vendredi 17 mai 2013

Guratan Hujan

1997.

Anak perempuan itu masih berdiam diri di sana, mengabaikan tiap sapaan orang lewat yang mengenalnya. Ia mungil, berambut ikal, dan bermata besar. Sulit dipastikan apakah ia sedang menunggu ibunya datang menjemput atau tidak membawa payung. Sementara di luar, hujan turun dengan derasnya, menyisakan kubangan-kubangan berlumpur yang anak itu sering amati dengan otak kecilnya yang lugu.

"Hai. Apa yang sedang kamu lakukan?"

Anak itu menoleh pada akhirnya, merasakan keheningan yang susah payah ia bangun diruntuhkan oleh colekan di bahu. Ia mengernyit, hidungnya mengerucut. Ia tidak suka diganggu.

"Kenapa belum pulang?"

Sejujurnya, anak perempuan itu sudah tahu siapa si anak lelaki. Mereka tidak sekelas, pun terlalu asing untuk saling menyapa.

"Menunggu pelangi," cetus si anak perempuan.

"Menunggu pelangi?" si anak lelaki menimpali heran.

"Iya. Kata ibuku, pelangi selalu datang setelah hujan reda," sahutnya enggan.

"Oooh," si anak lelaki mengangguk, "aku kira, kamu sedang mengamati butiran hujan alih-alih menunggu pelangi."

Dijawab anak perempuan itu, "Saya benci hujan."

"Kenapa? Hujan kan nggak membuatmu berdarah atau terluka. Hujan terasa sejuk, dan menenangkan. Saya lebih suka melihat hujan daripada menunggu pelangi, soalnya...."

Panggilan dari seorang wanita bersuara familier menghentikan ucapannya. Si anak lelaki merengut sekilas, lalu bangkit berdiri, agak terlalu bersemangat. Sebelum ia sempat pergi, ia masih menatap si anak perempuan, yang terlihat masih merenungi intisari perkataannya. Memang tidak banyak orang yang memahami perkataannya. Terlalu rumit, itu yang orang sering bilang selain kata "sok tua".

"Saya yakin kamu nggak sedang menunggu pelangi, entah kamu menyadarinya atau nggak. Kamu tidak terlihat seperti orang yang sedang menunggu."

Lalu ia pergi, meninggalkan si anak perempuan terbengong-bengong dalam lamunannya sendiri.

2004.

Petir yang menggelegar membuat gadis kecil itu bergidik, membekaskan coretan pulpen di lembaran buku hariannya. Ugh, betapa banyak kesialan yang menimpanya gara-gara hujan! Setelah flu selama seminggu penuh, plus semua isi tasnya basah oleh air, kebenciannya terhadap hujan kian menjadi-jadi.

"Teriaknya kenceng banget, sih."

Si gadis kecil menoleh, mendapati seorang pemuda yang juga berseragam putih biru kini duduk di sampingnya. Ia sadar si pemuda sudah memperhatikannya sejak ia duduk di perpustakaan ini.

Setelah bengong cukup lama, gadis itu putuskan untuk tidak menanggapi, yang menghasilkan kerutan di jarak antara kedua alis pemuda itu.

"Yeee, sombong banget sih jadi orang."

Telinga gadis kecil pun panas. "Saya bukannya sombong, saya cuma lagi fokus ngerjain sesuatu," ujarnya datar, membela diri.

"Ngerjain apaan sih?"

Si gadis tidak menyahut, kembali menulis. Si pemuda geleng-geleng kepala dan menarik binder si gadis, membuat coretannya makin panjang.

"Argh! Kamu...!"

"Wah, ini cerpen?" si pemuda berbinar. "'Si Hero Butuh Pertolongan'? Wah, judulnya kreatif."

"Itu bukan urusanmu, kembalikan..."

Si pemuda bangkit berdiri dan menggebrak meja, membuat semua pengunjung perpustakaan menoleh padanya. "Fadil adalah anak baik hati, rajin shalat, dan selalu berbakti pada orangtuanya. Sayangnya, hari ini dia ketiban sial! Saat sedang liburan dan naik kapal, mendadak dia terpisah dari ibunya. Fadil pun panik dan mondar-mandir. Saat dia sedang berada di geladak kapal, mendadak ia mendengar suara, 'Tolong...! Tolong...!' Fadil melompat ke laut untuk menyelamatkan seorang anak yang tenggelam, dan menaikkannya lagi ke kapal. Kemudian... dia pun me- Selesai! Belum ada kelanjutannya."

Wajah si gadis memerah, namun sebelum ia sempat mengumpat si pemuda, semua pengunjung perpustakaan bertepuk tangan untuk cerpen singkat setengah halaman yang baru dideklamasikan si pemuda.

"Cerpen kamu bagus," cetusnya spontan, "kenapa kamu menulisnya?"

"Saya bosan. Saya sedang menunggu guru saya datang."

"Oh, guru...." Si pemuda mengangguk dan meletakkan binder itu kembali. "Sejujurnya, kamu tidak terlihat seperti orang yang sedang menunggu."

2008.

Hujan lagi.

Gadis itu kini menggosok-gosokkan telapak tangannya, entah untuk yang keberapa. Waktu boleh merubahnya dari sesosok anak kecil lugu menjadi gadis remaja pertengahan yang kritis dan cantik, namun rasa bencinya terhadap hujan belum pernah berubah.

Diangkatnya tangan kiri, dan diliriknya arloji. Tepat dua jam sudah ia duduk di kursi ini, dan hujan belum menunjukkan gejala akan berhenti. Dengan depresi ia menghela napas, melirik laptop di hadapannya, dan menarik napas frustasi lagi. Diraihnya cangkir cokelat panas yang sudah dingin, meneguknya tanpa selera. Sebisa mungkin diabaikannya tetesan hujan yang menggurat permukaan kaca. di sampingnya. Salahnya sendiri yang memilih meja paling pinggir, karena sungguh, pemandangan senja yang ditimpa cahaya oranye terlalu indah untuk dilewatkan, dan sayangnya visualisasi favoritnya itu hancur karena datangnya sang hujan.

"Hai, boleh saya duduk di sini? Sudah nggak ada tempat lain."

Orang asing, datang dan pergi. Si gadis tersenyum kecut, namun mengangguk mengiyakan. Orang asing itu kontan nyengir dan menarik kursi di sampingnya.

"Rasanya, wajah kamu tidak asing bagi saya."

Si gadis merutuk dalam hati. Tak bisakah si orang asing diam saja? Alih-alih menanggapi, ia malah menenggak lagi cokelat panas yang sudah tak lagi panas, dan menggerakkan trackpad.

"Sedang apa?" lagi-lagi si orang asing mengusiknya.

"Berpuisi," jawabnya sekenanya.

"Puisi? Hm? Tentang apa?"

"Tentang pelangi."

"Pelangi?" si orang asing bertopang dagu, menaik-turunkan alisnya jenaka. "Kamu mengingatkan saya pada cinta pertama saya. Gadis mungil yang juga mencintai sastra, dan selalu menunggu pelangi. Sayangnya sudah lama saya nggak ketemu dia."

"Oh, begitu," si gadis masih enggan memindahkan matanya dari layar monitor ke si orang asing.

"Siapa nama kamu?"

Si gadis memberitahunya.

"Oh," senyuman si orang asing mengembang, "nama kamu sendiri sudah mengingatkan saya pada puisi."

"Kata orang, nama itu doa, dan sepertinya doa orangtua saya meleset," si gadis mulai membuka diri, "nama saya berarti akhiran yang sama, dan kira memang begitu kira-kira. Apapun yang saya lakukan, akhirnya selalu sama. Ini kali keempat naskah saya ditolak penerbit."

"Saya nggak percaya sama teori macam itu," si orang asing mengedikkan bahu, "jadi, apa yang kamu lakukan sekarang?"

"Menulis, menunggu panggilan penerbit," cetus si gadis tanpa pikir panjang.

"Kamu tidak terlihat seperti orang yang sedang menunggu. Kamu terlihat seperti orang yang sedang mengejar."

Si orang asing tersenyum, dan begitu kagetnya si gadis sampai ia mengangkat kepala dan tatapan mereka bersiborok. Sayangnya si orang asing sudah keburu berdiri.

"Terima kasih tempatnya, saya masih ada urusan." Kemudian si orang asing pergi begitu saja.

"Masih pendiam seperti yang dulu."

Mungkin si gadis hanya membayangkannya, atau mungkin memang perkataan itu nyata. Yang jelas, ia masih sempat menoleh ke belakang untuk yang terakhir kali, mendapati spasi kosong di sana, kemudian kembali melamun bersama hujan yang menderas.

2013

Sungguh, perempuan muda itu tak mengerti kenapa hujan selalu menghancurkan mood-nya. Harusnya ia sudah sampai di kampung halamannya di Surabaya, hanya saja hujan membuat jalanan menjadi macet. Dihelanya napas penat, sambil membereskan helai-helai rambut yang berjatuhan di garis rahangnya.

"Akan jadi malam yang panjang," demikian ia menggumam di tengah malam.

"Tidak akan panjang kalau kamu menikmatinya."

Ucapan itu membuatnya merinding, dan si perempuan pun mendongak. Seorang lelaki kini berdiri di sampingnya, tubuhnya basah dari rambut sampai dada. Wajahnya ramah, matanya secemerlang bulan.

"Boleh geser?" tanyanya, memainkan matanya.

Alih-alih bergeser, si perempuan berdiri. "Silakan, kamu duduk di pojok saja."

"Terima kasih, ini sempurna. Saya suka hujan," komentarnya seraya mengubah posisi duduk senyaman mungkin. Si perempuan ragu-ragu sejenak, dan duduk pada akhirnya, merasa tidak nyaman dengan zona sedekat ini dengan lawan jenis. Ia bukan perempuan konversional, tidak setertutup itu pada dunia, dan juga mengikuti tren layaknya gadis-gadis pada usianya. Tapi ia tak bisa sesokdekat ini dengan orang yyang baru dikenalnya.

"Saya nggak suka hujan," ia memutuskan untuk jujur.

"Oh ya?" Si lelaki menatapnya tertarik. "Kamu orang kesekian yang bilang nggak suka hujan."

"Hm? Banyak kan, yang benci hujan," si perempuan tertawa acuh.

Namun pada malam itu, si perempuan harus mengingkari janjinya, membuka gembok yang ia kunci tanpa sadar. Mereka menghabiskan waktu di sana, tiga jam yang dihabiskan dengan obrolan tanpa sekat. Aneh rasanya, mengenali hal asing yang kausangka akan kaubenci ternyata bisa semenyenangkan ini.

Ia telah jatuh cinta pada keintiman yang diberikan lelaki itu, tak berjarak pada rasa hangat yang menular di tengah percakapan mereka.

"Kenapa kamu menunggu pelangi yang tak pasti, kalau kamu bisa menikmati hujan yang datang setiap hari?" si lelaki bertanya.

"Menurut saya, hidup itu memang tentang penantian. Menunggu, menunggu, dan menunggu. Memang begitu siklusnya," jawab si perempuan.

"Baik, kalau kamu bilang hidup itu tentang penantian," si lelaki merogoh sakunya, kemudian mengeluarkan setangkai mawar putih yang sudah nyaris layu dan cokelat di pucuk-pucuknya. Mawar paling menyedihkan yang pernah dilihat si perempuan. Tapi bunga itu tetap mawar; bunga favoritnya, dengan warna favoritnya, warna tanpa warna.

"Kamu belum pernah dapet bunga, kan?" si lelaki tertawa renyah. "Jadinya sekarang kamu nggak perlu nunggu seseorang ngasih bunga buat kamu."

"Hm, hm, boleh, boleh," si perempuan tersenyum, walau masih diliputi kebingungan.

Dan tak sampai lima menit si perempuan sudah tertidur, kepalanya jatuh di atas bahu si lelaki, mendengkur halus. Si lelaki bergerak tak nyaman di tempatnya, merasa kegelisahan dan ketenangan yang mengganggu menyergapnya. Ia merasa hidup, duduk berdampingan dengan perempuan di sampingnya ini.

"Kamu... tidak terlihat seperti orang yang sedang menunggu," bisik si lelaki, lirih.

2017.

"Usiamu sudah sebegini besar, Nduk, kok belum punya pacar juga?"

Si wanita mengerjapkan mata, meringis dan merenung. Selalu begitu, setiap seseorang menegurnya. Padahal ia tak sekesepian itu! Maksudnya, bagaimana bisa kau kesepian kalau kau masih bisa mengeksplorasi duniamu dalam jerat tinta, dan menulis di samping jendela yang digurat tetesan hujan.

"Apa perlu, ibu kenalin kamu dengan anaknya kenalan ibu?" tanya ibunya.

"Apa saya kelihatan seperti orang yang perlu dijodohkan?" tanpa sadar si wanita membalas dengan nada tinggi. "Saya baik-baik saja, Bu, sumpah."

"Jangan lupa lho, sepupunya Nadine besok menikah. Kamu jangan lupa datang, ya. Kali-kali aja temennya Nadine ada yang udah mapan terus nyantol sama kamu."

Si wanita tidak menjawab, meski ia menuruti keinginan ibunya keesokan harinya. Hujan yang datang tak lagi membuatnya mengeluh. Ia kini mencintai hujan, berkat lelaki yang dulu memberinya setangkai bunga.

Mungkin ia juga jatuh cinta pada lelaki itu. Mungkin. Mungkin juga ia membencinya, sejak si lelaki meninggalkannya sendirian di bus pada sore yang sepi, terbangun karena digoncang kondektur bus, mendapati kursi di sampingnya kosong melompong. Ia jatuh cinta pada orang yang datang dan pergi secepat bayangan berkelebat.

Langkah kakinya mencepat, melihat rumah sepupunya sudah mendekat. Ia masuk dan tanpa basa-basi menyalami Nadine, yang dulu merupakan kembang SMA, cantik dan cerdas dan dikagumi banyak orang.

"Halo, Nadine, selamat yaaa."

"Hai, sepupu! Lama nggak ketemu! Ayo, makan dulu!"

"Maaf, Dine, saya datang cuma untuk ngucapin. Saya masih ada urusan penting."

"Hm, ya udah kalo gitu. Tapi kamu nggak mungkin pergi tanpa menemui suami saya, kan?"

Maka si wanita ditarik sepupunya mendekati siluet seorang pria yang bertubuh tegap. Nadine memeluknya dari belakang, dan si pria tertawa penuh sukacita seraya berbalik. Saat mereka bertatapan, si wanita merasa tata surya beku di tempat, tak lagi bergerak.

Suami sepupunya adalah lelaki yang membuatnya jatuh cinta di bus.

"Hai! Lama nggak ketemu," si pria tersenyum.

"Lho? Kalian pernah ketemu? Dunia sempit banget, ya," komentar Nadine, menggelayut manja di lengan si lelaki.

Si wanita membatu sejenak sebelum mengangkat dagunya dan dengan dingin membalas, "Rasanya... kita pernah bertemu."

2030

Waktu bisa merubah banyak hal, dan itulah yang terjadi pada nenek itu. Rambutnya telah memutih dan keriput sudah merambati pelipisnya. Namun ia masih mungil, seperti yang dulu, masih perasa, dan masih mencintai literatur.

Perbedaannya yang lain mungkin adalah karena ia memakai seragam suster.

Ya, ia bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit yang merawat anak-anak autis, menjaga mereka dengan sepenuh hati.

Dari semua anak autis, ada satu favoritnya. Rudi namanya, bocah lelaki kecil berambut acak-acakan yang paling perhatian. Rudi bahkan memanggilnya "ibu" dan terkadang curhat padanya.

"Hari ini, ayah datang," Rudi berceloteh pada suatu hari yang cerah.

"Rudi seneng, dong?" si nenek menanggapi ramah.

"Jelas, dong. Eh eh lihat! Itu ayah!" Tanpa ba-bi-bu Rudi berlari menyongsong datangnya seorang kakek-kakek, yang masih gagah di usia 60 tahunnya.

"Rudi! Akhirnya, Nak!"

Nenek itu memandang si kakek dengan mematung, menatapnya lekat-lekat.

"Astaga, kita ketemu lagi!" pekik si kakek. "Halo, kamu masih ingat saya, kan?"

"Ya," tukas si nenek jujur, "mana Nadine? Saya nggak pernah dengar kabarnya sejak kalian pindah ke Malaysia."

"Meninggal bulan lalu, makanya saya baru bisa ke sini hari ini," tukas si kakek.

"Oh."

"Bagaimana kalau kita ke kantin sekarang?" ajak si kakek. "Sudah lama kita nggak berbincang-bincang."

Si nenek menghela napas dalam-dalam. "Kita memang nggak pernah benar-benar berbincang."

"Kita beberapa kali berbincang, hanya saja kamu nggak pernah sadar," balas si kakek. "Dulu kita ketemu, saat kita ada di SR. Lalu pada suatu sore di perpustakaan, dan sore lainnya di kafe itu. Setelahnya, di bus, dan kamu tetap tak kenal saya. Sebenarnya, saat saya melihat kamu, saya juga sedang murung. Nadine baru saja menolak mawar putih yang saya beri, makanya saya berikan itu ke kamu," si kakek menghela napas dalam-dalam, "saya kaget saat melihat kamu, ternyata kamu sepupunya Nadine. Sepupu Nadine adalah cinta pertama saya, dan mungkin cinta terakhir juga."

Si nenek menatap si kakek, tersenyum rikuh. "Sudah terlambat belasan tahun untuk mengatakannya. Kita nggak akan bisa mengejar."

"Mungkin. Saya hanya ingin kamu tahu, daripada tidak sama sekali. Saya cinta kamu, Rima."

Si nenek mendongak, menatap bulir hujan yang kembali jatuh. "Saya juga. Kamu adalah segala yang saya tuang dalam puisi, kata yang saya tulis dalam cerita. Saya juga cinta kamu,

"Sajak."

14:54, 17/05/2013

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire