mardi 7 février 2012

Unperfect Melodies

"Jadi, Al, welcome to Japan. Japan o kangei."


Alex tersenyum, membiarkann ayahnya menepuk-nepuk bahunya. Setelah enam bulan berpisah, wajar rasanya Alex merindukannya.

Lift berdenting dengan suara yang mengingatkan Alex pada oven klasik nenek. Tersentak, ia melangkah keluar bersama Papa ke lantai empat, ke ruang kerja beliau. Dilihatnya dua orang laki-laki, yang satu berkacamata, dan yang satunya lagi memakai anting di telinga kiri. Alex tak bisa menahan diri untuk tidak terkikik membayangkan ekspresi ibunya. Ibunya paling tidak suka laki-laki bertindik.

Satu kesamaan dari mereka adalah mereka sama-sama memegang cangkir kopi, dan oh, kesamaan kedua, begitu melihat Alex dan ayahnya, mereka buru-buru berdiri.

"Sir, Anda datang lebih awal rupanya," kata si kacamata, terlihat over-acting. Temannya yang beranting melirik Alex, tapi yang dilirik sok membetulkan tali tas.

"Ah, ya, harus menjemput seseorang yang spesial hari ini..." balas Papa ringan, merangkul Alex hangat. Si anting melempar pandangan bertanya pada si kacamata.

"Ini... errr, istri Anda, Sir?"

Kontan Papa tertawa terbahak-bahak. Bahkan Alex yang tadi masih agak jet lag, mau tak mau nyengir sedikit.

"No, no, no. Dia putriku. Apa yang membuat kalian berpikir dia istriku?" timpal ayah Alex, masih tertawa. "Ya, ya, ya, kurasa ada baiknya kita sekarang makan siang bersama. Bagaimana, Al?"

"Maaf, aku tidak bisa, Pa," tukas Alex buru-buru. Dirogohnya tas, dan dikeluarkannya sebuah tas plastik. "Mama nyuruh aku buat nganterin oleh-oleh ke Nenek, jadi yaa, Papa kan tau sendiri Mama kayak gimana."

Papanya mendecak. "Baiklah. Ibumu itu memang keras kepala, ya. Kalau begitu kau akan langsung ke Nagano?"

Alex mengangguk singkat.

Ayah Alex mengangguk, kemudian memeluk putrinya. "Hati-hati. Sampaikan salamku pada kakek-nenekmu. Kalau kau kenapa-napa, kau tahu siapa yang harus kauhubungi."

Alex meringis, kemudian mengangguk. Diciumnya pipi ayahnya, dan dengan cepat ia berjalan keluar dari Kedutaan Besar RI di Tokyo, Jepang.

Berbohong itu tidak baik, tapi Alex rasa berbohong demi kebaikan tidak ada salahnya juga. Itu yang ia lakukan sebulan lalu ketika berkata bahwa ia ke Jepang untuk liburan. Dibantu peran ayahnya sebagai salah satu petinggi di Kedubes negeri sakura itu, segala tetek bengek soal visa dipermudah.

Sebenarnya Alex ke Jepang untuk mendapatkan hot news tentang Jonathan Grey, musisi klasik kelahiran Jepang yang tinggal di Inggris. Sekarang cowok itu kembali ke Jepang dalam rangkaian konser Asia-nya. Kalau saja bukan karena pekerjaannya sebagai wartawan dan fotografer, Alex pasti enggan jauh-jauh ke Jepang. Tapi ini adalah tuntutan keharusannya dalam berkarier. Namanya telah terdaftar dalam Kompetisi Paparazzi, acara tahunan terakbar bagi mereka yang berprofesi di bidang media massa.

Matahari bersinar malu-malu, menembus lapisan awan seputih salju di bawah kaki. Ya, sekarang memang sedang musim dingin di Jepang. Angin menusuk bulan Januasi membuat Alex merapatkan wintercoat. Mulai menggigil, dipercepatnya langkah. Rumah kakek-neneknya berada di sebuah pedesaan di Nagano, nggak jauh-jauh amat, sih.

Gigi Alex mulai bergemelutuk ketika akhirnya ia tiba di stasiun. Tiket sudah ada di tangan, jadi dia hanya perlu masuk dan menunggu.

Tapi niat simpel itu tak terwujud ketika tiba-tiba sebuah tangan dengan keras mencengkram lengannya, menariknya mundur menjauhi stasiun. Alex mencoba menjerit, namun mulutnya disekap. Dan tahu-tahu gerombolan orang berkamera berlarian menyusulnya.

Kepala Alex berkunang-kunang. Ada apa ini?

"Stop, atau akan kutelpon pengacaraku. Kalian bisa menginterogasiku berjam-jam ketika aku selesai konser, tapi tidak ada toleransi bila kalian menganggu acara kencanku."

Konser? Kencan? Tuhan, jangan-jangan aku disekap orang gila!

"Jadi sebaiknya kalian menyingkir, oke?" lanjut laki-laki itu, masih membekap mulut Alex. Detik berikutnya, dengan gerakan cepat, tiba-tiba sebuah limosin melaju. Alex diseret dan dimasukkan ke dalamnya, dilempar begitu saja ke kursi seolah-olah dia hanya mainan.

"Fuih, kerja bagus, Lou," gumam si orang aneh. Alex melotot, menatapnya. Orang yang duduk di sampingnya adalah laki-laki tinggi berambut hitam dan berkacamata. Dia tidak bertindik, tapi kacamata dan gayanya yang sok seleb membuat Alex jijik.

Alex baru saja akan menghujani orang itu dengan ribuan pertanyaan ketika ia menolehkan kepalanya, menatap Alex, kemudian membelai rambutnya ringan.

"Dan tentu saja, dengan bantuan dari rekan kita ini," ia tersenyum.

"Rekan?" ulang Alex. "Turunkan aku sekarang juga atau aku akan berteriak!"

"Silakan saja teriak. Mobil ini kedap-suara, bahkan kalau jendelanya dibuka," sahutnya santai. "Tapi tentu saja tak akan kubiarkan kau melakukannya. Bisa-bisa aku membuat skandal."

Alex menyipitkan mata. "Lalu akan ke mana kau membawaku?"

"Bagaimana menurutmu, Lou? Sebaiknya kita bawa ke mana si cerewet ini?"

"Aku tidak cerewet."

Kedua laki-laki itu mengabaikannya, lalu orang yang menyetir di depan menyahut. "Sebaiknya kita bawa dia ke apartemen. Jelas-jelas yang dia butuhkan sekarang adalah penjelasan... dan baju hangat tambahan."

*****

Otak Alex terlalu beku untuk mencerna apa yang terjadi, jadi yang dilakukannya sepanjang perjalanan hanya diam. Laki-laki yang menyetir bertanya padanya di sepanjang jalan, pertanyaan standar seperti, "Siapa namamu?" dan "Kau tidak seperti orang Jepang. Darimana asalmu?" Alex menjawabnya sekenanya. Bagaimana pun, ia terjebak dalam limo kedap suara bersama dua laki-laki yang tak dikenalnya.

Maka ia manut saja ketika mobil berhenti di sebuah apartemen mewah kecil yang agak jauh dari keramaian, dengan latar perbukitan. Ia turun bersama dua orang itu dan herannya, Lou, si supir yang lumayan ramah, menyuruh Alex berendam dalam air panas, kemudian makan malam bersama.

Ketika mandi Alex sudah merencanakan apa yang akan ia lakukan. Menelpon polisi boleh juga, karena ayahnya pasti akan datang dengan antek-anteknya dan dijamin, Alex akan dikirim ke Indonesia saat itu juga. Dan rencana itu buyar di tengah jalan, ketika Alex keluar dari kamarnya, dan ia menemukan seseorang yang tak asing sedang memegang nametag wartawannya.

Jonathan Grey!

"Eh, halo." Tahu bahwa Alex sudah keluar dari kamar dan berdiri mematung, Jonathan Grey menoleh dan menyapanya ringan. "Sudah mandi? Bagaimana perasaanmu?"

"Kau..." Alex menyipitkan mata curiga.

"Aku tak sengaja menemukan ini," Jonathan mengedikkan bahu, melambaikan nametag Alex. "Dan ternyata aku membawa orang yang salah. Kau wartawan, ternyata."

"Memang," angguk Alex. "Dan akan kupastikan seluruh dunia tahu bahwa Jonathan Grey menculik seorang gadis hanya karena dikejar-kejar fotografer."

"Akan kupastikan mulut kecilmu itu tak membocorkannya, manis," Jonathan menukas ringan, kembali membelai rambut Alex layaknya kucing. "Ayo, sebaiknya kita makan. Ada satu-dua hal yang harus dibereskan di sini."

Alex diam saja, mengikuti Jonathan ke sebuah ruangan besar. Meja panjang dengan delapan kursi ada di sana, dan aneka sup dan daging panggang tersaji di atasnya. Jonathan tersenyum, memberi isyarat supaya Alex duduk.

"Jadi, Alex--itu kan, namamu? Bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik-baik saja," Alex menukas singkat, sama sekali tak peduli, kemudian mengambil sepotong daging panggang. Dalam keadaan emosi seperti ini, semua attitude menjadi terabaikan. "Kalian tak keberatan kalau aku makan, bukan? Untuk apa gunanya makanan ini kalau tidak dimakan?"

Lou mengernyit, tapi kemudian mengangguk dan tersenyum. Cowok itu sabar juga ternyata. Alex bisa sangat menjengkelkan kalau ia mau.

"Dia wartawan, Lou," cetus Jonathan. "Aku punya barang buktinya. Dia malah anggota dari forum media massa internasional yang berbasis di Canada."

"Dia wartawan?" air muka Lou mendadak kencang. "Betulkah?"

"Yeah..."

"Ini masalah," gumam Lou sambil mondar-mandir. "Kita tak bisa melepaskannya, tapi kita juga tidak boleh memberitahunya informasi."

Mata Alex tinggal segaris. "Kalian akan menyekapku di sini? Sebagai tawanan?"

Jonathan menukas, "Well, mungkin bisa lebih buruk daripada itu," dan Lou terlihat berpikir keras.

Suasana hening sejenak, dan akhirnya Lou berkata, "Kurasa boleh kita pertimbangkan usulanmu itu, young lady. Mungkin selama beberapa minggu kau harus tetap di sini, sampai kita membuat kesepakatan yang mengikat."

Wajah Alex mendadak pucat, dan detik berikutnya dijatuhkannya sendok dan garpu.

"Jangan dramatis begitu. Kau akan aman di sini, tenang saja. Kau mungkin akan kami latih untuk menjaga rahasia orang. Menyenangkan, bukan?"

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire