Saya sempat panik, but luckily my cousin came to the rescue. Saya pun membawa kamera itu ke tempat jalan-jalan saya berikutnya. Sampai saya ingat... saya tidak bawa baterai!

Minggu depannya, saya sudah memastikan membeli empat pak baterai ABC (yes, my camera is THAT old) untuk keperluan memotret lain. Di mobil, saya menyetel kamera. Saat itulah saya baru sadar bahwa screen kamera saya retak! Walau EVF-nya alhamdulillah berfungsi dengan baik sehingga masih bisa memotret, tapi saya nggak bisa me-review hasilnya. Sial!

Sambil menangis pun saya menceritakan hal ini pada seorang teman. Katanya, "Cha, kayaknya ini lo dikutuk!"

Saya cuma bisa sesenggukan. Teman saya terdiam dan berpikir. "Nggak apa, Cha. Gue waktu ke Baduy dan naik gunung pernah kutuan. Lebih parah dari kutukan kan?"

Tentu saja, semua kesialan yang terjadi memiliki penjelasan logis: memang saya saja yang ceroboh menjurus goblok. Tapi saya jadi berandai-andai sendiri, kalau saja waktu itu saya tidak memfoto bapak itu, apakah kamera dan dua ponsel saya masih utuh?

Pesan moral:
1. Ingat kata pepatah: di mana Bumi berpijak, di situ langit dijunjung!
2. Selalu minta bantuan gatekeeper selama mencari bahan output perjalanan.
3. Jangan ceroboh.
4. Ingat selalu kata Mama.