samedi 7 janvier 2012

Kabut Kenangan Kota Dieng

Matahari kian tak terlihat di ufuk timur, nyaris tak menyisakan cahaya. Gerimis kecil mulai membasahi jalanan. Susah payah gadis itu berjalan di pematang sawah.

“Aduuuh, Mas, ini nyampenya masih besok sore, ya?! Kok pematangnya panjang bener, sih. Sungai Niil aja kalah, kali,” gerutu Niken sambil mengecangkan ikatan rambutnya.

"Lho, Mbak Niken ini gimana, toh. Katanya sing mau ngerasain tinggal di desa, ya gini rasanya! Jangan harap ada jalan aspal, rata-rata ya masih pematang sawah begini. Belum lagi kalau kita mesti nyebrang sungai. Jembatannya sing masih dari bambu.”

“Ada ularnya nggak nih?! Awas aja kalo aku baru nyampe rumah Eyang pas jadi mayat, Mas Paijo harus tanggung jawab!” ancam Niken, merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan. Yang diancam hanya mengernyitkan kening dan tersenyum, terus memandu cucu Ndoro-nya ke tempat yang dituju.

Si cewek metropolitan Bandung itu kontan memekik melihat rumah yang ia kenal dari kejauhan. Rumah bergaya Jawa kental bercat coklat, tidak bertingkat namun luas. Begitu pematang panjang berakhir, Niken langsung berlari menuju rumah Eyang.

“Walah walah, cah ayu kemana saja toh Nduk? Ibu kamu nelponin mulu, katanya kamu ilang gitu aja. Eyang sampe nelpon Wanda, siapa tau kamu kabur ke luar negeri.”

Sambutan yang sama sekali tidak hangat itu hanya dibalas Niken dengan pelukan hangat pada sang nenek. Ia duduk di sofa panjang di samping kursi goyang yang dulu sering menjadi tempat santai almarhum Eyang Kakung-nya. Niken merasa gatal melihat kursi itu berayun, maka ia mendudukinya, menikmati sensasi yang tidak ia rasakan empat tahun terakhir ini.

“Kan aku udah lama nggak ke sini, Yang. Papa sekarang dinasnya ke Babel. Mama? Beuh, udah jarang ada di rumah. Seringnya ke Malaysia atau ke Spore, berangkat pagi pulang dinihari!” sahut Niken, tak bisa menahan diri untuk nggak ngomel.

“Iya, yo dimaklumi lah, Ken, ayah-ibumu sibuk begitu. Kerjanya kan, enak. Tapi jangan kabur-kaburan segala, toh. Bikin semua orang khawatir,” nasihat Eyang sambil menyodorkan secangkir teh panas pada Niken. Ia menerimanya, lalu menyesapnya. Rasa khas teh melati neneknya, dicampur gula batu halus, terasa memanjakan lidah.

“Iya, iya, Yang. Udah ya, aku mau istirahat dulu. Oh iya, Yang, nanti suruh orangnya Eyang ya, buat nemenin aku nonton sunset,” pesan Niken, menyeret kopernya masuk ke kamar tamu, kamar yang selalu ia tempati bila ke sini.

Si Nenek hanya tersenyum. “Iya, wes tenang toh cah ayu. Istirahat, jangan lupa shalat Ashar!”

“Udah kok tadi di rest area,” sahut Niken malas sambil menggeliat.

Walau matanya sudah mengerjap lelah, Niken masih menyempatkan diri membuka gorden linen jendela, membuat cahaya menerjang masuk ke seluruh ruangan, membuat suasana hatinya sedikit membaik. Yah, memang itu bukan, tujuannya ke sini? Sambil tersenyum, Niken duduk ke atas kasur, membuka selimut, dan tenggelam dalam kehangatan.

Tidur tanpa mimpi itu terusik oleh suara gedoran pintu. Niken bangkit dengan rambut awut-awutan, merasa tenggorokannya kering, lalu mengambil minum di meja di sebelahnya. Masih dengan mata lengket, Niken berteriak.

“Bukaaa! Masuk ajaaa!” teriaknya. Sejurus kemudian ia sadar ia tak ada di rumah, maka buru-buru Niken bangkit dan membuka pintu, membuat pemuda aneh di hadapannya tersentak.

Niken menatapnya dengan pandangan asing, ketus. “Siapa lo?”

“Eh, saya… anu, saya…”

“Saya, saya, saya siapa?! Justin Bieber, hah?”

“Eh, eh, eh, Niken, kamu udah gede kok ngomongnya seenak jidat. Yang sopan dikit toh Ken, yang anggun jadi anak gadis,” sambar Eyang yang keluar dari kamarnya, “ini Heru, keponakannya Paijo! Dia ini yang kerja di kebun, terus tahu tempat-tempat bagus di Temanggung. Oh iya, Heru ini pintar lho, Ken, sudah kuliah juga. Umurnya sepantar dengan kakakmu.”

Like I care, gitu?
batin Niken mencibir, lalu memasang senyum sok manis. “Terus sekarang Mas Paijo-nya mana?”

“Ngngng, Pakde nggak bisa nemenin Non Niken, dia lagi ada rapat sama buruh-buruh tani, ngerencanain panen. Jadi saya yang nemenin Non Niken.”

Rapat, rapat. Buruh aja pake rapat, udah kayak DPR aja
, dengus Niken, makin dongkol. Tapi dengan cepat ia menurunkan alis dan suaranya, lalu berkata lunak, “Ya udah, gue ganti baju dulu. Lo tunggu di depan aja, sana.”

Secepat kilat ia mengganti pakaian, kemudian ke teras. Si Heru atau si Heri atau siapa lah itu, menunggu dengan gaya duduk hormat khas orang terpelajar. Omaigat, jangan bilang Niken jauh-jauh ke Dieng dari Bandung, eh malah dapat teman yang 11/12 sama kakaknya! Duh, jangan sampe!

Beberapa saat kemudian mereka sudah ada di atas sebuah bukit. Niken dulu sempat ikut klub yang kegiatannya trekking, jadi bisa beradaptasi, lah, biar kata capek-capekan sedikit. Heru yang ada di depannya diam saja, walau sesekali menoleh dan menatap Niken agak lama, tapi kemudian melihat jalan lagi. Niken sih cuek-cuek aja, ngapain juga ngobrol sama orang yang nggak dia kenal?

“Nah, sampai, Non. Dari sini, kita bisa melihat sedikit proses matahari terbenam, juga seluruh desa. Tapi cuma sedikit, Non, lebih indah kalau matahari terbit, jadi jangan buat interpretasi terlalu tinggi,” oceh Heru, membuat Niken merasa seolah-olah ia jalan dengan tour guide superbawel. Dulu saat sekolah di Hongkong pada jaman SD, ayah Niken punya tour guide pribadi yang Bahasa Inggris-nya mahakacau, berantakan. Udah gitu cerewet pula, mencicit terus!

Niken menghela nafas dalam-dalam, tak lupa mengucapkan terima kasih kalem pada Heru. Di hadapannya terpampang landscape indah, sawah dengan bulir padi yang mulai menguning, rumah-rumah penduduk, dan juga saung-saung di tengah sawah. Latar belakangnya pun tak kalah cantik, gunung yang tinggi menjulang, tertutupi kabut tipis. Inilah yang ia inginkan! Bukan sekadar gunung samar yang nggak kelihatan karena polusi, kayak di Bandung.

“Ngomong-ngomong, Non Niken dari Bandung, ya?”

Panggilan santai itu membuat Niken menoleh, mengangguk singkat.

“Yang orang Bandung itu, ibunya Non?”

“Apa? Bukan, bukan,” kali itu Niken benar-benar tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa, “nyokap gue campuran Jepang-Jerman, tapi karena dulu pernah ikut study abroad ke Indonesia, beliau jadi jatuh cinta sama Indonesia. Terus pas gede, kuliah di sini, terus ketemu bokap, terus nikah, deh.”

“Oooh. Pantes muka Non Niken bukan kayak muka orang Indonesia. Matanya sipit, hidungnya mancung, kulitnya putih. Tinggal dipirangin rambutnya, udah mirip orang luar.”

Niken terkekeh mendengar argumen itu, lalu kembali menatap panorama gratis yang tersaji di hadapannya. Lagi-lagi Heru mengajaknya ngobrol.

“Non Niken ke sini ngapain? Liburan?”

Pertanyaan itu tak Niken jawab karena pikirannya keburu mengambang ke tempat lain. Dia ke sini? Liburan? Sama sekali bukan. Kalau liburan mah, mending Niken nyusul ayahnya di Bangka Belitung, dengan pantainya yang lebih indah.

Sebenarnya Niken bela-belain jauh-jauh ke Dieng dalam rangka menenangkan diri, mengumpulkan kembali serpih-serpih hatinya yang sedang dalam kondisi sehancur-hancurnya. Dua hari lalu ia terpaksa menerima kenyataan pahit kalau ternyata cowoknya, Kevin, playboy sialan bermulut manis. Niken kenal Kevin sejak hari pertama masuk SMA, dan langsung jatuh cinta karena perhatian yang diberikan cowok itu. Siapa sangka ternyata si Kevin cuma mulutnya aja yang manis? Memang Kevin kece, pintar, ketua OSIS, tapi ternyata….

Lamunan Niken buyar ketika ponselnya mendadak berbunyi. Di layar iPhone-nya terpampang foto Wanda, kakaknya yang tiga tahun lebih tua, yang kini melanjutkan studi di Lucerne, Swiss. Mendecakkan lidah, di-reject-nya panggilan itu, kemudian mematikan HP. Wanda pasti akan menceramahinya alas-kali-tinggi-kali-diameter begitu mereka bicara, nggak pake basa-basi atau say hi dulu. Wanda, si anak kesayangan Papa-Mama, yang apapun diminta pasti dikabulkan. Sekolah di Eropa? Fix. Tinggal di apartemen mewah? Silakan. Huh, boro-boro Niken dimanja kayak gitu.

“Non Niken, itu proses matahari terbenamnya sudah mau mulai,” tiba-tiba Heru mencolek bahu Niken, membuatnya menengadah melihat langit yang mengeluarkan semburat merah jambu. Gradasi warna alami yang membuat Niken berharap ia membawa SLR-nya di koper. Burung-burung terbang melintasi lazuardi, terlihat tidak peduli dan buru-buru kembali ke sarang. Pemandangan yang akan sangat cantik bila dijadikan lukisan.

Kira-kira sepuluh menit mereka ternganga melihat matahari terbenam, sebelum akhirnya langit mulai gelap. Heru mengajak Non-nya kembali ke tempat ia seharusnya berada, dan Niken menyetujuinya. Berdua, tapi merasa lebih nyaman, mereka kembali terseok-seok di pematang sawah.

Esoknya Niken kembali bangun pukul lima pagi, itu juga karena lagi-lagi pintu kamarnya digedor. Menahan diri untuk tidak mengutuk siapa pun yang menggedor dengan sumpah serapah yang paling kasar, sempoyongan Niken membuka pintu. Lagi-lagi si Heru!

“Mas, bangunin orang kira-kira, dong! Yang bener aja kamu, jam lima subuh udah gedor-gedor rumah orang!” maki Niken, mengerjap-ngerjap.

“Hehe, maaf, Non. Kata Mas Paijo, Non Niken mau ngerasain tinggal di desa, toh? Mandi, deh, Non, nanti saya ajak jalan-jalan.”

Kata “mandi” tidak begitu menggugah selera Niken, tapi kata “jalan-jalan” menarik perhatiannya. Sambil mengangguk patuh, ia mandi, berwudhu, pakai baju, shalat, dan keluar lagi.

“Ndoro tadi sudah saya kasih tau, jadi ayo Non.”

“Lho? Nggak sarapan dulu?” tanya Niken heran. Di rumahnya, ibunya akan mengomel dengan bahasa campuran Jepang-Jerman-Inggris-Indonesia yang bikin telinga pengang dan kepala pening kalau Niken tak menyentuh nasi sebelum berangkat ke mana-mana.

Heru melempar senyuman singkat. “Nanti di sana juga ada warung, Non. Ayo, toh.”

Alis Niken menaik, dan ia mengedikkan bahu. Diekornya Heru kembali ke pematang sawah, lalu berkeliling desa, melihat aktivitas warga pribumi di hari Minggu. Ibu-ibu sudah bangun jam segini, memasak nasi dan air di tungku. Bahkan air pun diambil dari aliran sungai yang meliuk bening dari air terjun kecil yang berasal dari mata air gunung. Para petani bangun beberapa saat kemudian, lalu langsung ke sawah dan kebun yang mereka garap. Rata-rata sih, berkebun palawija dan umbi-umbian.

Setelah Niken mengeluh kakinya lecet, barulah mereka singgah di warung makan yang tadi ia janjikan, memesan makanan yang… ya gitu deh. Niken cuma tersenyum kecut melihat telur balado, ikan mas, dan bihun goreng di tepi piringnya, sangat jauh dari ayam-ayaman, apalagi steak! Ia berusaha menikmatinya walau tentu saja itu berbeda. Pas sekali matahari terbit, mereka kembali berjalan ke salah satu sawah seorang warga–yang kata Heru sih itu sawah neneknya Niken, cuma digarap orang lain–dan Heru melipat celananya. Niken cuma menonton dari saung.

“Non, ayo ngapain bengong aja, ayo turun ke sini!”

“Hah?! Turun ke sawah?! Ogah, ogah, nggak mau! Schauen sie! It’s dirty!” lengking Niken, tanpa sadar betul apa yang diucapkannya. Campuran Jerman-Inggris yang sukses membuat Heru dan si penggarap lahan bengong.

“Maksudku… lihat! Itu kotor,” ulang Niken, merasa konyol sekali.

Heru tersenyum. “Jangan suudzon dulu, Non, coba deh Non nyebur! Lagi pula, ini dangkal, kok. Kan celana Non udah pendek, tuh, jadi nggak akan kotor.”

“Iya celana gue nggak kotor, tapi kaki gue gimana?! Kalo di dalem ada ulernya gimana?! Kalo kena lintah gimana?! Kalo kita nggak sengaja nginjek kotoran kebo gimana?!”

“Jangan manja, Non, ayo sini.” Tanpa banyak tanya Heru langsung menyeret Niken masuk ke dalam lumpur, membuat Niken menjerit.

“Kurang asem lo! Aaaa, gue baru spa nih, kemarin!” teriak Niken, tanpa sadar mencipratkan lumpur ke muka tablo Heru yang cengengesan. Niken kembali menjerit saat sadar tangannya sekarang kotor, tapi muka Heru lebih parah lagi. Menyeka wajah dengan lengan baju, Heru membalas si cewek metropolitan dengan lebih banyak lagi. Niken mundur, kaus putihnya yang bergambarkan bendera Inggris yang betul-betul diimpor langsung dari negara Ratu Elizabeth itu kini kotor. Ia mundur sampai-sampai terpeleset dan jatuh di lumpur yang menggenang.

Heru terkekeh sementara Niken bangkit sambil menyumpah-nyumpah. Untunglah rambutnya yang panjang sudah ia cepol dulu sebelum jalan, jadi nggak kotor.

“Puas lo?! Sekarang gue kotor!” bentak Niken. Sepenuhnya tahu bahwa marah-marah cuma akan merusak liburannya, ia mendengus. “Gara-gara gue udah terlanjur kotor, mending kita main yang lain, deh.”

Heru dan si bapak saling melempar senyum. “Gara-gara kita udah kotor, gimana kalo kita ngebajak sawah, naik kerbau, terus mandiin kerbau di sungai, sekalian mandi juga. Terus, merah susu.”

Niken sih, setuju-setuju saja, daripada ke candi atau balik ke rumah Eyang, mandi sama kerbau terasa lebih baik. Susah payah berjalan di lumpur, ia berkenalan dengan Bobi, kerbau piaraan Pak Bambang, si buruh. Pertama sih, Heru yang mencontohkan cara membajak dengan kerbau, dan awalnya jujur, Niken ngeri melihatnya. Tapi kan, ini petualangan. Siapa tahu ia bisa membangkitkan kembali jiwa petualangnya. Setelah melihat Heru dua kali bolak-balik di belakang Bobi, barulah Niken pede untuk membajak sawah di belakang Bobi.

Selesai membajak, mengacaukan sedikit kerjaan Pak Bambang, Niken nyengir dan menarik Bobi menuju sungai yang tidak jauh. Kata Heru, di sungai itu ada semacam alat penyaring atau apalah itu, jadi airnya tetap jernih. Dengan cuek Niken berjalan di tengah bapak-bapak yang sibuk mencangkul, lalu nyemplung ke air.

“BRRR! HERU, LO GILA?!” bentak Niken, buru-buru naik ke atas lagi. Air sungai itu terlalu dingin, membuat kakinya terasa kebas. Biar kata cetek dan arusnya amat tenang, Niken tak betah di sana. “Gue punya anemia, tau! Kedinginan dikit, gue bisa pingsan!”

“Maaf, Non, maaf, maaf. Saya kan nggak tau. Mending Non nyeburin kaki aja, deh, nggak akan pingsan, saya jamin. Minimal Non nggak dipelototin orang karena jalan kotor-kotoran gitu.”

Manyun, Niken menceburkan kakinya di sungai, itupun masih menggigil. Heru terjun langsung ke sungai membawa Bobi, memandikannya dengan tekun. Melihatnya dengan geli, Niken mencipratkan air ke muka Heru yang over-serious. Mandiin kebo aja, mukanya udah mirip sama dokter yang mau ngoperasi pasien.

“Heh, Non!” gerutu Heru, membalas Niken dengan cipratan kecil. Niken cuma cengengesan. Setidaknya air yang mengalir lembut dibawah kakinya semakin mencerahkan suasana hatinya. Pikiran tentang Kevin nyaris-nyaris tak terbayang lagi.

Tengah hari, barulah mereka kembali ke sawah untuk mengembalikan si Bobi. Walau jam 12, di Dieng tetap dingin, lebih dingin daripada Puncak. Apalagi, perlahan-lahan turun kabut di dataran tinggi itu. Niken, dipandu Heru, bisa menyeberangi pematang dan kembali ke rumah Eyang–disambut dengan teriakan lagi–dengan selamat.

Yah, walau kabut turun dan menghalangi pemandangan, tapi Niken sudah puas. Apa yang ia lakukan seharian ini terasa amat menyenangkan. Pengalaman baru yang sangat berharga. Niken tahu dia orang yang mudah menyembuhkan diri, tapi tak pernah secepat ini dalam move on seseorang.

“Non Niken, besok mau ke mana lagi?” tanya Heru ceria, keluar dari kamar mandi dengan handuk di lehernya.

Niken tersenyum, kemudian menggoyangkan cangkir berisi coklat panas di tangannya. “Ngobrol di balkon aja, yuk, sekalian gue mau curhat. Sambil minum hot chocolate. Terus nanti kita tentuin besok yang enak ke mana. Satu lagi, jangan manggil gue pake ‘Non’! Panggil aja Niken…”


7/1/2012. 10.12 am

Esa Khairina.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire