jeudi 19 janvier 2012

Balada Cinta David Archuleta part 1

"Haaaiiii!"

Gilang menoleh, dan melihat cewek itu berjalan masuk ke dalam kelas. Kelas yang ditongkronginya sejak satu jam lalu, hanya supaya melihat senyum pagi cerah Ara. Cewek yang ditaksirnya habis-habisan sejak ia pertama kali melihatnya. Cewek yang biasanya membuat cewek lain tersenyum sinis karena kecerewetannya. Cewek yang selalu tersenyum bersemangat dan menyapa dengan nada menggebu-gebu pada setiap orang yang ditemuinya.

Mirza berdeham, jelas-jelas menangkap pandangannya ke Ara. Ini kedua kalinya dalam seminggu Gilang tertangkap basah sedang memelototi Ara. Kira-kira Kamis lalu, ia juga habis diledek seharian karena mendekatkan kepalanya ketika Ara berjalan masuk ke koperasi, sendiri, dengan muka suntuk berat. Tapi aroma dari seragam batik yang dipakai gadis itu membuatnya tak bisa menahan diri untuk tidak... mengendus Ara.

"Eh, lo, udah bikin pe-er?" tanya Ratih, si rangking 1, salah satu cs Ara.

Sang Miss Lebai tersenyum yakin. "Udah, dong! Dari kemarin, malah..."

Ia tersenyum ekstratipis mendengar jawaban sengak itu. Tapi entah kenapa, kalau Ara yang mengatakannya... ia sama sekali tak keberatan.

Kemudian cewek itu menarik kursinya dan mengobrol dengan Ratih, tetap dengan gestur dan nada naik-turun yang khas. Setiap ngobrol, Gilang perhatikan cewek itu selalu memperjelas maksudnya dengan gerakan tangan atau kernyitan, gelengan, dan ekspresi wajah lainnya. Pokoknya, Ara cewek paling ekspresif yang pernah ditemuinya... dan paling menarik pula.

Sejenak ia tertegun ketika melihat Ara menoleh dan tak sengaja pandangan mereka bertemu. Gilang menahan napas, mencoba bersikap biasa saja. Diberikannya Ara seulas senyum--hal yang biasa dilakukannya bila mereka berpapasan--dan Ara cuma tersenyum singkat, sama sekali tak spesial, lalu lanjut mengoceh.

Gilang membuang muka, mengutuk dirinya habis-habisan. Kenapa nasibnya dalam percintaan selalu naas begini? Ia bisa menyabet peringkat pertama di kelasnya tanpa bersusah payah, bisa dapat cepe di ulangan Matematika tanpa buka buku pada malamnya, tapi untuk mendapat perhatian cewek yang ditaksirnya, kenapa susah banget, ya?

Jujur, udah nggak terhitung berapa kali Gilang jatuh cinta. Bahkan kalau kesepuluh jari tangan dan kakinya disodorkan pun, ia tak yakin bisa mengkalkulasi dengan cepat. Mulai dari cewek culun yang pernah ditemuinya di gerbang sekolah, sampai cewek cheers yang cantiknya subhanallah. Tapi dia sama sekali tak pernah mendapat perhatian dari mereka.

Memang Gilang masih keturunan blasteran, dan pintar, tapi dia sama sekali nggak bisa nyanyi, main gitar, olahraga, dan blablabla yang bisa dilakukan cowok-cowok yang lo-tau-lah. Bahkan kalau main bola, ia selalu ditempatkan di bagian cadangan, nggak usah deh jadi penyerang, jadi kiper aja dia sering berakhir mengenaskan karena selalu membiarkan bola masuk dengan mudahnya.

Dan kira-kira bulan lalu ia melanggar sumpahnya untuk nggak pernah naksir sama cewek lagi. Bulan lalu, ketika ia yang datang ke kelas 9-A dikejutkan oleh bahakan tawa seseorang. Ketika itu ia cuma bisa menggerutu dalam hati, tapi ketika kepalanya menoleh ke arah si pemilik tawa, Gilang merasa lebih baik ia menembus inti Bumi saja.

Si pemilik tawa adalah cewek kurus dengan tinggi sedang dan seragam kebesaran. Bukan cuma itu, bahkan roknya pun kepanjangan. Rambutnya diikat tinggi di belakang, sama sekali nggak menarik. Tapi yang membuatnya terpesona adalah suara gadis itu. Suaranya cempreng, amat berbeda dengan suara gadis yang didengarnya ketika sedang berpidato tanpa teks.

Dan mereka adalah gadis yang sama. Shabina Aradia, si Betty La Fea kelas 9-A. Udah make behel, dan make kacamata, plus kantong mata tebal di kelopaknya, dia nyaris berpikir Ara adalah cewek murung yang penyendiri, tapi dugaannya terbukti salah ketika ia mendengar tawa cewek itu. Begitu ringan, dan Gilang pun seolah tertulari keceriaan di dalamnya.

Dan saat itu juga takdir memutuskan, Gilang menjadi pengagum rahasia Ara.
*****
Seekor cicak tiba-tiba meluncur ke arah bangkunya, tapi Ara dengan sigap menghindar. Dia sama sekali tak seperti cewek lain yang takut cicak atau kecoak. Dia lebih takut cacing dan kelabang, tapi yah seenggaknya cowok-cowok di kelasnya belum se-psycho itu menjadikan dua binatang melata yang ditakutinya sebagai lelucon.

Dengan malas dilemparnya kepala ke atas meja, memejamkan mata perlahan. Dengan ekor mata, diliriknya Farah, Gista, dkk yang asyik di pojok. Dia malas bergabung karena dia pasti nggak nyambung dengan topik yang mereka obrolkan. Ara akui, dia memang tipe yang pemalu di dalam. Kalo orang belum nyapa, terkadang dia cuma memberikan senyum. Bukan berarti Ara sombong, bukan, dia cuma well, nggak terlalu suka bergaul.

Menjadi anak rumah membuat sifat itu terbentuk. Daripada main, Ara lebih suka berdiam di kursinya, bercokol mengerjakan soal-soal atau membaca komik dengan ancaman minus di matanya bertambah. Kadang Ratih bergabung dengannya dan mendengarkan musik bersamanya, persis hari ini.

Ratih berjalan ke arahnya dan duduk di samping Ara, kemudian tanpa banyak cingcong mengambil salah satu headset Ara dan memakainya, lalu mengutak-atik ponsel Ara.

"Ngapain lo, dengerin ceramah orang tua begini?" Ratih mengangkat alis.

Ara meringis. "Nungguin acara Adri mulai."

Ratih tersenyum lebar, maklum. Adri adalah cowok Ara dan pertama kali melihatnya, hal yang dipikirkannya bagaimana bisa cewek kayak Ara bisa ngegaet cowok sekece itu. Memang Adri nggak seganteng Robert Pattinson, tapi cowok itu memang keren. Senyumannya cool dan bodi basket, yah tipikal cowok inceran cewek-cewek normal, lah.

Selain bisa main basket dan pinter, dari Ara, Ratih juga tahu Adri adalah... penyiar radio. Dia membawakan tangga-tangga lagu mereka minggu ini dan juga memandu acara email minggu ini, jadi curhatan pendengar mereka, gitu. Adri satu tahun di atas mereka dan untuk cowok 15 tahun yang pernah ditemuinya... Ratih jamin nggak ada yang sekeren dia.

Dan acara Email Penting pun dimulai. Bisa dilihatnya wajah Ara mendadak cerah ketika mendengar suara cowok yang dirindukannya ada di dalam earphone. Suara Adri yang dalam dan macho, namun seketika berubah lembut dan penuh kasih ketika memanggil Ara dengan panggilan spesial, "Shabi."

Well, apa di sini ada yang ngerasain gimana jadi stalker? Itulah yang gue rasain sekarang. Kedengerannya sih, emang buruk, tapi kalo lo ada di posisi gue sekarang, gue jamin lo bakal ngelakuin segala cara biar bisa melihatnya dari segala arah.

Kening Ara mengernyit. Email apaan, nih? Dan kernyitannya pun merapat ketika suara Adri melanjutkan.

Wah, kayaknya seru, nih. Oke, lanjut.... Gue cuma cowok biasa yang nggak berlebihan disebut selalu gagal dalam percintaan, tapi ini pertama kalinya gue ngerasa bisa berhasil. Cewek itu. Cewek yang bikin perut gue dikocok-kocok kayak naik Tornado di Dufan tiap kali ngeliatnya. Buat cowok lain, mungkin dia jauh dari kata cantik, menarik, seksi, dan lain-lain, tapi percaya deh, lo bakal ngerti kenapa dia bisa bikin gue gila begini.

Yang gue lihat jauh dari itu. Tuh cewek punya dua kepribadian unik, ketika dia serius dan ketika dia sama temen-temennya. Sekali waktu gue ngeliat dia berdeklarasi di depan kelas, dan sekali waktu gue ngeliat dia ngegosip dengan sesamanya di bangku murid. Gue suka cara dia ngomong, tersaring sempurna walau seringnya asal nyeplos. Gue suka tutur katanya, nada suaranya yang naik-turun..., teriakannya di pagi hari, semuanya. Satu hal yang pasti, dia
beda dari yang lain. Dia nggak kayak cewek lain yang ribut sama kaca dan sisir tiap dua menit sekali. Pas gue ngeliat cewek-cewek di kelasnya ngejain hal-hal yang nggak berguna, yang dia lakukan adalah duduk anteng dan ngerjain soal-soal Fisika. Keren, kan?

Gue nggak memandang dia sebagai cewek alay dengan baju kegedean dan rok kepanjangan, sama sekali nggak. Gue kagum sama dia sejak pertama kali ngeliatnya, sejak ngeliat dia presentasi IPS di depan kelas dan mengoceh panjang-lebar tanpa keselek padahal nggak bawa buku. Bayangin, Geografi, sob! Saat itulah gue menyimpulkan, dia cewek yang cerdas dan cewek cerdas adalah salah satu hal yang udah langka.

Gue berharap, suatu saat gue bisa jadi salah satu orang yang dia sapa dengan suara cemprengnya pas pertama kali ke sekolah. Gue berharap, suatu saat gue bisa jadi tempat curhatnya walau apa yang dia omongin super-nggak-penting. Dan yang paling gue harapkan untuk sekarang ini adalah, gue punya keberanian buat bilang, "Gue sayang lo, Ina."

Dari G.


Kontan Ara dan Ratih sama-sama terbahak mendengar kisah konyol itu. Kisah aneh dari sudut pandang cowok mahamemelaskan yang dituturkan oleh suara cool Adri. Sama sekali nggak cocok!

Walau begitu Ara tahu siapapun pengirimnya, cowok itu adalah cowok yang... well, lumayan romantis.

Sambil tersenyum diangkatnya HP-nya, dan ditekannya nomor Adri.
*****
"Halo? Bi?"

Adri tersenyum mendengar suara Shabi di seberang sana mengoceh dengan cepat dan memuji penampilannya. Yah, memang penampilannya selalu mendapat pujian, sih. Tapi di mana-mana, dipuji sama orang yang lo suka itu, dosisnya beda, man.

"Ya, aku baru selesai siaran.... Hmm, hmm, mungkin bulan depan? Kamu udah libur, kan? Aku masuk siang hari ini, jadi siaran pagi.... Oh, udah ada guru? Oke, oke, jangan mikirin aku terus, fokus ya ke gurunya. Iya bye, Shabi..."

Perbincangan singkat harian yang selalu membuatnya merasa lebih semangat. Perhatian Shabi itulah yang membuatnya jatuh cinta. Sambil bersiul kecil, dimasukannya ponselnya ke tas, tapi saat itu pula ponselnya berdering. Dari Gilang, sepupunya.

"Halo, Lang? Iyeee, kenapa? Gue masih siaran kok, lo tadi dengerin ya?" Dengan cepat Adri keluar ruang siaran dan melompati dua anak tangga sekaligus. "Apa? Ini mau ke sekolah, lo bener-bener kayak nyokap gue, deh.... Apa? Jadi lo yang ngirim tuh email?" sambil menahan tawa Adri memindahkan HP dari kiri ke kanan. "Aduh, ngakakin... kocak amat sih lo, bro. Ya, ya, ya, ditunggu kiriman berikutnya."

Perut Adri mendadak kram karena info aneh itu. Lucu juga adik sepupunya yang sepantar ceweknya itu bisa naksir cewek sampai segitunya. Mana nama ceweknya kocak pula. Ina? Biasa bangeeet! Bisa dibayangkannya si Ina adalah cewek kurus tinggi hitam dengan lubang hidung besar. Sama sekali nggak bisa dibandingin sama Shabi.

Kembali bersiul, dituruninya dua anak tangga terakhir, dan entah kenapa kayaknya nasibnya hari ini memang lagi nggak bagus. Tiba-tiba saja ia menabrak seorang cewek yang membawa tumpukan buku.

Ia menggerutu dalam hati. Ni cewek dosen apa gimana sih, bawa buku banyak bener. Dengan cepat dibantunya cewek itu membereskan buku, berhubung dia yang nabrak.

"Mmm, sori, sori," gumamnya.

Pada saat si cewek menggumam, "Iya, nggak pa-pa, kok," barulah ia mengangkat kepala dan menelan ludah. Cewek di hadapannya ini cantik banget!

Dia cewek berwajah Indo dengan hidung mancung dan kulit putih. Rambutnya hitam dan agak ikal di bagian bawah, jatuh sempurna sebatas siku. Bola matanya biru karena soft lens, dan bibirnya seksi.

Jangan bilang kalo dia baru saja bertabrakan dengan Kate Moss yang menyamar?!

"Makasih ya udah dibantuin," ujar si cewek, tersenyum singkat, yang Adri rasa bisa melelehkan es di kedua kutub. Cewek itu menatapnya dengan pandangan aneh, kemudian naik ke atas.

Dan aroma rambutnya... harum....

to be continued.
4:23 pm, 19/1/2012.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire