mercredi 29 mai 2013

It All Began With....

Kecintaan gue terhadap buku, apapun jenis genre-nya, siapapun penulisnya, gue selalu cinta buku. Btw, pertanyaan yang tepat dari jawaban rancu gue adalah: "Kenapa kamu/kakak/Echa jadi suka nulis cerita romance?"

Hm, kayaknya Indefinitely, Maybe gue emang bawa kontroversi yak, wakakak. Tapi literally I'm satisfied with my work:D Karena esensi dari menulis, menurut gue, adalah bikin lo puas. Dan lega. Because a writing can tell you more than a mouth ever does.

Eniwei gue juga dapet protes dari beberapa orang muahaha, dikata kok-tulisannya-jadi-dewasa-gini-gabisa-dibaca-sama-anak-kecil-dong. FYI, I'm not that kind of person who says something just to please you, and this theory works out on this thing, too. I never press your children-slash-sister-slash-brother to read ALL my writing. And don't forget that now (I say it proudly) I'm a half-grown-up-girl, so never blame me for testing-slash-tasting some things new;)

"Kenapa ga nulis genre adventure aja?" Hahaha genre adventure tuh terlalu detail kalo ditulis di blog, dan genre favorit saya:) Kalo romance itu yaa, katakanlah gini, apa sih yang terjadi dalam lingkup orang yang jatuh cinta/pacaran? Ya paling itu-itu aja, walau gue berusaha bikin kisah yang ga itu-itu aja buat yang baca.

Trusss ada juga yang nanya gini, "Kakak lagi jatuh cinta ya?" atau, "Tokohnya siapa Kak di kehidupan nyata?" Yang nanya ini sih udah cukup mengenal gue untuk tau gue selalu nulis kisah nyata yang disensor nama tokoh dan tempatnya HAHAHA. Oke. It took me forever to discover, I didn't write IM because of anyone, or anything, and not for anyone or anything. I just found myself daydreaming about a perfect love, though I had fathomed well that perfection is such a bullshit, and only fools who daydream about it. But yes, I daydream about a perfect love, which is, di dalamnya ada give-and-forgive, action-and-reaction, dan konflik, yah, jujur kali ini gue bikin konflik yang rada menantang HAHAHA abisan niatnya ga mau bikin cerita cengeng giduuu. Tapi rata-rata yang baca malah bilang ceritanya so sweet. Hem. Yah begitulah. Let's say I'm not capable enough to play those people's emotion.

Tapi ya gitu. It all didn't begin with a spark. Yang began with a spark mah Catching Fire dong loh hahaha coba deh kalian cek trailer-nya. Loh kok makin ganyambung. It all began with a Sparks Fly, one of many my favourite songs from my twinsista Taylor Swift. Coba deh dengerin dan pahami liriknya. Pernah ga sih lo ketemu seseorang, yang lo tau ga baik buat kalian, yet you can't help it but fall for them? Pernah ga sih lo ketemu seseorang, yang tiap dia ada lo berharap semesta menyingkir dan ngasih spasi buat kalian berduaan? Ya kira-kira gitu sih.

Then gue mikir, siapa ya orang yang such makes me droll, makes me seeing sparks fly whenever he smiles? Gue sadar, udah ga ada. Sekian lama gue ga ketemu dia, komunikasi awkwardly seadanya, dan sibuk dengan sekolah dan pelajaran dan les dan hura-hura, tanpa sadar that feeling terkikis. Sedikit demi sedikit, but let's think, a lil bit too scientific, banyak gedung yang roboh karena erosi yang menggerus tanahnya pelan-pelan, bukan?

Buat gue, it's such odd, karena gue gampang jatuh cinta dan biasanya pasti ada orang yang gue sayang di suatu masa. Tapi ini ga. Either I'm coming off too nonchalant or bitter, or maybe (dan ini yang gue takutin), hati gue udah masang perisai.

Let's say I'm still waiting for someone who makes me catching sparks fly whenever he smiles.

Oh iya anyway gue mau survey dooong, dari ketiga cerbung gue, mana yang paling kalian suka?

1. Indefinitely, Maybe 1 dan 2 dan 3,
2. Every Rose Has Its Thorn 1, 2, 3, 4, 5, 6, atau,
3. Waiting for An Eiffel Kiss 1 dan 2

Let me know what you think! :D
(PS. I'm not Irene!)

mercredi 22 mai 2013

Tentang Mereka yang Pergi

Jadi, Rabu kelabu ini gue mulai dengan ngebuka site kawan seperjuangan gue si Bary, http://abarygregor.blogspot.com/ Di post terakhir, ada puisi yang nyentuhhh banget. Pokoknya bikin air mata menggenang lah wakakak. Eh ga taunya di akhir-akhir... itu puisi buat kucingnya yang baru mati.

Kucing?
Kucing?
Pret.

Eh tapiiii jangan meremehkan. Gue juga pernah keilangan kucing, dan itu rasanya nusuk. Ya gimana sih, kehilangan sesuatu yang lo udah terbiasa dengannya. Pasti jleb dan bikin linglung. Etapi gue gatau sih it makes sense juga buat lo. But for me, it does.

Kucing gue namanya Rebek Itun Curly. Rebek soalnya mukanya rebek, belekan pula. Itun  bahasa Sunda artinya item. Trus Curly soalnya buntutnya panjang. Doi mati tahun 2011, pas gue lagi libur ujian. Gue sayang sama dia, kadang kita kayak bisa telepati gitu. Kalo gue lagi sedih, dia bakal ngegosok-gosokin kepalanya ke paha gue. Emang sih, kadang dia suka ga sopan. Kayak pas bokap lagi shalat, eh dia ndeprok di tempat sujud. Trus kalo dia udah disuruh pergi, dia suka balik-balik lagi. Dia juga takut sama tikus, jadi kadang gue manggil doi Doraemon. Yang paling ngeselin sih pas dia udah punya anak, dia ga get along sama anak-anaknya. Istrinya ga diakuin pula, ckckck.

Gue inget, pas kelas 4 SD gue mungut Rebek pas nyokapnya, Meong, mati keracunan dan Rebek dan ketiga sodaranya jadi tiga batang kara. Untuk ngibur gue yang nangis nggak ada juntrungannya, sepupu pun mungut ketiga anak Meong trus dikasih kamar sendiri di atas, sebutan gue dan para sepupu buat tempat jemur di rumah. Nah berhubung sepupu yang kecil ada tiga, kita kasih atu-atu deh. Gue waktu itu dapet si Belang, satu-satunya betina, yang sayangnya mati paling pertama hiks. Sodaranya si Item juga menyusul lima hari kemudian. Tinggal si Rebek, yang paling jelek dan item kecuali bagian putih di keempat kakinya, dan gue suka mengasosiasikan putih itu dengan kaos kaki.

Terus ya udah. We grew up together, sampe gue mesti pindah rumah saat kelas 6 SD, Rebek pun ngintilin gue. Kayaknya kita emang udah sehati. He was born to survive, berantem kayak gimana pun dia bisa bertahan. Trus sampe gue kelas 9, dia sekarat gegara berantem, dan di hari terakhir hidupnya, dia tidur di samping gue. I love him so much.

Trus dia mati. Ya gitu. Gue mewek.

Itu adalah salah satu perpisahan yang paling gue inget, selain Juli 2012, gue putus sama seseorang yang udah sama-sama bareng gue sejak 2 Februari 2010. Sama kayak Rebek, dia pergi juga ninggalin pertanda. Kita putus pas annive, dan di hari annive itu kita jalan-jalan keliling Jakarta, ke Kota Tua, eveywhere. Trus gue cium pipi dia, hoping time like this could be eternal.

I had never thought it would be our last kiss.

Tapi ya gitu. Rasa menyesal pasti pernah ada, tapi emang udah kodrat manusia kayak gitu kan? Stay for a while, make memories, and leave. Terus begitu siklusnya, sampe nyokap gue bilang dia ga ngerti kenapa ada manusia susah move on, padahal esensi manusia itu ya berpindah. Dinamis. Go and move. Move and leave. Dan di akhir, everything's made to be broken, and we have nothing left but memories to repeat over.

For my two beloved guys ever,
I love you. Remember, no one can take it.

Let me end this post with a question,
"If nothing lasts forever, would you be my nothing?"

vendredi 17 mai 2013

Guratan Hujan

1997.

Anak perempuan itu masih berdiam diri di sana, mengabaikan tiap sapaan orang lewat yang mengenalnya. Ia mungil, berambut ikal, dan bermata besar. Sulit dipastikan apakah ia sedang menunggu ibunya datang menjemput atau tidak membawa payung. Sementara di luar, hujan turun dengan derasnya, menyisakan kubangan-kubangan berlumpur yang anak itu sering amati dengan otak kecilnya yang lugu.

"Hai. Apa yang sedang kamu lakukan?"

Anak itu menoleh pada akhirnya, merasakan keheningan yang susah payah ia bangun diruntuhkan oleh colekan di bahu. Ia mengernyit, hidungnya mengerucut. Ia tidak suka diganggu.

"Kenapa belum pulang?"

Sejujurnya, anak perempuan itu sudah tahu siapa si anak lelaki. Mereka tidak sekelas, pun terlalu asing untuk saling menyapa.

"Menunggu pelangi," cetus si anak perempuan.

"Menunggu pelangi?" si anak lelaki menimpali heran.

"Iya. Kata ibuku, pelangi selalu datang setelah hujan reda," sahutnya enggan.

"Oooh," si anak lelaki mengangguk, "aku kira, kamu sedang mengamati butiran hujan alih-alih menunggu pelangi."

Dijawab anak perempuan itu, "Saya benci hujan."

"Kenapa? Hujan kan nggak membuatmu berdarah atau terluka. Hujan terasa sejuk, dan menenangkan. Saya lebih suka melihat hujan daripada menunggu pelangi, soalnya...."

Panggilan dari seorang wanita bersuara familier menghentikan ucapannya. Si anak lelaki merengut sekilas, lalu bangkit berdiri, agak terlalu bersemangat. Sebelum ia sempat pergi, ia masih menatap si anak perempuan, yang terlihat masih merenungi intisari perkataannya. Memang tidak banyak orang yang memahami perkataannya. Terlalu rumit, itu yang orang sering bilang selain kata "sok tua".

"Saya yakin kamu nggak sedang menunggu pelangi, entah kamu menyadarinya atau nggak. Kamu tidak terlihat seperti orang yang sedang menunggu."

Lalu ia pergi, meninggalkan si anak perempuan terbengong-bengong dalam lamunannya sendiri.

2004.

Petir yang menggelegar membuat gadis kecil itu bergidik, membekaskan coretan pulpen di lembaran buku hariannya. Ugh, betapa banyak kesialan yang menimpanya gara-gara hujan! Setelah flu selama seminggu penuh, plus semua isi tasnya basah oleh air, kebenciannya terhadap hujan kian menjadi-jadi.

"Teriaknya kenceng banget, sih."

Si gadis kecil menoleh, mendapati seorang pemuda yang juga berseragam putih biru kini duduk di sampingnya. Ia sadar si pemuda sudah memperhatikannya sejak ia duduk di perpustakaan ini.

Setelah bengong cukup lama, gadis itu putuskan untuk tidak menanggapi, yang menghasilkan kerutan di jarak antara kedua alis pemuda itu.

"Yeee, sombong banget sih jadi orang."

Telinga gadis kecil pun panas. "Saya bukannya sombong, saya cuma lagi fokus ngerjain sesuatu," ujarnya datar, membela diri.

"Ngerjain apaan sih?"

Si gadis tidak menyahut, kembali menulis. Si pemuda geleng-geleng kepala dan menarik binder si gadis, membuat coretannya makin panjang.

"Argh! Kamu...!"

"Wah, ini cerpen?" si pemuda berbinar. "'Si Hero Butuh Pertolongan'? Wah, judulnya kreatif."

"Itu bukan urusanmu, kembalikan..."

Si pemuda bangkit berdiri dan menggebrak meja, membuat semua pengunjung perpustakaan menoleh padanya. "Fadil adalah anak baik hati, rajin shalat, dan selalu berbakti pada orangtuanya. Sayangnya, hari ini dia ketiban sial! Saat sedang liburan dan naik kapal, mendadak dia terpisah dari ibunya. Fadil pun panik dan mondar-mandir. Saat dia sedang berada di geladak kapal, mendadak ia mendengar suara, 'Tolong...! Tolong...!' Fadil melompat ke laut untuk menyelamatkan seorang anak yang tenggelam, dan menaikkannya lagi ke kapal. Kemudian... dia pun me- Selesai! Belum ada kelanjutannya."

Wajah si gadis memerah, namun sebelum ia sempat mengumpat si pemuda, semua pengunjung perpustakaan bertepuk tangan untuk cerpen singkat setengah halaman yang baru dideklamasikan si pemuda.

"Cerpen kamu bagus," cetusnya spontan, "kenapa kamu menulisnya?"

"Saya bosan. Saya sedang menunggu guru saya datang."

"Oh, guru...." Si pemuda mengangguk dan meletakkan binder itu kembali. "Sejujurnya, kamu tidak terlihat seperti orang yang sedang menunggu."

2008.

Hujan lagi.

Gadis itu kini menggosok-gosokkan telapak tangannya, entah untuk yang keberapa. Waktu boleh merubahnya dari sesosok anak kecil lugu menjadi gadis remaja pertengahan yang kritis dan cantik, namun rasa bencinya terhadap hujan belum pernah berubah.

Diangkatnya tangan kiri, dan diliriknya arloji. Tepat dua jam sudah ia duduk di kursi ini, dan hujan belum menunjukkan gejala akan berhenti. Dengan depresi ia menghela napas, melirik laptop di hadapannya, dan menarik napas frustasi lagi. Diraihnya cangkir cokelat panas yang sudah dingin, meneguknya tanpa selera. Sebisa mungkin diabaikannya tetesan hujan yang menggurat permukaan kaca. di sampingnya. Salahnya sendiri yang memilih meja paling pinggir, karena sungguh, pemandangan senja yang ditimpa cahaya oranye terlalu indah untuk dilewatkan, dan sayangnya visualisasi favoritnya itu hancur karena datangnya sang hujan.

"Hai, boleh saya duduk di sini? Sudah nggak ada tempat lain."

Orang asing, datang dan pergi. Si gadis tersenyum kecut, namun mengangguk mengiyakan. Orang asing itu kontan nyengir dan menarik kursi di sampingnya.

"Rasanya, wajah kamu tidak asing bagi saya."

Si gadis merutuk dalam hati. Tak bisakah si orang asing diam saja? Alih-alih menanggapi, ia malah menenggak lagi cokelat panas yang sudah tak lagi panas, dan menggerakkan trackpad.

"Sedang apa?" lagi-lagi si orang asing mengusiknya.

"Berpuisi," jawabnya sekenanya.

"Puisi? Hm? Tentang apa?"

"Tentang pelangi."

"Pelangi?" si orang asing bertopang dagu, menaik-turunkan alisnya jenaka. "Kamu mengingatkan saya pada cinta pertama saya. Gadis mungil yang juga mencintai sastra, dan selalu menunggu pelangi. Sayangnya sudah lama saya nggak ketemu dia."

"Oh, begitu," si gadis masih enggan memindahkan matanya dari layar monitor ke si orang asing.

"Siapa nama kamu?"

Si gadis memberitahunya.

"Oh," senyuman si orang asing mengembang, "nama kamu sendiri sudah mengingatkan saya pada puisi."

"Kata orang, nama itu doa, dan sepertinya doa orangtua saya meleset," si gadis mulai membuka diri, "nama saya berarti akhiran yang sama, dan kira memang begitu kira-kira. Apapun yang saya lakukan, akhirnya selalu sama. Ini kali keempat naskah saya ditolak penerbit."

"Saya nggak percaya sama teori macam itu," si orang asing mengedikkan bahu, "jadi, apa yang kamu lakukan sekarang?"

"Menulis, menunggu panggilan penerbit," cetus si gadis tanpa pikir panjang.

"Kamu tidak terlihat seperti orang yang sedang menunggu. Kamu terlihat seperti orang yang sedang mengejar."

Si orang asing tersenyum, dan begitu kagetnya si gadis sampai ia mengangkat kepala dan tatapan mereka bersiborok. Sayangnya si orang asing sudah keburu berdiri.

"Terima kasih tempatnya, saya masih ada urusan." Kemudian si orang asing pergi begitu saja.

"Masih pendiam seperti yang dulu."

Mungkin si gadis hanya membayangkannya, atau mungkin memang perkataan itu nyata. Yang jelas, ia masih sempat menoleh ke belakang untuk yang terakhir kali, mendapati spasi kosong di sana, kemudian kembali melamun bersama hujan yang menderas.

2013

Sungguh, perempuan muda itu tak mengerti kenapa hujan selalu menghancurkan mood-nya. Harusnya ia sudah sampai di kampung halamannya di Surabaya, hanya saja hujan membuat jalanan menjadi macet. Dihelanya napas penat, sambil membereskan helai-helai rambut yang berjatuhan di garis rahangnya.

"Akan jadi malam yang panjang," demikian ia menggumam di tengah malam.

"Tidak akan panjang kalau kamu menikmatinya."

Ucapan itu membuatnya merinding, dan si perempuan pun mendongak. Seorang lelaki kini berdiri di sampingnya, tubuhnya basah dari rambut sampai dada. Wajahnya ramah, matanya secemerlang bulan.

"Boleh geser?" tanyanya, memainkan matanya.

Alih-alih bergeser, si perempuan berdiri. "Silakan, kamu duduk di pojok saja."

"Terima kasih, ini sempurna. Saya suka hujan," komentarnya seraya mengubah posisi duduk senyaman mungkin. Si perempuan ragu-ragu sejenak, dan duduk pada akhirnya, merasa tidak nyaman dengan zona sedekat ini dengan lawan jenis. Ia bukan perempuan konversional, tidak setertutup itu pada dunia, dan juga mengikuti tren layaknya gadis-gadis pada usianya. Tapi ia tak bisa sesokdekat ini dengan orang yyang baru dikenalnya.

"Saya nggak suka hujan," ia memutuskan untuk jujur.

"Oh ya?" Si lelaki menatapnya tertarik. "Kamu orang kesekian yang bilang nggak suka hujan."

"Hm? Banyak kan, yang benci hujan," si perempuan tertawa acuh.

Namun pada malam itu, si perempuan harus mengingkari janjinya, membuka gembok yang ia kunci tanpa sadar. Mereka menghabiskan waktu di sana, tiga jam yang dihabiskan dengan obrolan tanpa sekat. Aneh rasanya, mengenali hal asing yang kausangka akan kaubenci ternyata bisa semenyenangkan ini.

Ia telah jatuh cinta pada keintiman yang diberikan lelaki itu, tak berjarak pada rasa hangat yang menular di tengah percakapan mereka.

"Kenapa kamu menunggu pelangi yang tak pasti, kalau kamu bisa menikmati hujan yang datang setiap hari?" si lelaki bertanya.

"Menurut saya, hidup itu memang tentang penantian. Menunggu, menunggu, dan menunggu. Memang begitu siklusnya," jawab si perempuan.

"Baik, kalau kamu bilang hidup itu tentang penantian," si lelaki merogoh sakunya, kemudian mengeluarkan setangkai mawar putih yang sudah nyaris layu dan cokelat di pucuk-pucuknya. Mawar paling menyedihkan yang pernah dilihat si perempuan. Tapi bunga itu tetap mawar; bunga favoritnya, dengan warna favoritnya, warna tanpa warna.

"Kamu belum pernah dapet bunga, kan?" si lelaki tertawa renyah. "Jadinya sekarang kamu nggak perlu nunggu seseorang ngasih bunga buat kamu."

"Hm, hm, boleh, boleh," si perempuan tersenyum, walau masih diliputi kebingungan.

Dan tak sampai lima menit si perempuan sudah tertidur, kepalanya jatuh di atas bahu si lelaki, mendengkur halus. Si lelaki bergerak tak nyaman di tempatnya, merasa kegelisahan dan ketenangan yang mengganggu menyergapnya. Ia merasa hidup, duduk berdampingan dengan perempuan di sampingnya ini.

"Kamu... tidak terlihat seperti orang yang sedang menunggu," bisik si lelaki, lirih.

2017.

"Usiamu sudah sebegini besar, Nduk, kok belum punya pacar juga?"

Si wanita mengerjapkan mata, meringis dan merenung. Selalu begitu, setiap seseorang menegurnya. Padahal ia tak sekesepian itu! Maksudnya, bagaimana bisa kau kesepian kalau kau masih bisa mengeksplorasi duniamu dalam jerat tinta, dan menulis di samping jendela yang digurat tetesan hujan.

"Apa perlu, ibu kenalin kamu dengan anaknya kenalan ibu?" tanya ibunya.

"Apa saya kelihatan seperti orang yang perlu dijodohkan?" tanpa sadar si wanita membalas dengan nada tinggi. "Saya baik-baik saja, Bu, sumpah."

"Jangan lupa lho, sepupunya Nadine besok menikah. Kamu jangan lupa datang, ya. Kali-kali aja temennya Nadine ada yang udah mapan terus nyantol sama kamu."

Si wanita tidak menjawab, meski ia menuruti keinginan ibunya keesokan harinya. Hujan yang datang tak lagi membuatnya mengeluh. Ia kini mencintai hujan, berkat lelaki yang dulu memberinya setangkai bunga.

Mungkin ia juga jatuh cinta pada lelaki itu. Mungkin. Mungkin juga ia membencinya, sejak si lelaki meninggalkannya sendirian di bus pada sore yang sepi, terbangun karena digoncang kondektur bus, mendapati kursi di sampingnya kosong melompong. Ia jatuh cinta pada orang yang datang dan pergi secepat bayangan berkelebat.

Langkah kakinya mencepat, melihat rumah sepupunya sudah mendekat. Ia masuk dan tanpa basa-basi menyalami Nadine, yang dulu merupakan kembang SMA, cantik dan cerdas dan dikagumi banyak orang.

"Halo, Nadine, selamat yaaa."

"Hai, sepupu! Lama nggak ketemu! Ayo, makan dulu!"

"Maaf, Dine, saya datang cuma untuk ngucapin. Saya masih ada urusan penting."

"Hm, ya udah kalo gitu. Tapi kamu nggak mungkin pergi tanpa menemui suami saya, kan?"

Maka si wanita ditarik sepupunya mendekati siluet seorang pria yang bertubuh tegap. Nadine memeluknya dari belakang, dan si pria tertawa penuh sukacita seraya berbalik. Saat mereka bertatapan, si wanita merasa tata surya beku di tempat, tak lagi bergerak.

Suami sepupunya adalah lelaki yang membuatnya jatuh cinta di bus.

"Hai! Lama nggak ketemu," si pria tersenyum.

"Lho? Kalian pernah ketemu? Dunia sempit banget, ya," komentar Nadine, menggelayut manja di lengan si lelaki.

Si wanita membatu sejenak sebelum mengangkat dagunya dan dengan dingin membalas, "Rasanya... kita pernah bertemu."

2030

Waktu bisa merubah banyak hal, dan itulah yang terjadi pada nenek itu. Rambutnya telah memutih dan keriput sudah merambati pelipisnya. Namun ia masih mungil, seperti yang dulu, masih perasa, dan masih mencintai literatur.

Perbedaannya yang lain mungkin adalah karena ia memakai seragam suster.

Ya, ia bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit yang merawat anak-anak autis, menjaga mereka dengan sepenuh hati.

Dari semua anak autis, ada satu favoritnya. Rudi namanya, bocah lelaki kecil berambut acak-acakan yang paling perhatian. Rudi bahkan memanggilnya "ibu" dan terkadang curhat padanya.

"Hari ini, ayah datang," Rudi berceloteh pada suatu hari yang cerah.

"Rudi seneng, dong?" si nenek menanggapi ramah.

"Jelas, dong. Eh eh lihat! Itu ayah!" Tanpa ba-bi-bu Rudi berlari menyongsong datangnya seorang kakek-kakek, yang masih gagah di usia 60 tahunnya.

"Rudi! Akhirnya, Nak!"

Nenek itu memandang si kakek dengan mematung, menatapnya lekat-lekat.

"Astaga, kita ketemu lagi!" pekik si kakek. "Halo, kamu masih ingat saya, kan?"

"Ya," tukas si nenek jujur, "mana Nadine? Saya nggak pernah dengar kabarnya sejak kalian pindah ke Malaysia."

"Meninggal bulan lalu, makanya saya baru bisa ke sini hari ini," tukas si kakek.

"Oh."

"Bagaimana kalau kita ke kantin sekarang?" ajak si kakek. "Sudah lama kita nggak berbincang-bincang."

Si nenek menghela napas dalam-dalam. "Kita memang nggak pernah benar-benar berbincang."

"Kita beberapa kali berbincang, hanya saja kamu nggak pernah sadar," balas si kakek. "Dulu kita ketemu, saat kita ada di SR. Lalu pada suatu sore di perpustakaan, dan sore lainnya di kafe itu. Setelahnya, di bus, dan kamu tetap tak kenal saya. Sebenarnya, saat saya melihat kamu, saya juga sedang murung. Nadine baru saja menolak mawar putih yang saya beri, makanya saya berikan itu ke kamu," si kakek menghela napas dalam-dalam, "saya kaget saat melihat kamu, ternyata kamu sepupunya Nadine. Sepupu Nadine adalah cinta pertama saya, dan mungkin cinta terakhir juga."

Si nenek menatap si kakek, tersenyum rikuh. "Sudah terlambat belasan tahun untuk mengatakannya. Kita nggak akan bisa mengejar."

"Mungkin. Saya hanya ingin kamu tahu, daripada tidak sama sekali. Saya cinta kamu, Rima."

Si nenek mendongak, menatap bulir hujan yang kembali jatuh. "Saya juga. Kamu adalah segala yang saya tuang dalam puisi, kata yang saya tulis dalam cerita. Saya juga cinta kamu,

"Sajak."

14:54, 17/05/2013

mardi 7 mai 2013

Balada Hari Selasa

Hari Selasa gue kali ini dimulai dengan SMS Kak Rea pas gue lagi di mobil, yang ngasih tau kalo hari ini kita mesti tubas a.k.a cabut lagi. FYI, selama semester ini, gue udah empat kali tubas, biar kata semuanya karen sekolah yang ngutus. Tubas gue Selasa ini dalam rangka upacara pembukaan FLS2N. Gue lomba puisi, doi solo vokal. The problem is... hari ini gue ada remed dua biji, plus sosio dan geografi ada tugas dan PKn adalah mapel favorit gue.

Sontak gue panik, secara gue belom ngomong ke ortu gue, tapi gue juga gaberani ngomong juga, since it was my 5th time tubas. Jadi yaa gue mingkem aja walo bokap duduk di depan. Nyampe gerbang, gue ngeliat tasnya Kak Rea di pos satpam, trus gue SMS doi, bilang kalo gue udah nyampe gerbang. Berhubung Kak Rea lama, gue pun ke kelas gue di lantai tiga, soalnya gue belom ngelarin tugas geografi yang gue sangka wajib dikumpulin hari ini. Gue tambah panik pas Mitha, sang sekretaris yang merangkap teman sebangku gue, belom dateng. Yawdah akhirnya gue ngerjain geografi superngebut, pikiran gue kebelah gara2 Kak Rea belom bales SMS dari tadi.

Sialnya tuh Bu Sri, guru agama gue yang muka security hati Hello Kitty keburu masuk. Gue tetep ngerjain geografi, walo rada stay cool sih. Gue ngangguk aja pas doi ngomong, tangan gue teteup bergerak nulis. Tiba2 Kak Rea bilang dia gabisa ngizinin gue, mesti gue ndiri yang minta surat izin ke guru piket. Gue pun ngerengek via teks, ngomong kalo ni guru rada angker dan gue yang berkerudung ini remed pelajaran agama, sempet disindir jangan ngerjain yang lain pula. Dan bimsalabim, Kak Rea pun masuk dengan bawa surat izinnya,terus ngomong sama Bu Sri.

"Esa?"

Dalem hati: "Mampus afektif gue C." Mulut: "Iya Bu?"

"Kamu bisa bikin puisi?"

"Errrr gitu sih Bu, tapi ga jago2 amat hehehehehe."

Yang lain sontak pada komentar, tapi celetukan yang paling gue inget sih, "Bikin puisi tentang gue dong Cha!" Tau deh itu siapa yang ngomong.

Singkatnya gue sama Kak Rea finally keluar kelas juga, trus ke bawah ngebalikin surat izin trus minta surat izin asli ke TU trus ditolak hahahahahaha. Masalahnya sepele: surat izin kita ga ditandatanganin kepsek, padahal jelas2 Pak Liliek sang kepsek lagi mejeng di GOR Ragunan, which is tujuan gue sama Kak Rea barusan. Pak Dendy Desmal sang Mr English yang menurut kamus Firda 11/12 sama Dimas Anggara pun ngasih saran yang sangat membantu, "Yaudah, kalian pergi ke Ragunan, minta tanda tangan Pak Liliek, terus balik lagi." Tengkyu banget Mister:')

Gue sama Kak Rea bolak-balik nyari Pak Ferry sang penaggungjawab, dan entah berapa kali kami nyasar kayak Dora yang kehilangan peta. Gue bahkan sempet mikir untuk nanya ke gerombolan Aud yang lagi nongkrong di kantin, "Apakah kakak melihat Pak Ferry? Apa? Di mana? Lebih keras!" Tapi mendadak gue kebelet pipis. Kak Rea akhirnya ninggalin gue ke TU dan simsalabim lagi, pas gue balik semua urusan udah beres dan kita tinggal cabut.

Masalah lainnya: pas gue sama Kak Rea udah naik minibus sekolah, Pak Dedi si sopir bus pun lenyap. Trus ngeliat minibusnya lowong, Pak Satpam yang gue lupa namanya pun naik. Sesokkeren Sebastian Vettel, Pak Satpam ngegas, ngebawa kita ngiterin 70 hahahahahaha untung ga nubruk pohon ya Pak. Pas di depan masjid, gataunya Pak Ferry buntutin pake motor hahaha trus Pak Satpamnya dilempar omelan nonverbal dalam bentuk delikan mata, trus kita pun dibawa ke depan Pak Dedi.

Kita pergi bareng Pak Dedi sama Bu Yanti, dan di sepanjang perjalanan gue sama Kak Rea ngerusuh di bus, as always. Pas udah nyampe di GOR Bulungan, gue sama Kak Rea plenga-plengo kea penguin nyasar di gurun, coz kebayakan peserta bergeragam SD dan SMP, ditambah lagi kita terancam balik ke Bulungan naik bus. Yaudah akhirnya gue sama Kak Rea nekat nerobos kerumunan, didadahin kayak Jennifer Lawrence baru menang Oscar. tapi selangkah sebelom gue masuk ke pintu utama, tas gue ketarik kuat banget sampe gue jinjit, dan bapak2 bertampang angker pun ngomong pake urat, "Jangan lewat situ, udah ada Kasudin. Lewat pintu belakang sana!"

Gue dan Kak Rea, sebagai anak manis dan imut2 pun nurut, terus jalan lumayan jauh ke pintu belakang. Pas udah di sana, gue ngeliat peserta lain udah pada baris rapi banget, gimana bisa nerobos? Akhirnya kita pun ngikutin barisan anak berseragam yang juga telat, dan shit men, kita ketauan trus kena interogasi, "Seragam kalian mana?"

Jenjengjenjeng.

Kita berdua sama2 cengo, tapi alhamdulillah dibolehin masuk at last. Ternyata emang cuma geng Jaksel doang yang mejikuhibiniu alias gaada seragamnya. Kak Rea pun ngeliat Kak Ruri, kakak kelas gue waktu SMP yang kebetulan juara satu lomba solvok. Kita langsung nyerobot barisan trus ketawa2 aja. Kak Ruri juga ngasih tau kalo kita mesti dadah2 freak waktu nama kita dipanggil.

Masalahnya, udaranya subhanallah panas banget men. Gegara panas itu juga, pas kita jalan gue lupa dadah2 freak kea instruksi Kak Ruri. Gue cuma nyengir kuda. Trus kita diangon kea anak kambing siap panggang ke lapangan yang 2x lipat lebih nyesss panasnya. Berdiri di situ selama 30 menit bener2 nerakanya dunia, man.

Akhirnya pas tengah upacara, kelar janji atlit dan janji peserta, gue, Kak Rea, sama Kak Ruri pun kabur lewat pintu belakang sebelah kanan yang ga dijaga, plus bareng pendampingnya Kak Ruri hahahahahaha jadi kita aman. Desperate for kipas angin, gue pun alibi mesen siomay di kantin, dan Kak Rea nggunain fasilitas stop kontaknya buat ngecharge BB. Ternyata siomaynya gila2an porsinya, dan gue pun maksa Kak Rea buat ngabisin siomay gue. Trus akhirnya kita gajadi terdampar naik bus soalnya Pak Dedi jemput yihaaaa. Pak Rochmat, pendamping Kak Ruri, dan yang didampingin juga ikut minibus 70. Sepanjang jalan kita ngobrol, dan pas nyampe 70, gue baru tau kalo tadi gajadi remed Sejarah dan Geo sama Sosio cuma ngerjain tugas dan PKn gabut soalnya Pak Aprizal ngeremed anak2 yang nilainya kurang hahahahaha senangnya hatiku turun panas demamku~ :"D

Ohiya trus Mtk juga gajadi remed dan deadline puisi buat another lomba gue terselesaikan trus tadi gue dikasih Diary of A Wimpy Kid sama Olla soalnya dia punya dua hahahahahaha tengkyu Olla:)) Terakhir, binder ijo gue yang gue sangka ilang pun ketemu muahahaha.

Considered myself fortunate in misfortune,
Thanks Allah it's Tuesday:)