samedi 22 juin 2013

Another Afternoon 2: Ale

Truth is, aku nggak pernah tau apa yang sedang dipikirkan Fabi.

Di antara semua cowok yang pernah gue kenal, Fabi adalah yang paling unpredictable. Kadang dia serius, gokil, gila, dan bisa semanis anak kucing kalau mau. Kali ini, sosok yang kutemukan menepuk bahuku dan dengan tergesa-gesa duduk di bangku depan adalah Fabi nomor satu. The serious one.

"Cerbung yang lo tulis di blog," ujarnya kepayahan, "itu tentang Fahran?"

Well, mungkin harus kuralat pikiran barusan. Yang duduk di hadapanku adalah the weird Fabian. Nggak biasanya dia kepengin tahu urusan orang, terutama yang menyangkut soal Fahran.

"Yaaa, menurut lo aja, sih," tukasku santai sambil mengudap kacang kulit kemasan. Di luar, rintik-rintik hujan menggurat kaca jendela. Another afternoon in the same restaurant.

Mulut Fabi ternganga sedikit sebelum akhirnya ia menutup mereka kembali. Kemudian, ia maju beberapa senti dan bertanya dengan nada rendah, "Kalo Adrian itu Fahran, Seno itu pastinya Regan, kan?"

Aku tak tahu apa Fabi sedang menuduhku atau nggak, tapi yang jelas, aku merasa tertuduh. Cerbung yang baru kuposting di blog beberapa hari lalu, tentang seorang gadis yang mencoba deal dengan mantan pacarnya yang temporarily in love dengan cewek lain. Gadis itu bertemu dengan pemuda lain, yang menjadi sahabatnya, sebelum si gadis menyadari si pemuda menganggapnya lebih dari itu.

"Sotoy lo. Kisah cinta gue nggak seruwet itu," aku menaikkan bahu.

Fabi menyeringai. "Jawaban lo nggak lugas. Artinya iya."

Aku tak menggeleng pun mengiyakannya. Yang kulakukan hanyalah segera menuliskan hal pertama yang terlintas dalam benakku. Soal interpretasi yang kadang sesat total dari gagasan utamaku, itu terserah pembaca.

Tapi, yah, memang cerbung itu tentang mereka, sih. Regan dan Fahran. Regan adalah sahabatku, sahabatku yang paling awet. Aku mengerti dia dan ia mengertiku, dan bahkan terkadang kami seperti memiliki tali telepati. Ia mau mendengar cerocosanku yang paling nggak penting sekalipun, berbeda dengan Fahran yang nggak pernah menganggap penting apa yang kuanggap penting. Segalanya baik-baik saja sampai Regan menyatakan perasaannya padaku beberapa bulan setelah aku dan Fahran putus, dan kurasa, aku nggak pernah memandangnya dengan cara yang sama lagi sejak itu.

"Kenapa sih, lo putus dari Fahran? Maksud gue, helo, lo di Jakarta dan dia di Bandung, dan everything' was okay. Kenapa lo mutusin dia cuma gara-gara dia pindah ke Brisbane?"

Fabi nggak tahu apapun, dan aku ingin dia segera tutup mulut. Tapi bagimu, akan kubagi sedikit rahasiaku.

Ini bukan soal jarak, sama sekali bukan. Yah, mungkin karena itu juga, sih. Dulu, Fahran tinggal di Jakarta, kami satu les, bertemu dalam ketidaksengajaan seperti yang sering kaulihat di film-film. Aku yang sedang berlari nggak sengaja mengguyur matanya yang lagi iritasi dengan Coca-Cola. Fahran menyebutku gila, aku membencinya, dan kami bertemu untuk kali kedua di pesta pernikahan rekan kerja ayahku.

Dan dari situlah hidup baru bermulai.

Takdir memang aneh dan kadang menyebalkan. Kenapa orang-orang yang kaubenci justru lebih sering kautemui daripada orang-orang yang kausukai? Kira-kira begitulah pikiranku. Setelah bertemu di pesta pernikahan, kelas les kami digabung, dan tiap ada try out dan tempat duduk disesuaikan dengan absen, kami selalu duduk bersama. Maksudku, Elmira Alesa dan Fahran Lazuardi. Yah, kau pasti mengerti maksudku.

Awalnya kami saling mendelik, saling bergelut, saling menganggap masing-masing dari kami adalah angin tak kasatmata. Lalu lama kelamaan kami saling terbiasa, dan saat aku nggak masuk karena terkilir pasca main voli, Fahran mengaku ia merindukanku.

Dan yah, kami bisa dibilang berteman sejak itu. Lalu pada suatu sore yang cerah di bulan Februari, dengan mawar putih dan Everything-nya Michael Buble, aku resmi jadi miliknya. Pada awalnya, Fahran memang sangat manis. Dia membukakanku pintu, memberiku banyak semangat dan membuka pandangan baru. Aku jatuh cinta pada Michael Buble dan jazz karenanya.

Tapi kelamaan segalanya berubah. Pandangan kami nggak sejalan. Ia meremehkan hal-hal yang kuanggap penting. Ia menganggap tulisanku bullshit. Ia tak pernah menganggap karakter yang kuciptakan bernapas dan hidup.

So it went off like, we got a turn on-turn off relationship, and it was officially done when he had to move to Brisbane.

Aku yakin masing-masing dari kami memiliki alasan yang kuat untuk berpisah baik-baik. Aku banyak memberi, dia menerima. And you can't love, not fully, unless you are loved in return. Dia ingin mengejar mimpinya, dan kalau menendangnya jauh-jauh dari hidupku berarti aku bisa menulis sebebas apapun yang kumau, kenapa tidak?

Fahran masih berusaha berekonsiliasi denganku. Kadang, kupikir aku masih sayang padanya.

"Woi, bengong lagi!"

Aku tersentak, memperhatikan Fabi yang kini tersungut-sungut. Yang lucu tentang Fabi adalah, aku pacaran dengannya cuma sebagai status. Maksudku, aku masih berduka kehilangan Fahran untuk yang ketiga kalinya (kami putus tujuh kali dan balikan enam kali) saat Fabi tiba-tiba datang, menawarkanku tisu dan mengajakku jalan-jalan, berkaraoke sampai suaraku habis. Aku nggak pernah benar-benar mengenal Fabi. Yang aku tahu, dia adalah salah satu murid terpintar di kelas lesku, les yang berbeda dengan Fahran. Dia gokil tapi genius. Oh, ya, and he's a bad kisser, too. Kesamaan kami adalah, kami sama-sama fanatik dengan hal-hal yang berbau NAZI dan Perang Dunia II. Kami sama-sama berpikir Hitler nggak patut sepenuhnya disalahkan atas kematian para Yahudi. And you can call us heartless, tapi kami sama sekali tak simpatik dengan Anne Frank.

Jadi begitulah. Dimulai dengan pembicaraan tentang Hitler, dan tiba-tiba ia mengucapkan tiga kata itu di depan kelas. Saking bingungnya harus berkata apa, kuiyakan permintaannya. Kami seperti sahabat baik, saling berbagi dan bercerita. Perasaan 'lebih dari sahabat' itu baru timbul saat ia menciumku di bioskop, dalam remang cahaya, di seat A paling pojok kanan, dan musik backsound Ice Age 3 bermain. Kata orang, first love is unforgettable and first kiss is heavenly. Aku nggak biasanya percaya begitu saja sama apa yang publik katakan, but start from that night on, I had no doubt on that.

Dan kami putus. Aku menjomblo selama beberapa waktu sebelum kembali digaet Fahran. Jujur sih, sering aku berpikir aku melakukan sesuatu yang buruk pada Fabi. Pernah lho, he almost ran the green cause he was looking at me

Tapi itu hanya masa lalu. Kini yang di hadapanku adalah Fabian Giovano dan dia adalah temanku.

Satu hal yang paling kusukai dari mantan yang menjelma menjadi teman, mereka tahu lebih dari yang lain tahu. Mengerti maksudku? Kadang, mereka masih hafal kebiasaan yang hanya kautunjukkan pada mereka.

"Another afternoon sama lo selalu menyenangkan," ucap Fabi tiba-tiba, "gue nggak pernah bosen."

"Lo pernah bosen," tangkis gue, "buktinya, lo mutusin gue waktu itu."

Fabi cuma meringis. "Gue nggak tahu lo perlu denger ini atau nggak setelah tiga tahun, but I'm sorry for that."

"Udah basi, kadaluwarsa, udah jadi fosil malahan," aku cuma nyengir.

"Gue harap sih lo nggak nulis yang buruk-buruk tentang gue."

Impossible, kalimat itu ingin kuucapkan, tapi seolah tertahan di ujung lidah. Alih-alih, aku tersenyum miring, dan sambil bertopang dagu, aku berkata padanya, "Gimana kalo kita bikin game baru?"

Alisnya menaik, pertanda Fabi sedang tertarik. "Hm? Game apaan?"

"Guna memancing kreativitas, gimana kalo kita saling ngajak jalan lewat blog? Lo harus nulis sesuatu tentang gue di blog lo, dan berujung pada ajakan ngabisin another afternoon bareng lagi. Gimana? Lo jomblo, kan?" tantangku.

"Nggak jomblo pun pasti gue terima tantangan lo," balasnya. "Atas nama profesionalitas, I make a deal on your challenge."

And here goes the challenge.

22/6/13
For F,
can say nothing but yes.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire