mardi 22 janvier 2013

Mood Pancaroba

Andai lo tau apa yang gue lakukan saat ini, gue sedang mengedarkan pandang ke tiap sudut kamar. Kertas bertebaran. Alat tulis berserakan. Laptop nyala berderang. Dan mood gue nyaris sekerang arang.

Gue tau sih semua penulis pasti pernah merasakan ini: nggak mood nyentuh keyboard, ide kayak lagi ngantre lampu merah, dan bawaannya muak ngebuka file yang sedang on progress. Saat ini gue lagi mengalami itu. Entah ini karena gue yang moody atau apa, hal ini dipicu masalah sepele: esai SMP gue ilang.

Itu bukan sekadar esai, Bung. Itu adalah esai 4 halaman full folio yang gue tuntaskan dalam dua jam dan menjadi kendaraan gue menuju takhta juara kedua lomba esai tentang lingkungan. Padahal selama ini gue selalu bawa tuh kertas, di binder. Dan giliran sekarang gue butuh, jrenggg! It was like, halo-kakak-saya-sedang-menghilang-harap-tinggalkan-pesan-dan-ciptakan-esai-baru-Anda.

Ah, sudahlah.

Jujur aja sih, sebagian orang nganggep itu ide yang paling susah dicari. But for me, it was mood that hard to find. Ketika gue lagi mood, gue nempelin pantat ke bangku juga udah penuh tuh kertas A4. Mood gue yang paling bagus adalah ketika gue nyelesain buku Bluish seri pertama, which only took 3 days to complete. Bentar ya, gue mau mengenang masa-masa jaya dulu.

Gue akuin, lingkungan itu sangat berpengaruh dalam pencarian mood. Mungkin dulu gue selalu mood karena gue bersosialisasi dengan baik; gue main dengan teman-teman dan menciptakan petualangan kami sendiri. FYI, 24 Hours Stay at School itu diangkat dari kisah nyata, loh. Dan Ello di Fantastic Five serta Nathan di Bluish, hmm, itu adalah duplikat untuk orang yang sama. Masalahnya sih, sekarang gue sedang menulis novel yang ada Ello-nya, dan si inspirator sudah nggak ada di sini lagi.

Oke, lanjut.

Dulu waktu SMP, gue punya banyak waktu buat main-main. Seneng-seneng. Worry a little, laugh a lot. Sekarang segalanya udah beda. PR SMA gue numpuk and too many times to worry. Lingkungan pergaulan gue juga serius; gue berteman dengan mereka yang mulai memandang hidup dengan kacamata yang selama ini orang dewasa lakukan. Masa transisi ini menyita banyak waktu, dan orang-orang dalam fase ini juga bakal ketawa ketika lo cerita tentang ide lo yang brilian, seperti kisah tentang tokek piaraan Pak Mentri. Kadang, gue merasa imajinasi gue dibetot dari segala arah. Tapi gue selalu berpegang teguh pada frasa, "Good author are always difficult to understand."

Mungkin ini salah mood gue yang selalu ganti kayak musim pancaroba. Atau salah ide yang datang dan pergi kayak cowok PHP. Atau salah gue yang nggak mau melawan semua itu. Yang jelas sih, sekarang gue harap bukan cuma Jakarta yang kebanjiran air. Gue harap diri gue juga kebanjiran imajinasi.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire