lundi 24 juin 2013

The Day We Fall

Menurut gue, konsep "jatuh cinta setengah mati" itu kelewat hiperbolis sampe gue mengalaminya sendiri.

Sebelumnya gue nggak pernah mikir bakal naksir gila-gilaan sama tuh cewek. Bocah ingusan baru lulus SMP yang badannya lempeng kayak papan jalan. Dia juga standar di sekolah, bukan anak rejesan, namanya nggak pernah disebut sebagai pengharum nama sekolah tiap upacara hari Senin, dan dia juga nggak eksis-eksis amat. Mukanya pun nggak istimewa dan matanya sedikit aneh. Fleksibel, bisa kelihatan belo dan sipit di waktu yang sama.

Itu dulu. Sekarang, baru ngeliat Irene senyum aja, gue juga nggak bisa nahan senyum.

Lebay banget, nggak, sih? Seorang Gayung yang terkenal sampe SMA-SMA sebelah akan kegarangannya di ladang tawuran bisa bertekuk lutut di hadapan seorang adik kelas. Jangan tanya gue kenapa, tapi yang jelas, bagi gue Irene beda. Setelah nyaris tiga tahun pacaran, setelah semua teriakan dan ciuman dan gelas pecah yang pernah Irene lempar saking kesalnya, gue sadar kalo this love is simple. Sederhana, nggak muluk-muluk. Gue pun nggak mendeskripsikannya dengan muluk-muluk ke lo-lo pada. Bagi gue, cinta itu aneh. Kadang cuma bekerja baik pada orang-orang tertentu. Emang nasib gue beruntung aja diservis dengan baik oleh si dewi cinta.

Ada suatu malam yang menurut gue istimewa. Irene menginap di rumah gue gara-gara kemaleman nemenin gue ke pesta ultah sepupu. Dan berhubung besoknya kita anniv yang ke 35 bulan, kami memutuskan untuk merayakannya dengan movie marathon sampe subuh. Gue mengatur ruang TV jadi serupa bioskop kebanyakan bantal sementara Irene nyiapin pop corn dan ganti baju di lantai atas.

"Kaaak!"

Gue agak kaget karena Irene tiba-tiba melompat ke pangkuan gue, pop corn di tangannya banyak yang berjatuhan. Gue cuma ketawa dan mengecupnya di pipi dan hidung, tempat favorit gue. Irene meringis dan meletakkan mangkuk pop corn seraya mencari bibir gue.

Gue selalu suka bibir Irene. Don't ask me why, I just simply do.

Kemudian Irene memecah jarak di antara kami, mundur karena kehabisan napas. Ikal-ikal bekas roll sudah mulai menghilang dari rambutnya, dan entah kenapa, dia jadi kelihatan seksi. Apalagi malam itu, dia make legging-nya dan sweter gue yang kekecilan, yang tetap aja kegedean di badannya. Leher si sweter terkadang turun, menyingkap sediki tali bra yang dipakai Irene.

Biru. Hm, warna favorit gue.

"Udah, ah, mulai filmnya," pinta Irene, membuyarkan otak cowok gue yang mulai nyeleneh entah ke mana. Gue mengangguk dan memencet remote control, dan selama beberapa jam, kami diam, menonton, sesekali makan pop corn. Satu kesamaan gue dan Irene adalah, kami paling benci ngobrol atau diajak ngobrol saat sedang serius nonton film bagus.

Kemudian film habis, dan gue sama Irene sama-sama bengong selama beberapa saat, sebelum akhirnya gue memutuskan untuk merebahkan kepala di pahanya, memejamkan mata. Irene cekikikan, tangannya bermain di rambut gue.

"Kak?" Tiba-tiba ia memanggil.

"Hm?" respons gue, masih memejamkan mata.

"First love kakak siapa?" tanya Irene polos.

"Kok tiba-tiba nanya gitu?" gue balik nanya, melek total. Nggak biasanya Irene menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan perasaan satu sama lain. Yang kami sama-sama tahu, kami saling sayang, dan itu udah lebih dari cukup. Nggak perlu lompat dari Menara 165 untuk membuktikannya.

"Yeee, pengin tau aja. Kan kata kakak, kita mesti saling berbagi. Iya, kan?"

Gue cuma tertawa mendengar penjelasannya, dan gue merangkul leher Irene, menciumnya lagi. Rambutnya kini menggelitik hidung gue.

"Oke, tapi kamu jangan jealous, ya. Ada, sih. Namanya Astrid." Gue mengedikkan bahu, melukis bayangan Astrid dalam kepala gue. "Aku naksir dia gara-gara alasan yang cetek banget. Soalnya arti nama kami sama. Bintang. Yah, nggak ngerti lagi, deh. Itu aku baru kelas empat SD, lho, waktu di Jerman. Dia Indo, nyokapnya Indonesia dan bokapnya Jerman."

"Terus, apa yang terjadi?"

"Apa yang terjadi?" ulang gue, mengingat-ingat. "Nothing. Ah, iya. Selain first love, dia juga first kiss aku."

Wajah Irene masam sejenak, tapi seperti biasa, ia membiarkan gue melanjutkan. Ini adalah salah satu hal yang paling gue kagumi dari Irene. Kemampuannya mendengarkan, nggak gampang nge-judge.

"Waktu itu, aku sama dia abis nonton film, terus pasangan di samping kami kissing. Aku penasaran aja, sih. Dan tau-tau, besoknya di taman bermain, dia ngajak aku ciuman." Kening gue berkernyit, berusaha menggali memori itu lebih dalam. "Pertama kalinya sih, aku jijik. Maksudku, dia abis makan gulali dan aku nggak suka mananan manis. Terus, mana hidung aku kejedot, pula. Tapi ya namanya first kiss, it's unforgettable. Aku ngerasa alam mulai menyesuaikan ritme dengan kami. Aneh, yak?"

Irene cuma mengedikkan bahu. "Nggak aneh, sih."

"Kamu sendiri? First love kamu, siapa?"

"Ivan," sahutnya lirih, tapi lugas. Kami nggak pernah membahas soal si Lutung Kasarung itu lagi. Irene kelihatan shock dan gue nggak pernah bisa menahan diri untuk nggak nonjok sesuatu tiap keinget dia.

Tapi kali ini beda. Gue bertanya, "Apa yang terjadi?"

"Nothing. Maksudku, dia kan ketauan punya kecengan lain waktu kita pacaran. Dan tenang, first kiss aku itu kakak, kok." Dia nyengir seakan itu menyelesaikan semua permasalahan.

Entah kenapa, hal itu nggak bikin gue tersanjung. Gue tetap lebih memilih jadi first love-nya alih-alih first kiss. Apalagi, ciuman pertama kami nggak banget. Di depan Pak Mulya, dan baik gue maupun Irene diskors dua hari gara-gara itu.

"Hmmm," gumam gue, bangkit dan membiarkan jari gue menjelajah wajahnya. "Buat apa mikirin masa lalu? Mending mikirin masa depan. First love aku emang bukan kamu, Rene. But would you like to be my last love?"

Gue tau itu kedengaran kayak lamaran, dan seandainya bokap Irene ada di sini, pasti gue udah dirajang. Mata Irene membesar dan ia tertawa, menyenderkan kepalanya di bahu gue sambil mengangguk.

Film lain diputar, dan kami menontonnya dalam diam, meski sesekali Irene memekik melihat sang heroine diperlakukan semena-mena oleh sang villain. Ketika pahlawan favoritnya meninggal, Irene ikut menunduk, seakan-akan berdukacita.

"Hei, itu kan cuma karakter di film. Nggak nyata," cetus gue melihat matanya berkaca-kaca.

Irene cuma mendengus. "Bagi sebagian orang, terutama mereka yang menciptakan, karakter itu bernapas, Kak. Mereka hidup. Ada yang berduka kalau mereka meninggal. Payah nih, kakak, nggak peka banget jadi cowok!"

Gue ketawa geli dan mengacak-acak rambutnya. "Oke, oke. Aku bakal peka mulai sekarang."

Gue nggak tahu pikiran apa yang sedang melintasi kepala Irene, karena nggak ada angin, nggak ada ujan, apalagi geledek, tiba-tiba ia bertanya, dengan nada yang hanya satu tingkat di atas bisikan, "Kak, kakak pernah kangen Kak Zizi, nggak?"

Meski nggak ada geledek, reaksi gue udah lebih lebay dari orang kesamber geledek.

"Kadang," ungkap gue, jujur. Sekilas bayangan berkelebat di depan mata gue; wajah Persia yang delicate, suara selembut kicau merpati, rambut panjang yang harumnya seperti buah. Suara gue lirih dan Irene pasti menyadarinya, karena ia kembali menunduk. "Kadang, aku nggak bisa nahan diri untuk nggak mikir 'what if'. What if it happened different? What if she hadn't ever had that disease? What if dia nggak pernah pindah ke Jakarta?"

Pikiran kayak gitu biasanya bakal diakhiri dengan, "What if I end up with her instead of you?" Tapi nggak. Gue nggak menyuarakannya pada Irene.

"Apa kakak pernah mikir... kakak sayang sama dia?" Irene kembali bertanya, kali ini lebih lugas. "Apa kakak pernah bingung dan nggak tahu harus reaksi gimana, apa kakak pernah memerangi hati sendiri dan lebih ngikutin instruksi logika?"

Ketika ia menanyakannya, gue tahu Irene juga menanyakan hal yang sama pada dirinya sendiri. Gue. Zeno. Itu udah cukup clear. Kadang juga, gue takut. Gue takut suatu saat tangan yang akan melingkari bahu Irene, tangan yang akan menghapus air matanya, tangan yang akan ngasih dia pelukan selamat datang bukan gue, tapi Zeno. Kadang, gue pikir Zeno ancaman serius.

"Hm? Kenapa ngomong kayak gitu, sih?" Gue tersenyum dan memeluk badannya penuh-penuh, mencium aroma tubuh Irene. Hambar, sama seperti rasa bibirnya. "We'll stay together, okay? You and me. Just leave what left behind."

Meski Irene mengangguk, gue tahu hatinya masih ragu.

Karena ada hal-hal yang memunculkan pertanyaan "kenapa" dan lo nggak bisa menjawabnya. Lo hanya tahu itu benar.

"Rene?" panggil gue ketika gue yakin ia udah mendengkur halus di bahu gue.

"Hm?"

Perlu beberapa detik untuk mempertimbangkannya, tapi toh akhirnya gue melontarkan permintaan itu, "Panggil aku Arian, oke?"

Irene tidak menjawab, dan dengkurannya kini kian terasa di bahu gue. Dan bahkan walau ia menjawab, gue yakin dia akan nanya balik. Kenapa?

Dan kali ini, gue menjawabnya sendiri, "Karena aku nggak mau disamain sama Zeno."

***

Gue nggak pernah percaya sama cinta pada pandangan pertama, sampai gue ketemu dia.

Yah, siapa lagi kalo bukan Irene? Satu tahun di bawah gue, bego, blangsakan, ceroboh, kalo ngomong seringnya seenak udel. Gue juga nggak ngerti kenapa. Kalo kata Arian nih, "You just know, there's no why."

Oh iya, Arian itu pacarnya Irene. Dan bisa lo simpulkan, gue berkawan dengan cowoknya cewek yang gue suka, yang juga merangkap sahabat gue, yang sering bermanja-manja kayak anak kucing tiap Arian ngilang. Gue tau hubungan kami ini rumit, kayak jaring laba-laba, saling terhubung satu sama lain. Namun, kayak jaring laba-laba juga, kami solid dan kuat. Nggak lengkap tanpa yang lain.

Setelah dua tahun kenal mereka, bisa dibilang kami bertiga sohiban. Kami sering jalan bertiga, geng yang sering Irene sebut, "Romeo-Juliet dan tukang foto". Gue tahu dia cuma bergurau, sih, tapi tetep aja itu bikin jleb. Apalagi Arian tipe orang yang kalo udah nafsu, nggak bakal berusaha memeranginya. Pernah dia mencium Irene tepat di depan masjid.

Iya, mereka emang gila. Dan mungkin gue lebih gila karena mau aja makan ati dua tahun bergaul sama mereka.

Tapi kalau itu artinya gue bisa bersama Irene setiap kesempatan, kenapa nggak?

Irene tipikal cewek yang selalu cerita ke pacarnya tentang apapun, dan kalo Arian nggak ada, gue yang terpaksa jadi tong sampahnya. Meski begitu, gue yakin sih, ada satu hal yang Arian belum pernah dengar tentang Irene.

Ini tentang ketika gue sadar gue jatuh cinta sama Irene.

Itu adalah hari biasa di sela-sela latihan vokal. Gue dan Irene bakal ke Jungle Cafe untuk balik kerja. Tiba-tiba, waktu lewat lapangan softball, Irene menarik tangan gue, memaksa gue duduk di atas rumput, tepat di balik pagar pembatas lapangan.

"Apaan deh, Rene? Kita nyaris telat, nih," demikian gue ngedumel.

"Sssht!" sergah Irene. "Liat ke atas!"

Maka gue pun mengikuti pandangannya, dan seketika juga ingin tersenyum. Ada sarang burung di dahan tertinggi, dengan kicauan anak-anak burung sedikit bising. Gue menatap Irene dan kini nggak bisa menahan senyum. Fokus Irene kini hanya satu, sarang anak burung.

"Sebentar lagi, Mandarin dateng."

"Mandarin?" Alis gue menaik.

Irene cuma mengangguk samar, dan beberapa menit berikutnya, gue tahu siapa yang ia sebut Mandarin. Burung pipit lain yang berukuran lebih besar, membawa sesuatu di mulutnya. Ia hinggap di dahan, membagikan makanannya pada satu per satu anaknya.

"Dulu, waktu nih lapangan belom dijadiin lapagan softball, gue sering latihan teater di sini. Rumputnya hijau, bisa buat guling-gulingan. Gue suka lama-lama duduk di sini, nungguin sunset. Kadang gue beli kuaci di Indomaret buat Mandarin."

"Burung makan kuaci?" Kali ini gue nggak bisa menyembunyikan keheranan gue, dan kepengin ketawa juga. Sayangnya gue nggak tega. Irene sangat serius, seolah menjelaskan fakta ilmiah.

"Burung pipit makannya biji-bijian, Kak, dan lagian mereka juga nggak nolak, kok. Yang penting, kenyang. Ah, tapi sekarang semuanya beda. Markas gue diinvasi anak-anak softball, padahal mereka juga jarang tuh, latihan di sini. Ngeselin, deh."

Satu hal tentang Irene, dia selalu ceria, dan ketika ia kesal, itu sudah pasti beralasan. Dan gue memahami kekesalannya saat ini, sort of.

Tiba-tiba ia berhenti dan terlihat sedang menimbang sesuatu. Ia melirik gue dan berkata cepat, seperti orang kumur-kumur, "Ini perbedaan lo sama Kak Arian."

"Apa?" tanya gue nggak yakin.

"Ini, perbedaan lo, sama Kak Arian." Irene menaikkan bahu dan duduk, menyender di pohon. "Kak Arian jarang mau denger yang begituan. Dia lebih suka suasana sunyi. Menurutnya, silence speaks louder than mouth ever does." Dari nada bicaranya, gue tahu Irene sangat kontra dengan opini sang pacar, tapi gue nggak. Gue sedikit banyak setuju dengan Arian.

Dan entah kenapa, gue ngerasa bangga memiliki sesuatu yang lebih di mata Irene daripada Arian.

Kemudian ia berbaring di rumput, sementara gue memanjat pohon dan menyender di dahannya yang paling bawah, membiarkan angin menyenandungkan lagu sorenya pada kami. Gue mulai menggenjreng gitar, dan entah karena terbawa suasana atau kenapa, mendadak Irene bertanya, "Kak, mimpi lo apaan?"

"Hm, mimpi?" Jujur, sebagai orang pesimistik dan nggak jarang sarkastik, membicarakan mimpi adalah hal yang tabu bagi gue. Motto gue adalah, seperti yang Ritu Ghatourey mantrakan, "Work hard in silence, let your success be your noise."

"Iya, mimpi. Everyone has a dream."

Irene sungguh kekanakan dan genuine, satu hal yang bakal bikin lo nggak nyaman berbohong sama dia. Tatapan Irene juga nggak jarang menakutkan. Seolah menelanjangi lo dari lapisan kepura-puraan. Bikin lo berdosa kalo ngelakuin sesuatu yang salah sama dia. Jalan sama Irene, rasanya kayak jalan sama orang yang lo tau kastanya lebih tinggi dari lo, tapi si orang itu selalu menunduk tiap ketemu lo.

Bagi gue, itu menakutkan sekaligus mengagumkan, in some ways.

"Mimpi gue..., hm. Nggak tahu."

Jadi penulis lagu. Jadi gitaris. Jadi musisi. Jadi sesuatu yang berhubungan dengan seni. Jadi seseorang yang bisa bermakna sesuatu bagi dunia. Jadi seseorang yang bisa bikin lo senyum.

Gue mengerjapkan mata dengan gagasan yang terakhir. Apa? Gue mikir apa barusan?

"Liar," tuduh Irene riang. "Everyone has a dream," ulangnya.

"Kalo lo sendiri? Apa?" Giliran gue bertanya.

"Hm, astronot. Atau badan penyelidik alien."

"Hah?"

Irene bangkit dan kini memutar tubuhnya, memandangi gue dari bawah seakan-akan gue penghuni Ragunan.

"Iya, gue pengin jadi astronot. Lucu aja sih, nge-discover sesuatu yang asing. Jadi badan penyelidik alien juga. Maksud gue, nama alien sendiri udah ngundang kontroversi. Mereka yang berpandangan cupat mikir alien itu cuma bullshit. Tapi bagi gue, just because you don't see it, doesn't mean it doesn't exist."

"Sama kayak orang yang jatuh cinta tapi nggak sadar?" Sumpah, gue nggak tahu dari mana asalnya kata-kata itu, yang jelas gue nggak bisa menelan mereka kembali. Irene kini mengernyit.

"Yah, lo pasti tau apa maksudnya. Mereka yang nggak sadar mereka udah jatuh sama seseorang sampai orang itu pergi. Atau kasusnya sama kayak Mandarin, kayak orangtua jaman sekarang. Banyak anak-anak yang dramatis mikir ortunya udah nggak sayang lagi sama mereka hanya karena mereka nggak melihat kasih sayang dalam bentuk yang mereka inginkan. Padahal, cinta itu nggak harus diwujudkan dengan... yah, maksud gue, pandangan tiap orang itu beda-beda, kan?"

Irene kini mengangkat alis sebelum tertawa terpingkal-pingkal.

Gue terpekur menatapnya. "Kok, lo ketawa?"

"Hei! Adanya gue kali yang nanya! Kok, bisa-bisanya lo ngomong cinta? Bukannya lo orang paling bitter kalo udah ngomongin yang begituan?"

Baik, kini pipi gue terasa panas.

"Yah, seenggaknya hari ini gue nge-discover satu lagi sifat baik lo. Puitis," Irene cekikikan dan bangkit, "udah yuk, ah, kita balik kerja! Jangan nangkring kayak gitu kek, lo jadi kayak bekantan."

Perkataannya lugu, polos, dan nggak disaring. Tapi hanya mendengar suaranya, dan berpikir bagaimana suara Irene terdengar seperti musik, gue tahu gue udah jadi korban dari ocehan gue sendiri.

Gue jatuh cinta sama Irene.

***

Ini sudah pukul lima lewat empat puluh, yang berarti sudah nyaris satu jam dari waktu janjian, dan muka Kak Arian belum nampak juga.

"Awas aja ya kalo gue ketemu dia, bakal gue sate hidup-hidup!" maki Kak Zeno di samping gue, mengibaskan tangan, berusaha menangkal asap sate padang favoritnya. Ini adalah awal minggu terakhir bulan Ramadhan, saat iman manusia udah rontok-rontoknya, dan satu jam aku dan Kak Zeno berdiri di sesak festival makanan Asia ini, festival yang tiap tahun rutin digelar. Selain ada stan-stan yang menjual makanan dan tempat berbuka, ada juga konser amal dan bazaar diskonan. Iya, diskonan setelah harganya dinaikkan 50% dulu.

"Orang sabar disayang Tuhan," jelas gue, meski perut gue kini keroncongan nggak jelas lagi. Sejak tadi gue emang bermasalah dengan perut, dan gue mungkin nggak akan ke mana-mana kalau Kak Arian nggak SMS gue untuk bukber, sama Kak Zeno juga. Katanya, udah lama sejak Romeo+Juliet+JuruFoto nggak ngabur bareng lagi.

Kak Zeno cuma mendengus. Hampir semua stan sudah dijejali keluarga-keluarga maupun pasangan, dan kami di sini kayak orang hilang. Mana HP Kak Arian nggak aktif, pula.

Dan mendadak, dengan tiba-tiba Kak Zeno memeluk gue dari belakang, hal yang bikin gue nyaris kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

"Nyet, lo lagi dapet?" bisiknya di telinga gue, terdengar panik.

"Hah? I-iya, apa?" Gue ikutan panik.

"Lo tembus! Shit, kenapa lo pake jeans putih segala, sih," Kak Zeno mendecak di telinga gue.

Dunia seakan membelah jadi dua. Gue kepengin nangis.

"Angka dua belas ada toilet. Buruan ke sana, gue di belakang lo."

Layaknya orang main kereta-keretaan, gue dan Kak Zeno berjalan sampai ke toilet umum. Gue langsung ngacir ke bilik yang kosong, mendapati jeans gue kini kotor dengan darah. Sial, sial, sial. Berusaha berpikir jernih, gue menelpon Kak Zeno.

"Halo, gimana?" tanyanya di ujung sana.

"Parah! Gila, kayaknya gue nggak bisa keluar dari toilet deh, Kak."

"Buset, lo mau mati di situ, hah?" Kak Zeno terdengar jengah. "Oke, lo tunggu di situ, ya. Jangan ke mana-mana."

Dia mematikan koneksi telepon, dan sebisa mungkin gue membersihkan jeans gue dan memakainya lagi. Nyaris lima belas menit, dan tiba-tiba bilik gue digedor dari luar.

"Rene, buka woi!"

Gue pun membuka pintu bilik, mendapati Kak Zeno berdiri di luar sana, seluruh wajahnya memerah,  seakan hampir-hampir berasap. Cewek-cewek di luar toilet mengamati kami dengan raut tertarik, bahkan ada juga yang tanpa malu-malu ketawa.

"Nih!" tandas Kak Zeno, langsung memberikan gue plastik besar, dan pergi tanpa mengatakan apapun. Di dalam plastik itu ada rok kering dan kau-tahu-apa. Pipi gue langsung terasa panas, membangun skenario Kak Zeno berjalan ke salah satu konter dan berkata, "Bu, pembalut satu."

Tapi itulah yang terjadi. Dan Kak Zeno melakukannya demi gue.

Perasaan hangat menjalar ke hati gue, dan secepat mungkin gue memakai rok itu, memasukkan jeans gue yang basah ke dalam plastik. Rok batik selutut putih dengan corak hitam, yang entah bagaimana matching dengan kaus hitam gue. Setelah merasa rapi, gue pun keluar, mendapati Kak Zeno sedang berdiri di depan toilet tanpa ekspresi, tangan terlipat di depan dada.

Untuk sesaat, dia cuma memandangi gue, dengan ekspresi yang kadang gue lihat di wajah Kak Arian tiap gue memakai kaus biru, warna kesukaannya. Ekspresi yang kalau diterapkan pada Kak Arian, akan disusul pujian, "Kamu cantik banget, aku sampe pangling."

Namun bibir Kak Zeno buru-buru terkatup, dan sambil menaikkan bahu, ia tersenyum samar. "Udah? Yuk."

Gue pun mengikutinya, dan kami berputar-putar selama beberapa saat sampai suara yang familiar meneriakkan nama kami. Kak Arian, tergopoh-gopoh, dengan kaus putih bergaris hitam horizontal dan topi, sinar emas matahari menambah pekat auranya. Di tangannya, tiga kemasan teh kotak bergelantungan.

"Hei, gue nyariin kalian ke mana-mana!" ujarnya, tersenyum pada gue. "Irene? Tumben kamu pake rok, jadi makin cantik."

Gue dan Kak Zeno saling melempar pandangan sebelum sama-sama tertawa lepas.

"Yeee, malah ketawa, lagi. Sori ya gue lama, tadi gue mesen topi dulu di stan ujung sono. Nih, buat kalian!"

Ia memberi kami masing-masing sebuah topi. Punya gue putih, Kak Zeno abu-abu, sedangkan Kak Arian sendiri hitam. Di bagian depan, ada sebuah kata. Punya Kak Zeno "we", gue "are", dan Kak Arian "insane".

"We are insane?" tawa gue begitu menyadarinya.

"Lha, emang bener, kan." Jari-jari Kak Arian kini menyelip di antara jari-jari gue, dan sambil mengulum senyum, Kak Arian berkata, "Tuh, si jomblo digandeng juga, biar nggak kayak anak ilang. Gue udah mesen tempat buat kita. Buruan jalan!"

Gue hanya tersenyum dan buru-buru mengekor langkah panjang Kak Arian. Adzan maghrib berkumandang dan dua cowok di samping gue pun membuka minuman masing-masing. Saat-saat seperti ini, gue merasa nggak akan bisa memilih. Saat-saat seperti ini, gue akan menyingkirkan "kenapa", dan menarik gagasan bahwa selama kami bertiga, segalanya akan baik-baik saja.

I believe that, and I hope, so do you.

Like, ever.


24/6/2013, 11:39 pm.
for you,
who paints me a blue sky, brushes the colour of rainbow on my meaningless, empty canvas.
i hope we believe.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire