jeudi 24 mai 2012

Can I Love You in Slow Motion? part 2

Citra melirik arlojinya sebelum akhirnya menghela nafas pasrah. Menyenderkan diri ke tembok, dipilin-pilinnya tali tas, berharap itu bisa membunuh kebosanan yang melanda. Dalam sekejap, hujan gerimis yang turun berubah deras dengan frekuensi tetesan air sebesar buah anggur.

Tanpa ampun Citra menjejakkan kakinya ke atas kubangan air, membuat kaus kakinya basah dalam prosesnya. Kayaknya hari ini emang hari sialnya, deh. Udah dimaki-maki guru IPA gara-gara telat ngumpulin tugas, harus remed ulangan Seni Musik, dan yang paling ngeselin: dikerjain habis-habisan sama Ello. Citra nggak tahu dosa apa yang ia perbuat sampai-sampai Dewi Fortuna kayaknya emoh banget ngedeketin dia hari ini. Daftar kesialannya bertambah satu lagi pas pulang sekolah; supirnya nggak bisa jemput gara-gara mobilnya lagi-lagi terpaksa nginep di bengkel.

Dih, ngeles mulu tuh supir, udah kayak bajaj aja! Palingan dia males, tuh. Pake alesan mobil rusak, lah, badan kecapean, lah, masuk angin, lah! Liat aja lo, kalo gue udah SMA, lo gue pecat! pikir Citra ngedumel.

"Mana Rena sama Jovie pada nggak SK, lagi!" omel Citra sengit. Dengan gampangnya Rena bilang kalau hari ini dia ada les, jadi nggak bisa nganterin Citra ke rumah. Jovie, apalagi! Alesannya bener-bener bikin Citra hampir-hampir menjedotkan kepala cewek itu ke dinding, dengan harapan agar otak Jovie bisa bener lagi kayak dulu. Masa, dia lebih milih nemenin Geo ke toko buku daripada nganterin Citra! Hu-uh, awas aja tu anak kalo minjem komik!

Yang bikin Citra tambah keki, dengan kalemnya Jovie bilang, "Lo naik bajaj aja, Cit, sekalian memperluas pergaulan, gitu."

Citra mendelik. "Hah, demi apa lo, gue mesti bergaul sama abang-abang bajaj?"

Jovie meringis. "Yah, seenggaknya kan lo punya supir pribadi lebih dari satu."

Nah, gimana kalo kamu yang digituin sama sohib sendiri gara-gara cowok? Pasti dongkol, kan? Citra pun begitu. Dia dongkol, kol, kol, kol. Keki, ki, ki, ki!

Apalagi saat Citra betul-betul sadar siapa yang bikin Jovie jadi "ngelunjak" dan berani menolak permohonannya atas dasar persahabatan. Geo. G-E-O. Adiknya Ello! Nggak kakak nggak adik, sama aja bleseknya, Citra membatin masam.

Langit makin gelap dan petir mulai saling bersahutan. Citra menggigil. Dia tak pernah suka hujan. Nggak tahu kenapa, dia benci melihat langit gelap, benci melihat kilat cahaya mematikan, benci kalau punya plan dan ke-cancel gara-gara fenomena alam yang udah nggak absurd itu. Okelah, Citra memang suka pelangi, tapi di Jakarta, dia baru melihatnya dua kali seumur hidup.

Seseorang datang dan duduk di sampingnya, namun Citra masih sebodoamatnya. Dia masih sibuk meringkuk, menghangatkan diri. Alergi udara dingin yang dideritanya juga membuatnya kian membenci hujan, apapun itu bentuknya. Mau hujan air sampe hujan salju, Citra sama-sama nggak suka. Kalo hujan salju sih, itu semata-mata karena dia trauma dirawat sebulan di rumah sakit gara-gara keseleo pas nge-ski di Lucerne, kampung halaman almarhumah nenek buyutnya.

Kilatan petir selanjutnya benar-benar hebat hingga Citra merasa atap seolah dibuat bergetar olehnya, dan tanpa sadar ia memekik sambil memeluk orang yang berada di sampingnya. Dengan muka panas, Citra buru-buru melepaskan diri.

"So-sori ya, sori berat, sori banget," ucapnya, tetap dengan gaya tomboi yang khas. Pergaulannya dengan Sasha yang bikin dia keseret-seret jadi tomboi juga.

"Lo yang kemarin teriak di tribune, kan?"

Mati gue! Citra pucat pasi saat ia menaikkan dagu dan menemukan mata hazel Rangga di sana.

"Oh, err, itu gimana ya..." Dasar bego lo Cit! Ayolah, say something! Jangan nervous! Aduh, aduh, gue sakit perut.... "I-iya, itu gue yang kemarin teriak," akhirnya ia mengakui, mengutuk diri sendiri yang nggak kreatif mencari kalimat yang lebih sweet.

"Oh..." tanggap Rangga pendek, menatap langit, lalu kembali menatap Citra. "Lo Citra, kan?"

Lagi-lagi Citra menjawabnya dengan gagap. Kali ini lebih karena girang. Seenggaknya, Rangga tau namanya! Horeee!

"Ternyata temen-temen gue lebai, ya? Kata mereka lo cakep, ternyata nggak begitu."

DOENGGG! Aduh, nih cowok blak-blakan amat, sih!

Baru saja Citra berpikir keras dan terlanjur mati kutu, tiba-tiba saja tawa Rangga mengguncang di sebelahnya.

"Aduh, gue cuma bercanda, kok, Cit. Sori, sori. Gue cuma pengin ngeliat reaksi lo aja," ujarnya dengan senyum tipis.

Aduh, yang kayak gini nih, yang bisa bikin gue mati gara-gara serangan jantung! Citra menyilangkan jari-jarinya, memohon kemujuran, sambil tersenyum tipis. Ya namanya udah mati kutu, kan....

"Lo temen sekelasnya Ello, kan, ya?" tanya Rangga, mulai menjauh, memberi ruang pada kakinya untuk selonjoran.

"Mmm, bisa dibilang gitu, sih," tukas Citra pasrah sambil meringis. Duh, nasib gue kok gini-gini amat ya, Tuhan....

Untuk kedua kalinya Rangga terbahak. "Kalo lagi tanding, Ello sering diledekin gitu lah sama anak-anak. Kayaknya sih, dia naksir sama lo."

Buset, ni orang to the point amat siiih! Citra makin geregetan, tapi buru-buru ngeles. "Yailah, orang bego juga harusnya tau, kali. Siapa sih, yang nggak jatuh pada pesonanya Citra Devira, calon Miss Universe?"

Lawakan garing, pikir Citra kecut. Tapi, apa lagi yang bisa dilakukannya?

"Waduh, calon Miss Universe? Yakin, nih? Bukan Miss Bantar Gebang?"

Mata Citra melotot. "Enak ajaaa! Gila, lo tuh bisa-bisa digampar cewek tau nggak, kalo dikit-dikit kerjaannya ngehina mereka mulu!"

Alis tebal Rangga menaik, lalu ia tersenyum. "Kalo gitu, kok lo nggak nampar gue? Lo cewek, kan? Atau jangan-jangan..."

"Jangan-jangan apa?!" Citra langsung memotong judes.

"Woles, Cit, woles. Gue cuma bercanda. Ternyata lo nggak kayak cewek-cewek di sini, ya. Lo nggak sensi."

Citra menoleh sedikit, lalu berpaling lagi ketika merasakan pipinya mulai memanas. Untung aja Rangga lagi ngeliat langit-langit, kalo nggak... abis gue!

"Kok lo belom pulang?"

"Sopir gue nggak bisa jemput," sahut Citra nyinyir. "Kenapa? Lo mau nganterin gue pulang?"

"Wets, sori, masa dengan tampang sekeren ini, gue jadi sopir pribadi?" Rangga terkekeh. "Lagian gue nggak mau cari masalah sama Kapten."

Erghhhhh.

"Gue baru tau ternyata cowok-cowok basket yang kece suka ngegosip juga," balas Citra sewot. "Gue tuh nggak ada apa-apa sama Ellooo, beneran dah, sumpah, sumpah, sumpah kesamber geledek sekalian!"

JGAAARRRR!

"Mmm... mak-maksud gue...." Citra langsung merem begitu kilat menyambar, begitu dekatttt rasanya dengan dirinya. "Maksud gue, gue nggak ada..."

Rangga kontan ketawa, geli banget. Tapi Citra merasa hanya perlu sepersekian milidetik waktu yang dibutuhkan cowok itu untuk melelehkannya dengan sempurna.

Cowok itu... muka bule Arab-nya... hidung mancungnya... tawa renyahnya...

"Heh, heh, jangan bengong! Ntar ada geledek nyamber terus elo kesamber, aja!"

Buru-buru Citra mengibaskan kepalanya dengan pipi terasa panas. Sialan, hebat amat nih cowok, punya sense of flirting yang canggih. Padahal sebelum ini Citra sangat terlatih flirting, baik itu dengan cowok-cowok yang lebih enak buat say hi doang, maupun sama cowok-cowok yang lumayan menarik buat dijadiin inceran. Tapi mungkin Rangga emang punya "seni" tersendiri. Cuma dengan melihatnya sekali, Citra tau cowok ini begitu teliti milih-milih cewek. Nggak cuma cantik, tapi kalo perlu pake bibit bebet bobot sekalian!

"Kayaknya nih ujan kalo ditungguin kelarnya bisa dua jam lagi, deh," terdengar suara Rangga menganalisis dari samping.

"Dua jam?!" Citra yang sedang sibuk membenarkan buntut-kuda rambutnya sontak membulatkan mata. "Serius lo?!"

"Harusnya sih gitu," Rangga mengerang. "Nyokap gue kerja di BMKG, jadi gue sedikit-banyak tau lah, soal cuaca."

"Oooh..." Citra cuma mengangguk seperti orang bloon. Habis, mau nanggepin apa lagi, coba? Masa iya dia bilang, "Nyokap gue jadi ibu rumah tangga lho..."

"Gue mesti latihan, Cit," Rangga menepuk bahunya pelan, lalu berdiri. "Tapi..."

"Tapi apa?" Citra berusaha agar suaranya terkontrol dengan baik. Kayaknya sih Rangga satu-satunya anak kelas X yang belom pulang, jadi kalo tuh cowok keburu balik, Citra ngeri sama pemikiran kakak-kakak seniornya bakal merejesnya. Tapi yakali gitu dia minta Rangga nemenin dia sampe sopirnya nongol sambil mukul-mukul bahu dengan gaya kebencong-bencongan? Bisa berantakan harga dirinya.

"Lo cewek."

Kening Citra kontan berkerut dan mendadak dia jadi tersinggung dikit. "Iya! Emang gue cewek! Trus kenapa?"

"Eit, eit, jangan marah gitu dong. Maksud gue, gue sih ngeri aja kalo lo sendirian di sini. Kita kan masih kelas X. Masih riskan jadi korban bullying."

Mata Citra membesar dan ia berusaha agar tak terlihat tersanjung. Yaampun, nih cowok, udah kece, baik, pinter, atletis..., perhatian pula!

"Lo mau ikut gue ke lapangan aja? Di sana bakal banyak anak basket, jadi lo dijamin aman," Rangga bertanya kalem.

Apa...?

Ke lapangan? Ngeliat cowok-cowok kece berbadan kekar lagi mantul-mantulin bola? Dan yang terlegendarisss, nonton Rangga latihan?

MAU BANGET!

"Boleh, kok, boleh..." Citra berakting ragu-ragu, biar nggak keliatan gitu, tampang excited-nya.

"Oh ya... trus..." Rangga kelihatan ragu sedetik, tapi akhirnya melepaskan tasnya, lalu dilanjutkan dengan melepaskan varsity jacket merah berlengan putih yang ia kenakan. "Nih, pake. Gue nggak mau nyokap lo komplain gara-gara anaknya masuk angin."

"Thanks," Citra menjawab lemah, kemudian memakai jaket itu. Entah kenapa ia merasa sangat rapuh dan mungil di dalamnya. Jaket itu seenggaknya kebesaran empat nomor. Citra baru sadar betapa tingginya Rangga, dan betapa hangat suhu tubuhnya, atau betapa harum parfum Bvlgari Aqua yang dikenakannya....

"Ayo!"

"Eh, iya..." Citra buru-buru mengambil tasnya dan mengekor Rangga yang berlari cepat di depan.

*****
Citra dan Rangga sampai di lapangan tempat anak-anak basket latihan sepuluh menit kemudian, terengah-engah dan basah kuyup. Masih ada sisa tawa yang terpeta di muka kece Rangga, saking gelinya dia waktu Citra kecebur got dangkal gara-gara nggak keliatan pas banjir.

"Lo brenti kek, ketawanya!" Citra mendengus, duduk di tribune. "Kaki gue sakit, nih!"

"Ampun, ampun..." Rangga masih terpingkal, kemudian mencoba mengatur tawanya. Masih cengar-cengir, ia mengedarkan pandang ke teman-teman satu timnya, lalu menjentikkan jemari mendapatkan sosok yang ia cari.

"LO...! ELLO...!"

"RANGGA! Lo ngapain manggil-manggil dia, sih?!" Citra menyepakkan kakinya ke kaki Rangga, tapi nggak kena.

Rangga tak menyahut. Pandangannya masih fokus ke sosok Ello yang kini melempar bola basket yang dipegangnya, kemudian berlari cepat ke arahnya. Citra mengeluh. Emangnya delapan jam yang ia habiskan duduk setengah meter dari Ello? Sekarang tuh cowok nongol lagi, nongol lagi!

"Kenapa? Lo tuh ya, udah dateng telat, sekalinya hadir, bawa-bawa Mak Lampir ini!"

Citra langsung menyalak, "Enak aja! Sok kece lo! Muka kayak Shrek gitu aja bangga! Dasar onta!"

Lagi-lagi Rangga ketawa geli, lalu menepuk bahu Ello. "Di depan orangnya aja lo sok jaim, giliran nggak ada Citra, kerjaan lo ngomongin dia terus. Tuh, kakinya keseleo. Rawat sana!"

"Enak aja, emangnya gue tukang urut... Eh, Ngga, mau ke mana lo?!" Ello berteriak, menyipitkan mata elangnya, mengikuti punggung Rangga yang melompati tribune ke lapangan.

"Main, lah! Udah sana, pacaran aja lo berdua!"

Ello memaki pelan, lalu melirik Citra yang masih mengaduh sambil memegangi pergelangan kaki kanannya.

"Dasar cewek nyusahin," ia berjongkok seraya menggerutu, sengaja dikencengin biar Citra dengar.

"Lo kalo nggak niat bantu mending diem aja deh!" Citra membalas sinis.

"Shut up," Ello berniat membentak, tapi heran ketika suara yang ia keluarkan justru lebih mirip perintah halus.

Dan ia lebih heran lagi karena Citra mematuhi perintahnya, nggak ngomel atau teriak-teriak nggak jelas kayak biasanya. Kaki Citra terlihat agak bengkak, dan Ello sudah begitu terbiasa dengan jenis cedera kayak gitu.

"Lo tunggu di sini," katanya nggak jelas, lalu berlari di tengah hujan menuju Pak Hirzam, pelatih basket mereka. Citra bisa melihat di kejauhan, Ello mengobrol beberapa saat dengan Pak Hirzam, lalu berlari gesit dan kembali dengan kotak P3K dan semacam rantang penyimpan suhu.

"Rantang?" alis Citra menaik. "Mau lo apain kaki gue?!" Citra menarik kembali kakinya, membuatnya meringis karena ngilu.

"Jangan manja deh jadi cewek." Ello menghela nafas jengah, lalu menarik kaki Citra di atas pahanya. Dengan telaten dikeluarkannya kain kompres dari kotak P3K dan batu es dari rantang, lalu merekatkan kedua benda itu, dan menempelkannya ke bagian kaki Citra yang bengkak.

"ADAOW! Lo, pelan-pelan dikit kek!" Citra merengek tak suka.

Ello tak menanggapi. Cuma menghela nafas dan sok budek-budekin diri. Ia kembali menekankan pelan es batu itu, dan ringisan Citra berkurang seiring dengan adaptasinya.

"Coba deh, lo berdiri dulu."

Awalnya Citra ragu, tapi mendadak wajahnya memerah ketika melihat tangan Ello terulur padanya. Mendengus gengsi, diraihnya pergelangan tangan cowok itu, berdiri.

"Udah nggak sakit lagi kan?"

DEG.

Sialan. Sialan. Kenapa lidah gue jadi nggak bisa digerakin gini?!

"Heh, gue tanya lo, udah nggak sakit lagi kaaan?" Ello mengulangi, kali ini malah menangkupkan kedua tangannya di pipi Citra.

"Iyaaa, udah nggak sakit kok..." Citra memanyunkan bibir, lalu menjauhkan diri dari Ello.

"Bilang apa?" Ello bersidekap, menyeringai menang. Seringai yang bikin jari-jari Citra gatal mencekiknya.

"Makasih," tukas Citra pendek, kembali judes.

Kedua alis Ello kompak menaik. "Yang manis dikit dong ngomong makasihnya. Lo bener-bener jadi kayak Mak Lampir tau nggak."

Menghela nafas penat, Citra mendongak, lalu melebarkan kedua sudut bibirnya hingga selebar mungkin, membesarkan bola matanya, lalu berkata, "Terima kasih, Ello Rivaldi Aryanto, kawan sebangkuku yang budiman, perkasa, dan rajin menabung...."

Ello terbahak, amat berbeda dengan tawa renyah Rangga yang elegan dan berkelas. Duh, emang beda sih ya. Andaikan aja mereka sosok fairytale, Rangga dan Ello tak ubahnya Snow White dan Upik Abu.

"Tumben lo punya minat nonton basket?" Ello duduk di sampingnya. "Gigih amat sih, ngejar si Rangga."

"Kenapa? Jeles ya?!" Citra memonyongkan bibir.

"Yeee, enake dewe. Gue sih nggak ngerti ya apa yang orang bilang, tapi dari segi fisis, teoritis, biologis, lo itu sama sekali nggak masuk dalam tipe cewek gue. Oh, ada pengecualian sih, kalo aja badan lo seyahud Megan Fox."

Anjrit. Berani amat nih cowok. Dasar edan, sedeng, nggak mikirin perasaan cewek! Begitu empat kata terakhir muncul dalam pikirannya, Citra buru-buru mengingat bahwa Ello bahkan nggak menganggapnya sebagai cewek.

"Sekarang, gue mau latihan. Dan kayaknya sih dikit lagi hujannya reda." Ello melompat bangkit, membuat mata Citra memperhatikannya, tak mengerti kenapa Ello bilang hujannya mau reda.

Memutar mata, Ello bertumpu pada kedua lututnya, lalu menyejajarkan wajahnya di hadapan wajah Citra, kemudian bergumam, "Lo takut hujan, kan? Tau kok gue!"

*****

Citra berharap air hujan telah melunturkan semua sisa kesialannya minggu itu, tapi ternyata harapannya itu sia-sia. Cuma gara-gara ke kelas Rangga, X-A, buat ngebalikin jaket, kritikan pedas udah mengalir dari mulut anak-anak seangkatannya maupun kakak-kakak kelas.

Reaksi pertama waktu orang-orang sirikan itu denger Citra dekat sama Rangga adalah, "Hah, serius? Tapi kan Citra itu pacarnya Ello! Kasian amat Ello-Rangga, kena peletnya Kanjeng Ratu Kidul!" Bayangin! Gimana nggak panas coba, kuping Citra pas denger yang satu itu!

Citra sih cuek-cuek aja, berhubung fitnahan-fitnahan itu nggak bener. Dia kalem aja, walau jadi terpaksa berwajah datar akhir-akhir ini. Kalo dulu dengan pedenya ia ngelewatin tangga yang dipenuhi anak-anak kelas XI seorang diri, kali ini Citra selalu menunggu Rena, Sasha, atau Jovie dulu buat bareng. Gara-gara gosip murahan kayak gitu, kakak-kakak kelas jadi selalu pasang mata dan bahkan nggak segan memanggilnya dengan kata panggilan yang kurang cocok didenger.

"Gini deh repotnya jadi selebritis, belom apa-apa fansnya udah numpuk di luar!" gerutu Citra sewot, ketika melihat anak-anak kelas sebelah berbisik-bisik ketika melihatnya.

"Sabar, sabar..." Rena menepuk bahunya sok simpatik. "Kan siapa tau aja, ini adalah jalan pintas menuju ketenaran sejati. Siapa tau aja abis ini lo langsung masuk majalah, jadi famous, terus..."

"Gue enek, ih. Siapa sih yang nggak pengin jadi tenar? Gue juga pengin, kali. Tapi nggak gini juga caranya. Gue mau famous karena prestasi, bukan gara-gara gosip murahan!" tandas Citra, menyeringai. "Lagian, siapa sih b*tchy b*tch yang nyebarin gosip kayak gini?"

"Hush, omongan lo dijaga, tuh!" Rena mendelik. "Erm, gue denger dari Sasha sih, itu..."

"Lo tau siapa yang bikin gosip itu?" mata Citra menyipit, menatap Rena tajam. "Siapa?"

"Emmm, aduh, sebenernya sih ini bukan gara-gara gue juga. Mmm, jadi tuh si Riana kayaknya salah kirim, dia nge-BM gue gitu, yang isinya... errr, gosip tentang lo. Jadi..."

"Riana?" bisik Citra dengan suara yang mampu melelehkan salju-salju di Himalaya. Rena melempem seketika.

"Well, ya gitu deh, Cit.... Loh, kok?" Rena tercengang melihat Citra bangkit dan mulai berlari kecil ke bawah, bahkan tanpa mengomelinya. "Cit, Cit, mau ke mana lo?!"

*****

Orang yang dicari Citra sedang duduk di kelasnya yang full AC dengan meja-meja yang beda dari kelas Reguler. Kuku-kukunya yang dicat ungu cerah membuat darah Citra kian mendidih.

"ELO!" Citra langsung menghambur masuk X-Inter dan berjalan ke arah Riana. Kedua tangannya terkepal di kedua sisi tubuh. "Gara-gara elo yaaa, gue tuh jadi sasaran bully anak-anak kelas XI sama XII tau nggak! Mau lo tuh apaan sih, nyebarin gosip kayak gitu?!"

"Loh, kok lo sewot gitu, deh. Andaikan yang gue omongin itu nggak benar, you must be calm and act like you never did it."

Ubun-ubun Citra nyaris jebol saking panasnya. "Tapi itu semua nggak bener! Lo itu pasti cuma sirik kan sama gue, ngaku deh! Lo sirik karena gue bisa deket sama Ello sama Rangga. Lo sirik karena gue selalu jadi centre of attention. Lo sirik because I'm much smarter, better, and more more moreeee famous than you! IYA KAN?!"

"You think you're much better than me?" Riana tertawa mengejek.

"Iyalah. Lo ngeremehin karena lo takut gue ngasih pembuktian akan hal itu, kan? You b*tch!"

Sikap tenang dan genit Riana mulai lumer, digantikan dengan tampang harimau yang siap menerkam.

"Lo kira gue takut! Sini, buktiin kalo lo emang lebih baik kayak yang lo bilang! Emangnya lo bisa apa, sih?"

"Lo ikut cheers, kan?" Citra mendengus sombong. "Loncat-loncat kayak gitu mah cetek buat gue! Pas nanti tim basket kita tanding sama sekolah lain, gimana kalo kita lomba?"

"Lomba? Gampang!" Riana langsung sengak, membuat kaki Citra gatal menyepaknya. "Oke. Gue tau lo paling cuma pengin narik perhatiannya Rangga, kan?"

"Oh, gue nggak perlu narik perhatiannya dia, kok," Citra perlahan tersenyum, puas, dan sambil lalu ia berkata, "Lo nggak tau kan dia waktu itu minjemin jaketnya ke gue? Oh, ya, dan lo juga nggak tau kan, kalo waktu itu Ello mijitin kaki gue?"

-Part 2 End-
29/7/2012
4:44 pm.
Inspired by FAL and SA.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire