mercredi 14 décembre 2011

Can I Love You in Slow Motion? part 1

"Apa-apaan banget, nih, ada gitu ya aturan kayak gini!" omel Rena mengibaskan rambutnya. Citra yang asyik bermain Angry Birds, tidak menggubrisnya.

"CIT!" seru Rena habis sabar, menarik iPad Citra, kemudian menempelkan kertas putih yang harus difotokopinya tepat ke jidat jenong Citra.

"Whatsap..." gerutu Citra, mengangkat kertas dari jidatnya, kemudian mengelus-elus poninya dengan sabar. "Ck, Ren, woles aja kali! Kemarin seharian gue ke salon, nih, kan sayang-sayang poni baru gue dirusak!" serunya sewot.

"Whatever lah. Baca deh kertas yang lo pegang."

Bersungut-sungut, Citra membaca kertasnya. Aturan-aturan baru yang akan berlaku mulai semester dua sekarang. Dari pasal 1 sampai 16, dijabarin dari A sampai Z dan dari Z ke A lagi. Mata Citra melotot melihatnya.

"Ajigile, ini sekolah apa penjara?!" lengkingnya, mengelus dada. "Rambut nggak boleh diurai bagi cewek? Yang bener aja! Kaos kaki harus semata kaki, nggak boleh pake kuteks, ebuseeet. Yang cowok rambutnya nggak boleh gondrong. KUKU HARUS PENDEK?! Alahmaaak!"

Rena geleng-geleng kepala. "Sumpah, deh, lama-lama gue kenyang deh sama peraturan macam ini. Sampe yang sepele gitu lho Cit...."

Citra tak menanggapi keluhan Rena, karena matanya masih menyusuri baris demi baris pasal-pasal peraturan itu, dan matanya nyaris copot saat melihat salah satu pasal terakhir.

"DUDUKNYA DIATUR CEWEK-COWOK?!" teriak Citra, betul-betul speechless. Ini mah udah penindasan hak asasi namanya! Masa sampe tempat duduk aja diatur-atur segala?!

"Slow, Mbak, slow..." ujar Rena, kali ini lebih tenang. "Awalnya gue juga shock, tapi ya udahlah. Kita tinggal satu semester ini di nih penjara, abis itu... hello SMA! Masa-masa paling indah udah di depan mata! Jadi ya, nikmatin dulu aja yang ini."

Citra mendengus. Jujur, ia tak terlalu suka mengenai gagasan sedikit lagi dia SMA. Memang sih, mitosnya, SMA itu masa-masa paling indah seumur hidup yang nggak bakal keulang, tapi tanggung jawabnya juga makin gede. Belum lagi soal UN dan sederet tes. Impian Citra saat ini, dia bisa masuk SMA termahsyur di Jakarta yang dielu-elukan teman-temannya: SMAN 28 Jakarta. Selain masuk SMA itu yang bikin Citra happy sedikit, satu lagi yang membuatnya sedikit antusias soal SMA adalah, dia udah dibolehin bawa mobil sendiri, berhubung dikit lagi Pak Kahar, sopirnya, pensiun.

"Yah, mau bilang apa," keluh Citra, berusaha lapang dada, kemudian bersender di tembok. Rena yang sejak kelas 9 jadi chairmate-nya itu menepuk bahunya simpatik.

Sejak kelas 9, anak-anaknya di-mix lagi dan disesuaikan berdasarkan nilai. Citra dan Rena masuk kelas 9-5, berhubung kelas 9-1 adalah kelas Aksel dan kelas 9-2-9-3 itu kelas Billingual. Kelas 9-4, Jovie di sana, bersama kutu buku-kutu buku genius berkacamata--tapi Jovie kelihatan nggak begitu antusias--dan Sasha di 9-6. Citra dan Rena beruntung bisa masuk kelas 9-5, yang balance antara otak dan seru-seruannya, menikmati tahun terakhir mereka sebagai pelajar SMP. Dan untungnya--sial bagi Citra--mereka juga sekelas dengan Ello Farrel.

"Cit, Cit, simpen gih iPad lo! Lord Batak lagi OTW," Rena menyikut Citra, yang langsung menyimpan iPad-nya ke dalam tas. Lord Batak adalah sebutan mereka untuk Pak Ronald, yang namanya keren gila tapi galaknya luar biasa, punya motto "sekali titah, tak bisa membantah", dan sialnya lagi menjadi wali kelas mereka.

Rena--yang jadi ketua kelas lagi--langsung menyiapkan teman-temannya, dan setelah ritual, "bersiap, berdiri, memberi salam" selesai, mereka duduk lagi, dan tanpa ba-bi-bu atau say hi terlebih dahulu, Pak Ronald langsung ngasih perintah buat pindah tempat duduk, sesuai aturan. Aturan keji dibuat lagi: duduknya bakal dibuat berdasarkan absen.

Citra menahan nafas. Diurutinnya dari bawah. Rena duduk sama Refal, cowok yang jago Bahasa Prancis dan lumayan oke sama Citra. Ia bersungut-sungut dalam hati, menyesali mujurnya nasib Rena. Seenggaknya, Refal pinter dan bisa diajak kerja sama.

"Citra Devira?" gonggong Pak Ronald, kemudian menunjuk bangku ketiga dari depan. "Duduk di sana. Sama... hmm... Ello."

PRAK.

Dunia Citra langsung remuk dalam kedipan. OMG, kenapa harus sama Ello?! Memang sih, sejak peristiwa "Puputan Margarana" yang merenggut nyawa Aure, mereka jadi lumayan akrab, tapi itu tetap nggak mengurangi alergi Citra terhadap cowok itu. Belum lagi kenyataan kalau Ello merebut posisi jadi kapten basket sekolah, mengalahkan Rangga, cowok kece yang pernah ditaksirnya, bikin Citra kian geregetan. Dan sekarang dia harus duduk sama cowok bawel itu?! Mimpi-apa-dia?!

Daripada cari masalah, mending pilih yang aman aja. Sambil menahan sumpah serapah paling kasar yang nyaris menjebol kerongkongannya, Citra lungsur dari kursinya tersayang, ke kursi yang riskan membuatnya dipelototi guru-guru dan nggak bisa bercanda. Dari dulu Citra paling suka duduk di pojok dan gerah duduk di tengah. Mana sekarang duduknya sama Kapten Hook pula, gerutu Citra gusar dalam hati.

"Eh, eh, minggir, minggir, gue duduk di situ!"

Ello lungsur dari bangkunya ke bangku di sebelahnya, membiarkan Citra duduk.

"Punya etika dikit nggak sih, Mbak?"

"Menurut lo?" balas Citra, sedang malas bercanda atau sekadar menanggapi "pengumuman perang" itu.

"Yeee, woles aja lagi Cit!" Ello langsung kehilangan sense untuk meledek cewek ini lebih jauh lagi, walau diam-diam hati kecilnya bersorak. Oke, cowok mana yang nggak suka duduk dengan cewek yang diam-diam dijulukinya sebagai "pemilik mata terindah di dunia" ini? Tapi mungkin dia memang harus sedikit ngerasin Citra. Sikap cewek itu bisa jadi sangat semena-mena dalam hitungan detik.

Bel istirahat berbunyi dan Ello yang lagi melonjorkan kakinya terpaksa minggir.

"Misi!" gerutu Citra. "Ladies first!"

Elo menyingkirkan brikade itu, tapi kemudian berdiri, memberikan kesan rada wow karena ia sepuluh senti lebih tinggi dari Citra. Dengan santai ia berujar sok manis namun geram, "Emang lo ladies? Dih, males!" kemudian ngeloyor keluar kelas.

Citra menahan asap yang nyaris keluar dari ubun-ubunnya.

*****

Meja itu masih berantakan sekali. Properti anak sekolahan seperti pulpen dan tip-x masih bertebaran dengan tak beraturan.

"Cit, kok loyo?! Ayo, dong, beresin noh cepetan meja lo! Berantakannya udah lebih-lebih dari muka yang punya! Ayo dong, kan hari ini Rangga tanding!" oceh Rena rewel, menarik-narik tangan Citra yang letoy. Mirip lah sama ikan lele yang tulangnya udah dipresto.

"Aduuuh, gue males, nih, Ren," gerutu Citra, menarik tangannya. "Emang nanti Rangga tanding, tapi itu artinya Ello juga, kan? Aduh, enek deh gue ngeliat dia."

"Jangan gituuu, ntar naksir aja baru tau rasa lo!"

"Naksir? Idih, amit-amit! Selama cowok di dunia ini belom lenyap semua, yang namanya Ello Rivaldi Aryanto tetep bakalan jadi pilihan terakhir gue buat dipacarin! Titik," tandas Citra, mengakhirinya dengan sumpah asal yang dia nggak pikir panjang.

"Ya udah, deh, terserah lo. Tapi kalo lo nyesel, jangan salahin gue ya, my gurl," goda Rena, mencubit dagu Citra hingga cewek itu meringis. "Nah, sekarang beresin deh tuh properti lo! Ayo, Pangeran Rangga udah menunggu tuh, di lapangan basket!"

Ogah-ogahan, Citra memasukkan semua barang di atas meja dengan asal-asalan ke dalam tas, kemudian membiarkan dirinya ditarik Rena ke lapangan. Sasha dan Jovie sudah ada di sana, dan malah Sasha antusias banget melihat pertandingan.

"Eh, pasangan lesbi! Ketinggalan jauh lo berdua! Ke mana aja, sih, kok lama banget?" seru Jovie. Dijawab dengan cengengesan, dia melanjutkan. "Skor masih 0-0, sih, tapi kok kayaknya tim lawan lebih unggul, ya?"

"Sssht, jangan bilang gitu!" teriak Sasha berapi-api. "Kita pasti menang! Ayo, Rangaaaa, ayo, AWAS DI DEPAN LO ADA LAWAN! YAAAAH...."

Citra mendongakkan kepala, dan benar, itu dia. Rangga, cowok yang ditaksirnya dari dua bulan lalu, kelihatan kecewa dan mengacak-acak rambutnya dengan geregetan. Melihatnya, Citra jadi ikut geregetan.

"AYO RANGGAAAA! AYOOO!" Citra ikut berteriak dengan suara yang bisa mengalahkan toa masjid. Saat itulah ia sadar...

Tadi-cuma-dia-yang-teriak.

Banyak cewek-cewek yang menoleh kepadanya, dan Rangga sendiri di lapangan kelihatan melempar pandang tanpa ekspresi pada Citra.

Mampus gue, kok bisa bloon banget, sih, keluh Citra membatin, cengengesan dengan muka merah ditatap orang-orang. Dia sih sok cool aja. Padahal, sumpah deh, dia berharap lebih baik Bumi menelannya saat itu juga.

"Ciee, fansnya Rangga juga nih, Cit?" ledek Sasha, menyikut Citra. "Kapten kita mau dikemanain, tuh?"

"Apaan, sih," Citra menghela nafas, lalu menyipitkan mata melihat pertandingan. Rangga kini sedang men-drible bola menuju ring, dan Citra menemukan keganjilan saat tiba-tiba Ello menabraknya, dan... JATUH!

Bola jatuh terpantul-pantul dan akhirnya dipeluk oleh tim lawan. Sasha memaki dan nggak sedikit juga dari para penonton maupun suporter yang mengumpat pelan melihat kejadian itu. Citra menepuk jidat. Mikir apaan sih, Pak Deni, pembina basket, pas ngedaulat tuh makhluk jadi kapten tim? 

"Mikir apaan sih Pak Deni, sampe-sampe tuh cowok jadi kapten?!" Citra menyuarakan kegusarannya pada Sasha. Tapi sayang, cewek itu terlalu memperhatikan. "Kalo main basket sradak-sruduk nggak pake taktik, nenek-nenek bunting juga bisa, kali!"

Jovie tersedak dan muka Rena memerah menahan tawa. Andai situasinya nggak se-urgent ini, pasti bakal lucu banget!

Tadinya Citra masih pengin melanjutkan lawakannya, seenggaknya untuk meminimalisir ketegangan yang ada, tapi batal saat melihat sesuatu yang menarik lagi. Ello berlari secepat kilat dan merebut bola dari tim lawan. Bahkan walau namanya dielu-elukan dan digemakan berkali-kali, cowok itu tidak berhenti berlari sampai mendekati ring, dan menembak dari jarak sepuluh meter.

Citra ternganga, terkesima. Sebagai cewek yang nilai olahraganya nyaris nggak pernah diatas rata-rata, dia agak-agak speechless juga melihat yang tadi itu, meski yakin kalo Sasha atau Rangga bisa lebih baik dari itu kalo mau.

"HA! Jilat ludah lo tuh, Cit! Gila, tuh cowok badai juga ye, mainannya! Serakah sih, emang, tapi yang penting tim kita menang, kan?!" Sasha ikut bersorak.

Citra mencebikkan bibir, mengakui dengan setengah hati. "Okelah dia berhasil, tapi ini kan baru laga uji coba gitu loh, Sha. Lagian juga Rangga bisa kok, lebih keren daripada dia mainnya!" tandasnya yakin.

Sasha sok budek dan ikut berlari ke lapangan, mengguncang tangan Ello erat-erat seolah-olah cowok itu baru saja memenangkan Olimpiade Matematika. Huh, padahal tampang kayak cleaning service aja belagu! dalam hati Citra menyumpah.

Dari lapangan, Ello yang melihat Citra langsung tersenyum manis. Senyum kemenangan yang selalu ia pamerkan tiap kali ingin membuat Citra bete. Melihat kedua alis Citra yang kompak menaik, ia menaikkan jempolnya, kemudian membaliknya. Diarahkannya jempol terbalik itu ke Rangga yang--kebetulan--sedang memunggunginya, kemudian mempersembahkan jempol terbalik itu pada Citra.

Di tribune, Citra yang melihatnya hanya bisa mengentak-entakkan kaki panas, lalu merangsek keluar dari lapangan, meninggalkan Rena dan Jovie yang bengong kayak sapi ompong.

-Part 1 End-

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire