samedi 30 juin 2012

The Art of Love - Part 1

"I have found the paradox; that if you love until it hurts,
it can be no more hurt. Only more love."
-Mother Teresa.

Namaku Abby Hamilton, 16 tahun.

Pertama kali aku melihat Keegan Woodley, aku tahu suatu saat aku akan membencinya.

Seperti hari-hari biasa, aku sedang duduk sendiri di kursiku, di kelas Bahasa Inggris, melamun. Aku sengaja memilih kursi di pojok ruangan, tepat di sebelah jendela yang selalu menukar udara pengap di dalam kelas dengan hembus angin lembut dari luar. Aku benci berada di dalam kelas ini. Rasanya seperti neraka. Hmm, mungkin tak separah itu kalau aku memiliki teman.

Di kelas ini, aku yang satu-satunya duduk sendiri. Atau lebih tepatnya sih, di setiap kelas yang kuikuti, aku selalu sendiri. Mungkin, dari satu sekolah, aku yang paling "berbeda". Aku terasing. Aku bukan termasuk golongan orang tolol yang langsung mencerocos tak jelas saat melihat temannya nganggur sedikit--yang, sayangnya, adalah ciri khusus cewek-cewek dangkal di sekolah. Hai, apa sih gunanya memberitahu temanmu hal-hal yang tak penting seperti, "Pembantuku baru saja menyetrika tangannya sendiri," atau, "Aku baru saja melihat seekor kucing yang menyusu pada induk anjing." Memangnya, kaupikir seluruh dunia ingin tahu apa yang kaulami hari itu?

Baik, kembali pada aku-yang-duduk-menyendiri-di-pojok kelas.

Tak seperti hari-hari sebelumnya, hari ini Mr Drake, sang guru, telat datang. Aku tak tahu penyebabnya. Mungkin dari semua guru, Mr Drake adalah guru yang paling tidak disukai. Teman-temanku begitu hobi membuat lelucon tentang kepalanya yang botak seperti lampu disko atau celana gombrongnya yang seperti kebesaran dua nomor. Sebenarnya sih, nggak ada yang salah dari penampilannya, tapi harus kuakui, aku juga membenci saat-saat ia membacakanmu dongeng anak-anak empat tahun seperti Hansel dan Gretel lalu menyuruhmu mengoreksinya. Oh, dan selain itu, aku juga benci punctuality-nya yang tak diragukan lagi.

Mr Drake baru datang sepuluh menit kemudian, disusul seorang pemuda jangkung berambut merah. Saat ia mengedarkan pandang, alisnya tebal dan gelap, dengan mata tajam dihiasi manik sewarna hazel. Kemudian ia tersenyum, memetakan cekungan lesung di kedua pipinya.

Mr Drake berdeham, namun kurasa ia tak perlu melakukannya karena kelas yang tadinya seramai pasar malam, kini sunyi senyap. Para gadis di kelas melotot hingga mata mereka terlihat seperti mau mencuat keluar, dan para cowok, makhluk pengganggu yang menggelikan itu, ikut diam, lebih karena bingung. Di sekolahku, dari 300 murid total, hanya ada 100 orang murid laki-laki. Dan tanpa perlu berusaha keras, aku langsung tahu kalau semua gadis ini berpikir kalau si rambut merah adalah yang tertampan di antara yang lain.

"Anak-anak, ini Keegan Woodley, pindahan dari North Carolina, USA. Mulai saat ini, Woodley akan menjadi teman kalian. Kuharap kalian bisa membantunya beradaptasi karena ini pertama kalinya Mr Woodley ke UK."

Ucapan Mr Drake langsung terpotong karena cewek-cewek di kelasku langsung ribut. Aku hanya memandang Keegan Woodley sesaat sebelum menyungsepkan wajahku ke lipatan tangan.

Kemudian Keegan mulai menuturkan beberapa info tentang dirinya dan blablabla. Aku hanya bisa mengernyit memperhatikan aksennya yang sangat British, tak berbeda dari teman-temanku yang lain. Tapi sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, Keegan sudah berjalan ke arahku, lalu duduk di kursi sebelahku.

Aku ingin menatapnya, tapi aku tahu reaksinya mungkin akan sama dengan orang lain yang kutatap: berjengit atau mendesis risih. Dan tiga tahun sekolah di Glastown High School, aku sudah cukup tahu diri untuk tidak melakukannya. Orang-orang menganggapku sebagai alien aneh freak yang pandangannya bisa membunuh.

Pelajaran Mr Drake kembali dimulai, dan kubuka bukuku yang kertasnya berwarna kemerahan. Ini semua gara-gara ulah Kennedy Andrews, si kapten tim cheerleader yang entah kenapa punya dendam kesumat padaku.

Tapi, yah, kurasa aku harus berterima kasih pada Kennedy, karena dia, aku jadi kebal terhadap perbuatan semua orang. Lihat, aku ini orang yang selalu berpikir positif, bukan?

"Hei. Boleh berdua bukunya?"

Aku menoleh sejenak pada Woodley, tapi tetap tak yakin. Aku celingukan ke kanan dan ke kiri, membuatnya mengernyit.

"Kau bicara padaku?" tanyaku memastikan.

Woodley tersenyum sedikit. "Tentu saja. Kau orang yang duduknya paling dekat denganku, bukan?"

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, atau membalas senyumannya, kuangsurkan buku Bahasa Inggris-ku padanya, lalu menyender ke tembok. Kerutan di kening Woodley merapat.

"Kau tidak ikut baca?"

Aku hanya tersenyum, lalu mengedikkan bahu. "Tidak, kau saja, deh."

"Aha, aku tahu. Kau pasti murid A+, bukan?"

Murid A+? Apa maksudnya?

"Oh, begini...," Woodley mengacak-acak rambutnya, "itu istilah American. Maksudku... kau pasti juara kelas, bukan? Orang yang selalu mendapat nilai A+ tanpa belajar sekalipun?"

Aku tahu kalau aku menggeleng, mungkin saja cowok ini akan memaksaku untuk membaca buku itu bersamanya. Aku tak ingin membuat masalah dengan dekat-dekat dengan Keegan karena semua cewek di kelas sudah pasang telinga dan siap tempur memperebutkannya. Dan walau tak semua cewek di kelasku ini cantik, mereka yang merasa dirinya Putri Salju pasti akan semena-mena terhadap si Itik Buruk Rupa sepertiku, bukan?

Maka aku mengangguk. Woodley cuma mengedikkan bahunya, lalu fokus membaca bukuku. Masalah mulai timbul ketika Mr Drake membuka listening session yang teksnya ada di buku itu, lalu menyalin beberapa kata di fill in the blank. Woodley, yang sepertinya sangat percaya pada kebohonganku, cuek saja dan bahkan tidak melirikku yang kebingungan dan menjawab pertanyaan dengan asal.

Konsekuensinya? Untuk pertama kalinya dalam hidupku, nilai tes Bahasa Inggris-ku dihargai C-.

Sepertinya hari ini memang hari sialku. Tapi kau salah kalau menganggap kesialanku tidak bertambah seiring berjalannya waktu.

*****

"Abby, kau terlambat lagi."

Aku, yang sedang berusaha menutup pintu sepelan mungkin, langsung tersentak. Karena lampu ruang depan sudah mati, kukira kakakku, Elena, sudah tidur. Tapi kenyataannya, ia masih duduk di sofa, menyilangkan kaki.

"Elena, aku..."

"Duduk."

Mendesah, kulepas sepatuku dan kuletakkan di atas rak, lalu berjalan mendekati kakakku. Elena delapan belas, dua tahun lebih tua dariku, dan siapa pun yang melihat kami pasti tak pernah menyangka kami bersaudara. Elena betul-betul refleksi dari ibuku; ia cantik dan anggun, dengan mata biru cemerlang. Pipi mereka tirus kemerahan, hidung mereka mancung, dan bibir mereka penuh. Setiap kali mengedip, bulu mata Elena yang tebal sungguh menggoda.

Berbeda sekali denganku, Elena gampang bergaul. Ia juga cerdas dan digilai banyak pemuda Edinburgh. Sesuai dengan namanya, ia juga sangat anggun dan keibuan. Mungkin itu adalah sisi positif dari meninggalnya ibu kami beberapa tahun yang lalu.

"Aku baru saja mendapat telepon dari Mr Drake soal nilai tesmu. Abby, Demi Tuhan, apa sih yang sebenarnya kaulakukan di sekolah?"

"Aku melakukan apa yang anak-anak lain lakukan, Elena."

"Tapi anak-anak normal lainnya tak akan mendapat nilai C- pada listening session."