lundi 7 avril 2014

Belajar dari Sekitar

Dulu, waktu gue masih kecil, gue suka banget sama yang namanya "belajar". Ortu gue juga membiaskan istilah itu sehingga "belajar"-nya orang-orang keitung sebagai "main-main" bagi gue. Umur tiga setengah tahun, gue udah bisa nulis, dan umur empat tahun, gue udah bisa baca. Sebelum gue masuk TK, gue sering nyelipin agenda "mengajar" tiap gue bikin tea party sama boneka-boneka gue. Nuff said, I love studying and making people study.

As I grow up, kata "belajar" makin buram di kehidupan gue. Sekolah bikin capek dan stres alih-alih bikin enjoy. Lo udah begadang semalam suntuk dan menekuni buku matematika, nilai lo kalah sama mereka yang menyelundupkan buku ke kolong meja atau lirik kanan-kiri. Dan hasilnya sama-sama aja tuh, baik lo lurus atau melenceng. Sejak itu, dan sekarang, bagi gue sekolah itu bukan tentang belajar lagi. Sekolah itu tentang nilai bagus yang berjejer di rapor dan naik kelas. Titik.

Gue justru merasa hal-hal yang harus gue catat dan nilai-nilai yang mesti gue anut dan bawa saat gue dewasa, bukan berasal dari sekolah. Well, sekolah ngasih tahu gue cara gambar garis linier dan nyari persamaan integral. Sekolah ngasih tahu gue jenis-jenis industri dan warna apa sih bilirubin itu. Sekolah, secara tersirat, juga bikin gue tahu kalo nggak semua orang bisa lo panggil "teman". Kasarnya, backstabber everywhere.

Most beautiful things I learnt, I got from various media and/or occasion. Dari buku anak-anak yang halamannya udah menguning. Dari film-film Hollywood. Dari orang-orang ask.fm yang dengan murah hatinya memfoto pedagang tua dan ngasih label sad story. Makin lama, gue makin sadar... It's just matter of perspective how to see these discoveries as subjects to learn.

Malam ini gue belajar dari tukang sekoteng yang suka lewat di depan rumah gue. Biasanya dia lewat sini jam 10 malam. Dan berhubung gue kedinginan, gue pun beli sekotengnya. Gue rada tergugu waktu melihat si tukang. Dia udah tua, jauh lebih tua ketimbang bokap. Dan dia senyum sumringah banget waktu gue nyodorin dua mangkuk  buat diisi.

Kami ngobrolin beberapa hal remeh. Gue tahu dia udah jualan sekoteng puluhan tahun, dan sepuluh tahun terakhir dia merintis semua usahanya sendiri lantaran istrinya udah meninggal. Gue bilang, "Allah lebih sayang sama istri bapak." Dia bilang, "Saya tahu, Neng," sambil terkekeh ringan.

Gue tahu dia kadang pulang ke rumah tanpa satu mangkuk pun terjual. Gue juga tahu dia punya anak yang mau ujian.

Dia: "Saya punya anak seumuran Neng."
Gue: "Oh, ya?"
Dia: "Iya, bentar lagi mau ujian."
Gue: "Oh, berarti lebih muda saya. Saya baru kelas dua."
Dia: "Oooh. Nanti Neng mau lanjut SMA di mana?"
Gue: "..."

Iya, gue tahu. Simpati gue juga rada lumer dan gue jadi mayan bete gegara disangka anak SMP. Tapi beliau lantas bilang, "Kalo anak saya mah, mau saya masukin pesantren aja. Biar pinter ngaji dan moralnya bagus, dan lagian kan biaya pesantren nggak begitu mahal."

Gue tahu dia nggak nyindir, tapi itu nggak mencegah gue memeluk diri sendiri yang pake kaus sleeveless dan hot pants. Maklum, gue mau tidur dan suhu di Jakarta nowadays kadang bisa bikin Indomie mateng lebih cepet.

Begitu pesenan gue kelar, gue menyodorkan uang gocapan ke beliau. Dan beliau langsung kaget salting begitu.

"Wah, Neng, belum ada kembalian, nih."

Gue langsung bingung kan. "Hah? Belom ada kembalian? Lah bapak emang baru jualan?"

"Saya mah udah jualan dari jam enam."

Seketika gue speechless. Beliau udah mencari nafkah selama empat jam, menempuh jarak yang cuma Tuhan yang tahu detailnya, dan nggak punya kembalian buat uang gocap? Gue malu, dan gue kepengin nangis. Sehari, nyokap ngasih gue duit jajan 35 ribu, belum ongkos ojek. Dan baru tadi siang gue menghamburkan uang 300 ribu lebih demi beli buku, sedangkan buku gue yang belom dibaca masih menumpuk di rumah. Si tukang sekoteng... yang udah kerja banting tulang selama empat jam....

"Saya tukerin dulu uangnya di warung bawah ya, Neng!" perkataannya bikin gue sadar.

Tapi gue nolak. Gue bilang aja dia bisa ngambil kembaliannya. Nggak apalah, dia jauh lebih butuh itu daripada gue. Dia punya mulut-mulut kelaparan yang jadi tanggungannya di rumah. Gue tinggal minta, udah dikasih.

Mata beliau yang udah merah berkaca-kaca, dan beliau langsung ngedoain gue all things good and beautiful, to which I replied amen. Dia juga sempet bilang, "Bukan pilihan saya mau jadi orang miskin, Neng. Saya juga maunya kayak Neng, tidur enak, baju bagus, nggak punya duit recehan."

Giliran gue berkaca-kaca, tapi gue sok asik dan nepuk bahunya, "Saya duluan ya, Pak. Saya doain bapak rezekinya lancar, dan semoga anak bapak bisa lulus ujian."

Beliau mengamini, dan membereskan "alat perang"-nya begitu gue lenyap dari pandangan. Padahal gue ngumpet di balik tembok, menyaksikannya yang berbalik dan kembali mendorong gerobak, mengadu logam sendok ke mangkuk, berseru, "Sekoteng! Sekoteng! Sekoteng!"

Then I went home and cried. Gue sadar, betapa hinanya gue sebagai manusia. Kebanyakan ngeluh dan terlalu berpusat sama diri sendiri sampai terkadang gue nggak melihat battles that other people are struggling.

Gue baru aja nganggep diri gue unlucky karena gue dapet masalah. Padahal, berani taruhan masalah gue nggak ada apa-apanya dibanding si tukang sekoteng. Gue baru aja ditinggal orang yang gue pikir gue kenal, orang yang baru lima tahun gue kenal, tapi si bapak sudah kehilangan orang yang selama ini bangunin dan ngurusin dia, orang yang berbagi tempat tidur, rumah, dan keluh-kesah. Dan sementara gue ngabisin 300 ribu dalam dua jam, dia bingung harus mengembalikan uang gocapan gue bagaimana.

I just realized my life is perfectly fine, jauh lebih baik ketimbang beliau dan jutaan yang senasib. Selama ini gue terlalu berpusat sama diri sendiri sampai nggak bisa nengok kanan dan kiri. Padahal masih banyak contoh nyata betapa beruntung dan tercukupinya hidup gue. I think I'm a good person, while in reality, I'm not. I'm just another bastard who sees life ungratefully.

Terima kasih atas pelajaran hidupnya malam ini, Pak Sekoteng. Insya Allah, saya beli lagi besok.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire